Nathan menghela napas
panjang berkali-kali. Pikirannya banyak sekali, terlalui banyak malah untuk
seusianya. Padahal harusnya ia sekarang menikmati masa mudanya yang penuh
dengan kesenangan, menikmati masa-masa keindahan cintanya, pencarian jati diri,
dan banyak mencoba hal-hal baru layaknya remaja lain.
Tapi tidak untuknya, ia
sudah mendapatkannya beberapa tahun yang lalu, kedewasaan yang tumbuh lebih
cepat dalam dirinya, membuatnya selalu menjadi yang pertama dalam merasakan
segalanya. Dan sekarang, ia sudah merasakan penderitaan yang sangat berat,
tidak terlalu awal kah?
Bahkan kalau ia bisa
memilih, ia tak mau menjadi jenius, tidak mau cepat dewasa, dia mau
merasakannya bersamaan dengan yang lain. Tapi mau bagaimana lagi, mamanya
menurunkan kepintaran luar biasanya pada dirinya. Dan jadilah ia selalu
melompati kelas, hingga harusnya ia tak lagi menjadi seorang anak SMA,
melainkan mahasiswa yang setahun lagi akan lulus.
Ia tahu maksud baik
sivia dan shilla, membuatnya menjadi anak biasa, sekaligus menyelesaikan
masalah masa lalunya. Tapi entahlah, rasanya ia takkan sanggup menyelesaikan
semua masalahnya, terlalu rumit dan berkesinambungan. Ia bingung, harus memulai
dari mana semua ini.
Aren yang baru muncul
dan melihat Nathan memejamkan matanya tersenyum. Ia mendekat, menatap laki-laki
yang dulu sempat menjadi pujaan hatinya, idolanya, sekaligus orang yang
dikasihinya. Meski Nathan sudah berkali-kali menyuruhnya memanggil Nathan bukan
Alvin, ia tak akan pernah mau. Yang dihadapannya ini, masih tetap alvinnya,
yang memakai topeng seorang Nathan.
Berulang kali ia
berkata pada Nathan, kalau Nathan harus mengakui, dirinya takkan pernah bisa
menjadi Nathan, karna ia selamanya seorang Alvin. Dan tak mudah untuk merubah
kepribadiannya. Tapi, mau sebanyak apapun dia berkata seperti itu, Nathan tak
akan pernah mendengarnya.
“vin, lo harus
ngilangin trauma lo. Percaya sama gue, kalo lo berusaha buat dapetin cewek itu
lagi, nasib lo akan berubah. Dan kisah lo sama dia gak akan berakhir kayak
kita,” kata aren lembut.
Nathan menggeleng. “gak
bisa ren. Gue gak sanggup kalo dia juga ngalamin hal yang sama kayak lo semua. Kalo
sama gue, semuanya akan sama, gak akan ada yang baik. Lebih baik dia sama
cakka,” katanya pasrah.
“vin, jangan pasrah
gini dong. Lo sebenernya gak rela kan kalo dia sama cakka? Ayolah vin! Status
lo sama dia tuh lebih dari sekedar sahabat! Gue yakin, walaupun dia amnesia,
dia masih nungguin lo, buat nemenin dia lagi vin!” kata aren menggebu-gebu.
Nathan membuka matanya
dan menatap aren. “lo tau ren? Waktu lo ngdeketin gue, nyari perhatian gue,
nembak gue, gue gak yakin, gue belom bisa ngilangin trauma gue dari acha,
silvia, sama nandya. Tapi lo dengan yakinnya bilang kalo lo bisa ngilangin
trauma itu, dan kisah kita gak akan sama. Hampir sama dengan yang lo bilang
sebelumnya,” nathan menarik napas.
“lo dengan gencarnya
masih berusaha kasih motivasi ke gue, sampe akhirnya gue luluh sama lo. Tapi
apa ren? Nasib lo sama kayak mereka! Dan bagi gue semuanya udah cukup! Lo gak
tau kan? Gue trauma berat ren! Semua yang gue sayang ninggalin gue. Dan gue gak
mau dia juga ninggalin gue! Lebih baik gue sakit hati daripada dia harus jadi
korban gue lagi.”
Aren terdiam untuk
beberapa detik, menyusun memorinya. “tapi seperti yang gue bilang dulu vin,
semuanya gak akan selalu sama! Kita gak tau takdir kita! Siapa tahu lo emang
Cuma buat dia? Ditakdirin buat dia? Dan mungkin itu salah kita berempat, udah
ngebuat lo ngelanggar janji lo ke dia, dan semuanya berakibat fatal ke kita
berempat! Itu salah kita vin! Dan lo, sebaiknya deketin dia, gue yakin vin,”
aren segera menghilang sebelum nathan membantah perkataannya kembali.
Nathan sendiri masih
sama seperti kemarin ini, masih bimbang. Ia khawatir bila semuanya akan
berakhir sama. Gadisnya itu terlalu baik, sama sekali tak pantas untuk menjadi
korbannya. Tapi ia berpikir, apa benar kata aren? Itu semua terjadi karna ia
mengingkari janjinya? janji kesetiaannya dengan gadis itu?
***
*
“excel! Ini gak baik
sama sekali untuk Alvin! Kamu kelewatan! Jangan egois! Alvin masih kecil, kamu
harusnya maafin dia! ini udah takdir kamu excel, kamu gak bisa ngelak! Meskipun
kamu tinggalin dia, semuanya gak akan bisa kembali lagi!” langkah cakka yang
sedang berlari segera terhenti di depan pintu studionya.
Ia melihat ke lubang
kunci dengan berjinjit. Ada papa dan mamanya, om excel, tante winda, om duta,
tante ucie, dan om joe. Tampak wajah mereka tegang. Ada apa?
Cakka yang tertarik
sekaligus penasaran dengan nama sepupunya yang disebut-sebut, berniat
menguping. “aku gak peduli kak! Dia harus terima hukumannya! Kenapa? Gak ada
satu dari kalian yang mau ngurus dia? Gampang! Aku akan bawa dia ke panti
asuhan!” seru om excel.
Cakka yang masih kecil,
sama sekali tidak mengerti dengan ucapan mereka. PLAK! Terdengar tamparan
kencang dari dalam. cakka melihat lagi, tante ucie yang menampar om excel.
“excel! Kamu bener-bener keterlaluan! Kamu sama sekali gak bertanggungjawab
jadi seorang ayah! Harusnya kamu rawat Alvin, sayangin dia, jagain dia!
Bukannya nelantarin dia! Mau seberapa besarpun kesalahannya, dia tetap anak
kamu excel, darah daging kamu! kamu harus bisa maklumin dan maafin
kesalahannya!” teriak bu ucie.
Cakka menganggap semua
yang dilihatnya barusan seru sekali, walaupun agak janggal. Memangnya Alvin
berbuat kesalahan apa? “udahlah kak! Excel capek sama dia! Cuma buat excel
menderita! Sekarang excel mau tanya, siapa dari kalian yang bersedia ngurus
dia? tenang aja, excel tetap biayain semua keperluannya dia,” kata om excel
tanpa perasaan.
Cakka melihat semuanya
langsung bersedia, dengan omelan yang masih terdengar sangat jelas. Cakka
berpikir, apa Alvin akan tinggal dengannya? Kalau iya, dia mau sekali, dengan
itu dia punya teman sepantar. Tapi apa Alvin mau?
Cakka kemudian segera
meninggalkan tempatnya berdiri, memberitahukannya pada shilla, sivia, dan kak
elang yang sepertinya sedang menunggunya kembali.
***
Cakka kira Alvin anak yang suka bicara dan
senang bermain sepertinya. Tapi kenyataannya, terbalik 180 derajat. Memang, ia
belum pernah bertemu Alvin secara langsung, ia hanya mendengar cerita dari
orangtuanya, serta om dan tantenya yang sering bertemu dengan Alvin.
Hari ini, cakka dan
keluarganya menjemput Alvin untuk berkumpul di rumahnya. Pandangan cakka tak
lepas dari Alvin, ia putih, tingginya sama dengannya, wajahnya oriental-mirip
dengan almarhum mamanya yang keturunan korea, yang sedang menggendong ransel
kecil dengan kepala ditundukkan. Cakka mengira-ngira isi ransel itu, mungkin
mainan, dan dia bisa meminjamnya, asik!
Cakka mendekati Alvin,
berniat menyapanya duluan setelah sekian lama berdiam-diaman. “Alvin ya? Aku
cakka,” kata cakka sambil tersenyum.
Alvin menoleh sedikit
dan kembali menunduk, tangannya mencengkeram erat tali ranselnya. “isinya
mainan ya?” Tanya cakka penasaran, sambil menunjuk ransel itu.
Alvin menggeleng,
kemudian mempercepat jalannya, menyetarakan langkah papanya, dan meraih tangan
papanya. Papanya segera menggandeng tangannya, membuat Alvin tersenyum sedikit.
Cakka menaikkan sebelah
alisnya, “anak aneh,” gumamnya. Aneh sekali. Biasanya kalau sudah ia ajak
ngobrol, anak manapun akan langsung antusias membalasnua, tapi ini tidak. Ia
jadi penasaran.
Sesampainya di rumah,
cakka menarik tangan Alvin ke kamar bermainnya. Disana sudah berkumpul sivia,
shilla, kak elang, shanin, juga kekey. Tanpa basa-basi, cakka langsung menyuruh
Alvin duduk di dekat mereka.
Alvin mengerutkan
keningnya, tidak mengerti dengan maksud cakka, seenaknya saja menariknya dan
menyuruhnya, tidak sopan! Tapi biarpun begitu, ia tahu etika, cakka pemilik
rumah, dan ia harusnya menuruti saja. Maka ia langsung duduk di karpet,
diiringi tatapan yang lain. Ia jadi merasa terganggu dengan tatapan-tatapan
mereka.
“sivia!” sivia langsung
mengulurkan tangannya ke Alvin dengan mata berbinar, seolah baru melihat hal
yang sangat hebat. Alvin membalas ulurannya dan berjabat tangan dengan sivia.
“pasti Alvin kan? Udah tau! Hehe,” katanya cengengesan sebelum Alvin
menyebutkan namanya.
Alvin mengerutkan
keningnya lagi, tidak terlalu suka dengan anak ini, seenaknya saja memotong
pembicaraannya, tidak tahu aturan! Ia beralih pada yang lain, kak elang, serta
shanin dan kekey yang dibantu oleh seorang anak perempuan lain yang paling
cantik dan manis menurutnya.
“shilla,” kata anak itu
sambil tersenyum manis. Alvin membalas sedikit senyumannya, setidaknya anak ini
jauh lebih baik dari anak yang pertama tadi.
Selesai semua
memperkenalkan diri, cakka bertanya kembali, “Alvin, tasnya isinya apa?”
tanyanya. Yang lain pun ikut penasaran dengan isinya, karna Alvin memeluknya
sejak tadi.
Alvin menggeleng, tidak
mau memberitahukannya. Baginya, ini privasi, mau apapun isinya, tetap saja
privasinya.
“pasti mainan ya?”
cetus sivia. Alvin semakin tidak suka padanya, sok tahu! “boong, pasti mainan
kan? Alvin punya mainan kan? Sebanyak punya cakka gak? Tuh liat,” kata sivia
lagi sambil menunjuk sekelilingnya.
Alvin mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Semuanya mainan mobil-mobilan, berbeda warna dan
model. Pasti koleksi! Pikirnya. Alvin menggeleng kembali.
“terus apa dong?” Tanya
sivia lagi.
“mau tau aja!” kata
Alvin ketus. Sivia memajukan bibirnya, sementara yang lain bertukar pandang,
karna daritadi belum mendengarkan satu patah kata pun yang terucap dari bibir
Alvin.
“boleh liat gak?” Tanya
kak elang. Alvin menggeleng kembali. “kok Alvin ngomongnya dikit banget sih?
Pelit!” kata kak elang kesal.
Alvin masih diam saja,
tidak berniat menanggapi. Ia malah berdiri dan berjalan keluar, mencari
papanya.
***
Beberapa hari Alvin
menginap di rumah cakka, sikapnya sudah mencair sedikit pada shilla dan cakka,
tapi tidak untuk sivia. Menurutnya, shilla sangat manis, kalem. dan lembut,
juga sedikit dewasa, mungkin karna usinya yang lebih tua dua bulan darinya.
Sedangkan cakka, biarpun cakka sangat suka bicara dan kadang egois serta suka
memaksa, cakka terhitung sangat baik padanya, karna tidak terlalu banyak ikut
campur dengan urusannya, tidak seperti sivia yang mau tahu dan selalu ikut
campur dengan urusannya.
Di matanya, sivia tidak
lebih dari seorang anak cengeng, manja, carper, dan suka ikut campur urusan
orang lain. Maka itu, dia tidak peduli dengan apa yang dilakukan dan terjadi
pada sivia.
Begitu juga dengan
cakka, biarpun Alvin pendiam dan suka menyendiri, ia menganggapnya sangat baik,
karna Alvin orang yang mau mengalah dan suka membantunya. Shilla, sangat baik
padanya, murah hati, suka senyum, dan senang menasehati. Setali tiga uang
dengan Alvin, ia juga beranggapan yang sama tentang sivia, tapi ia memakluminya
karena sivia anak tunggal, dan biasa dimanjakan.
Beberapa hari itu juga
ternyata orangtua mereka sedang mengamati, kepada siapa Alvin cocok, dan
akhirnya ditentukanlah ia sangat cocok dengan cakka. Lagipula orangtua cakka
berpikir, lebih baik kalau cakka punya teman sepantar, dengan itu ia tidak akan
terlalu egois.
Dan tibalah hari itu, hari
dimana Alvin akhirnya akan tinggal bersama cakka selama beberapa tahun, dimana
ia terakhir kali bertemu dengan papanya. Alvin mrurng terus hari ini, wajahnya
ditekuk terus, ia tidak mau melepas gandengannya pada papanya.
Pak excel memeluk Alvin
dan mengusap rambutnya. “Alvin, papa pulang dulu ya, kan di rumah masih ada
keke. Papa harus jagain keke,” kata pak excel.
Alvin melepas
pelukannya. “kalo gitu alvin ikut pulang! Alvin gak mau disini! Alvin mau sama
papa!”
Pak excel menepuk kedua
pundak Alvin. “Alvin, kamu disini aja ya. Kamu sekolah disini. Kan ada cakka
sama yang lain, kalo disana kan kamu gak ada temennya. Papa janji deh akan
jemput kamu lagi kalo kamu jadi anak baik, pinter, gak nakal, dan bisa bikin
papa bangga, ya?”
Alvin menggeleng.
“pokoknya Alvin ikut papa! Alvin mau sama papa!” ngotot Alvin.
“Alvin, dengerin papa.
Kamu sayang kan sama papa? Kalo kamu sayang sama papa, kamu nurut dong apa kata
papa. Kan papa udah janji, papa akan balik lagi kesini, buat jemput kamu,”
bujuk pak excel.
Alvin memeluk papanya
dan menangis. “nanti kalo Alvin kangen sama papa gimana? Mama udah gak ada,
Alvin gak punya siapa-siapa lagi selain papa sama keke. Alvin mau sama papa
aja,” rengek Alvin disela tangisnya.
Pak excel menggendong
Alvin dan meredakan tangis anaknya ini. Setidaknya ini terakhir kalinya ia bisa
menggendong anaknya. Karna setelah ini, ia berniat untuk tidak menemui Alvin
lagi. “Alvin, jangan cengeng dong. Emangnya papa ngajarin kamu buat cengeng?
Enggak kan? Udah ya sayang, papa harus pergi, papa yakin kok kamu bisa mandiri,”
pak excel menurunkan Alvin dan menghapus air mata Alvin.
“kamu baik-baik ya
disini, dah,” pamit pak excel setelah Alvin lebih tenang. Alvin tersenyum tipis
dan membalas lambaian tangan papanya.
***
Mungkin karena janji
papanya itu alvin bersikap lebih baik pada yang lain. Yang paling merasakan
adalah cakka, dulu kalau alvin diajak bicara, boro-boro dijawab, ditanggapi
saja tidak. Sedangkan sekarang, sudah bisa diajak bicara dan bercanda.
“alvin! sini,” panggil
pak chiko, papanya cakka dan kak elang. Alvin mendekat dan menunggu omnya
melanjutkan.
Om chiko mengeluarkan
sebuah box mainan dan memberikannya pada alvin. “nih, buat kamu,” katanya
sambil tersenyum.
Alvin tersenyum dan
menggeleng. “makasih om. Tapi gak usah, alvin gak terlalu suka main mobil-mobilan,”
tolaknya halus. Ia tidak enak, sudah menumpang tinggal, diberikan mainan pula.
Om chiko berjongkok,
menyetarakan kepalanya dengan alvin. “udah, kamu ambil aja. Om tau kok kamu
suka, jangan sungkan gitu dong,” bujuknya dan meletakkannya di tangan alvin.
“makasih om,” katanya
lagi, lalu beranjak ke kamarnya dan menaruhnya, sementara ia membaca kembali
bukunya.
Tapi ia penasaran juga
dengan mainan itu, akhirnya ia membukanya dan memainkannya. Wajarlah, seorang
anak laki-laki berusia lima tahun yang sedang senang-senangnya bermain.
Cakka yang sudah
mengamati daritadi, menatap iri mobil-mobilan yang dimainkan alvin. hei! Itu
mobil-mobilan limited edition! Yang kemarin lusa ia minta sama papanya tapi
tidak dibelikan! Baiklah, dia memang sudah punya banyak sekali mobil-mobilan, ratusan
malah, tapi dia mau yang itu!
Ia masuk ke kamar alvin
dan mendekatinya. “wah, mainan baru ya vin?” tanyanya, tanpa melepaskan
pandangan ke mobil-mobilan itu.
Alvin mengangguk,
kemudian menghentikan mainannya. Ia menatap cakka yang terus menatap mainan di
tangannya. Tanpa berpikir panjang, alvin langsung menyodorkannya pada cakka.
“buat cakka aja! Alvin tau, cakka mau kan?” tebaknya.
Cakka menolaknya. Ya,
bagaimanapun juga kan itu punya alvin. “gak kok! Itu kan punya alvin, dikasih
sama papa lagi, mana boleh buat cakka,” tolak cakka, tidak enak pada alvin.
“karna ini punya alvin,
makanya alvin kasih ke cakka. Mulai sekarang, mainan alvin mainan cakka juga.
Kalo yang ini, buat cakka aja. Alvin lebih suka baca buku,” katanya. Cakka
tersenyum dan mengambilnya dari tangan alvin, kemudian memainkannya.
Alvin menatap cakka
sebentar kemudian melanjutkan bacanya. Biarpun dia suka dengan mainan itu,
cakka lebih berhak memainkannya, itu kan diberi oleh papanya cakka.
“alvin,” panggil cakka,
masih bermain dengan mainan barunya.
“apa?”
“alvin beneran ngasih
ini buat cakka?” tanya cakka memastikan. Alvin mengangguk. “emangnya alvin gak
suka? Ini bagus loh! Limited edition! Cakka aja kemaren ini minta ke papa gak
dikasih,” cerita cakka.
Alvin tersenyum. “alvin
lebih suka kalo cakka yang mainin. Kalo sama alvin nanti mainannya dianggurin,
kan kasian, mendingan cakka aja yang mainin,” kata alvin.
“alvin baik deh! Cakka
seneng alvin tinggal sama cakka! Nanti cakka kenalin sama tetangga cakka deh,
cantik loh,” kata cakka lagi. Setelah itu, alvin hanya mendengarkan cakka yang
terus bercerita.
***
Semakin lama alvin
tinggal disana, semakin cakka senang. Pasalnya, alvin selalu mengalah padanya.
Semua yang diberikan pada alvin, malah diberikan padanya oleh alvin sendiri. Dan
alvin selalu mendahulukan dirinya ketimbang alvin sendiri. Benar-benar baik!
Cakka yang memang sudah
sedikit manja karna ia anak bungsu, semakin manja lagi pada alvin. alvin memang
orang yang sangat sungkan, jadinya ia selalu menuruti kemauan cakka.
“alvin, tolong ambilin
bola voli cakka dong di kamar, mau main sama agni sama vana,” suruh cakka.
Alvin langsung mengambilkannya dan memberikannya pada cakka. Cakka
berterimakasih, kemudian seperti yang sudah-sudah ia mengajak alvin untuk main
bersamanya, namun lagi-lagi alvin menolaknya. Ya sudah!
“ohya vin. Ntar alvin
temenin cakka ya ke toko mainan! Cakka mau beli mobil-mobilan yang banyak!”
kata cakka lalu pergi meninggalkan alvin.
Alvin menggelengkan
kepalanya pelan. Sebenarnya kalau cakka menyuruh-nyuruhnya ia masih mau, tapi
kalo disuruh nemenin pergi mendingan dia baca buku deh di rumah, mengganggu
waktunya saja. tapi walaupun begitu ia ingat, ia hanya numpang disini, gak tau
diri banget kelihatannya kalo nolak permintaan cakka.
***
Cakka dimarahi mama dan
papanya karna pulang kemalaman dan beli banyak banget mainan. Alvin sudah
membela cakka dengan mengatakan bahwa ia yang mengajak cakka main dulu sehingga
pulang telat. Tapi tentu saja om dan tantenya itu tidak percaya, mana mungkin
alvin yang kalem dan pendiam ini berbuat begitu?
“udah vin, kamu gak
usah belain cakka. Dia emang anak manja! Harusnya om sama tante gak ngijinin
dia pergi main. Selalu seperti ini!” kata pak chiko.
“cakka! Mama sama papa
kan udah bilang berulang kali, jangan pulang kemaleman! Kamu itu masih kecil!
Nanti kalo diapa-apain gimana? Kamu juga jangan beli mainan terus dong! Tiru
Alvin! Dia nurut dan gak nakal kayak kamu! Kamu harusnya bisa kayak Alvin dong!
Mama sama papa bawa dia kesini tuh biar kamu bisa berubah! Bukannya semakin
manja!”
Saat orangtuanya
membandingkannya dengan Alvin, timbul sedikit rasa tidak suka Cakka terhadap
Alvin. Yang jelas, ia tidak suka dibandingkan! Meniru Alvin? No way! Gak akan!
Mana betah dia diam dan baca buku terus?
“om, tante, gak usah
marahin cakka lagi. Marahin Alvin aja, kasian cakka dimarahin terus,” tawar
Alvin. Ia tak tega melihat sepupunya ini dimarahi terus nyaris setiap hari.
“gak usah sok belain
cakka!” kata cakka kesal. Selalu saja Alvin menawarkan diri menggantikan
dirinya untuk dimarahi, dan setelah itu pasti orangtuanya akan membandingkannya
kembali dengan Alvin karena Alvin bla bla bla, menyebalkan! Memangnya dia
sepayah itu apa?!
***
Cakka uring-uringan di
tempat tidurnya. Bantal, selimut, bedcover, guling, sudah acak-acakkan. Ia
mengacak-acak rambutnya. Sebal sebal sebal! Alvin benar-benar menyebalkan! Dia
jadi menyesal menerima alvin di rumahnya!
Baiklah, alvin memang
baik, sangat baik malah. Tapi kalau ia terus dibandingkan ya bosan juga dong! Memangnya
alvin sempurna apa? Bagusan juga dirinya! Alvin pintar? Oke, dia akui. Alvin
baik? memang. Alvin penurut? Tidak juga ah. Itu semua karna alvin canggung.
Kalau aslinya sih tidak tahu juga ya.
Coba dirinya? Ganteng?
Oh iya dong. Supel? Banget. Ramah? Dari dulu. Baiklah, cakka akui, ia memang
cenderung keras kepala, egois, manja, dan susah diatur. Tapi, dibandingkan
alvin yang pendiam, penyendiri, kutu buku, dan anti-sosial itu, dia masih jauh
lebih baik!
Padahal awalnya cakka
berharap kalau ia akan menjadi contoh untuk alvin, tidak tahunya, malah
terbalik! Alvin terus yang dipuji, sedangkan dia diremehkan terus. Ya ampun,
memangnya dia tidak bisa diandalkan apa? Dia juga punya kelebihan kali!
Cakka meraih
handphonenya yang berbunyi terus kemudian menekan tombol hijau dan menjawab
panggilannya, “vana, kesini dong, ajak agni juga, cakka bete nih,” kata cakka
manja.
Terdengar kekehan manis
membalas perkataannya. “ih vana, ngapain sih ketawa gitu? Apa yang lucu?” tanya
cakka heran.
“gak papa. Tapi agni gak
bisa, dia lagi nemenin mamanya pergi,” jawab vana.
“oo.. ya udah, vana
aja. Ke kamar cakka aja langsung. Jangan lama-lama!” suruh cakka lalu
memutuskan komunikasinya.
Sementara menunggu
cakka mengeluarkan mainan yang diberikan alvin padanya lalu memasukkannya dalam
satu kardus, kemudian ia membawanya keluar, ke kamar alvin.
Cakka mengetuk pintu
kamar alvin dan menyerahkan dusnya di depan kaki sang penghuni kamar yang
membuka pintu. “tuh! Cakka gak butuh mainan alvin!” kata cakka dengan nada
tidak suka.
Alvin menaikkan sebelah
alisnya, kemudian berkata, “kenapa? cakka bosen?” tanyanya baik-baik.
Cakka tidak
menghiraukannya dan melangkah dengan angkuh kembali ke kamar. Alvin yang tidak
mengerti hanya mengangkat bahu, mengira cakka sedang kesal dan nanti akan baik
lagi.
***
Vana melangkahkan
kakinya ke dalam rumah bergaya eropa yang minimalis ini, dengan halaman yang
cukup luas mengelilinginya. Ia segera menuju ke kamar cakka begitu sang pemilik
rumah mempersilahkan masuk.
Ia membuka pintu kamar
cakka, kosong. Ia celingukan mencari cakka dan memanggilnya, “cakka.”
Cakka muncul dari balik
pintu yang tertutup dan menepuk kedua pundak vana dari belakang. “disini!”
serunya.
Vana tersentak dan
mengelus dadanya kaget, kemudian berteriak, “cakka! Iseng banget sih!
Kebiasaan!” sambil memukul-mukul lengan cakka.
“iya-iya! Udah dong
vana! Sakit tau!” kata cakka, menghindar dan mengelus lengannya yang dipukuli
vana.
Vana malah cemberut dan
melipat kedua tangannya, berbalik membelakangi
cakka. cakka tersenyum kecil, kemudian mengambil sesuatu dari bungkusan plastic
yang ada di sudut kamarnya, dan menyodorkannya tepat di depan wajah vana.
Sebuah boneka kotak berwarna kuning dan coklat.
“spongebob!!” seru vana
senang seraya memeluk boneka itu. Cakka
tertawa kecil, lucu sekali ekspresi vana.
“buat vana. Kemaren
cakka beli di toko mainan,” kata cakka sambil menutup pintu kamarnya dan duduk
di tempat tidurnya.
Vana mengikuti cakka,
duduk bersila di depannya, sudah hilang ambeknya tadi. Dikasih boneks spongebob
sih, hehe.. “makasih ya cakka. cakka baek deh. Hehe..” katanya.
“ohya, tadi cakka bete
kenapa?” tambah vana, ingat akan alasan dirinya dating.
Muka cakka yang sudah
senang tadi berubah cemberut. Ia memeluk boneka mobil-mobilannya dan berkata,
“itu tuh, si Alvin! Masa cakka dibandingin terus sama dia?! bagusan juga cakka
kemana-mana!”
Kening vana berkerut.
Cakka selalu bercerita tentang Alvin, tapi sekalipun dirinya pelum pernah
bertemu. “emangnya Alvin kayak gimana sih? Vana mau liat,” katanya penasaran.
Cakka manyun. “gak
usah! Dia tuh anaknya pendiem, jelek, terus jahat! Udah deh! Pokoknya vana gak
perlu kenal sama Alvin! Mendingan sama cakka aja!” karang cakka.
Vana setengah percaya
dengan cakka. “tapi dulu kok cakka bilang dia baek? Jadi yang bener jahat apa
baek?” tanyanya bingung.
“jahat! Gara-gara dia
cakka jadi dimarahin terus sama mama papa! Jadi dibandingin terus! Pokoknya
cakka kesel sama Alvin!” kata cakka sambil memukuli bonekanya, seakan-akan itu
Alvin.
“iya-iya vana percaya.
Cakka, vana aus nih,” kata vana.
Cakka langsung turun
dari tempat tidurnya dan menarik tangan vana. “cakka juga. Yuk!” ajaknya lalu
berjalan ke dapur. Di belakangnya vana hanya mengikuti.
Di meja makan, cakka
melihat ada Alvin yang sedang membaca bukunya sambil memakan cemilan. Cakka tak
mempedulikannya dan mengambil minuman untuknya dan vana.
Vana melihat sosok
putih itu, mungkin Alvin, pikirnya. Ia kemudian menghampiri Alvin dan bertanya,
“hei, kamu Alvin ya? Sepupunya cakka?” tanyanya tanpa basa-basi.
Alvin menatap vana
sebelum menjawab. Kebiasaannya, memperhatikan dulu penampilan orang dan
sifatnya dari sorot mata serta tutur bicaranya. Kemudian ia mengangguk singkat
dan kembali membaca bukunya.
“kenalin! Aku vana!
Zevana! Tapi jangan panggil vana juga, itu khusus buat cakka! panggil Zeva
aja,” kata vana, mengulurkan tangan sambil tersenyum.
Alvin menatap anak
perempuan ini, kemudian membalas ulurannya, “Alvin,” katanya singkat.
“kok Alvin gak keliatan
jahat ya? Tadi cakka bilang Alvin jahat,” kata vana polos.
Alvin menaikkan sebelah
alisnya dan menatap cakka yang sedang menuangkan minuman, agak jauh dari
mereka. Ia kemudian mendekatkan wajahnya pada vana dan membalas dengan bisikan,
“cakka bilang begitu? Kenapa?”
Vana menatap kedua bola
mata berwarna coklat tua itu, dan menjawab, “nanti zeva kasihtau. Tapi Alvin
harus main sama zeva sama agni, juga sama cakka!”
Alvin manyun dan
memundurkan wajahnya. Masih kecil saja sudah pake syarat segala! Keluhnya dalam
hati. Tapi, kenapa cakka mengatainya jahat? Memangnya dia salah apa?
Zeva yang tidak
mendapat tanggapan segera menyusul cakka. “cakka! katanya Alvin jelek? Tapi kok
cakep?” tanyanya.
“itu jelek tau! Cakepan
juga cakka! pokoknya cakka gak mau zeva deket-deket sama dia! bilangin ke agni
juga!” kata cakka sebal.
Vana meneguk minumannya
dan mengikuti cakka kembali ke kamar. Sepanjang jalan, cakka terus melarangnya
berdekatan dengan Alvin, aneh sekali. “cakka, cakka cemburu ya?” tanyanya
kembali.
“cemburu?” Tanya cakka
tidak mengerti.
“iya! Kalo cakka gak
mau vana deket-deket sama Alvin kan berarti cakka cemburu sama dia. itu menurut
buku yang baru selesai vana baca loh,” kata vana.
“iya deh! Terserah apa
itu! Yang jelas cakka gak mau vana sama agni main sama Alvin! Kalian Cuma boleh
main sama cakka!” jawab cakka.
Vana tersenyum senang.
Yang jelas hatinya girang sekali mendengarnya. Cakka cemburu padanya? Berarti
cakka suka padanya dong? Asik!!
***
Cakka, vana, dan agni
tengah bermain voli di taman kompleks. Sebenarnya sejak ia tiba di taman ini,
ia sudah tertarik pada seorang anak laki-laki seumurannya yang duduk di ayunan gantung
dan membaca buku. Ia ingin mengenalnya, karna tahu anak itu pasti penghuni baru
di kompleks ini.
“yah, bolanya jauh,”
kata vana kecewa, membuat agni tersadar dari lamunannya.
Cakka mengedarkan
pandangannya, mencari kemana bola voli yang dipassingnya tadi jatuh.
“agni aja yang ambil!”
kata agni, ketika tahu dimana letak bolanya itu. ia segera berlari mengambil,
di dekat ayunan anak laki-laki itu.
Agni menatap anak itu
lekat-lekat, bahkan saat memungut bolanya pun pandangannya tak bisa lepas.
Tampaknya anak itu tidak menyadari kehadirannya, atau tidak peduli dengan
kehadirannya? Entahlah.
Agni duduk di ayunan
sebelah anak itu, dan meamngku bolanya. “kamu anak baru ya di sini?” tanya
agni.
Anak itu mengangkat
kepalanya dan melirik agni sekilas, kemudian menutup bukunya dan meloyor pergi
tanpa berkata apapun. Agni menatap anak itu heran. Aneh sekali.
“agni! ngapain
bengong?” teriak cakka dari tempat mereka main tadi. Cakka lihat, apa yang
dilakukan agni disana, dan ia tidak suka. Ia tidak mau agni peduli dengan
alvin. ia mau perhatian agni hanya untuknya. Hanya untuknya!
***
“cakka,” panggil agni
sambil menarik ujung lengan baju cakka.
“apa?”
Agni memilin-milin
ujung lengan baju cakka dan menjawab, “itu loh, kan ada anak baru disini. Yang
putih, sipit, tingginya secakkalah, cakka kenal gak?”
Cakka menatap agni.
“emang kenapa? agni suka ya?” tanyanya kecewa.
Agni mengangkat bahu,
lalu memeluk lengan cakka dan bersandar. “agni Cuma penasaran aja. Dia baik gak
ya?”
Raut wajah cakka
berubah masam. “dia jahat! Udah deh, pokoknya agni gak perlu kenal sama dia!
Dia gak baik buat agni!” cegahnya.
Kening agni berkerut.
“cakka kenal ya sama dia? Dia tinggal di mana? Agni pengen kenalan!” katanya
bersemangat.
Cakka melengos. “agni
mah gitu. Nanti kalo udah kenal cowok lain cakka ditinggalin,” katanya kecewa,
seolah-olah agni adalah pacarnya, miliknya.
“enggak kok. Agni Cuma
mau tau aja. Jadi rumahnya dimana? Namanya siapa?” tanya agni kembali.
“gak tau. Cari tau aja
sendiri,” kata cakka dingin. Agni cemberut, namun ia bertekad, akan mencari
anak itu dan berkenalan dengannya. Ia yakin, anak itu pasti tidak seburuk yang
cakka bilang.
***
“alvin duduk aja dimana
kek terserah. Cakka mau main sama temen cakka. Tapi jangan di ayunan itu lagi! Cakka
gak mau agni nemuin alvin lagi!” suruh cakka.
“agni?” ulang alvin
dengan kening berkerut.
Cakka mengangguk. “iya!
Cewek yang ngambil bola kemarin itu agni! pokoknya alvin gak boleh deket-deket
sama agni!” perintah cakka.
Alvin hanya mengangguk.
Ia mengerti gelagat cakka. Pasti cakka suka dengan si agni agni itu. ia
berjalan ke sebuah pohon yang rindang, dan duduk di bawahnya sambil membaca
buku. cakka segera meninggalkannya dan bermain bersama vana.
“baca buku apa sih?
Serius amat?” alvin menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari asal suara
tersebut. Ia yakin, pertanyaan itu ditujukan untuknya.
“aku diatas,” kata
suara itu lagi. Alvin menengadahkan kepalanya, melihat ke atas pohon. Ia segera
berdiri, begitu melihat anak yang dijumpainya kemarin duduk santai di atas
pohon.
Alvin berdecak dan
beranjak dari tempatnya, sampai anak itu mencegahnya. “tunggu! Bantuin aku
turun!” alvin berbalik dan memandangnya.
“turun sendiri! Punya
kaki kan?!” ketus alvin.
“ah! justru itu, aku
gak bisa turunnya! Aku takut jatoh! Bantuin dong!” mohon anak itu.
Alvin meletakkan
bukunya dan mengulurkan kedua tangannya, “cepetan turun sebelum cakka liat!”
perintah alvin dengan nada tinggi.
Anak itu tampak
takut-takut. Tidak yakin dengan uluran tangan alvin. “gak mau turun? Yaudah,”
alvin menarik kembali kedua tangannya. “lompat aja kalo gak,” kata alvin
kembali.
“iya-iya! Aku lompat
ya! Tapi kamu jagain di bawah!” kata anak itu, kemudian memejamkan matanya dan
melompat turun.
HAP! Tidak sakit? Anak
itu membuka matanya dan terpaku menatap wajah di hadapannya. “hei! Berat tau!
Singkirkan badanmu!” kata alvin, yang tertindih anak itu.
Anak itu tersadar dan
buru-buru berdiri. Ia tersenyum, lalu mengulurkan tangannya, “agni, kamu?”
Alvin berdiri dan
membersihkan daun-daun yang menempel di badannya. Seperti kemarin, tanpa
berkata apapun ia langsung pergi setelah mengambil bukunya.
Agni mendahului alvin
dan menghadang jalannya. “nama kamu siapa?” tanyanya kembali.
“alvin,” jawab alvin
singkat dan padat.
Agni tersenyum. “alvin
tinggal di mana?” tanyanya, jalan beriringan dengan alvin.
Alvin berhenti dan
menatap agni tajam. “mau tau aja! Sok kenal sok akrab sok deket! Siapa sih
kamu?! Jangan bikin aku salah paham dong sama cakka!” bentak alvin.
Air mata agni
menggenang, tak lama ia menangis. Alvin yang bingung, malah tidak tahu harus
berbuat apa untuk menenangkan anak ini kembali. “diem dong!” katanya, masih terdengar
seperti bentakan.
Tangis agni semakin
keras, membuat alvin semakin kewalahan. “hei, udah dong jangan nangis. Udah ya
nangisnya, nanti kalo cakka tau aku bisa dimarahin,” bujuk alvin.
“alvin apa sih?! Kok
nyebut cakka terus?! alvin jahat! alvin bentak agni!”
“iya-iya. Maaf deh ya,
tapi jangan nangis lagi. Nanti aku dimarahin,” mohon alvin dengan lembut.
Agni tersenyum dan
segera mengusap air matanya. “berarti kita temenan ya!” katanya riang.
Sebelah alis alvin
terangkat. Jangan-jangan anak ini menangis untuk membuatnya nurut? “gak! Siapa
yang mau temenan sama kamu!” sinisnya.
Agni sudah bersiap akan
menangis lagi. “iya! Iya! Kita temenan!” sahut alvin terpaksa.
Agni tampak senang
sekali. “jadi Alvin tinggal di mana?” ulangnya, dengan sorot mata yang berbinar
menunggu.
“mau tau aja! Suka-suka aku dong mau tinggal
di mana!” jawabnya jutek.
Bibir agni mengerucut,
manyun. “kok Alvin gitu banget sih sama agni? Emangnya agni salah apa? agni kan
Cuma mau kenalan sama Alvin,” kata agni sambil menunduk.
Alvin menatapnya iba.
Dia paling tidak bisa bila dihadapkan situasi seperti ini. “di rumah cakka,”
jawabnya kemudian.
“di rumah cakka? asik!
Kalo gitu kita bisa main bareng dong!” kata agni semangat.
Alvin memutar bola
matanya. Daritadi ia dikerjai anak ini terus, menyebalkan! “kamu ngapain sih
nanya-nanya mulu? Kan ada cakka, nanti cakka marahin aku tau!” ungkap Alvin
kesal.
“kok cakka lagi cakka
lagi sih? Emangnya cakka marahin Alvin ya? Kenapa?” Tanya agni ingin tahu.
Alvin mengelus dadanya,
mau tahu urusan orang saja anak ini! Huh! Agaknya ia harus bersabar menghadapi
anak ini. “kamu kan udah turun, main sana gih! Aku mau pulang!” usir Alvin
halus.
Agni menggembungkan
pipinya. “kok Alvin ngusir sih? Agni kan mau main sama Alvin. Ohya, satu lagi.
jangan pake aku-kamu dong. Pake Alvin agni aja,” kata agni.
Alvin tidak
mempedulikannya, ia malah berjalan ke rumahnya. Walaupun ia tahu, di
belakangnya, agni mengikuti.
***
Cakka melipat kedua
tangannya di dada dengan wajah ditekuk. Ia melihat agni mengikuti Alvin ke
rumahnya, tanpa pandangan yang lepas dari Alvin. Cakka menggerutu pelan. Mau
Alvin apa sih? Perhatian orangtua dan kakaknya sudah direbut, kemarin zeva juga
sudah, masa sekarang agni juga sih?
Cakka berlari ke arah
agni dan berdiri di depannya. “agni! Main yuk!” ajaknya.
Agni menggeleng, lalu
memasang wajah kesal pada cakka. “cakka kok gitu sih? Cakka gak bilang kalo
Alvin tinggal di rumah cakka?!” kesal agni.
“cakka kan gak mau agni
deket-deket sama dia. nanti agni malah ninggalin cakka,” ujar cakka muram.
“lagian agni kok penasaran banget sih sama Alvin? Apa bagusnya coba?” ujarnya
kembali.
Agni mengangkat bahu.
“gak tau. Udahlah, ayo masuk. Agni mau ngobrol sama Alvin,” ajak agni sambil
menarik tangan cakka. cakka hanya bisa menurut dan mengikutinya saja.
Agni dan cakka segera
duduk di sebelah Alvin di sofa. Alvin yang melihat mata cakka yang sudah
berkilat-kilat menundukkan kepalanya, memusatkan pandangannya pada buku.
“Alvin! Nih, kan udah
ada cakka! jadi kita nanti Alvin gak dimarahin lagi sama cakka kalo ngobrol
sama agni,” kata agni berbelit-belit. Ia sendiri belum tahu sebab Alvin akan
dimarahi oleh cakka.
“emangnya cakka mau
marahin Alvin?” Tanya cakka tidak mengerti.
Agni menganggukkan
kepalanya. “kata Alvin gitu. Jadi, kalo agni Cuma berdua sama Alvin, cakka
marah. Emang iya?” Tanya agni polos.
Cakka menatap Alvin
marah. Membuat kesannya buruk saja di mata agni! “gak kok!” kata cakka
berbohong.
“kalo gitu agni boleh
deket-deket sama Alvin ya?” Tanya agni dengan mata berbinar, layaknya anak
kecil yang mendapat mainan kesukaannya.
Cakka beralih menatap
agni, dengan pandangan lembut. “kok gitu? Agni udah bosen ya sama cakka?”
“gak kok. Kan cakka
gu.. gu.. gu apa sih itu? Susah banget,” kata agni lupa.
“guardian angel,” kata
cakka lancar dengan senyum mengembang.
Agni mengacungkan
telunjuknya. “ya! Itu! Cakka kan guardian angelnya agni! Gak mungkin agni bosen
dan ninggalin cakka! gimana kalo kita main berempat aja? Sama zeze?” usul agni.
Alvin
yang sedaritadi menyimak saja angkat bicara, “gak usah. Alvin lebih suka baca
buku daripada main.”
Cakka mencibir
mendengarnya. Sombong! “pokoknya Alvin harus mau!” paksanya tajam. Apapun
keinginan agni, ia penuhi selama itu masih di batas kemampuannya. Ya sekalipun
memasukkan agni dalam lingkar pertemanan mereka.
“kalo Alvin gak mau,
jangan pernah nyentuh barang-barang cakka lagi!” ancam cakka. ia menatap Alvin
yang terheran-heran dengan ucapannya, dengan pandangan bercampur. Tajam, marah,
benci, memaksa, dan lainnya.
Alvin yang melihat
tatapan cakka menelan ludah. Kemudian mengangguk dengan terpaksa.
*
***
Cakka mencengkeram erat
buku yang ada di genggamannya. Tiba-tiba saja beberapa kenangan masa kecilnya
terlintas kembali dalam benaknya. Huh, bahkan sampai sekarang saja ia masih dan
tetap benci dengan alvin. anak itu sudah merebut semua miliknya, bahkan semua
yang harus ia dapatkan.
Apalagi alvin
sepertinya suka sekali merebut perhatian agni dari dulu. Mulai dari sok dingin,
sok pendiam, bahkan sampai sok tidak butuh teman. Menyebalkan! Anak itu tahu
saja apa yang membuat cewek penasaran.
Cakka mengacak-acak
rambutnya. Dia jadi kesal sendiri. Andai saja dia tidak menerima alvin dulu,
pasti agni sudah menjadi miliknya. Ya, miliknya. Bukannya amnesia seperti
sekarang.
Lihatlah, bahkan si
pembawa sial itu dengan tenangnya bersekolah di sekolah yang sama dengannya dan
agni. cakka sudah berhipotesis kalau anak itu pasti akan merebut agni kembali
darinya. Takkan ia biarkan! Mau bagaimanapun juga, agni harus menjadi miliknya!
Hei, bahkan dulu agni
begitu manja dan perhatian padanya! Tapi sejak alvin mengenal agni, perhatian
agni pada cakka teralih sepenuhnya kepada alvin! bagaimana tidak sakit hati
cakka ini?
Satu yang ada di
pikiran cakka sekarang. Ia harus melakukan apapun, agar agni bisa kembali
padanya, dalam perlindungannya, agar agni tak kembali tersakiti oleh alvin.
sudah cukup agni hilang ingatan tentang orangtuanya, dan tak perlu ditambahi
oleh si pembawa sial itu lagI!
***
Ray membunyikan klaksonnya, memberitahu orang
yang ditunggunya agar lebih cepat. Ia tak mau terlambat ke sekolah. Lagipula,
untuk apa sih anak ini mau ikut dengannya ke sekolah?
Seorang gadis dengan
stelan rompi dan celana model army, serta topi baret yang ikut menyamai warna
rompinya, agak tergesa menghampiri ray yang sudah mulai tidak sabar
menunggunya.
Ray mengangkat alis.
Dandanan macam apa ini? “hei! Lo mau kemana non? Mau militer?” sindirnya sambil
memperhatikan style oliv dari bawah sampai atas.
“ke sekolah lo lah! Gue
jadi murid sementara di sana. Kemarin gue udah ajuin proposal dan surat ijinnya
ke sekolah lo,” terang Oliv.
Ray hanya membulatkan
mulutnya. Dia sedang malas untuk bertengkar dengan Oliv hari ini. Entahlah,
rasanya badmood saja dia hari ini. Dan kalau raynald prasetya sudah badmood,
jangan coba-coba untuk mengajaknya bercanda atau apapun seperti biasa. Itu
hanya akan mengundang ledakan dari ray sendiri.
Oliv yang sudah hafal
diluar kepala semua mood dan gelagat ray, memilih diam sebagai pilihan terbaik,
dan langsung duduk di boncengan motor ray. Dan setelah itu, ray menggas
motornya cepat.
Oliv menatap ray yang
tak mengatakan apa-apa lagi sejak tadi. Ia tersenyum. Ia tak habis pikir, sejak
kapan ia menyukai pemuda di depannya ini? Baiklah, ray memang sangat sempurna
di matanya. Dari dulu.
Ray yang selalu membelanya,
melindunginya, dan menemaninya. 16 tahun yang panjang sudah ia lewati bersama
ray. Dan selama itu pula, mungkin, perasaannya tumbuh terhadap ray. Rasa yang
lebih dari sahabat, dan keinginan memiliki yang lebih dari sebatas sahabat.
***
Ify menyenggol tangan
ray dengan sikutnya, menunggu sampai ray menoleh, baru berbisik, “ngapain lo
bawa-bawa dia?”
Ray menatap ify
malas-malasan. “asisten gue. Ngerjain penelitian atau apalah. Tiga bulan,”
jawab ray terpotong-potong agar singkat.
“penelitian apaan? Aneh
banget,” kata ify curiga. Hah! Ini pasti akal-akalan gadis itu saja-oliv-biar
bisa dekat-dekat dengan ray!
“tau ah! nanya mulu!
Tanya ke dia aja sendiri! Gue ada kelas broadcast sekarang. Jadi tanya dia
aja!” sahut ray kesal bercampur jutek, kemudian membereskan beberapa buku dan
bergegas pergi.
Ify menggerutu. Ia tahu
sih kalau ray sedang badmood, tapi kan dia penasaran. Masa harus tanya ke gadis
itu sih? Malas!
***
Oliv mengambil gambar
dari kamera yang digantungnya di leher. Sementara ray menjalani kelas yang
tertutup, lebih baik dia mencari kegiatan artis lain.
Seseorang menepuk
bahunya dan berdeham kencang. ia berbalik, dan menunjuk orang itu, “Gabriel?”
Gabriel mengangkat
alis. Memorinya sedang mencari siapa anak ini. “Oliv?” balasnya menunjuk.
Oliv mengangguk. “lo
sekolah di sini? Kok gak ngikutin kelas?” tanyanya.
Gabriel mengajaknya
berkeliling sekolah. “lagi kelas kosong. Lo ngapain di sini?” balasnya
bertanya.
Oliv melihat-lihat
hasil potretannya tadi. “nyari bahan penelitian aja. Tuh objeknya si ray, lagi
ada kelas dia,” jawabnya.
“waw! Lo gak ada
bosen-bosennya ya bikin penelitian, student exchange, ikutin olimpiade, dan
program prestasi lainnya. Salut gue sama lo,” kata Gabriel kagum sambil menepuk
bahu Oliv.
Oliv hanya tersenyum. Ia
suka semua itu. semua yang menggunakan kecerdasan, logika, dan otak. Bukannya
jadi artis yang bermodal tampang dan kadang tidak berbobot itu otaknya.
Langkah Oliv terhenti
di depan sebuah ruang kelas. Gabriel yang masih berjalan ikut menghentikan
langkahnya ketika sadar Oliv tak sudah tak bersamanya. Gabriel mengikuti arah
pandang oliv. Alvin?
Detik berikutnya, Oliv
berseru histeris, “ALVIN!!” semua yang mendengarnya langsung menatap oliv
serempak.
Gabriel terkejut dengan
seruan oliv tadi. Bahkan oliv sekali lihat saja langsung tahu kalau Nathan itu
alvin? bahkan ia saja butuh beberapa detik lebih lama untuk menyadarinya. Ah!
lagi-lagi dia kalah cepat dengan oliv! Mengagumkan sekali gadis di sebelahnya
ini, hebat!
Sedangkan Nathan yang
sangat jelas mendengar itu mulai pucat wajahnya. Ia tahu suara siapa itu tanpa
perlu melihatnya. Olivia. Ya, Olivia. Gawat sekali kalau anak itu histeris di
depannya dan memanggil dia dengan nama terkutuk itu lagi.
Olivia menunggu bubaran
kelas dengan masih setia berdiri di depan kelas, langsung menghambur pada
Nathan begitu semua sudah keluar. Gabriel mengikutinya dari belakang. “alvin!
gila! Udah lama banget gue gak liat lo! kok lo disini sih? Gimana dengan kuliah
lo? asik deh ya yang udah jadi mahasiswa,” cerocos oliv dengan akrabnya pada
Nathan yang sedang membereskan buku-bukunya.
Gabriel mengangkat
alis, kemudian membuka mulutnya, melihat tak ada reaksi dari Nathan. “lo kenal
dia liv?”
Olivia mengangguk.
“iyalah! Dia kan temen gue waktu gue student exchange di singapur dulu. Sumpah
deh, dia orang paling pinter yang pernah gue temuin langsung!”
Gabriel tersenyum sinis
pada Nathan kemudian berkata, “oh. Jadi lo bener alvin kan? Bukti hidup saja
sudah ada tepat di depan lo ini. Perlu gue cari bukti yang lain?”
Nathan berdiri dan
melempar pandang tajam kepada keduanya, “gue bukan alvin,” ucapnya penuh
penekanan.
Oliv yang tidak
mengerti maksud keduanya langsung bertanya, “maksud lo berdua apa sih?
Jelas-jelas elo alvin. lo gak inget sama gue? Olivia! Gue aja masih inget
banget sama lo!”
Nathan hanya mengangkat
bahu dan menyelempangkan tas ke bahunya. “gue gak kenal sama lo,” jawabnya
sambil meloyor pergi.
Gabriel tersenyum remeh
melihat punggung Nathan yang semakin menjauh. Sikap Nathan itu sangat sangat
janggal. Sebaiknya ia bercerita pada oliv. Anak yang satu ini sangat pintar
analisisnya. “liv,” panggil Gabriel.
“apa?” tanya oliv
setelah menoleh. Ia sendiri heran dengan perlakuan aneh alvin.
Belum Gabriel menjawab,
hape oliv sudah berdering. Ringtonenya menunjukkan kalau itu dari ray.
Buru-buru ia menjawab dan pamit pada Gabriel. “gue duluan ya! Ray udah
ngomel-ngomel. Hubungin gue aja kalo penting! Bye!”
Gabriel tersenyum
kecut. Padahal otaknya sudah merancang kalimat analisis yang tepat. Ya
sudahlah, nanti ia hubungi oliv lagi.