Saturday 25 December 2010 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 5

PART V


Ray tak tahu mengapa ia hanya bisa diam seperti ini di tempatnya. Sebagian dari dirinya ingin menyusul ify, tapi sebagian lagi menahannya untuk tetap di sini. Tapi untuk apa?

Ia melirik kepada gadis di sebelahnya yang sudah kembali menonton dan bersikap seolah tidak terjadi sesuatu barusan. Apa mungkin ia masih di tempatnya karna janjinya dengan oliv? Atau..

Buru-buru ray menghilangkan pikirannya barusan. Tak habis pikir mengapa bisa ia berpikir seperti itu. ia segera berdiri dan mengambil kunci motor. Tak mungkin ia menyusul ify yang sudah duluan dengan mobil. Bisa terlambat dia. dan mungkin ify akan semakin marah padanya.

“gue pergi dulu! urusan penting!” teriaknya pada oliv yang masih di kamar sementara ia sudah berada di depan pintu rumah.

“janji lo ray!” peringat oliv kencang.

Ray berdecak kemudian balas berteriak, “satu jam! Nanti gue balik lagi! gue gak pernah ingkar janji kan sebelumnya?”

Oliv tak menjawab lagi. segera ray menyalakan motornya dan melesat menuju rumah ify.
***
Ify melempar tasnya ke sofa, mengambil kaleng minuman dingin di dapur, kemudian membukanya dan meneguknya sampai habis. Kakaknya, rio, yang daritadi sudah berkutat dengan laptopnya mengerjakan tugas-tugas, tertarik dengan adiknya yang bertingkah tidak seperti biasanya.

“tumben jam segini udah pulang fy, biasanya malem,” kata rio basa-basi.

Ify menghempaskan badannya ke sofa dan memutar-mutar kaleng minumannya yang baru. “gak usah basa-basi deh kak! mau lo apa?” tanyanya super jutek.

Rio mendorong tangannya ke meja, membuatnya kursi yang didudukinya terhempas ke sofa. Ia melipat kedua tangannya di kepala sofa, tepat di belakang adiknya ini. “lo ada masalah?” tanyanya langsung.

“tumben lo peduli sama gue, biasanya agni terus yang ada di pikiran lo!” kata ify tanpa mengindahkan pertanyaan kakaknya barusan.

Air muka rio sedikit berubah mendengar nama itu. tapi ia lekas mengganti suasana barusan. “ray mana? Bukannya kalo lo ada masalah selalu cerita ke dia?” tanya rio melembut.

“justru masalahnya sama dia!” jawab ify penuh kekesalan. Ia melipat kedua tangannya dengan wajah ditekuk.

Rio menatap adiknya ini, ia baru sadar, kalau selama ini ify tak pernah membagi masalah dengan dirinya, yang ada, dia terus yang membagi masalah dengan ify. tangannya mengusap lembut kepala ify, seraya berkata, “cerita ke gue,” katanya singkat, tapi menyerupai perintah.

“gak usah! Cerita sama lo gak guna!” kata ify lalu beranjak ke kamarnya di lantai dua, meninggalkan rio yang terpaku oleh kata-katanya, yang baru sadar bahwa ia tisak berguna sama sekali menjadi kakak.

Rio kembali ke tempatnya, masih terpikir dengan kata-kata ify tadi. penolakan singkat, tapi cukup telak di hatinya. Sementara rio terus terpikirkan hal itu, deru motor yang dikenalnya berhenti tepat di depan rumahnya.

“kak rio! ify kenapa sih?” tanya ray buru-buru masuk ke rumah. Rio hanya mengangkat bahu.

“yang ada juga mustinya gue yang nanya elo kali! Lo apain adek gue, hah!”

“mana gue tau!” balas ray, beranjak ke kamar ify.

Ray mengetuk pintu kamar ify. “fy,” panggilnya. “buka dong. Lo napa marah-marah sih?” tanya ray bingung.

“masuk! Gak dikonci!” seru ify dari dalam.

Ray masuk perlahan dan melihat ke sekeliling kamar. Ify kenapa sih? kalau marah biasanya semua barangnya sudah berhamburan di lantai, tapi ini tidak. ray menjulurkan lehernya, melihat sedikit raut wajah ify yang membelakanginya. Normal kok, biasa saja. tadi tuh anak kenapa? kesambet?

“apa liat-liat?!” ketus ify.

Ray berjalan melewati ify, dan duduk di atas meja. “lo napa sih fy? Gaje banget tadi,” tanya ray heran.

Ify mengangkat bahu. Ia sendiri heran kenapa ia bisa bersikap diluar kesadaran seperti tadi. “kok gue gak pernah liat tuh cewek sebelumnya? baru kenal apa udah lama?” tanya ify cuek, sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Ray tersenyum dan mengambil bantal kecil di sebelahnya lalu melemparnya ke ify. “napa? Jealous?” godanya.

Ify mendengus kesal dan balas melempar ke arah ray. “gak! Cuma nanya! Napa? Dia beneran cewek lo?” tanya ify kembali.

Ray menghindar dan terus melemparkan bantal-bantal yang ada ke ify. “bukan kok! tenang aja, gue masih single and available! Oliv itu temen gue dari kecil, rumahnya aja sebelahan! Terus mama gue tuh temen mamanya, jadinya kita ikutan akrab gitu deh!” cerita ray.

Ify hanya manggut-manggut dan membulatkan mulutnya, tak lupa membalas serangan bantal dari ray.

“oliv itu sekolahnya beda sama kita. Dia sekolah di sekolah biasa, bukan kayak kita. Terus, dua bulan yang lalu tuh dia student exchange ke aussie,” lanjut ray lagi.

“tapi kita kenal udah beberapa tahun ray, aneh deh, masa sekalipun gue belom pernah liat dia?” tanya ify heran.

Ray cengengesan. “rahasia dong, hehe.”

Ify mengangkat alisnya. “tapi dia Cuma temen lo kan?” tanya ify memastikan.

Ray mengangguk dan berkata, “dia Cuma temen gue, dan gak lebih. Udahlah fy, kalo jealous bilang aja,” goda ray kembali.

Ify hanya manyun mendengarnya, sementara ray malah mengacak-acak rambutnya. “tadi lo ke rumah gue mau ngapain?” tanya ray kemudian.

Ify mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu, mencoba mengingat-ngingat. “lupa, hehe,” katanya cengengesan.

“jah!” ledek ray. ia melihat jam tangannya, kemudian menepuk keningnya. “mati gue fy! Gue balik dulu ya! udah terlanjur janji sama oliv sejam aja. Nanti hukuman gue nambah sama dia! dah!” katanya buru-buru lalu bergegas pergi.

Ify menatap kepergian ray dengan sebal. Sudah bagus moodnya kembali, tapi malah balik jadi buruk lagi. menyebalkan!
***
Ray menelan ludah melihat oliv sudah berdiri di teras rumahnya sambil terus melirik ke arah jam. Satu yang ada di pikiran ray, oliv sudah sepertinya istrinya saja yang nungguin dia pulang kemaleman! My god!

“satu jam, tiga belas menit, dua puluh tujuh detik! Lo telat tiga belas menit lebih! Mana yang tepatnya?!” omel oliv begitu melihat ray berhenti di depannya.

“yaelah liv, Cuma tiga belas menit aja lo repot deh. yaudah deh, gue tambahin permintaan lo satu lagi. mau apa neng geulis?” kata ray.

Oliv tampak berpikir, kemudian beberapa detik kemudian ia berseru dengan telunjuk teracung, “gue mau ikutin keseharian lo. anggep aja gue asisten lo! yah?”

Ray cengo. Hah? Jadi asistennya? Tidak salah? Ray meletakkan tangannya di kening oliv yang langsung ditepis oleh oliv sendiri. “wah, lo kesambet apaan liv di aussie?” tanyanya heran.

“apa sih?! udahlah, gue Cuma pengen tau aja keseharian lo. objek penelitian gue kali ini, hehe..” jawab oliv.

Ray tersenyum kecut. Jadi dia hanya objek penelitian? Menyebalkan!! “penelitian apa lagi liv? Perasaan penelitian mulu. Jangan kepinteran ah jadi orang,” kata ray, masuk ke dalam rumahnya dan oliv mengikuti.

“penelitian tentang keseharian artis muda, kesibukannya, sama pergaulannya. Tema yang gue usung sendiri tuh! soalnya gampang nyari objeknya! Kan ada elo ray, hehe..”

“he he he! Jadi lo manfaatin gue gitu? Buat berapa lama neng?” kata ray dengan tawa memaksa.

“emm.. mungkin tiga bulanan lah. lo tau kan kalo bikin makalah itu lama. Udahlah jangan banyak tanya! Pokoknya harus mau!” tegas oliv.

Ray memutar bola matanya. “terserah elo deh. gue ngantuk. Mau tidur. Balik sana ke rumah lo!” kata ray setelah menguap. Ia melompat ke tempat tidurnya dan memeluk guling.

Oliv menggerutu, tapi sedetik kemudian ia sudah ada di pinggir tempat tidur ray sambil menepuk-nepuk pipi ray. “yaudah. Night,” pamitnya dengan senyum manis.

Ray menunggu hingga oliv pergi kemudian berpikir. Oliv kenapa? aneh banget. kayaknya beneran kesambet pas di aussie deh. harus dibawa ke psikolog tuh. gak biasa-biasanya oliv jadi manis banget. hoammh. Ray menguap lagi, dan tak butuh waktu lama, ia sudah terlelap dalam mimpinya.
***
Zevana senyam-senyum sendiri melihat tingkah laki-laki di sebelahnya. Lucu sekali, sebentar-sebentar melirik ke belakang. “ada apa vin di belakang?” tanyanya berbisik, pura-pura tidak tahu.

“nothing,” jawab nathan cuek.

Haha. Tapi sepertinya kata ‘nothing’ itu sudah tak berlaku karna beberapa detik setelahnya ia kembali melirik ke belakang. “udahlah vin, gue bilang juga apa. Lo tinggal ngaku ke dia dan semuanya selesai! Gampang kan?”

Nathan tidak menanggapi. Ia sendiri bahkan sudah rindu sekali dengan gadis yang diliriknya terus daritadi. Ia menghela napas panjang, entah kapan ia baru bisa dekat dengan gadisnya itu.

“vin, lo jangan liatin dia terus napa. Usaha dong! Payah banget sih,” cela zevana.

Ya, untuk itu nathan benar-benar mengakuinya. Ia memang payah, pengecut, pecundang, dan sebagainya. Bukannya ia tidak mau usaha, tapi dia sama sekali tak punya nyali, ragu kalau kisahnya kali ini akan berakhir baik.

Karna setelah kematian aren ia sudah benar-benar takut untuk kembali menjalin sebuah hubungan. Trauma dengan pesakitan cinta yang dialaminya. Takut bila agni nanti lebih memilih cakka dibanding dirinya, takut bila semua yang ditakutkannya terjadi, bila sudah tak ada orang lagi yang mencintainya, dan semua rasa percayanya hancur berantakan.

“gak usah sok peduli sama gue! jangan ikut campur!” marah nathan, namun dengan suara pelan, karna masih ada guru di kelasnya dan ia tidak mau dipanggil hanya karna hal bodoh seperti ini.

Zevana terdiam. Ia tidak tahu mengapa nathan jadi kembali dingin padanya. Tempramen yang selalu berubah-ubah. Aneh. “yaudah sih vin, biasa aja. Gak usah marah gitu kali,” katanya kesal

Hening kembali tercipta di antara keduanya. Hanya ada suara lembaran halaman buku yang dibalik dan pulpen yang menari di atasnya. Zevana yang tidak betah diam-diaman sekaligus penasaran dengan nathan memberanikan diri bertanya, dengan suara yang amat pelan, “vin, emm.. lo rada aneh ya?”

“apanya?” tanya nathan. Walaupun terlihat tenang, tapi hatinya gelisah sekarang, khawatir bila yang ditanyakan berhubungan dengan kesehatan jiwanya.

“emm, itu, elo kan dingin banget awalnya, terus kemarin udah baek, udah mau senyum, tapi kok sekarang dingin lagi? terus, gue pernah denger lo ngomong sendiri di kelas. Lo gak ada gangguan jiwa kan vin?” tanya zeva takut-takut.

Nathan menggebrak mejanya dan menunjuk zevana tepat di wajahnya. “jaga mulut lo! jangan bicara sembarangan!” marahnya.

Semua pasang mata menatap nathan dengan pandangan bercampur, antara heran, bingung, takut, dan yang lainnya. Zevana sendiri sangat terkejut dengan reaksi nathan. Menakutkan. Nathan tampak tersinggung, apa benar yang ia duga?

“nathan! Berani-beraninya kamu berteriak saat pelajaran saya! Kamu tidak dengar saya mengajar ya?!” marah bu maria, yang sedang mengajar saat itu.

Nathan sudah kembali diam seperti tadi. pikirannya penuh dengan kecurigaan zevana. Jangan sampai semua orang curiga dengannya.

“nathan! Kamu dengar saya tidak?!” bu maria rupanya sudah mengomeli nathan sejak tadi tapi tak dianggap sama sekali. “sekarang kamu jawab pertanyaan ibu! Kalau kamu tidak bisa, jangan ikut pelajaran saya sampai semester berikutnya!” ancam bu maria.

Nathan mau tak mau mendengarkan guru itu bicara dan memberikan pertanyaan. Mulai dari pelajaran anak SMA sampai pertanyaan-pertanyaan luar biasa sulit, dan sampai pertanyaan musik. Dan sayangnya, semua pertanyaan dijawab benar oleh nathan, terutama tentang nada-nada musik, mau tak mau semua mendengarkannya menyenandungkan nada-nada tersebut.

Agni merasa familiar dengan suara nathan, serak basah dan sedikit berat, sangat khas anak laki-laki yang mengalami masa puber. Dan rasanya, ia pernah mendengarnya, bahkan sering sepertinya. Tapi siapa?

Agni menatap nathan yang memejamkan matanya dan masih menyenandungkan setiap nada yang disebutkan bu maria. Ia melirik sivia. tampak sivia begitu berbinar mendengarnya, dan kemudian ia teringat. “nada sempurna,” gumamnya pelan.

Ya, nada sempurna, salah satu khas keluarga CASS, menyebabkan mereka tak bisa jauh dengan dunia musik, atau lebih tepatnya, memang itu tempat mereka. tapi agni masih belum menyadari, siapa nathan sebenarnya, ia hanya merasa, kalau nathan salah satu anggota keluarga CASS.
***
Gabriel tak menyia-nyiakan waktunya begitu mendengar cerita sebagian temannya mengenai kejeniusan Nathan. Belum lagi dengan nada sempurna yang dimilikinya. Benar bukan dugaannya? Bahwa Nathan adalah Alvin?

Melihat orang yang dicarinya masih ada di kelas itu, ia langsung menghampiri dan bertamya tanpa berbasa-basi, “Nathan, lo.. Alvin kan?”

Nathan menoleh pada Gabriel yang tiba-tiba ada di depannya itu, bertanya tanpa sopan santun, dan ia mencelanya dalam hati. “Alvin? Siapa?” tanyanya balik.

“lo! Lo Alvin kan? Alvin jonathan? Salah satu anggota CASS, si jenius dengan nada sempurna? Harusnya lo sekarang kuliah kan? Bukan SMA lagi?” cerca Gabriel langsung.

Sivia yang baru kembali dari kelas lain segera membantah pernyataan Gabriel barusan yang didengarnya, “dia bukan Alvin. Alvin udah gak ada, dan jangan sebut-sebut nama dia lagi.”

Gabriel melirik sivia sinis. Tidak menyangka sivia dan shilla sama-sama bodoh dalam menanggapinya. Ia tidak akan pernah percaya bila seorang artis terkenal tiba-tiba menghilang tanpa jejak disaat ia baru naik daun dan dinyatakan meninggal begitu saja.

“kalo alvin udah gak ada dan meninggal, gue mau Tanya sama lo. Kenapa lo berempat bisa masuk sekolah ini bareng, di hari yang sama? Kenapa lo sama ashilla slalu bareng sama anak ini, kalo dia bukan siapa-siapa kalian? Terus kenapa dia punya nada sempurna dan bisa jawab semua pertanyaan bu maria? Padahal bu maria selalu ngasih soal tersulit, yang bahkan gak cocok untuk anak SMA? Lo bisa kasih penjelasan?” serbu Gabriel.

Sivia terdiam sejenak, dia butuh berpikir untuk menjawabnya. Memang, itu semua terlalu membuktikan bahwa Nathan adalah Alvin. Dan ia sekarang tidak tahu harus menjawab apa.

“gue Cuma beruntung punya nada sempurna. Dan kalo lo banyak baca, pasti lo bisa jawab semua pertanyaannya,” jawab Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang sedang dibacanya.

Gabriel mengangkat alis. “ohya? Tapi lo belum jawab pertanyaan gue tentang kedekatan lo berempat,” kata Gabriel, menyudutkan nathan.

“dia temen gue sama shilla,” jawab sivia, agak ragu.

“udahlah siv! Gak usah banyak ngeles deh lo! Mau lo gunain segala cara buat nutupin rahasianya, pasti akan kebongkar! Dan gue, yang akan mempublikasikan itu setelah gue ngumpulin semua bukti itu!” kata Gabriel tajam. Baginya, semua alasan yang dilontarkan sivia dan shilla sama sekali none sense baginya!

“terserah,” balas Nathan tidak peduli. Ia benar-benar tidak peduli kalau Gabriel mencoba membongkarnya. Toh selama ia berhati-hati pasti tidak akan ketahuan bukan?
***
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Nathan. “masuk,” kata Nathan. Tapi bukannya masuk, orang itu malah mengetuk pintu kamarnya terus. Dengan malas ia membukanya.

Belum ia melihat siapa orang itu, tiba-tiba ada yang memeluknya, “Alvin oppa! Dangsin I geuliwo keke (kak Alvin! Keke kangen kakak),” kata gadis itu yang rupanya bernama keke.

Nathan terkejut dengan gadis yang memeluknya ini. Setengah percaya kalau ini keke, adiknya, atau lebih tepat, adik tirinya.

“jo neun keke imnida, ne yodongsaeng(aku keke, adik kakak) ,” kata keke yang seakan mengerti jalan pikiran kakak tirinya.

Seketika wajah Nathan berubah cerah. “keke ssi? Nan ttohan dangsin I geuliwoyo, jal ji nae? (keke? Kakak juga kangen kamu, bagaimana kabarmu?)” tanyanya, melepas pelukan adiknya dan menatap adiknya.

“joheun, oppa eottae? (baik, kakak sendiri?)” jawab keke riang.

Baru Nathan akan menjawabnya, sebuah suara sudah berseru, menghentikan pembicaraan mereka, “keke ssi! Dangsin ui indonesi eoreul sayonghayeo! Yeogie Indonesia, hanguk eseo animnida! (keke! Gunakan bahasa indonesiamu! Ini Indonesia, bukan korea!)”

Keke cemberut dan mengangguk. Sementara Nathan terpaku dengan suara tersebut. Suara yang sudah sebelas tahun ini dirindukannya kini terdengar kembali. Tak mau menyia-nyiakan waktu, ia segera berlari ke ruang tamu, mencari si sumber suara.

Senyumnya mengembang begitu melihat seorang laki-laki tegap yang lebih tinggi darinya sedang menenteng koper masuk ke dalam. Untuk beberapa waktu Nathan hanya diam, memperhatikan sosok itu lekat-lekat, menunggu untuk dipanggil dan dipeluk,.

Sivia dan shilla yang menyambut laki-laki itu terlebih dahulu langsung mendapatkan pelukan hangat. “om excel! Kita kangen banget sama om! Udah lama banget gak ketemu!” seru shilla. Sivia mengangguk.

“papa,” panggilnya dengan senyum yang masih setia menunggu di wajahnya.

Sayangnya orang yang dipanggil papa itu tidak menyahut ataupun menoleh, malah memanggil keke. “pa,” panggil nathan kembali dan mendekat.

“pa, ini Alvin. Papa inget kan sama Alvin?” Tanya Nathan miris. Sebenarnya ia tidak mau bertanya seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Papanya sama sekali tidak bereaksi padanya, seperti menganggapnya tidak ada.

Pak excel sama sekali tidak menghiraukan Nathan, yang dengan sabar menunggu dan menantikannya selama sebelas tahun untuk dijemput kembali olehnya. “keke, papa istirahat dulu ya, capek. Kamu juga istirahat aja dulu,” katanya pada keke lalu beranjak pergi naik ke atas dengan keke yang mengikuti dari belakang.

“kak, ntar kita lanjutin ya. Papa gak suka dibantah. Nanti keke malah dimarahin lagi. Dah kakak,” bisik keke lalu melambaikan tangannya.

Sivia yang memperhatikan Nathan daritadi tersenyum pahit. Padahal tadi ia sudah nyaris menemukan kembali alvinnya, yang auranya selalu bersinar dan penuh dengan energi positif, kini sudah redup kembali, menjadi Nathan, yang auranya banyak negatif dan redup, gelap.

“om excel lagi perlu istirahat aja kok nath, entar juga dia ngomong sama lo kok,” kata shilla memberi semangat. Nathan tidak menanggapi dan malah kembali ke kamarnya dengan tatapan kosong. Ia terus terpikirkan dengan sikap papanya tadi, tidak menganggapnya.

Nathan mengunci pintu kamarnya dan merosot di baliknya. Awalnya ia sudah sangat senang sekali dengan papanya yang datang kembali untuknya, ia kira papanya akan memeluknya, merindukannya, menanyakan kabarnya, memintanya bercerita selama ditinggal sebelas tahun, dan segala macam hal, layaknya seorang ayah ke anaknya.

Tapi apa yang ia dapat? Ia malah tidak diacuhkan, tidak disapa, bahkan dilirik saja tidak. Apa salahnya? Apa papanya masih marah dengan dirinya? Bukankah semua itu kecelakaan? Dia yang masih berumur kurang dari lima tahun, dan tak tahu apa-apa? Tak mengerti dengan akibat dari perbuatannya? Masihkah papanya menyalahkannya?

“nath, sekarang kan lo udah ketemu papa lo lagi, jangan gini dong. Laki-laki kan harus kuat, masa lo dicuekkin dikit aja udah redup gini sih?” kata deva menyemangati, hadir tepat disaat Nathan berharap seseorang menyemangatinya.

“tapi papa udah beneran gak peduli sama gue. Dia gak pernah ngehubungin gue lagi sejak saat itu! Bahkan gue aja mau ngehubungin dia gak bisa! Dan tadi, dia sama sekali gak nganggep gue ada!” katanya frustasi.

“hei, lo gak mikir, kenapa dia bisa ada disini sekarang? Kalo dia gak peduli sama lo, ngapain dia balik ke rumah ini?”

Nathan terdiam. Ia tahu maksud deva. “dia masih peduli sama gue kan? Dia pasti balik kesini buat nebus waktu kita yang terbuang. Iya kan?” tanyanya semangat.

Deva tersenyum dan menepuk bahu Nathan. “gitu dong! Ohya, keke adek lo?” Tanya deva.

Nathan berdiri dan mengangguk. “adik tiri gue. Kenapa? Naksir?” godanya.

deva tersenyum malu-malu. “cantik. Manis juga. Coba aja gue bisa kenalan sama dia,” katanya.

“kenalan aja! Perlu gue panggilin?” tawar Nathan.

“nath, dia kan gak bisa liat gue,” kata deva menyadarkan Nathan. Nathan mendelik kesal pada deva. Selalu saja mengeluarkan pernyataan-pernyataan bahwa deva dan dea hanya khayalannya belaka.

“tapi tenang aja! Gue pasti akan kenalan sama dia. Suatu saat,” kata deva misterius. Nathan jadi bingung sendiri. Katanya khayalan, kok kenalan?
***
Nathan mencoba bersabar dengan sikap papanya yang masih tidak peduli padanya. Bahkan ini sudah malam, tapi papanya belum menyebut namanya sekali, bahkan selalu menganggapnya tidak ada di antara mereka, tidak mengajaknya berbicara.

Dan ia jadi iri dengan keke. Papanya peduli sekali dengan keke, ceritanya selalu tentang keke, bangga sekali dengan keke. “nanti om sama keke akan tinggal lagi di sini. Keke nanti sekolah bareng kalian ya, titip keke ya,” kata pak excel.

“Alvin pasti jagain keke kok pa,” kata nathan mencari perhatian.

Pak excel sama sekali tidak menggubrisnya, ia kembali melanjutkan ceritanya tentang prestasi-prestasi keke selama di korea. Sivia dan shilla yang daritadi terus diajak bicara oleh om mereka merasa tidak enak pada Nathan. Padahal mereka juga sudah berusaha mengajak Nathan ikut bicara, tapi tidak ada yang ditanggapi oleh pak excel.

“pa, Alvin ke kamar dulu ya,” pamit Nathan sambil berdiri. Tidak ditanggapi, ia langsung masuk ke kamarnya.

Keke yang menyadari atmosfir aneh yang berada di antara papa dan kakaknya itu memutuskan untuk menyusul kakaknya. “kak,” panggil keke pelan sembari mengetuk pintu kamar kakaknya.

Terdengar suara teriakan-teriakan frustasi dari dalam kamar itu, penuh dengan bentakan dan kepedihan. Keke mundur perlahan dari kamar Nathan. Apa ia tidak salah dengar? Kakaknya terdengar sedang membentak seseorang, tapi siapa? Apa ada orang lain lagi selain mereka?

“udahlah deV! Gak usah sok ngasih gue harapan! Percuma! Gak ada yang pernah nganggep gue! Gak usah ngasih gue harapan yang mustahil! Gue gak mau disakitin lagi untuk kesekian kalinya!” teriakan Nathan membuat keke bergetar ketakutan, seluruh bulu kuduknya merinding mendengar teriakan itu.

“dan lo de! Gue tau gue penyebab mama gue meninggal! tapi itu bukan salah gue! Waktu itu gue Cuma anak lima tahun yang gak ngerti apa-apa! Please, jangan salahin gue terus.. gue capek disalahin terus.. gue capek disudutin, jangan salahin gue,” teriak Nathan yang berangsur menjadi permohonan.

Keke semakin takut mendengar ucapan kakaknya itu, begitu menyedihkan.. dan penuh keputusasaan. Apa yang sebenarnya terjadi pada kakak yang sudah tiga tahun tidak dijumpainya ini?

Keke mendekatkan telinganya ke pintu, mencoba mencari suara kakaknya yang tiba-tiba hilang tak berbekas. Ia merosot, duduk menyender di pintu yang terkunci itu, setelah mendengar suara tangis kakaknya. Tangis yang berusaha diredam sebisa mungkin, tapi malah terdengar cukup kencang, atau setidaknya keke masih bisa mendengarnya.

Ia tak tahu dengan keadaan kakaknya. tiga tahun ia tidak diijinkan oleh sivia dan shilla untuk datang menemui kakaknya, tidak diberi kabar sama sekali. Ia tidak mengerti dengan kakaknya, semuanya berubah. Awalnya ia mengira ini hanya sedikit perubahan kakaknya, tapi salah, semuanya berubah, bahkan sivia dan shilla memanggil kakaknya dengan sebutan Nathan, padahal kan kakaknya jelas-jelas bernama alvin. ada apa sebenarnya?

Shilla yang berniat mengecek keadaan Nathan mengurungkan niatnya begitu melihat keke terduduk di lantai. “keke? Kamu ngapain disini?” tanyanya, membantu keke berdiri.

“kak alvin kenapa kak? Tadi kak alvin teriak-teriak, terus sekarang nangis. Sebenernya kak alvin kenapa kak? Kenapa kakak sama kak via manggil kak alvin Nathan?” tanya keke.

Shilla menghela napas pelan. “kamu tanya kak via aja ya, kak shilla mau bicara sama kak alvin dulu,” kata shilla.

Keke mengangguk dan berjalan kembali ke ruang keluarga, mencari sivia, mencari jawaban atas seluruh pertanyaan di kepalanya. Shilla yang melihat keke sudah hilang dari pandangan segera mengetuk pintu kamar Nathan.

“nath, buka. Kita harus diskusiin hal ini,” kata shilla.

Nathan membukanya, dan shilla langsung masuk ke dalam, tak lupa mengunci pintunya kembali. “gue ngerti sama keadaan lo, tapi keke sama papa lo? lo mau mereka tau?” tanya shilla to the point. Nathan hanya menggeleng.

“kalo gitu jangan tunjukkin di depan mereka dong. Tadi keke denger lo kumat lagi. Gue nemuin dia udah ketakutan. Gue tau ini semua berat banget buat lo, tapi lo bisa kan, nahan semua itu? seenggaknya jangan sampai mereka tau? Itu kan mau lo?” kata shilla lembut.

Nathan menjawab dengan anggukan. Tatapannya kembali kosong, seperti yang sering ditemui shilla sebelumnya. Shilla mengulurkan tangannya, mengusap bahu Nathan, dalam hati terus berdoa dan berharap, semuanya akan kembali seperti sedia kala. Ia tak tega melihat Nathan terus-terusan seperti ini.

Shilla segera meninggalkan Nathan sendirian begitu mendengar om excel memanggilnya.
***
Nathan mencoba mempertahankan senyumnya di hadapan papa dan adiknya. “pagi pa,” sapanya. Seperti yang sebelumnya, tidak ditanggapi. Segera Nathan menghapus raut kecewanya.

Nathan tidak dapat melepaskan pandangannya dari papanya. Ia ingin merasakan kehangatan seorang ayah lagi, seperti dulu, bukannya didinginkan seperti ini. Haruskah ia bilang pada papanya akan penderitaannya selama lima tahun terakhir? Tidak, tidak mungkin. Ia tidak mau dianggap lemah oleh papanya sendiri, meski kenyataannya seperti itu.

Jadilah selama beberapa hari ini ia hanya bisa melihat keakraban papanya dan keke. Iri? Jelas, Tapi ia selalu menepisnya. Tawa lepas papanya yang sudah lama ia tak dengar mengalir begitu saja bila sedang bersama keke, bercanda dan tampak begitu bahagia, tanpa dirinya..

Sering ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar tidak diharapkan? Apakah waktu itu papanya memang membuangnya? Dan apakah benar dugaannya, selama dia di sini, di Indonesia, papanya sama sekali tidak pernah menanyakan kabarnya? Atau paling tidak memikirkannya? Sepertinya memang iya.

Nathan terus-terusan menatap iri kedekatan papanya dengan keke, dan saat itu ia mulai berandai-andai. Andaikan dia yang ada di posisi keke, pasti dia akan senang sekali, andaikan dia bukan penyebab kematian mama dan mama tirinya, pasti ia akan hidup bahagia sekarang, dengan kasih sayang lengkap dari kedua orangtuanya. Dan andaikan.. andaikan mamanya masih ada, pasti setidaknya ia masih punya sedikit pengharapan, punya sedikit motivasi, untuk membuatnya tetap kuat dan tegar, bukannya lemah dan tak berdaya seperti ini.

Tapi Nathan kembali disadarkan dengan kenyataan. Itu semua hanya pengandaian, sesuatu yang sudah terlambat dan tak akan mungkin terjadi. Yang dulu selalu membuatnya percaya pada setitik harapan, namun akhirnya harus terjatuh pada lubang yang sama. Sesuatu yang tak akan mampu ia perbaiki, dan yang harus ia kubur dalam-dalam. Karna pengandaian hanya akan membuatnya semakin terpuruk, dan menjatuhkannya pada setiap lubang yang ada.

“pa, alvin mau ngasih ini ke papa. Di dalamnya semua murni buatan alvin. alvin belum pernah publikasiinnya, sampai papa tahu dan denger semuanya,” kata Nathan, menyerahkan sebuah flashdisk biru ke papanya yang sedang bercanda dengan shilla, sivia, dan keke.

Semua langsung menatap Nathan, terkecuali pak excel. Dia sama sekali tidak peduli dengan Nathan, terserah mau berbuat apa, asal tidak merusak kehidupannya lagi.

Nathan tersenyum tipis, meski setitik air bening tersembunyi di balik pelupuk matanya, menunggu untuk ditumpahkan, dan ditahan untuk beberapa saat. Ia meletakkan flashdisknya di atas meja. “alvin Cuma mau papa dengerin isinya. Kalo papa gak suka papa boleh buang. Tapi please, papa denger dulu. Setelah itu terserah papa,” kata nathan, yang lebih menyerupai permohonan. Nathan segera beranjak ke kamarnya, melihat tidak ada reaksi yang berarti dari papanya.

Miris sekali. Masa ia harus memohon dulu pada papanya? Benarkah hubungan antara ayah dengan anak seperti ini? Detik selanjutnya Nathan langsung menyadari nasibnya. Bahkan pada papa kandungnya saja ia sampai mengemis perhatian. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk menderita. Ya, untuk menderita.
***
Nathan menatap kosong novel yang sedang dipegangnya. Rasanya tak konsen untuk membaca. Pikirannya penuh dengan masalah ia dan papanya. Sampai ia tak menyadari, kalau ada seseorang yang duduk di sebelahnya.

“jangan ngelamun, nanti kesambet,” nasehat orang itu.

Nathan tersadar dan melihat orang itu, agni rupanya. Ia kembali mengalihkan pandangannya. Tak bisa ia memikirkan hal lain-termasuk agni-selama masalahnya dengan papanya belum membaik.

“lo pendiem banget sih? Suka menyendiri ya?” tanya agni, setelah beberapa hari ini melihat Nathan selalu sendirian di bangku taman belakang sekolah.

“lo kayaknya banyak pikiran ya? Ngelamun terus sih,” kata agni lagi, tidak mempedulikan diamnya yang diajak bicara.

“kalo ada masalah lo bisa cerita ke gue. Emang sih kita baru kenal, gak pernah kenalan langsung malah, ngomong juga Cuma sekali doang, tapi lo bisa percaya kok sama gue, gue gak akan ceritain ke orang lain,” kata agni lagi.

Nathan menatap agni. perkataan yang mirip dengan awal kedekatannya dengan agni dulu. ‘alvin pendiem ya? Kata zeze, kalo pendiem berarti banyak masalah. Alvin cerita aja ke agni. biarpun baru kenal, alvin bisa percaya sama agni kok. Agni janji gak akan cerita ke orang lain, termasuk zeze dan cakka. Jadi rahasia kita berdua aja, gimana? Agni gak mau ngeliat alvin banyak masalah.’

Senyum terulas di bibirnya. Bahkan setiap detik yang dilaluinya bersama gadis ini selalu diingatnya dan terukir manis dalam hatinya. Nathan mengalihkan pandangannya, sebenarnya ia ingin berlama-lama menatap gadis ini, tapi itu akan membuat orang lain yang melihatnya curiga.

“bukannya gue mau ikut campur ya nath, tapi gue gak suka aja ngeliat orang lain nyimpen banyak masalah. Terutama..” ucapan agni terputus. Ia berpikir keras, terutama siapa? Mulutnya ingin menyebutkan sebuah nama, tapi siapa? Kata itu terputus begitu saja.

“terutama siapa?” tanya Nathan, menunggu.

Siapa? Siapa? Siapa? Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya. Ia berusaha memanggil kembali memori-memorinya, tapi nihil, tidak bisa.

“cakka?” tanya Nathan kembali. Agni menggeleng. Bukan, bukan cakka. Dia ingat dengan seseorang, tapi lupa. “dia pasti orang yang beruntung ya? Diperhatiin sama lo,” kata nathan kemudian, pelan.

Agni menatap Nathan aneh. Entahlah, ada sesuatu yang semakin menariknya pada laki-laki ini. Ada yang berbeda. Sesuatu yang lain daripada yang lain, membuatnya semakin penasaran dengan sosok Nathan, yang temperamental.

“lo siapa sebenernya?” tanya agni tidak sadar. “lo bukan Nathan. Lo siapa?” tanyanya kembali.

Mata Nathan melebar, kemudian menatap agni tepat di manik matanya. “maksud lo?” padahal hatinya sudah kacau balau dengan pertanyaan barusan, mengaduk semua perasaannya.

“apa?” tanya agni setelah sadar sepenuhnya.

Nathan mengalihkan pandangannya lagi dan berkata, “nothing.” Sepertinya pendengarannya tadi sedikit salah. Benar, salah. Mana mungkin agni yang lupa ingatan tiba-tiba ingat dengan alvin? rasanya tidak mungkin kalau belum ada yang mengungkitnya.

Agni heran sendiri. “tadi gue ngomong apa sih?” tanyanya lagi.

Nathan mengangkat bahu, kemudian beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan agni yang masih bingung sendirian.
***
Nathan masuk ke kamar papanya. Ia ingin bicara dengan papanya, mengutarakan pertanyaan dan pernyataan yang selama beberapa lama ini bersemayam di kepalanya.

“pa,” panggil Nathan pada papanya yang tampak sibuk membaca sesuatu. “pa, alvin kangen sama papa. Papa gak kangen sama alvin?” tanyanya, terus menatap lekat papanya dengan harapan papanya akan sadar.

“pa, kenapa papa ninggalin alvin sebelas tahun yang lalu? Kenapa papa gak jemput alvin lagi? Dulu papa bilang kalo alvin baik-baik aja papa akan jemput alvin lagi. Alvin gak nakal kok, tapi kenapa papa gak jemput alvin?”

“alvin terus nungguin papa, alvin selalu jaga sikap, selalu berprestasi, buat buktiin ke papa kalo alvin bisa dibanggain dan baik-baik aja. Sampe akhirnya kemaren alvin sadar.. pa, papa gak ngebuang alvin kan?” ungkap alvin miris.

Pak excel diam saja, masih bergeming dengan tatapan terfokus pada buku bacaannya, meski aslinya ia sulit untuk menahan diri membalas perkataan anaknya ini.

 Nathan tetap setia menunggu balasan papanya. Akan ia tunggu. Dia ingin dianggap, ingin diaku, apa itu salah? Apa itu tidak boleh? Masih tidak sukakah papanya padanya? Bukan, bukan tidak suka, tapi benci. Ya, benci, masih bencikah papanya padanya?

“pa, alvin tau alvin penyebab mama meninggal. Tapi alvin masih kecil pa waktu itu. alvin belum tau dan belum ngerti. Alvin minta maaf, kalo papa emang masih nyalahin alvin. tapi alvin mohon pa, jangan benci alvin. alvin kan anak papa, papa pasti maafin alvin kan?”

Pak excel membanting bukunya dan menatap Nathan tajam, penuh rasa benci dan tidak suka. Nathan terkejut, ditambah dengan tatapan benci papanya. Ia takut, bahkan papanya sendiri benci padanya. Dirinya yang darah daging papanya, yang harusnya disayang malah dibenci seperti ini, dia harus kemana agar tak melihat orang-orang yang membencinya?

Pak excel menunjuk tepat di wajah alvin dengan perkataan menuduh dan menyangkal, “kamu bukan anak saya! Kamu Nathan! Dan anak saya alvin! alvin udah gak ada! Dia udah meninggal bersama dengan kematian istri saya! Jadi saya harap kamu tidak memanggil saya dengan sebutan papa! Saya tidak mau punya anak seperti kamu! Kamu pembunuh! Kamu udah buat istri saya meninggal! Keluar dari kamar saya!” bentaknya.

Nathan mundur beberapa langkah. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia tidak diaku anak? Bahkan dirinya dianggap sudah meninggal? Ia tidak boleh memanggil papanya dengan sebutan papa? Jahat!

Nathan melangkah cepat ke kamarnya, meninggalkan pak excel yang memandang kepergiannya dari sudut mata, sepenuh hati menyesal mengatakannya.
***
Nathan membanting dan mengunci pintu kamarnya, menahan air mata yang sudah tergenang di pelupuk matanya. Ucapan papanya masih terngiang di telinganya, begitu menyesakkan dan menyakitinya.

Padahal selama sebelas tahun ini dia sudah menunggu dengan sabar, berharap papanya akan kembali dan baik lagi padanya. Tapi apa yang ia dapat? Semua penantiannya berujung kesakitan. Bukan hanya penolakan, tapi ia dianggap orang lain, dan dirinya yang sebenarnya malah dianggap sudah meninggal.

Padahal nama Nathan itu tidak berlaku untuk papa dan adiknya, karna ia ingin tetap menjadi alvin, bagian dari keluarga mereka, yang tentunya masih hidup dan selalu menanti kebersamaan dari keluarga.

Sekarang ia harus bagaimana? Papanya saja bahkan tak mau dipanggil papa olehnya, tak mau mengakuinya. Sepertinya papanya berpendapat sama dengan yang lain, ia hanya pembawa sial, tidak berguna, dan tidak penting. Apa papanya takut ia melukai salah satu dari mereka, hingga ia dianggap sudah mati?

Kenapa papanya tega berkata seperti itu? apa papanya tidak merasakan luka sepertinya? Ditambah dengan bentakan dan tatapan benci itu, ia sungguh takut. Tak dapat ia temukan lagi sosok papanya, yang baik, yang sayang padanya. Menyedihkan.
***
Kini, setiap Nathan berpapasan dengan papanya, atau berada di ruangan yang sama dengan papanya ia hanya diam. Menghindar untuk dibentak lagi, meski rasanya ia tidak tahan untuk memeluk papanya. Apa papanya tidak tahu kalau ia sangat sangat merindukannya? Haruskah ia kembali menahan rasa rindunya ini? Padahal orang yang dirindukannya jelas-jelas ada di depan matanya?

Belum lagi ia terus-terusan mendapat pemandangan yang membuatnya iri setengah mati, sikap hangat ayahnya kepada keke, yang tak didapatkannya sama sekali. Padahal sewaktu papanya datang, ia sudah membayangkan akan mendapatkan kehangatan seorang ayah, bisa berbagi masalahnya, mencari solusi bersama, dan kembali menjadi alvin. papanya akan menyemangatinya, memotivasinya, mendukungnya, mengajarinya untuk tegar, dan perlakuan-perlakuan lain, layaknya seorang papa ke anak laki-lakunya.

“keke seneng gak di sekolah?” tanya papanya, kedua tangannya melingkar di leher keke, di halaman belakang.

Keke mengangguk. “seneng kok. Ohya pa, keke denger dari kakak-kakak kelas, katanya kak alvin pinter banget loh. Keke bangga deh punya kakak kayak kak alvin. papa juga kan?” tanyanya sambil tersenyum, bangga sekali tampaknya dengan kakaknya.

Pak excel diam, tak menjawab, padahal Nathan sangat berharap papanya itu tersenyum atau setidaknya mengangguk. “ke, nanti keke gak usah panggil kak alvin lagi ya? Panggil kak Nathan aja,” kata pak excel.

Keke melepas tangan papanya dan berbalik menatapnya, sedikit marah. “kok papa sama sih kayak yang lain?! Pokoknya keke gak mau! Dia kakak keke, kak alvin! keke gak punya kakak yang namanya Nathan! Keke punyanya kak alvin!” teriaknya marah.

“keke! Kamu jangan sebut nama alvin lagi di depan papa! Alvin udah gak ada! Dia yang nyebabin mama meninggal ke! Pokoknya kalo papa denger kamu manggil dia alvin lagi, papa gak mau peduli lagi sama kamu!” ancam pak excel.

Baik keke maupun Nathan terkesiap. Berarti papanya memang masih menyalahkan kakaknya, alvin, sebagai penyebab kematian mamanya. Padahal ia saja sudah memaafkan alvin dan menganggapnya sebagai kecelakaan.

“pa! kenapa sih papa masih dendam sama kak alvin?! keke aja udah rela kalo mama ninggalin keke! Kenapa papa enggak sih?! Papa kan papanya kak alvin! harusnya papa bisa maafin kak alvin dong! Keke kecewa sama papa!” setelah membela kakaknya, keke berlari masuk ke rumahnya.

Tiba-tiba tangan keke tertahan saat melewati pintu belakang. “minta maaf sama papa. Kamu gak boleh nentang papa, papa sayang banget sama kamu. Jangan bikin papa kecewa. Ayo minta maaf,” bujuk Nathan.

Keke menggeleng. Apa sih yang dipikirkan kakaknya ini? Sudah bagus dibela juga! “kak, keke gak ngerti, kenapa papa segitu dendamnya sih sama kakak? Keke aja udah maafin kakak, tapi kenapa papa enggak? Pokoknya keke gak mau manggil kak alvin dengan sebutan Nathan! Keke Cuma mau kak alvin!”

“masalah kami biar kami yang selesaiin, kamu gak usah ikut campur. Kakak Cuma pesen, kamu nurutin maunya papa, karna papa gak punya siapa-siapa lagi selain kamu,” kata Nathan lalu berlalu ke kamarnya.

Keke diam tak mengerti. Apa maksud kakaknya dengan kalimat terakhirnya? Papanya punya kakaknya! kak alvin! kenapa juga tidak memiliki siapa-siapa? Rumit sekali masalah antara papa dan kakaknya.
***
“kenapa kak?” tanya keke begitu ia masuk ke kamar kakaknya. tumben sekali kakaknya memanggilnya.

“kakak mau denger cerita kamu tentang papa selama tiga tahun terakhir ini,” kata Nathan.

Keke duduk di hadapan kakaknya, kemudian dengan semangatnya bercerita tentang papanya. Semuanya.

Tuh kan. Dugaan Nathan tepat. Pasti papanya tak pernah menanyakannya, tak mengkhawatirkannya, juga tak menganggapnya masih hidup. Buktinya dalam cerita keke-yang begitu lengkap dan detail-ia tak menemukan cerita papanya yang mengkhawatirkannya.

“papa pernah nanyain kakak?” tanya Nathan akhirnya. Keke menggeleng pelan. Ia baru tahu maksud kakaknya menyuruhnya bercerita. Nathan kembali merenung, seperti biasanya.

“kak, kakak kok aneh sih? Diem banget? Gak senyum-senyum lagi? Kakak ada masalah? Pasti masalah kakak sama papa ya? Nanti keke bujuk papa deh ya,” kata keke khawatir.

Nathan masih diam, kemudian tiba-tiba ia berkata, “gue capek dev, kalo kayak gini sama aja bunuh gue pelan-pelan,” yang cukup membuat keke merinding.

“kak, kakak ngomong sama siapa?” tanya keke takut.

“kalo gue emang pembawa sial, kenapa gue gak mati aja? Kenapa gak ada yang nyoba bunuh gue? Kenapa mereka nyiksa gue begini? Gue gak kuat, gue terlalu lemah buat ngadepin ini semua,” ungkapnya, memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya. Sepertinya tak sadar dan lupa bahwa keke bersamanya.

“kak alvin!” seru keke sambil mengguncangkan bahu alvin.

Alvin tetap bergeming. “kenapa harus gue yang ngerasain ini semua? Kenapa gak yang lain aja? Udah cukup gue gak dianggep sama orang luar, kenapa papa juga nganggep gue udah mati? Apa salah gue? Kenapa gue menderita banget?” lirihnya.

Keke keluar dari kamarnya dan mencari shilla atau sivia. Siapa saja, terserah! Yang penting ada yang bisa menyadarkan kakaknya. begitu melihat sivia sedang menuruni tangga, keke langsung menariknya ke kamar alvin.

Sivia buru-buru menyuruh keke keluar. “kamu keluar ya ke, biar kakak yang ambil alih,” setelah itu sivia langsung berkata, “nathan! Sadar nath! Ada keke disini! Nathan!”

Seruan sivia membuat Nathan mengangkat kepalanya, namun tatapannya masih kosong. “pergi lo semua! Jangan ganggu gue!” usirnya pada sivia dan keke, dengan pikiran yang tak ada pada tempatnya.

Sivia segera mengajak keke keluar dan menutup pintunya. “kak, kak alvin kenapa? kak alvin gak gila kan?” tanya keke khawatir bercampur takut.

“hush! Gak boleh ngomong gitu! Dia gak papa, Cuma..” kata-kata sivia terputus.

“Cuma apa kak?” tanya keke penasaran.

Sivia mengulas senyum. “Cuma ada sedikit masalah aja,” katanya yang dibalas dengan anggukan pengertian keke.

Tidak mungkin ia memberitahukan keadaan Nathan yang sebenarnya. Bisa shock nanti keke. Mending bila shock, tapi kalau sampai ketakutan pada kakaknya sendiri bagaimana? Kalau Nathan dijauhi oleh adiknya sendiri bagaimana? Bisa semakin parah nanti sakitnya Nathan.

Penjelasan bisa nanti. Yang penting keke harus dijauhkan saat Nathan kumat! Karna gak menutup kemungkinan, kalau keke jadi korban amukkan Nathan, seperti dirinya dan shilla.