PART II
Lembar demi lembar sebuah album terbalik seiring dengan
penyesalan agni yang semakin mendalam. Andai saja hal itu tak terjadi, pasti
dirinya masih bahagia sekarang. Andai saja semua itu tak terjadi, pasti dirinya
takkan dirundung rasa iri seperti ini.
Agni menyimpan album tersebut dalam lemari kaca di
kamarnya. lemari yang khusus, untuk mengenang orang tersayangnya. pandangannya
menyisiri isi lemari. Senyumnya berubah menjadi raut kekecewaan begitu
pandangannya berhenti di satu benda.
Sebuah foto. Foto yang slalu saja dapat membangkitkan
emosinya. Yang slalu saja ingin membuatnya pergi, ingin membuatnya marah dan
kecewa, serta menangis. Benci bila harus melihatnya.
Agni segera keluar dari kamarnya, menuju kamar zevana.
Raut yang penuh emosi tadi kini berubah menjadi biasa saja. hal yang biasa
dilakukannya, memalsukan semua perasaannya.
Melihat tak ada zevana di dalamnya, agni langsung masuk
ke dalamnya. Berbagai piala, medali, dan piagam berjejer rapi dalam lemari kaca
yang jauh lebih besar dari miliknya. Ia memperhatikannya satu-satu.
Rasa emosi yang ditutupinya tadi kini kembali mengguncang
dirinya. Semua ini, milik zevana, hanya zevana, untuk zevana. Dia sangat paham
dengan itu. kembali ia mengubah ekspresinya begitu mendengar derap langkah kaki
yang mendekat.
“loh, ag? Lo ada disini?” tanya zevana yang baru masuk ke
kamarnya.
Agni mengangguk. “gue mau nanya ze,” jawabnya.
Zevana tidak menanggapi, menunggu kelanjutannya. Ia
meletakkan tasnya dan duduk di tepi tempat tidurnya.
“kasih gue petunjuk ze. Gue bener-bener bingung dengan
semuanya. Kenapa gue bisa kecelakaan? Kenapa gue bisa diangkat sama keluarga
lo? siapa orang yang selalu dateng dalam mimpi gue? apa yang dia mau? Kenapa
dia slalu ada saat gue sedih, marah, kecewa? kenapa lo bisa tau masa lalu gue?
kenapa lo gak mau balikin semuanya?” agni menghujani zevana dengan banyak
pertanyaan.
Zevana menatap agni. dapat ia temukan rasa penasaran yang
besar dalam tatapan agni. ia tersenyum, lalu mendekat ke agni, menepuk bahunya.
“ag, gue tanya sekali lagi. lo bener-bener yakin pengen tau jawabannya? Gak
akan nyesel?” tanyanya.
Agni mengangguk pelan. Sedikit keraguan terpancar dari
sorot matanya. “emangnya kenapa sih ze? Dari dulu, setiap gue nanyain, lo pasti
jawabnya itu. eamngnya masa lalu gue buruk ya? sampe-sampe gue bakal nyesel
sama semuanya?” tanyanya balik.
“bukan. Bukan sama masa lalu lo. tapi sama yang sekarang
ini. yakin? Kalo yakin, gue bakal cerita sama lo,” jawab zevana.
Agni mengangguk penuh keyakinan. Meskipun rasa penasaran
yang amat besar mengusik hatinya. Zevana dan agni duduk bersila di tempat
tidur. Zevana menghela napas berat, bersiap memulai ceritanya. Semoga agni
dapat menerima semua ini.
***
Ray menggandeng tangan ify seharian ini. rasa kemenangan
begitu menggelegak dalam hatinya. “fy! Makan dulu yuk!” ajaknya semangat. Yang
diajak mengangguk saja, mengikuti yang mengajaknya.
Ray melipat kedua tangannya di atas meja, mencondongkan
badannya ke arah ify. “fy, besok-besok jalan lagi yuk!” katanya antusias.
Ify tertawa kecil melihat antusiasme ray. bila dihitung,
dia sudah jarang sekali jalan dengan ray. bahkan dalam setahun dapat dihitung
dengan jari. Padahal dulu sering sekali dia jalan dengan ray.
Popularitasnyalah yang membuat jaraknya dengan ray
menjauh. Tak ingin gosip tidak enak melanda dirinya dengan ray, tak ingin
membuat itu menambah jauhnya jarak mereka.
Ray tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari ify.
rindu akan saat-saat seperti ini. takkan menyia-nyiakannya sedikitpun.
Selesai makan, mereka menonton sebuah film luar. Tak
mereka sadari, seseorang telah mengikuti mereka daritadi. Mencela dalam hati
setiap melihat gerak-gerik keduanya.
Begitu selesai menonton, mereka dikejutkan dengan
kehadiran sejumlah wartawan, cameramen, dan pembawa acara infotainment. Semua
langsung mengerubungi mereka, meminta jawaban dan komentar, mengapa keduanya
bisa bersama dan nonton bareng padahal ify masih berstatuskan pacar septian.
Tak ada yang memberi sedikitpun komentar baik ify maupun
ray. keduanya mencoba menerobos kerumunan. Sia-sia. Tak ada satupun yang
memberikan mereka jalan. Sinar kamera menyilaukan mata mereka.
Bagaimana ini? bagaimana harus pergi? Apa yang harus
mereka lakukan? Selagi jawaban itu mereka pikirkan, seseorang membantu mereka.
“tolong ya! kasih mereka jalan! Maaf!” kata orang itu
sambil menarik kedua tangan ify dan ray keluar dari kerumunan.
Ray dan ify segera berlari mengikuti orang itu. mereka
sampai di tempat parkir basement. Keduanya berterimakasih pada orang yang
menolong mereka itu.
Orang itu hanya tersenyum. “gue debo. Pencari artis
baru,” jawabnya ketika ditanyai oleh ify.
Ify membalas senyumannya. Rasa kagum muncul di hatinya
begitu melihat penampilan cowok dihadapannya ini. manis. Kesan yang mendalam
darinya.
Seseorang yang menguntit keduanya sedaritadi berdecak
kesal. baginya, ray payah sekali. diberi kesempatan, malah menolak. Benar-benar
pengecut. Dia jadi kesal sendiri.
“ray, gue udah kasih lo kesempatan buat nunjukkin
kedekatan lo berdua ke publik. Tapi lo nyia-nyiainnya. Payah,” katanya kesal.
***
Sivia menyerahkan formulir kelas nathan pada nathan
sendiri. Nathan mengambilnya kasar dan melihat isinya. Amarahnya memuncak
begitu membaca salah satu kertasnya. Tangannya mencengkram kuat kertas itu dan
meremasnya, lalu melemparkannya ke arah sivia.
Sivia terkejut begitu kertas itu terlempar ke arahnya. Ia
membalas tatapan nathan yang penuh kebencian padanya. “mau lo apa sih nath! Gue
selalu baik sama lo! slalu perhatian sama lo! slalu sayang sama lo! kenapa lo
jahat banget sih sama gue?! gue benci sama lo!” teriaknya marah bercampur
frustasi.
Nathan menarik tangan sivia keluar dari kamarnya dengan
kasar. Ia menunjuk sivia begitu sudah diluar kamar. “gue gak butuh perhatian
lo! gue gak butuh sayang lo! gue gak butuh kebaikan lo! gue gak butuh lo! gak
butuh shilla! gak butuh siapa-siapa!” balasnya lebih kencang dari sivia dengan
emosi yang sudah naik ke ubun-ubun.
Nathan membanting pintu kamarnya. “gue gak butuh
siapa-siapa! Gue Cuma mau sendiri! Pergi lo semua! Pergi dari hidup gue! gak
usah ada yang peduli sama gue! gue gak butuh!” teriaknya dari dalam kamar.
Sivia tercengang dengan perlakuan nathan padanya. Baru
kali ini nathan sebegitu hebat mengamuknya. Shilla yang baru pulang langung
berlari kearahnya. Ia masih terpaku di tempatnya. Shilla mengguncangkan kedua
bahunya.
Sebuah sungai kecil mengalir dari matanya, kemudian
menatap shilla yang masih tidak mengerti dengan semua ini. “shil.. nathan..
dia..” kata sivia terputus-putus.
“nathan kenapa?!” tanya shilla panik.
Sivia menghapus air matanya dan mencoba menguatkan
dirinya, dan menceritakan yang dialaminya berusan pada shilla.
Shilla melotot. Ia menunjuk sivia dengan penuh kemarahan
dan ketidaktegaan. “elo pantes digituin! Elo jahat! Kenapa sih lo berubah siv?!
Kenapa lo jadi jahat sama dia? kenapa lo jadi kayak cakka siv! Elo jahat..” shilla
memejamkan matanya sedetik, mencoba meredam amarahnya.
“kenapa sih siv, lo terlalu banyak berharap? Kenapa sih,
lo jadi bergantung sama hal untung-untungan gini? kenapa sih, lo terlalu
maksain dia buat kayak dulu? Kalo dia emang mau berubah, biarin siv.. asalkan
dia gak marah, itu udah bagus. Asalkan dia bisa seneng.. gak.. seenggaknya dia
bisa senyum, sedikit aja siv, itu udah kemajuan besar. Tapi lo berharap pada
sesuatu yang mustahil siv. Jangan biarin diri lo jatuh saat lo liat, kalo apa
yang lo harapin gak berhasil. Dia emang udah berubah..” ucap shilla perlahan.
Mustahil. Kata yang barusan dia ucapkan. Bahkan dirinya
sendiripun masih berharap pada hal itu. kenapa dia bisa bilang mustahil? Hh..
mungkin karna kondisi sekarang, yang membuatnya semakin ragu pada hal itu. yang
membuatnya memaksakan diri mengatakan itu mustahil.
Sivia terdiam mendengar semua ucapan shilla, yang kini
terus berdengung di telinganya, seolah mengingatkan dirinya. Apa salah dia
berharap? Apa salah dia percaya? Apa salah dia menginginkan nathannya yang
dulu?
Sivia mencoba tersenyum, setidaknya akan mengurangi
ketakutan shilla. tak ingin shilla jatuh sakit dengan semua masalah ini.
Shilla membalas senyumannya, sedikit lega dengan tidak
ada bantahan dari sivia. Ia menempelkan telinganya di pintu kamar nathan.
Terdengar samar-samar suara tangisan nathan.
Hati shilla mencelos mendengarnya. Badannya jadi lemas,
tak kuat mendengar tangisan nathan. Ia menekan gagang pintu, mengintip sedikit
dari celah yang dibukanya.
Nathan menangis diatas kedua tangannya yang dilipat di
atas meja belajar. Bertahun-tahun shilla tak pernah mendengar tangisan nathan.
Hatinya teriris melihat orang yang paling disayanginya ini terlalu pasrah akan
nasib, mengalah pada takdir, dan menyerah akan segala harapan.
Shilla segera menutup pintu nathan, titik-titik air jatuh
dari pelupuk matanya. Ia menyambar tasnya dan segera pergi meninggalkan sivia
yang baru ingin menghiburnya.
Sivia berjalan gontai ke kamarnya sendiri. Ingin rasanya
dia menggantikan posisi nathan sekarang. Namun bila dia jadi nathan, sanggupkah
dirinya dengan semua ini? masihkah dia bertahan? Tak mungkin.
Kekagumannya pada nathan lah yang selalu membuatnya untuk
tetap kuat. Kekaguman untuk bertahan, meskipun semua orang yang disayanginya
membencinya, menuduhnya, memakinya, bahkan mencapnya sebagai seorang yang..
sivia sendiri tak tega tuk ucapkan.
sosok dea duduk di meja nathan dan mendengus kesal.
“payah! Lemah!” celanya kencang, cukup membuat nathan refleks menatapnya.
“payah banget sih lo jadi cowok! Lemah! Benci tau gak sih
gue ngeliatnya! Harusnya lo tuh kuat nath! Kalo lo lemah gini, mana ada cewek
yang mau sama lo! lama-lama gue ngundurin diri deh jadi temen lo!” kata dea
lagi.
“jangan! Jangan tinggalin gue! gue Cuma punya lo sama
deva! Gue sama siapa kalo lo juga pergi de?” mohon nathan benar-benar.
Dea mengulurkan tangannya ke wajah nathan dan mengusap
air mata nathan. Sosok deva menepuk kedua bahu nathan dari belakang. “nath, kita
gak akan pernah ninggalin lo kok! Kita bakal selalu sama lo, kapanpun,
dimanapun, bagaimanapun kondisi lo,” kata deva mantap.
Dea tersenyum dan mengangguk. Cahaya mata nathan sedikit
bersinar. Meskipun dia sudah berkali diperdaya dengan segala harapan, dibohongi
dengan segala janji, ditinggalkan oleh semua orang yang dia sayang, ucapan deva
barusan cukup menggelitik kebahagiaan di dasar hatinya.
***
Hari ini, cakka berniat mencari orang itu, jangan sampai
dia lupa untuk mencarinya lagi. cakka berjalan ke kelas zevana, dia mau
menanyakan ciri-cirinya dulu. Namun sepanjang dia berjalan di koridor, dia
tidak menemukan satu cewek pun yang mirip dengan orang yang dicarinya.
Lagi-lagi langkah caka terhenti di sebuah ruangan. Cakka
sampai heran sendiri dalam hatinya. Please deh, ini sudah kedua kalinya kakinya
berjalan sendiri tanpa ia sadari. Aneh banget.
Ia membaca papan nama di pintu tersebut. ‘Musical-Teathre
Room’. Cakka menganggukkan kepalanya mengerti, lalu masuk ke dalamnya dengan amat
pelan, takut mengganggu.
Di dalam, banyak sekali murid, mungkin sekitar 100an,
semuanya sedang sibuk. Cakka memandang sekeliling ruangan, cukup bagus,
komentarnya dalam hati. ruangan yang bisa terbilang paling luas, dengan
panggung yang cukup besar menyita dinding dihadapannya, bangku-bangku dan anak
tangga yang berjejer turun ke bawah layaknya bioskop, belum lagi semua
perlengkapan lengkap layaknya teater besar.
Cakka menuruni tangga dengan perlahan. Memperhatikan
semuanya sedang sibuk, ada yang bernyanyi-nyanyi berdua atau berkelompok, ada
yang sibuk menghafal skenario dan puisi, ada yang sibuk mengatur-ngatur
semuanya, ada yang membereskan ini itu, juga ada yang mengobrol dan duduk
santai. Sepertinya akan ada acara besar.
Cakka duduk di sebelah orang yang sedang duduk dengan
melipat kedua tangannya serta memejamkan matanya dan bernyanyi-nyanyi pelan
sambil mendengarkan ipod. Cakka menepuk bahu orang itu, membuat orang itu
membuka matanya dan meliriknya.
Orang itu malah kaget setengah mati begitu tahu yang
menepuk bahunya tadi adalah seorang cakka! CAKKA! cakka yang sangat
dikaguminya, cakka yang sangat diidolakannya. Waw, keajaiban, bagaimana cakka
bisa ada disini? ia mengucek-ngucek matanya, memastikan ini nyata atau hanya
mimpinya saja.
“cakka?” tanyanya heran. cakka mengangguk ragu. Mata anak
itu melebar. “lo beneran cakka? kok bisa ada disini!” ucapnya histeris, masih
tidak percaya.
Cakka tersenyum padanya. “gue sekolah disini. aneh, kok
ada yang gak tau ya,” katanya heran.
Orang dihadapannya itu jadi salting. Ini benar-benar
cakka! “ohya? Gue gak tau. sori deh,” katanya canggung.
“nama lo siapa?” tanya cakka. lucu juga makhluk
dihadapannya ini.
“agni,” katanya sambil tersenyum.
Cakka mematung mendengar nama itu. agni? agninyakah? Atau
bukan? “agni?” ulang cakka ragu.
Agni mengangguk. “yap. Agni. emang kenapa? nama gue jelek
ya?” tanyanya.
Cakka menggeleng pelan. Matanya masih terpaku dengan
agni. “elo kenal zevana?” tanyanya memastikan.
Agni mengangguk heran. “iya. Lo kenal sama dia?”
Cakka menggeleng lagi. melihat tidak adanya reaksi apapun
dari orang dihadapannya ini, ia jadi ragu. Benarkah ini agni yang dicarinya?
Tapi nama agni banyak sekali di indonesia. apa benar ini agni? agninya?
“iyalah! Emang lo gak inget?” balas cakka heran.
“gue gak tau. inget? Maksud lo? emang kita pernah ketemu
ya?” agni jadi bingung dengan pertanyaan cakka.
Cakka tersenyum paksa. “gue duluan ya,” katanya
buru-buru, menuju kelas zevana. Sepertinya ini bukan agninya. Dia jadi tidak
sabar. Kalau bisa dia akan memaksa zevana untuk memberitahunya, daripada harus
menebak dan mencari tidak jelas seperti ini.
***
Zevana memperhatikan nathan, shilla, dan sivia yang
menurutnya sikapnya agak aneh. Dia jadi penasaran. Kenapa nathan pendiam
sekali? kenapa shilla selalu mencuri-curi pandang ke arah nathan setiap kali
nathan meliriknya? Kenapa sivia bila bertemu nathan akan tampak sangat khawatir
sekali?
“boleh gabung?” tanyanya pada ketiganya. Shilla dan sivia
saling berpandangan, lalu melirik nathan sebentar, melihat nathan tidak ada
reaksi, mereka mengangguk cepat, dan ini semakin menambah kejanggalan dalam
mata zevana.
“lagi ngomongin apa?” tanya zevana lagi.
“gak ngomongin apa-apa kok. Hehe,” balas sivia ramah.
Zevana memperhatikan nathan yang sedang sibuk membaca
buku. “nath, lo minus atau silinder? Kok kacamatanya berwarna?” tanyanya iseng.
Dia ingin mendengar nathan bicara sedikit lebih panjang. Selama nathan duduk
dengannya, belum pernah ada satu katapun yang terlontar dari mulut nathan
kepadanya.
Nathan tidak mempedulikannya. shilla menginjak kaki
nathan disebelahnya. Nathan menatapnya kesal. “apa sih!” katanya ketus.
shilla melotot padanya, seolah memberi isyarat –jawab!-.
“normal,” jawab nathan datar.
“normal kok pake kacamata sih? aneh. Enakkan gak pake
kacamata lagi,” balas zevana, sebisa mungkin dia ingin berbicara dengan nathan.
“banyak nanya,” balas nathan jutek.
Suasana tidak enak menaungi mereka. zevana, shilla, dan
sivia menatap nathan yang jutek sekali. “rese lo nath,” kata sivia memecah
keheningan.
“nath, jutek amat sih. emangnya gue salah apa sama lo,”
balas zevana tersinggung.
Nathan menatapnya dingin. Namun pandangannya mencair
begitu bayangan seseorang menggantikan posisi zevana dihadapannya. Ia segera
menyadarkan dirinya. Gak mungkin..
“suka-suka gue,” balasnya lagi. ia beranjak dari
tempatnya dengan membawa bukunya. “lepas kunciran lo. lo lebih cantik kalo
digerai,” katanya tiba-tiba.
Zevana terhenyak dengan ucapan nathan barusan. Seperti..
Shilla dan sivia menatap punggung nathan yang semakin
menjauh dengan heran campur bingung. “siv! Itu.. tadi nathan ngomong beneran
apa kuping gue yang ngawur?” tanya shilla tidak percaya.
“kayaknya bener deh shil.. gue juga denger..” jawab sivia
pelan.
Zevana menatap keduanya bergantian. “woy! Ada apa sih?
cowok ini kan? wajar kali kalo ngomong gitu,” katanya heran.
Shilla dan sivia hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Wajar kalo cowok lain, tapi gak buat nathan.
***
“vana! Gue gak mau tau! lo kasihtau gue! jangan bikin gue
nebak-nebak gini! kalo gue salah kan tengsin woy!” seru cakka tidak sabaran di
ruang audio visual yang sedang sepi.
Zevana berdecak. “cari sendiri!” balasnya kesal. entah
kenapa, ada rasa tidak rela dan rasa sakit mendengar cakka begitu tidak sabaran
mencari orang itu.
Cakka mencengkram kedua bahu zevana, menatap langsung
mata zevana penuh permohonan. “vana, please, gue mohon,” ucapnya perlahan.
Jantung zevana berdetak lebih cepat dari sebelumnya. ia
menyadarkan dirinya, tak ingin larut dalam suasana barusan. “lo ke kelas gue.
lo bakal nemuin dia disana. Tapi gue mohon, Please, Jangan bilang kalo lo udah
kenal dia lama. Lo pura-pura baru kenal aja sama dia,” sarannya.
“maksudnya?” tanya cakka yang tidak paham dengan
kata-kata zevana barusan.
Zevana mengalihkan tatapannya dari cakka. “nanti juga lo
tau sendiri. Udah, turutin gue aja,” katanya kemudian meninggalkan cakka yang
masih bingung sendirian.
***
“maaf,” ucap nathan lirih.
Dua sosok gadis dihadapannya hanya tersenyum menanggapinya.
Nathan semakin didera rasa bersalah bila melihat senyuman itu. senyuman yang
harusnya masih ada sampai sekarang, malah tiada sejak lama. Semua memang
salahnya. Andaikan dua sosok ini tak pernah mengenal dirinya, pasti mereka
masih ada sampai sekarang.
“vin,” panggil sosok gadis yang wajahnya imut dan manis.
“gue bukan alvin,” bantah nathan lirih.
Sosok gadis yang satunya-yang tampangnya lebih dewasa-mendekat
dan menyetarakan kepalanya dengan kepala nathan yang tertunduk, yang sama
sekali tak berani menatap mereka. ia mengangkat wajah nathan lembut dengan
kedua tangannya, hingga mau tak mau, nathan harus menatap matanya.
“alvin.. mau lo bilang nama lo nathan sampe jutaan kali
juga lo tetep alvin. jangan pasrah gini vin. lo yang kuat dong, yang semangat.
Lo inget apa yang gue bilang ke lo? yang ngebuat gue suka sama lo? alvin yang
selalu kuat, selalu semangat, gak pernah nyerah, dan selalu tersenyum, mau
apapun masalah yang datengin dia,” ucap gadis itu dengan penuh senyum.
Mengingat kembali semua memorinya dengan nathan, sebelum.. sebelum malaikat
hitam itu.. mencabut nyawanya.
Nathan menatap dua gadis dihadapannya ini bergantian. “ren,
cha.. gue bener-bener minta maaf. Kalo aja gue gak minta lo ngehindar ren, kalo
aja gue bisa cepet dateng ke rumah lo dan gak minta lo nunggu cha.. lo berdua
pasti masih ada sekarang,” ucapnya penuh rasa bersalah.
Kesedihan merayap dalam tubuh nathan. Semuanya berputar
kembali dalam kepalanya. Kalau saja dia tidak meminta.. kalau saja mereka tak
pernah mengenalnya.. kalau saja dia tidak terlalu sayang.. dan kalau saja dia
tidak menjalin hubungan dengan mereka..
Pasti.. pasti mereka masih ada sekarang, masih terus
menjalani hari mereka yang pasti akan jauh lebih baik tanpanya, masih bisa
menebar senyum pada orang lain, dan pasti.. mereka akan menemukan orang yang
benar-benar sayang sama mereka, yang pasti bisa ngelindungin mereka.. yang
jelas, bukan seperti dirinya.
Sosok acha-gadis yang bertampang imut tadi-menepuk bahu
nathan. “vin, lo gak salah.. semuanya Cuma kecelakaan dan ketidaksengajaaan
aja. Jangan salahin diri lo, jangan buat diri lo tersiksa vin,” ucapnya.
Nathan menatap acha. Bukannya lebih baik dia malah
semakin merasa bersalah dan tidak berguna. “gue salah! Harusnya gue gak pernah
nerima lo berdua! Harusnya gue ngehindar saat lo berdua mulai deket sama gue!
gue salah! Gue salah!” tuduhnya pada diri sendiri.
“vin! alvin! dengerin gue! lo sama sekali gak salah! Fine
kalo lo mikir lo salah! gue, aren, nandya, silvia, udah maafin lo! sekarang lo
semangat lagi ya? jadi alvin! bukan nathan! jadi alvinnya acha, alvinnya aren,
alvinnya nandya, alvinnya silvia, ya?” acha mengguncangkan kedua bahu nathan.
Nathan mengerling ke arah aren. Aren mengangguk antusias.
Namun ia menggeleng. “gue gak mau jadi alvin. alvin yang dibenci orang, alvin
yang gak berguna, alvin yang selalu bawa malapetaka, alvin yang terlalu banyak
berharap, alvin yang selalu terlihat seneng padahal enggak, alvin yang selalu ditinggalin
sama orang yang dia sayang,” katanya lirih.
“tapi lo tetep alvin! aneh banget sih lo vin! lebih suka
jadi orang yang bukan diri lo sendiri!” ucap aren emosi. “lo puas jadi nathan?
Nathan yang selalu sendirian? Nathan yang pengecut? Yang gak berani ketemu sama
orang baru? Yang gak berani mulai pembicaraan? Yang gak berani natap langsung
mata orang?” sindirnya sinis.
Nathan membisu. Semua diluar keinginannya. Dia tahu dan
mengerti apa yang sesungguhnya ia inginkan. Dan itu bertolakbelakang dengan
nathan sama sekali. “alvin udah mati, dan gak mungkin kembali lagi,” bantahnya
halus.
Sosok dea tiba-tiba muncul di kamarnya. “alvin pembunuh!”
ucapnya keras, cukup membuat ketiganya menoleh ke arah dea. Dea menatap nathan
tajam. “mendingan lo jadi nathan! Seenggaknya lo bakal lebih seneng! Bukannya
jadi alvin! yang kerjaannya Cuma bisa buat orang yang disayanginnya pergi! Yang
sama sekali gak berguna! Yang Cuma bisa nyusahin orang doang!” serunya tajam.
“dea!” teriak sosok deva yang baru muncul. “mau lo apa
sih! kenapa setiap malem lo selalu jatohin mental dia?! arggh! Gue bingung sama
lo de!” marah deva.
“jatohin mental dia?” lengking dea, hingga semua sedikit
mengernyitkan matanya mendengar lengkingan dea. “lo bilang gue jatohin mental
dia?! setelah selama ini gue bantuin dia buat bangkit?! Tega lo dev sama gue!”
Acha, aren, dan nathan hanya dapat menonton keduanya
bertengkar. Deva sudah naik darah. Tatapannya pada dea begitu tajam dan penuh
amarah. “oh! Jadi lo bilang gue tega? Tegaan siapa dibandingkan sikap lo ke
nathan de! Kenapa lo selalu ngebuat dia benci sama alvin! dan kenapa lo selalu
motivasi dia buat jadi alvin! lo ngebuat dia bimbang de! Lo ngebuat dia ragu!
Lo..” tuduhan deva tersela oleh teriakan nathan.
“STOP! GUE BILANG STOP! SEKARANG LO SEMUA PERGI! PERGI!”
usirnya kencang. Semua langsung menghilang dalam sedetik.
Nathan menghela napas berat. semua terlalu mendadak
baginya.
***
Ify mengambil dua kaleng minuman soda dari kulkasnya dan
memberikannya pada ray yang tengah asik mengobrol dengan kakaknya di kamarnya.
“sampe kapan lo mau nyembunyiin perasaan lo ke ify ray?”
tanya kakak ify selagi ify mengambil minuman di dapur.
Ray hanya mengangkat bahu. “gimana gue mau bilang, kalo
setiap dia lagi sama gue, pasti dia cerita tentang cowok kak?” balas ray.
Kakak ify tampak berpikir. Hening tercipta diantara
mereka sampai ify datang memecah keheningan. “nih!” kata ify, menyodorkan
kaleng minumannya ke ray dan kakaknya.
Keduanya membukanya dan meminumnya. “lagi ngomongin apa?”
tanya ify.
Ray mengetukkan telunjuknya di karpet ify, sekedar
mencari kesibukan. Hening tercipta kembali.
Ify jadi bingung, tak biasanya ray dan kakaknya diam
seperti ini. ia menatap ray, yang sedang sibuk mengetukkan jarinya seolah
sedang memukul drum. Kemudian ia beralih menatap kakaknya, yang terlihat sedang
sibuk berpikir.
“woy! Kok pada diem sih!” serunya memecah keheningan,
cukup membuat keduanya menoleh ke arahnya sedetik kemudian kembali dengan
kesibukan masing-masing.
“kak rio! ngomong napa!” tegur ify kesal pada
kakaknya-kak rio-.
“sibuk. Udah ah, lo sama ray aja! Gue mau ngapel dulu,”
pamitnya sambil menaik-turunkan alisnya.
Ify merengut kesal. “kak, kalo gue jadi agni, gue bakal
bosen ngeliat lo terus tiap hari,” komentar ify.
Ray menunjuk setuju dan mengangguk. Rio berdecak kesal.
“elah! Agninya gak bosen sama gue, napa lo berdua yang repot?” balasnya sambil
berdiri.
“gimana gak bosen kak, lo terlalu over sama dia,” gumam
ify teramat pelan.
Rio langsung meninggalkan mereka, sepertinya tidak
mendengarkan gumaman ify barusan. Ray menatap ify agak aneh. “fy, kata lo tadi
mau cerita? Cerita apa? Cowok lagi?” tanyanya muram.
Ify mengangguk antusias. “lo inget cowok yang nolongin
kita di mall kemaren?” tanyanya berapi-api. Ray tahu kemana arah pembicaraan
ini. ia mengangguk kecil. “menurut lo debo gimana? Dia ganteng ya! manis lagi
senyumnya!” pujinya.
Ray hanya manggut-manggut saja mendengarnya. Meski
hatinya teriris setiap ify memuji cowok lain. “menurut lo dia cocok gak sama
gue?” tanya ify berapi-api.
Ray menatap ify. ini pertama kalinya ify begitu semangat
membicarakan cowok. “lo suka sama dia?” tanyanya memastikan.
Ify mengangguk. Raut wajah ray berubah kecewa. “cocok,”
jawab ray asal. “tapi septian mau lo kemanain?” tanyanya.
“berita kita jalan berdua kemaren kan pasti besok udah
ada di tv! Nah pasti septian marah dan nuduh gue selingkuh! Nah gue putusin aja
dia pas itu! bilang kalo dia gak percaya sama gue dan elo! Gimana? Bagus kan
ide gue?” bangga ify.
“jahat lo fy. Kalo gue jadi septian gue bakal sakit hati
banget. lo Cuma maenin dia doang kalo gitu. Kenapa sih fy, lo gak pernah bosen
gonta-ganti cowok? Kenapa sih lo gak pernah ngertiin perasaan cowok? Mereka
selalu nyoba ngertiin lo, tapi lo gak pernah sekalipun ngertiin mereka. kasian
kan fy?” tutur ray. rasanya itu lebih menggambarkan dirinya.
Ify terdiam. Memang benar yang diucapkan ray, namun itu
tidak dapat mempengaruhi hatinya. “gue ngerasa mereka gak cocok sama gue, ray.
buat apa gue sama mereka kalo gue bosen? Kalo gue gak srek sama mereka?
mendingan gue cari cowok lain kan?” balasnya.
“tapi lo pernah mikir gak? Berapa sakit rasanya
dikhianatin gitu? Dimaenin gitu? Mereka tulus sayang sama lo. tapi elonya malah
suka sama cowok lain, mikirin cowok lain, gak pernah mikirin perasaan mereka,”
ray menghela napas berat.
Ify mengerutkan keningnya. “kok lo pake perasaan amat sih
ngomongnya? Jangan-jangan lo suka lagi sama gue!” tebaknya asal.
“gue gak suka cewek kayak lo fy, yang suka maenin
perasaan orang,” jawabnya. Terpaksa kebohongan itu terlontar dari mulutnya,
daripada ify tahu. Bisa gawat nanti.
Ify membulatkan mulutnya. Entah kenapa, sedikit rasa
kecewa timbul di dasar hatinya. “emangnya gue sejahat itu apa ray sampe lo gak
suka sama gue,” gumamnya tidak sadar.
Ray menatapnya aneh. Antara gembira dan bingung. “lo
bilang apa barusan fy? Lo ngarep gue suka sama lo?” tanyanya sambil nyengir.
“hah? Apa? Gue ngarep lo suka sama gue? idih! Sori deh
ya! gak banget! ntar gue digebukin lagi pake stik drum! Ogah!” tolak ify
salting.
Ray tertawa melihat ify yang salting. Hatinya sedikit
terhibur dengan kata-kata ify tadi.
***
Agni membuka pintu. Dia tahu siapa yang datang. “masuk
yo,” katanya malas.
Rio memamerkan senyum manisnya pada cewek yang sudah 3
bulan dipacarinya ini. ia segera mengambil tempat duduk.
Agni hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kejenuhan sudah
menghinggapi dirinya. “yo, laen kali lo dateng kalo gue minta aja ya?” sarannya
cuek. Ia duduk namun agak jauh dari rio.
Rio menatapnya kesal bercampur marah bercampur kecewa.
“lo gak seneng gue dateng ya?” tanyanya kecewa.
“bukan gitu yo. Gue gak enak aja lo dateng kesini hampir
setiap hari,” jawabnya tidak enak, meski bukan itu alasannya.
“bohong. Lo bosen kan sama gue? atau lo punya cowok lain
yang suka dateng kesini juga?” selidik rio tidak percaya.
“kenapa sih yo, lo gak pernah percaya sama gue?! kalo gue
bilang gak usah dateng kesini ya gak usah dateng!” jawab agni yang sebenarnya
sudah lama kesal dengan sikap rio yang over.
Rio mengarahkan wajah agni ke arahnya. “oke. Gue gak akan
sering-sering dateng kesini. tapi lo jangan marah ni,” katanya.
Agni mengangguk. To the point saja, dia sudah bosan
dengan rio. bosan dengan sikapnya yang terlalu over, bosan dengan perhatiannya
yang terlalu berlebihan. Ingin sekali dia mengakhiri hubungan ini, namun tak
ada alasan untuknya.
“yaudah deh gue pulang aja. Abisan lo marah sih. besok
gue gak bisa nganter lo sekolah ni, ada urusan di kampus, sori,” pamitnya lalu
berdiri.
“gak usah, sini aja. Ada yang mau gue omongin sama lo,”
kata agni serius.
Rio duduk kembali dan menghadap agni, menunggu
kelanjutannya. “apa? Serius amat,” celetuknya.
“emm.. yo.. mulai besok, lo gak usah anter jemput gue
lagi ya?” katanya ragu.
Rio sudah sampai di ambang batas kemarahannya. Apa maksud
agni dengan ini semua? “maksud lo..” rio tak sanggup melanjutkannya.
“bukan! Bukan itu maksud gue!” sahut agni cepat-cepat. “gue
Cuma minta kerenggangan dari lo aja. Boleh?” tanyanya tidak enak.
“lo bosen ya ni sama gue?” tanya rio getir. Agni tidak
menjawab, mengangguk ataupun menggeleng.
“lo mau putus sama gue?” desak rio.
Agni menatapnya. “kita break dulu ya yo?” pada akhirnya
ia mengungkapkannya juga.
Rio sekarang benar-benar marah. “break?! Kenapa sih ni?!
Salah aku apa? Kamu udah punya cowok lain ya?” tanyanya tidak terima.
Agni menggeleng. “gue gak punya cowok lain. Lo gak salah.
Gue Cuma pengen free dulu aja,” jawabnya datar.
“terserah!” rio segera pergi meninggalkan agni.
Agni menghempaskan badannya dan menghembuskan napas berat.
rasa di hatinya terkuras habis. Sepertinya dia menyadari sesuatu.
***
Shilla bingung dengan semua ini. sampai kapan ini akan
berakhir? Kapan nathan bisa bahagia? Kapan semuanya akan kembali normal? Ribuan
pertanyaan tak terjawab lainnya memenuhi sudut pikirannya.
Ia meneguk minuman di hadapannya. Entah sudah berapa
gelas yang ia minum. Dia tidak peduli. Cuma dengan ini, dia bisa meluapkan segalanya.
“alvin..” raungnya sambil menangis.
Dia tidak tahu apa penyebab utama alvin bisa menjadi
nathan seperti ini. terakhir kali bertemu alvin, kondisinya sudah seperti ini.
bahkan.. jauh lebih parah.
“alvin.. kenapa lo jadi gini sih? gue kangen vin sama lo
yang dulu. yang selalu senyum ke gue, yang selalu perhatian sama gue, yang
selalu bisa ngehibur gue,” katanya sesenggukan.
“tapi apa vin.. sekarang lo senyum aja enggak.. lo selalu
marahin gue sama sivia setiap hari, selalu ngusir kita..”
“padahal gue tau vin, jauh di lubuk hati lo, lo takut
kita ninggalin lo kan? lo takut sendirian? Lo Takut gak ada yang peduli lagi
sama lo? makanya lo nangis kemaren ini? setelah lo ngebentak sivia dan ngusir
dia habis-habisan? Elo sebenernya gak pernah bener-bener begitu kan vin?”
shilla terus berbicara sendiri. Seolah ada alvin dihadapannya.
“gue ngerti vin, ngerti banget. udah belasan tahun gue
jadi sepupu lo, gue udah ngerti banget perasaan lo. gue tau kalo selama 5 tahun
ini lo ketakutan, lo kesepian, lo menderita kan vin? semua nyalahin lo, semua
mojokkin lo, semua nuduh lo. gue rela vin, gantiin posisi lo. asal gue bisa
liat lo kayak dulu lagi.”
“bukan nathan vin yang gue butuhin. Tapi alvin,” katanya.
Shilla menghapus air matanya dan meneguk lagi minumannya.
Cakka yang sedang berkumpul bersama kawan artisnya disana
melihat shilla. ia menghampirinya. “shil,” panggilnya.
Shilla tidak menjawab sama sekali. dia setengah sadar.
“alvin,” ucapnya sebelum kesadarannya hilang.
Tubuh shilla tidak seimbang, hampir merosot bila cakka
tidak menahannya duluan. Cakka langsung membawa shilla pulang.
***
Cakka menghentikan mobilnya di depan rumah nathan. Tak
ingin sekali ia menginjakkan kakinya di rumah ini. namun, shilla harus dibawa
masuk ke dalam. Ia menggendong shilla dan membawanya ke dalam.
“sivia!” teriak cakka.
Sivia segera menghampiri asal suara. “ya ampun shilla!
kesini cak,” sivia segera mengantarkan cakka ke kamar shilla.
Cakka membaringkan tubuh shilla. “dia sering kayak gini
siv?” tanyanya, yakin ini bukan pertama kalinya shilla minum.
Sivia mengangguk lemas. “sering. Sering banget. tiap ada
masalah, pasti dia minum,” jawabnya.
Cakka melangkah cepat menuju kamar nathan. Ia menjeblak
pintunya, membuat nathan yang sedang sibuk di depan laptop menoleh ke arahnya.
“HEH! Mau lo apa sih?! belom puas lo nyakitin orang di
sekitar lo?! belom puas lo bikin orang yang gue sayang pergi?! Belom puas lo
buat semuanya mati?! Sekarang lo mau ngancurin shilla juga?!” amuknya.
Nathan menatapnya dingin. “harusnya lo bukan disini!
harusnya lo mati aja! Jangan pernah balik ke dunia ini! biar gak ada orang yang
susah gara-gara lo! lo Cuma bawa malapetaka kalo idup tau gak sih!” cakka
meluapkan sedikit amarah yang selama ini terpendam dalam dirinya.
“bisa gak sih lo pergi dari kita?! Pergi yang jauh! Atau
kalo perlu, lo mati aja! Gak ada yang butuh lo! lo gak berguna! Cuma bisa
nyusahin orang aja!” maki cakka.
“kalo sampe shilla kenapa-napa, gue yang akan turun
tangan langsung buat ngabisin nyawa lo!” ancamnya sungguh-sungguh. Ia segera
pergi dan pulang ke rumahnya.
Sivia menatap nathan yang dicerca terus daritadi. Ia
menutup pintu dengan amat pelan.
nathan memejamkan matanya sebentar selagi mengatur napas.
Cercaan seperti itu sudah sering kali ia dengar dari mulut cakka dan orang
lain. Dan sudah berkali juga cercaan itu menekan segala perasaan dan emosinya.
yang tanpa semua sadari, semuanya menjatuhkan mental dan keberaniannya.
nathan memejamkan matanya. “kalo gue bisa milih boleh
hidup di dunia atau gak, gue bakal lebih milih buat gak hidup cak. Dan kalo gue
bisa mati sekarang, gue bakal milih mati cak. Gue sadar, gue tau diri, gue
emang gak berguna, gue emang nyusahin orang, gue juga udah ngancurin hidup
orang di sekitar gue,” ia berhenti sejenak untuk mengambil napas.
“dan kalo emang lo mau gue bener-bener mati cak, gue
turutin. Karna udah cukup bagi gue, ngeliat semua yang gue sayang pergi
ninggalin gue satu demi satu,” nathan mengambil sebuah silet dari lacinya.
Baru saja ia mau memotong nadinya, deva sudah mengambil
silet itu dan melemparnya. “nath! Lo mau ngapain! Lo pikir dengan lo mati,
semua masalah bisa slesai? Gak akan!” marah deva yang muncul tiba-tiba.
“seenggaknya semua orang seneng ngeliatnya,” katanya
getir.
“udahlah nath! Gue tau isi hati lo! lo takut mati kan? lo
takut gak bisa liat shilla sama sivia lagi kan? lo takut orang-orang bakal
seneng sama kematian lo kan? lo takut kalo emang gak ada yang peduli sama lo
dan nangisin lo disaat lo mati kan? jangan pura-pura nath!”
“lo gak bisa bohongin hati lo nath, kalo lo sebenernya
ketakutan,” kata deva pelan.
Nathan terdiam. “dev, gue mau jadi kayak lo aja. Bisa
ngilang semau lo, bisa dateng semau lo, bisa ngasih motivasi ke orang lain,
bisa bikin orang lain seneng,” katanya iri.
“sayangnya gak mungkin nath,” balas deva.
“kenapa? lo bilang, lo nyata, berarti gue bisa kayak lo
dong?” protesnya.
Deva menggeleng pelan. “lo nanya ke gue sama dea, kita
nyata atau gak. Gue gak bilang gue nyata, gue bilang, gue nyata kalo lo bilang
gue nyata. Sekarang lo harus sadar vin, kalo gue sama dea, Cuma khayalan lo
aja, gak lebih,” katanya lirih.
Nathan menggelengkan kepalanya tidak terima. “gak! Lo
nyata! Lo temen gue! lo bukan khayalan gue! kenapa semua nganggep lo sama dea
khayalan gue sih?! bahkan lo sendiri bilang kalo lo Cuma khayalan! Gimana sih
dev! Lo tuh nyata! NYATA! Jangan bikin gue kayak orang sakit jiwa dong!”
protesnya lagi.
Deva menghembuskan napas berat. “terserah lo deh vin,”
katanya.
“selama lo pikir kita nyata, kita bakal nyata dan selalu
ada buat lo. tapi kalo lo udah sadar vin, lo gak akan bisa nemuin kita lagi,”
gumamnya amat pelan.
***
di comment ya.. hehe :)