Loha loha! Gila ini cerbung udah berapa lama kaga dilanjut -___- kayaknya setaon sekali. hahay~
oke mungkin untuk selanjutnya saya akan post di sini~ hehe :D
oke silahkan membaca, but.. ALERT! Cerita gaje dan kaku! Maklum sudah lama gak menulis~
PART IX
“...Alexander Marvin.
Mahaputra.”
“Hah?” Gadis kecil ini
mengerutkan keningnya, kemudian membuka mulutnya, namun tidak jadi berbicara.
“Jadi nama Alvin yang
sebenernya bukan Alvin?” tanyanya setelah sekian lama hening. Ia mencoba
menelaah, tapi malah bingung sendiri.
Anak laki-laki di
hadapannya tersenyum. “Iya. Tapi ini rahasia. Agni jangan bilang siapa-siapa
yah,” ucapnya, sembari mengusap lembut kepala Agni.
Agni mengangguk. “Tapi
kalo rahasia kenapa Alvin kasihtau Agni?”
Pandangan Alvin
menerawang ke depan. “Karna kata Papa, cuma perempuan yang Alvin sayang aja
yang boleh tau. Yang bakal jadi pendamping hidup Alvin. Yang Alvin percaya.”
Mata gadis kecil ini
berbinar. “Berarti Alvin sayang sama Agni?” tanyanya senang.
Alvin menatapnya
dengan senyuman lebar. “Kan Agni udah tau..” Ia meraih tangan Agni dan
menggenggamnya, “Kalo Alvin selalu sayang sama Agni, dan gak akan Alvin biarin
siapapun ngerebut Agni dari Alvin.”
Alvin berjanji,
sungguh di dalam hatinya. Ia sudah mengungkapkan identitas aslinya pada Agni,
berarti ia bertanggungjawab untuk menjadikan Agni pendamping hidupnya kelak. Papa
bilang identitasnya bukan sembarangan. Ini berguna, sangat berguna, bila suatu
hari nanti dia mengundurkan diri dari dunia hiburan. Identitas ini jaminan
hidup tenangnya. Dan dia sudah menetapkan untuk menghabiskan seluruh sisa
hidupnya bersama Agni, malaikat kecil yang membebaskannya dari rasa kesepian.
***
Ozy membelalakkan
matanya setelah melihat pesan singkat dari Cakka. “Lo gak salah? Secepet ini?”
tanyanya tidak percaya.
Cakka menaik-turunkan
alisnya sambil tersenyum. “Gue gak bisa nunggu lebih lama lagi, Zy. Gue gak mau
ambil resiko. Agni itu milik gue.”
“Tapi lo baru pedekate
sebulan Cak! Itu juga gue gak yakin Agni mau nerima lo,” terang Ozy.
“Ck.” Cakka memutar
bola matanya. “Agni itu fans gue, dia tergila-gila sama gue. Mustahil dia
nolak. Lagian selama ini juga gesturenya selalu opened kok.”
“Tapi—”
“Gue gak mau denger.
Pokoknya lo harus bantu gue nyiapin semuanya!” suruh Cakka otoriter. Ozy hanya
bisa mengiyakan tanpa membantah lagi. Sudahlah, mungkin roda sudah berputar.
Dan artisnya ini yang berada di atas.
***
Nathan menghela napas.
Ia menatap seisi kantin. Penuh. Ia harus duduk di mana? Ah, akhirnya ada yang
pergi juga. Ia segera melangkahkan kakinya ke sana.
Baru beberapa suap ia
telan, tiba-tiba datang segerombol mahasiswa—yang ia kenali sebagai teman
sekelasnya tadi— menghampirinya. Mendatanginya dengan seringai mencurigakan.
Nathan tahu apa yang akan terjadi. Ini juga salah satu alasannya ia cuti
kuliah.
Salah seorang dari
mereka menepuk bahu Nathan. “Wets, anak emas rektor udah masuk nih. Ada rencana
menang lomba apalagi?”
Nathan menghentikan
makannya. “Kak..”
“No no no. Jangan
pernah panggil kami kakak. Gak sudi punya adek macem lo. Sok pinter!”
“Yoi, kerjaannya cuma
ngejilat dosen. Lo liat tadi? Gimana senengnya dosen kita ngeliat maskot kampus
ini balik lagi dari cutinya? ‘Wah Nathan, akhirnya kamu masuk juga. Kami sudah
menunggu prestasimu kembali’ and bla bla bla,” tiru salah satu dari mereka.
Satu yang lainnya
menunjuk tepat di depan wajah Nathan. “Lo,” desisnya, “Gue bisa pastiin hidup
lo gak bakal tenang di sini.” Ia menurunkan tangannya. “Kecuali lo keluar
secepatnya dari kampus ini.”
Setelah perkataannya
selesai, semua langsung beranjak meninggalkan Nathan kembali. Nathan menghela
napas kembali. Ia memejamkan matanya untuk sedetik. Dari pertama ia
menginjakkan kaki di sini, hal ini sudah terjadi. Bukan hanya oleh sekelompok
pemuda itu saja. Tapi banyak. Nyaris semua teman sekelasnya berlaku sama.
Ini semua karena ia
berumur lebih muda dari mereka. Karena ia lebih pintar. Karena ia selalu menang
di setiap perlombaan. Karena ia menjadi kebanggaan dosen. Dan karena sejak
entah kapan, kehadirannya membuat kampus menjadi banyak peminat.
Sepertinya
sekembalinya ia ini, segalanya akan menjadi lebih rumit..
***
“Nath, gue sama Shilla
balik yah. Disuruh Oma. Lagian, lo kan ada Oom Excel. Dia pasti ngerawat lo
lah. Jangan lupa makan, istirahat. Jangan banyak pikiran. Lo harus lebih
rileks. Jangan sering-sering minum obat juga. Lo pasti bisa kok. Lo kan kuat,
hehe.. Rumah gue sama Shilla selalu terbuka kok buat lo. Udah dulu ya, bye!
Muachh..”
Nathan bergidik
mendengar kecupan Sivia dari voicemailnya. Kenapa sih gadis itu tidak berlaku
normal saja? Gak perlu centil begitu. Kayak Shilla dong, dewasa! Nathan jadi kesal
sendiri.
Ia menghempaskan
badannya ke ranjang. Mulai sekarang ia tidak akan mendengar lagi kebawelan
Sivia, apalagi kekhawatiran Shilla padanya. Aaahh.. hidupnya akan makin hancur
saja. Ia tidak yakin Papa akan mau mengurusnya. Tentu saja. Papa kan
membencinya.
“Kak Alvin,” Keke
membuka pintu kamarnya, memergokinya yang sedang melamun dan tanpa sadar
memegang sebelah dadanya. “Siap-siap ya. Kita mau ke studio. Akhirnya Kak Alvin
mau jadi artis lagi, Keke udah kangen banget liat Kakak perform,” ucap Keke
senang.
Nathan segera bangkit
dari tidurnya. Ia tersenyum tipis dan mengangguk. “Iya.” Baru Keke ingin
menutup pintunya kembali, Nathan kembali berucap, “Ke, kira-kira Papa bakal
ngusir Kakak gak yah?”
Alis Keke terangkat,
“Gak mungkin lah Kak! Sejahat-jahatnya Papa, gak mungkin Papa ngusir Kakak,
lagi—”
“Papa pernah buang
Kakak,” sela Nathan.
Keke berdecak. Kenapa
kakaknya ini sangat tidak percaya dengan Papa? “Udah, Kakak percaya aja sama
Keke. Lagian, Papa udah nyiapin kejutan buat Kakak.”
“Kejutan? Kejutan
apa?”
“Rahasia~”
***
“Ini Coboy Junior.
Pasti Kakak udah tau kan? Yang lagi ‘in’ banget sekarang ini. Yang gendut itu
Kak Kiki,” yang disebut hanya berdecak, dirinya dikatai gendut. “Yang keriting
Kak Babas, eh, Bastian deng, hehe..”
“Yang ganteng itu Kak
Bale, Iqbal sih biasa dipanggilnya. Nah kalo yang itu, yang paling cool, Kak
Aldi..” yang terakhir disebut hanya mengibaskan poninya. Yang lain menggoda
Aldi. Mereka tahu Keke dan Aldi sedang dekat saat ini. Aldi hanya merona malu.
Keke mencondongkan
badannya ke arah Nathan, “Menurut Keke sih dia yang paling ganteng,” bisiknya
malu-malu. Nathan tergelak mendengarnya. Dan ini membuat Keke memajukan
bibirnya kesal.
Hampir semua artis
manajemen ini sudah dikenalkan padanya. Lalu mana kejutannya? “Nah, yang ini
kejutannya!” seru Keke. Ia menarik tangan seorang gadis yang baru masuk bersama
sang papa.
“Kenalin! Ini Kak
Prissy! Pricilla Agatha! Dia jenius, kayak Kakak! Dia pinter nyanyi, main musik
juga! Cocok deh sama Kakak!” promosi Keke menggebu-gebu.
Gadis berkulit putih
yang dikenalkan Keke itu hanya merona. “Keke..” keluhnya berbisik.
Nathan menatap Papa
tidak mengerti. Apa maksudnya ini? Menjodohkannya? Atau apa? Tapi.. gadis ini
cantik juga. Bukan, bukan juga, tapi cantik sekali. Benarkah gadis ini jenius
juga? Mengapa begitu mudah menemukan orang jenius di dunia sebesar ini?
“Ehem,” deheman Excel
cukup membuat yang lain mengerti dan meninggalkan mereka berempat. “Saya
pikir.. kamu membutuhkan teman yang bisa mengimbangi dirimu.”
Melihat Nathan yang
tidak puas dengan jawabannya, Excel mengedikkan dagu ke arah Prissy. “Perkenalkan
dirimu. Jangan mempermalukan saya.”
Nathan mengulurkan
tangannya, “Nath, eh, Alvin.” Mulai sekarang Nathan harus membiasakan dirinya
kembali dipanggil Alvin oleh semua orang. Dan ia harus meninggalkan panggilan
Nathan secepatnya.
“Baby Prissy. Boleh
panggil gue Prissy tapi jangan panggil Baby,” canda Prissy. Nathan terenyuh
mendengar suara Prissy. Suaranya. Sangat. Whisper. Begitu menggelitik
pendengarannya. Belum pernah ia menemukan suara semacam ini sebelumnya.
“Suara lo..”
“Kenapa? Jangan bilang
darah lo berdesir denger suara gue,” kata Prissy bosan. Hampir semua pemuda
yang ia temui berkata seperti ini. Gombal.
Nathan terdiam
mendengarnya. Bagaimana gadis ini bisa menebak perasaannya? Sebelum ia larut
kembali dalam pikirannya, Papa sudah berbicara, “Kamu akan debut lagi. Duet.
Dengan Pricilla tentunya. Jadwal latihanmu sudah ada di manajer. Sekarang temui
dulu manajer kamu. Ada yang perlu saya bicarakan dengan Pricilla.”
Tak menunggu anggukan
Nathan, Keke segera membawa kakaknya ini ke ruangan—yang paling disegani dan
ditakuti seantero artis manajemen ini—pribadi Papanya. Akan ada satu kejutan
lagi. Dan dijamin sukses membuat kakaknya speechless.
“And here is..” Keke
membuka pintunya, menampakkan seseorang—entah pria atau pemuda—dengan balutan
kemeja dan celana hitam. Pemuda itu tersenyum, dan membungkukkan badannya.
“Bertemu kembali Tuan
Muda,” katanya sopan. Ia tersenyum melihat kebingungan Nathan.
Nathan menunjuk pemuda
itu tidak percaya. Matanya melebar. “Ini serius? Kak Nyopon?!” seru Nathan
antusias.
Pemuda berkulit
cokelat itu—yang usianya 5 tahun lebih tua dari Nathan—mengangguk. Ia sangat
bersyukur tuan mudanya masih hidup dan dalam keadaan sehat. Ia kira setelah ia
dipanggil kembali ke Korea—saat Nathan memutuskan untuk vakum dari dunia
hiburan—, tuan mudanya akan terpuruk dan tak sanggup melanjutkan hidupnya.
Syukurlah.
Nathan menghambur
memeluk pelayan pribadinya ini—yang sudah ia anggap sebagai kakak, sahabat, dan
sekarang menjadi manajernya kembali—. “Akhirnya Kakak balik lagi! Alvin kira
Kakak udah dipecat gara-gara vakumnya Alvin,” sang pelayan hanya menepuk-nepuk
punggung tuan mudanya, selayaknya kakak terhadap adiknya.
Nyopon tersenyum dan
mengambil kotak besar di meja. Ia menyodorkannya pada Nathan. “Ini, koleksi
ensiklopedia limited edition. Terbaru. Terdiri dari 10 buku. Masing-masing 1000
halaman. Seperti biasa, bacaan ringan kesukaan Tuan Muda,” ucapnya.
Lagi-lagi Nathan
dibuat terkejut. Ini koleksi yang dia incar tahun ini. Bahkan untuk membelinya
perlu akses khusus karna hanya tercetak 20 eksemplar. Awalnya ia ragu bisa
mendapatkannya, tapi setelah ingat Papa banyak memiliki akses khusus, dengan
mudah bisa didapatkan tentu saja.
“Itu khusus loh,
Nyopon sendiri yang nyari. Dia selalu tau Kak Alvin, bahkan lebih dari Keke,
adik Kakak sendiri,” ucap Keke murung.
Hanya Nyopon pelayan
yang dipanggil ‘Kak’ oleh Nathan. Keberadaannya sangat dihargai oleh tuan
mudanya. Hanya ia yang mengerti dan selalu mematuhi Nathan. Dan hanya ialah
yang mampu mengatasi emosi dan perilaku tuan mudanya.
***
“Cat pirang?! Please
Pa, Alvin gak mau kayak boyband kampungan pake pirang segala!” tolak Nathan,
eh, Alvin mentah-mentah.
“Tidak kampungan! Itu
semua tergantung tampang! Bersyukurlah kamu dikaruniai wajah yang lumayan!”
“Tapi Alvin tetep gak
mau! Lagian ngapain sih mesti ke salon segala?!”
Excel melotot. “Kamu
harus ubah tampilanmu! Biar lebih fresh! Saya muak melihat rambutmu yang tidak
jelas itu!”
“Tapi—”
“Highlight! Highlight
pirang! Tanpa protes!” tukas Excel menyudahi.
Keke yang sedaritadi
melihat Papa dan Kakaknya berargumen, hanya bisa tersenyum. Setidaknya mereka
sudah tidak sedingin kemarin-kemarin. Meski Papa masih berbicara formal dengan
Kakaknya, ia bisa melihat jelas kepedulian Papanya yang semakin hari semakin
bertambah. Semakin ingin mengubah Kakaknya menjadi Alvin kembali.
Alvin masih menekuk
muka meski rambutnya sudah diurus oleh stylist. “Sudahlah Tuan Muda, ini juga
untuk kebaikan Anda. Tuan Besar sangat peduli dengan Anda, dia tidak mungkin
membuat Anda terlihat kampungan,” kata Nyopon, menenangkan Tuan Mudanya.
“Hmm,” balas Alvin,
masih kesal. Ia melirik ke arah jendela. Tunggu. Deva? Alvin segera menenangkan
perasaannya. Ia tidak mau terlihat gila di depan orang banyak. Ini kacau. Kalau
Deva muncul, Dea apalagi. Pasti mereka akan adu argumen hingga dirinya menjadi
bingung sendiri.
Deva melambaikan
tangannya dari balik kaca. Alvin menggelengkan kepalanya pelan, membuat sang
stylist keheranan. “Hai Nath! Eh sekarang gue harus panggil Alvin ya? Gak boleh
Nathan lagi,” gurau Deva, yang sejak kapan sudah duduk di kursi sebelahnya.
‘Oke Alvin lo gak
perlu nanggepin omongan Deva. Lo harus fokus, ada Kak Nyopon, lo gak mungkin
bertingkah gila di depan pelayan lo.’ Ulang Alvin dalam hati. Ia tidak mau
Nyopon mengundurkan diri karena kegilaannya.
Deva menepuk bahunya
pelan. “Udah ada Nyopon Hyung, lo gak butuh gue lagi ya? Padahal gue seneng
punya temen kayak lo,” ucap Deva sedih. Ia ingat di awal-awal mengenal Alvin,
anak itu banyak bercerita mengenai Hyung kebanggaannya.
Alvin melihatnya dari
kaca. ‘Bukan begitu. Lo itu bayangan. Khayalan. Gue gak bisa ngobrol sama lo
sekarang. Gue bisa dikira gila,’ balas Alvin dalam hati.
Raut Deva semakin
sedih, hingga stylistnya berbicara, “Dek kok gak ditanggepin temennya? Kasihan,
sedih gitu mukanya.” Mendengarnya Nathan langsung melotot dan menoleh. Ini
serius? Deva keliatan? Bukan khayalannya saja.
“Iya. Gue Deva. Gue
nyata kok. Gue rasa ini udah saatnya lo tau. Gue bukan khayalan lo aja. Gue
‘gifted’. Waktu itu gue lagi liburan di Singapur dan besoknya ada pikiran anak
yang menarik gue buat kenal lebih jauh. Dia frustasi. Dia kecewa. Dia marah.
Dia gak percaya. Gue masuk ke pikiran anak itu dan berusaha memotivasi dia buat
sembuh. Gue seneng banget akhirnya gue punya temen. Tapi gue gak yakin setelah
ini..” Deva menjelaskan tanpa jeda, kemudian menghela napas berat.
“Gifted kayak gimana?”
tanya Alvin penasaran.
Deva mengangkat kedua
bahunya. “Gue bisa baca pikiran orang. Dan bisa mengikatnya dengan pikiran gue
sendiri. Kayak lo. Gue bisa muncul di hadapan lo kapan aja. Itu karna gue
mengikat pikiran lo, gue butuh temen yang membutuhkan gue, kayak lo.”
“Berarti Dea juga
nyata?” tanya Alvin bingung. Ini sulit dicerna otak jeniusnya. Tidak logis.
Nonsense. Ia belum pernah membaca yang seperti ini sebelumnya.
“Gak. Dea, Acha, Aren,
semua murni dari pikiran dan perasaan lo sendiri. Dea itu perwujudan hati kecil
lo, dia ngungkapin perasaan yang lo sembunyiin dalem-dalem, yang lo gak mau
akui. Kalo Acha sama Aren, rasa bersalah lo dalem banget ke mereka. Lo gak bisa
ngabaiin penyesalan itu. Lo mau minta maaf ke mereka, tapi lo gak bisa.
Lama-lama, lo ngewujudin mereka dalam pikiran lo,” terang Deva lagi,
menyadarkan Alvin atas kekeliruannya selama ini.
Deva beranjak dari
kursinya. Ia memandang Alvin yang tampak shock mendengar penjelasannya. “Gue
tunggu sampe besok jam 7 pagi. Gue butuh keputusan lo, lo masih butuh gue atau
enggak. Ini emang mendadak, tapi gue yakin mental lo cukup siap nerima ini,”
ucapnya kemudian berlalu, meninggalkan Alvin yang mengurut pelipisnya.
Terlalu banyak kejutan
tidak baik untuknya. Ia belum sanggup kalau harus menerima satu lagi..
“Tuan Muda, setelah
ini kita akan menyusul Tuan Besar ke butik. Ada yang mau Anda beli dulu?” tanya
Nyopon, setelah rambut Alvin masuk tahap pengeringan.
Diingatkan tentang
Acha dan Aren, ia jadi ingat Agni. Sudah lama ia tidak bertemu dengan gadis
itu. Bahkan ia belum menyampaikan permintaan maaf atas kehebohan yang dibuatnya
di jejaring sosial.
“Ada. Sekalian pulang
dari mall Alvin mau ke rumah temen dulu.”
***
Zevana menyeret
kakinya malas. Siapa sih yang dateng siang-siang begini? Ganggu tidur siangnya
aja deh. Masih dengan wajah kucel dan mata setengah watt, Zevana membuka
pintunya.
“Hai Zev,” sapa orang
yang mengganggu siang Zevana di hari Minggu terik ini.
Zevana melebarkan
kelopak matanya dan speechless melihat warna rambut tamunya. “Alvin! Lo apain
rambut lo! Gila! Keren banget!” histeris Zevana. Ia menyentuh rambut Alvin. Ya
ampun, Alvin jadi mirip orang barat, mirip bule.
Alvin membalas dengan
senyum tipis. “Agni ada kan?” Ia mengangkat tangannya yang membawa 2 tas
karton. “Gue bawa sesuatu buat lo berdua.”
Zevana mengangguk dan
membiarkan Alvin masuk ke dalam. “Kenapa rambut lo dicat?” tanyanya yang masih
tertarik dengan rambut baru Alvin.
“Dipaksa Papa. Oh iya,
ini buat lo,” jawab Alvin dan memberikan bungkusan yang lebih kecil.
“Gue dapet yang lebih
kecil nih? Gak adil,” gumam Zevana.
“Buka dulu baru
komen,” balas Alvin sabar.
Softlens. “Lo lebih
cantik tanpa kacamata Zev,” ucap Alvin. “Dan gue yakin Cakka juga berpendapat
sama.”
Zevana menatap
softlensnya. “Gue bantu makenya,” kata Alvin, menyadari kekhawatiran Zevana.
“Tapi gue harus cuci tangan dulu..”
***
Agni menuruni tangga
dengan gelas dalam genggamannya. Ia menoleh ke arah ruang tamu. Tadi bukannya
ada tamu? Zevana kemana? “Ze?” panggil Agni agak kencang.
“Dapur Ag!” seruan
Zevana membuat Agni menghembuskan napas lega. Ia kira Zevana diculik atau apa.
Langkah Agni yang
semakin mendekati dapur berhenti tiba-tiba. Mendadak napasnya tercekat. Ia
mematung melihat adegan di depannya. Sosok berhighlight yang ia kenali sebagai
Nathan, tengah menatap Zevana dengan intens. Wajah mereka yang berdekatan,
ditambah sebelah tangan Nathan mengangkat wajah Zevana membuatnya—entah
kenapa—tidak suka.
“Ag?” Zevana yang
beringsut ke arahnya membuat Agni tersadar. “Yang lo liat barusan bukan apa-apa
kok. Nathan ngasih gue softlens, dia ngajarin gue makenya. Gimana?” klarifikasi
sekaligus tanya Zevana.
“Eh.. Cocok kok. Lebih
cantik,” Agni mengacungkan jempolnya dan tersenyum. Pandangannya beralih pada
Nathan yang mengusap rambut barunya.
“Hai Ag. Sori gue baru
dateng. Gue minta maaf buat kekacauan kemaren. Gue gak nyangka bakal rame di
media,” ucapan Nathan terhenti, membiarkan Zevana undur diri dari mereka.
“Lo pasti
dikejar-kejar wartawan ya? Lo pasti bingung sama pertanyaan mereka. Sementara
kehidupan lo diusik sama mereka, gue malah diem di rumah. Tapi gue bukannya gak
ada niat minta maaf, gue dikurung di rumah,” Agni hanya menganggukkan
kepalanya. Ia tidak mempermasalahkan masalah itu.
Nathan berjalan ke ruang tamu dan memberikan
tas karton yang lebih besar. “Ini permintaan maaf dari gue, semoga lo suka dan
diterima,” ucapnya sambil tersenyum.
Agni meletakkan gelasnya
dan mengambil isi bingkisannya. “Jaket?” Ia membuka jaket itu. Lucu sekali.
Jaket putih dengan motif oranye dan abu-abu serta dua kuping di tudungnya
membentuk kucing. “Lucu banget,” kata Agni berbinar. Hal ini sukses membuatnya
lupa akan adegan tadi.
“Thanks ya. Gue suka
banget. Sebenernya gak perlu segininya,” kata Agni sungkan. Nama toko yang
tertera di bungkusnya membuat Agni merasa tidak enak. Ini dari butik yang
sedikitpun ia tidak berpikir untuk masuki. Mahal sekali.
Nathan meremas tangannya
sendiri. Mati-matian menahan dorongan untuk mengelus kepala Agni, atau bahkan
menarik gadis itu dalam pelukannya. Ia mengalihkan pandangannya.
“Nath,” panggilan Agni
membuyarkan keheningan yang berlangsung setengah menit sebelumnya. Nathan
menoleh. “Lo beneran Alvin? Alvin Jonathan personil CASS? Semua media bilang
begitu. Bahkan gabriel juga memuat berita tentang lo di buletin sekolah.”
Anggukan Nathan
menjawab semua pertanyaan Agni. “Jangan cerita ke orang lain, sebelum gue yang
klarifikasi sendiri,” mohon Nathan. Agni mengangguk dan berjanji untuk tidak
melakukannya.
“Tapi kenapa lo ngaku
bernama Nathan? Dan kenapa lo mendadak ilang dan diberitain udah meninggal? Lo ada masalah?” tanya Agni
perhatian. Melihat Nathan yang menunduk, Agni menyentuh tangan pemuda itu.
Nathan—karna Agni
sudah tahu, kita sebut saja Alvin—berbalik menggenggam tangan Agni. Ia ingin
bersandar di pundak Agni, bahkan untuk sebentar saja. Bebannya memang meringan
hari ini, tapi bukan berarti hilang.
“Audisi yang kemarin gimana?”
Mengerti maksud Alvin, Agni tersenyum lembut. Sepertinya ia bertanya terlalu
jauh.
Jawaban Agni tertunda
oleh bunyi bel. “Cakka?” seru Agni senang begitu membuka pintu. Lain dengan
Alvin, tubuhnya langsung menegang dan menatap pintu dengan napas tertahan.
“Hei,” Cakka mengusap
puncak kepala Agni. Gadis itu merona. Cakka terkekeh. Ia menyadari kehadiran
sepupunya, namun ia tidak peduli.
“Ntar malem ada
acara?” tanya Cakka, langsung pada tujuannya.
“Gak ada. Mau jalan?”
tanya Agni balik.
Cakka mengangguk.
“Tapi lo harus pake ini ya. Malem ini spesial banget soalnya,” Agni menerima
sodoran kotak Cakka. Spesial? Berarti dia juga spesial di hati Cakka? Agni
mencubit pipinya sendiri. Kedekatannya dengan sang idola terlalu membuatnya
melambung.
Cakka gemas sendiri
melihat Agni. “Lo gak mimpi kok. Selalu gitu deh tiap gue ajak jalan,” kata
Cakka, berakting sedih.
“Yah bukan begitu. Gue
kan..”
“Iya gue bercanda sih.
Jangan gak enakan gitu sama gue. Ntar jam 7 gue jemput ya. Yang cantik,” goda
Cakka, mengedipkan sebelah matanya.
Alvin yang tidak tahan
melihat kedekatan keduanya memilih pulang. “Gue duluan Ag,” pamitnya singkat.
Cakka menyeringai senang. “Gak perlu balik lagi,” desis Cakka santai, tepat
saat Alvin melewatinya. Pemuda itu mengabaikannya, dan terus berjalan hingga
mencapai mobilnya.
Selepas kepergian
Alvin, Agni mempertanyakan sikap Cakka barusan, “Lo sama dia kenapa sih?”
“Nanti juga lo tau,”
jawab Cakka. Tangannya mengusap lembut pipi Agni. Menatap manik mata gadis yang
dalam hitungan jam akan menjadi miliknya. “Gue gak akan biarin dia ngerebut kebahagiaan
gue lagi,” ucapnya serius.
Agni tertegun. Belum
pernah ia melihat Cakka yang seserius ini, bahkan di TV sekalipun. Apa yang
kedua pemuda ini sembunyikan?
***
“Lounge?” Agni
meragukan tempat ini. Memang sih kelihatan berkelas, tapi ia tidak menyangka
Cakka akan mengajaknya ke tempat ini. Pemberian Cakka yang berupa mini dress
biru membuat Agni semakin curiga.
Cakka meraih tangan
Agni, menggenggamnya. “Gue bersumpah gak akan ngapa-ngapain lo. Gak akan ada
yang mabuk di antara kita. Lo percaya kan sama gue?” yakin Cakka.
“Apa jaminannya?” Agni
tidak mau mengambil resiko. Apapun bisa terjadi di dalam sana.
“Lo bisa bunuh gue
kalo ada hal yang gak diinginkan. Sampe kita pulang nanti, gue jamin gak ada
yang berani nyentuh lo, seujung kuku pun.”
Melihat anggukan Agni,
Cakka langsung berlari memutar, membukakan pintu untuk calon pacarnya.
***
Agni berjalan dengan menundukkan
kepalanya, membiarkan Cakka membimbingnya entah kemana. Sejak tadi ia terus
ditatap aneh oleh seisi lounge. Apa ia tidak pantas ada di sini? Atau ia tidak
pantas bersama Cakka?
“Lo tunggu di sini
dulu ya, gue mau ke toilet bentar,” ijin Cakka. Agni menggeleng pelan, menahan
tangan Cakka yang hendak beranjak. “Jagain dia ya!” suruhnya pada mixologist
yang berada di dekatnya. “Bentar doang kok,” pamit Cakka kembali. Mau tak mau
Agni membiarkannya pergi.
Ia menatap sekeliling.
Tempat ini begitu mewah. Tidak heran yang berkumpul di sini artis-artis semua.
Lantai dansa masih kosong, dan musik yang mengalun masih musik klasik. Acaranya
belum mulai kah?
BLIP!
Gelap. Agni tidak bisa
melihat, atau bahkan mendengar apapun. Keheningan mencekamnya. Ia sampai
mencengkeram dressnya sendiri. Ketakutan. Bagaimana kalau ada sesuatu yang tak
diinginkan terjadi?
“Cakka..” panggilnya
pelan. Berharap pemuda itu segera kembali menjaganya.
Ia dengar derap
langkah mendekatinya. Agni beringsut ke bar. “Ini gue,” oh rupanya Cakka. Agni
mendesah pelan. Ia kira siapa. “Ikut gue,” ucap Cakka masih berbisik. Tidak
sempat Agni bertanya. Ia mengikuti pemuda itu yang menarik tangannya.
Sebentar. Ini naik
kemana? Kenapa ada tangga yang harus dilewatinya? Dan kenapa Cakka berhenti
tiba-tiba? “Ehem,” deheman Cakka langsung menyalakan lampu sorot ke arah mereka
berdua. Agni dapat melihat di hadapannya ada sebuah DJ Booth.
“Halo semuanya,” suara
Cakka menggema, menggunakan microphone yang ada di DJ Booth tersebut. “Thanks
udah dateng ke sini. Gue mau kalian jadi saksi pernyataan cinta gue, ke gadis
impian gue, yang gak pernah sekalipun gue lupain selama 7 tahun ini. Dia gadis
yang spesial, sangat spesial dan berarti buat gue malah.” Cakka menarik
napasnya, melirik Agni yang tercengang mendengarnya.
Cakka tersenyum
lembut, sangat lembut, hingga membuat Agni tersentuh. Ia menggenggam satu
tangan Agni, dengan tangan yang lainnya masih memegang microphone. “Well, Agni,
boleh kan gue jadi pacar lo?” tanyanya mantap.
Agni menatap Cakka,
melihat kesungguhan pemuda itu padanya. Ia ingin sekali berteriak dan bilang
‘ya’, tapi berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya. 7 tahun lalu, bukankah
itu saat dia amnesia? Siapa Cakka sebenarnya? Bagian masa lalunya kah?
“Ag,” panggil Cakka
khawatir. Jangan bilang Agni menolaknya. Ia sudah yakin akan diterima dan sama
sekali tidak berpikir untuk ditolak.
“Iya,” jawaban pelan
Agni membuat Cakka lega. Refleks, Cakka langsung memeluk gadisnya. Dia tidak
pernah sesenang ini sebelumnya. Satu impiannya sudah tercapai, maka tinggal mewujudkan
mimpi yang lainnya: hidup bersama Agni selamanya.
Berbagai seruan
selamat diabaikan Cakka. Ia sibuk mengelus rambut gadis yang mengaku malu
disoraki seperti itu. “Sebentar,” Cakka mengurai pelukannya dan kembali ke
microphone.
“Well, let’s the party
begin!” teriak Cakka, yang langsung menyalakan lampu serta musik, mengembalikan
keberadaan klub yang hanya muncul di malam hari.
Agni mencubit pipinya
sendiri. Rasanya seperti mimpi ditembak oleh sang idola. Tangannya bergerak ke
dada, merasakan detak jantung yang mulai tak normal. Pipinya merona, sama
sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. Cakka bilang dia spesial. Ah,
benarkah?
***
“Kalo gitu, perkenalkan,” Cakka mengangsurkan
tangannya ke Agni. “Cassanova Sakka Mahaputra,” lanjut Cakka bahagia. Agni
gadis pertama—selain keluarganya—yang mengetahui nama aslinya. Dan ia akan
pastikan hanya Agni yang tahu. Ia kan akan menikah dengan Agni, nanti, saat
mereka lebih dewasa.
Agni terdiam. Ia
seperti mengingat sesuatu. Rasanya ini déjà vu. Ia pernah mengalami ini
sebelumnya, ia yakin, dan entah kenapa hatinya jadi merindukan hal itu.
“Agni, jangan ngelamun
lagi. Lo kenapa sih?” tanya Cakka khawatir. Ia mengelus tangan Agni dan
mengecupnya.
“Kayaknya gue pernah
denger ini sebelumnya. Tapi gue lupa kapan dan dimana,” ucap Agni jujur.
Mendengarnya Cakka langsung menegang. Pernah? Berarti Alvin yang mengatakannya.
Sial! Kenapa Agni lebih ingat pada si pembawa sial itu dibanding dirinya?!
Cakka langsung
memasang senyum dan lebih rileks. Maaf Agni, kali ini dirinya harus
berakting. “Perasaan lo aja mungkin.
Udah sekarang gue anter pulang ya?”
***
“HAH?! AGNI JADIAN
SAMA CAKKA?! KENAPA LO GAK BILANG GUE!” histeris Rio. Ia tidak menyangka
secepat ini Agni melupakannya. Dan bagaimana bisa Cakka nembak Agni? Dia kan
baru kenal Agni sebulan!
Ify menggosok-gosok
kupingnya. “Ya gue mana tau Kak. Cakka cuma bilang mau bikin party. Mana gue
nyangka dia bakal nembak Agni disana,” balas Ify.
Pandangan sangar Rio
beralih ke Ray. Ia menunjuk wajah pemuda itu geram. “Lo kan deket sama Cakka!
Masa lo gak tau! Lo sengaja ya gak mau gue balikan sama Agni!” tuduhnya.
“Heh apa-apaan! Gue
gak deket sama Cakka, cuma kadang main bareng doang! Dia sendiri yang tau-tau
nembak Agni. Lo jangan nyalahin orang dong! Terima aja fakta kalo Agni udah
lupain lo, udah gak suka sama lo!” seru Ray kesal. Ia beranjak dari duduknya
dan segera pergi.
Ify berdecak melihat
kelakuan aneh kakaknya. Ia berjalan mengejar Ray. “Ray, maafin kakak gue ya. Lo
tau sekarang ini dia sensi banget kalo denger nama Agni. Apalagi denger Agni
jadian ama Cakka. Lo inget kan waktu mereka jadian aja Agni sering banget
muji-muji Cakka dan itu bikin Kak Rio gedeg setengah mati. Apalagi denger
keduanya jadian,” bisik Ify.
Ray memutar bola
matanya. Ia hapal mati bagaimana kisah Rio-Agni semasa jadian. Dia kan temen
curhat Rio yang paling dipercaya. Jadi gak perlu ngingetin dia gimana perasaan
Rio sekarang.
“Yaudah. Gue pulang dulu.
Lo kenapa gak bareng Septian, malah bareng gue?” tanya Ray, hampir lupa dengan
pertanyaan pentingnya sejak Ify minta jemput tadi.
“Oh. Gue udah putus
sama dia,” jawab Ify enteng. Ia memainkan kuku-kukunya, membuat Ray gemas.
Ray tersenyum
mendengar jawaban Ify. Dari seluruh mantannya Ify, Septian ini paling susah
diputusin. Kekeuh banget pertahanin hubungannya. Tapi Ray tidak mau tahu
bagaimana keduanya putus. Yang penting sekarang ia bisa jalan berdua sama Ify,
bebas tanpa harus digosipin.
“Eh, gue udah dapet
nomernya Debo loh! Ternyata dia scout talentnya XEnt. Gak jauh-jauh ya
ternyata. Gedung sebelah, hehe.. Gue kirain jauh,” celoteh Ify senang.
Ray yang semula sudah
senang malah drop lagi. Great. Kapan sih Ify mau mandang dia?
***
Kan kan kan ceritanya gaje -___-
untuk kelanjutannya saya juga gak tau yah, hehe..
kalo mungkin dilanjutin pun bakal dibuat part-part pendek, sekitar setengah atau sepertiga dari part ini.
tapi saya udah mandek ide, kelamaan gak nulis, udah lupa ide awalnya --"
thanks udah membaca dan komen, kritik, serta saran saya tunggu di fb/postingan ini :D