Sunday 28 April 2013 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 9

Loha loha! Gila ini cerbung udah berapa lama kaga dilanjut -___- kayaknya setaon sekali. hahay~
oke mungkin untuk selanjutnya saya akan post di sini~ hehe :D
oke silahkan membaca, but.. ALERT! Cerita gaje dan kaku! Maklum sudah lama gak menulis~


PART IX

“...Alexander Marvin. Mahaputra.”

“Hah?” Gadis kecil ini mengerutkan keningnya, kemudian membuka mulutnya, namun tidak jadi berbicara.

“Jadi nama Alvin yang sebenernya bukan Alvin?” tanyanya setelah sekian lama hening. Ia mencoba menelaah, tapi malah bingung sendiri.

Anak laki-laki di hadapannya tersenyum. “Iya. Tapi ini rahasia. Agni jangan bilang siapa-siapa yah,” ucapnya, sembari mengusap lembut kepala Agni.

Agni mengangguk. “Tapi kalo rahasia kenapa Alvin kasihtau Agni?”

Pandangan Alvin menerawang ke depan. “Karna kata Papa, cuma perempuan yang Alvin sayang aja yang boleh tau. Yang bakal jadi pendamping hidup Alvin. Yang Alvin percaya.”

Mata gadis kecil ini berbinar. “Berarti Alvin sayang sama Agni?” tanyanya senang.

Alvin menatapnya dengan senyuman lebar. “Kan Agni udah tau..” Ia meraih tangan Agni dan menggenggamnya, “Kalo Alvin selalu sayang sama Agni, dan gak akan Alvin biarin siapapun ngerebut Agni dari Alvin.”

Alvin berjanji, sungguh di dalam hatinya. Ia sudah mengungkapkan identitas aslinya pada Agni, berarti ia bertanggungjawab untuk menjadikan Agni pendamping hidupnya kelak. Papa bilang identitasnya bukan sembarangan. Ini berguna, sangat berguna, bila suatu hari nanti dia mengundurkan diri dari dunia hiburan. Identitas ini jaminan hidup tenangnya. Dan dia sudah menetapkan untuk menghabiskan seluruh sisa hidupnya bersama Agni, malaikat kecil yang membebaskannya dari rasa kesepian.
***
Ozy membelalakkan matanya setelah melihat pesan singkat dari Cakka. “Lo gak salah? Secepet ini?” tanyanya tidak percaya.

Cakka menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum. “Gue gak bisa nunggu lebih lama lagi, Zy. Gue gak mau ambil resiko. Agni itu milik gue.”

“Tapi lo baru pedekate sebulan Cak! Itu juga gue gak yakin Agni mau nerima lo,” terang Ozy.

“Ck.” Cakka memutar bola matanya. “Agni itu fans gue, dia tergila-gila sama gue. Mustahil dia nolak. Lagian selama ini juga gesturenya selalu opened kok.”

“Tapi—”

“Gue gak mau denger. Pokoknya lo harus bantu gue nyiapin semuanya!” suruh Cakka otoriter. Ozy hanya bisa mengiyakan tanpa membantah lagi. Sudahlah, mungkin roda sudah berputar. Dan artisnya ini yang berada di atas.
***
Nathan menghela napas. Ia menatap seisi kantin. Penuh. Ia harus duduk di mana? Ah, akhirnya ada yang pergi juga. Ia segera melangkahkan kakinya ke sana.

Baru beberapa suap ia telan, tiba-tiba datang segerombol mahasiswa—yang ia kenali sebagai teman sekelasnya tadi— menghampirinya. Mendatanginya dengan seringai mencurigakan. Nathan tahu apa yang akan terjadi. Ini juga salah satu alasannya ia cuti kuliah.

Salah seorang dari mereka menepuk bahu Nathan. “Wets, anak emas rektor udah masuk nih. Ada rencana menang lomba apalagi?”

Nathan menghentikan makannya. “Kak..”

“No no no. Jangan pernah panggil kami kakak. Gak sudi punya adek macem lo. Sok pinter!”

“Yoi, kerjaannya cuma ngejilat dosen. Lo liat tadi? Gimana senengnya dosen kita ngeliat maskot kampus ini balik lagi dari cutinya? ‘Wah Nathan, akhirnya kamu masuk juga. Kami sudah menunggu prestasimu kembali’ and bla bla bla,” tiru salah satu dari mereka.

Satu yang lainnya menunjuk tepat di depan wajah Nathan. “Lo,” desisnya, “Gue bisa pastiin hidup lo gak bakal tenang di sini.” Ia menurunkan tangannya. “Kecuali lo keluar secepatnya dari kampus ini.”

Setelah perkataannya selesai, semua langsung beranjak meninggalkan Nathan kembali. Nathan menghela napas kembali. Ia memejamkan matanya untuk sedetik. Dari pertama ia menginjakkan kaki di sini, hal ini sudah terjadi. Bukan hanya oleh sekelompok pemuda itu saja. Tapi banyak. Nyaris semua teman sekelasnya berlaku sama.

Ini semua karena ia berumur lebih muda dari mereka. Karena ia lebih pintar. Karena ia selalu menang di setiap perlombaan. Karena ia menjadi kebanggaan dosen. Dan karena sejak entah kapan, kehadirannya membuat kampus menjadi banyak peminat.

Sepertinya sekembalinya ia ini, segalanya akan menjadi lebih rumit..
***
“Nath, gue sama Shilla balik yah. Disuruh Oma. Lagian, lo kan ada Oom Excel. Dia pasti ngerawat lo lah. Jangan lupa makan, istirahat. Jangan banyak pikiran. Lo harus lebih rileks. Jangan sering-sering minum obat juga. Lo pasti bisa kok. Lo kan kuat, hehe.. Rumah gue sama Shilla selalu terbuka kok buat lo. Udah dulu ya, bye! Muachh..”

Nathan bergidik mendengar kecupan Sivia dari voicemailnya. Kenapa sih gadis itu tidak berlaku normal saja? Gak perlu centil begitu. Kayak Shilla dong, dewasa! Nathan jadi kesal sendiri.

Ia menghempaskan badannya ke ranjang. Mulai sekarang ia tidak akan mendengar lagi kebawelan Sivia, apalagi kekhawatiran Shilla padanya. Aaahh.. hidupnya akan makin hancur saja. Ia tidak yakin Papa akan mau mengurusnya. Tentu saja. Papa kan membencinya.

“Kak Alvin,” Keke membuka pintu kamarnya, memergokinya yang sedang melamun dan tanpa sadar memegang sebelah dadanya. “Siap-siap ya. Kita mau ke studio. Akhirnya Kak Alvin mau jadi artis lagi, Keke udah kangen banget liat Kakak perform,” ucap Keke senang.

Nathan segera bangkit dari tidurnya. Ia tersenyum tipis dan mengangguk. “Iya.” Baru Keke ingin menutup pintunya kembali, Nathan kembali berucap, “Ke, kira-kira Papa bakal ngusir Kakak gak yah?”

Alis Keke terangkat, “Gak mungkin lah Kak! Sejahat-jahatnya Papa, gak mungkin Papa ngusir Kakak, lagi—”

“Papa pernah buang Kakak,” sela Nathan.

Keke berdecak. Kenapa kakaknya ini sangat tidak percaya dengan Papa? “Udah, Kakak percaya aja sama Keke. Lagian, Papa udah nyiapin kejutan buat Kakak.”

“Kejutan? Kejutan apa?”

“Rahasia~”
***
“Ini Coboy Junior. Pasti Kakak udah tau kan? Yang lagi ‘in’ banget sekarang ini. Yang gendut itu Kak Kiki,” yang disebut hanya berdecak, dirinya dikatai gendut. “Yang keriting Kak Babas, eh, Bastian deng, hehe..”

“Yang ganteng itu Kak Bale, Iqbal sih biasa dipanggilnya. Nah kalo yang itu, yang paling cool, Kak Aldi..” yang terakhir disebut hanya mengibaskan poninya. Yang lain menggoda Aldi. Mereka tahu Keke dan Aldi sedang dekat saat ini. Aldi hanya merona malu.

Keke mencondongkan badannya ke arah Nathan, “Menurut Keke sih dia yang paling ganteng,” bisiknya malu-malu. Nathan tergelak mendengarnya. Dan ini membuat Keke memajukan bibirnya kesal.

Hampir semua artis manajemen ini sudah dikenalkan padanya. Lalu mana kejutannya? “Nah, yang ini kejutannya!” seru Keke. Ia menarik tangan seorang gadis yang baru masuk bersama sang papa.

“Kenalin! Ini Kak Prissy! Pricilla Agatha! Dia jenius, kayak Kakak! Dia pinter nyanyi, main musik juga! Cocok deh sama Kakak!” promosi Keke menggebu-gebu.

Gadis berkulit putih yang dikenalkan Keke itu hanya merona. “Keke..” keluhnya berbisik.

Nathan menatap Papa tidak mengerti. Apa maksudnya ini? Menjodohkannya? Atau apa? Tapi.. gadis ini cantik juga. Bukan, bukan juga, tapi cantik sekali. Benarkah gadis ini jenius juga? Mengapa begitu mudah menemukan orang jenius di dunia sebesar ini?

“Ehem,” deheman Excel cukup membuat yang lain mengerti dan meninggalkan mereka berempat. “Saya pikir.. kamu membutuhkan teman yang bisa mengimbangi dirimu.”

Melihat Nathan yang tidak puas dengan jawabannya, Excel mengedikkan dagu ke arah Prissy. “Perkenalkan dirimu. Jangan mempermalukan saya.”

Nathan mengulurkan tangannya, “Nath, eh, Alvin.” Mulai sekarang Nathan harus membiasakan dirinya kembali dipanggil Alvin oleh semua orang. Dan ia harus meninggalkan panggilan Nathan secepatnya.

“Baby Prissy. Boleh panggil gue Prissy tapi jangan panggil Baby,” canda Prissy. Nathan terenyuh mendengar suara Prissy. Suaranya. Sangat. Whisper. Begitu menggelitik pendengarannya. Belum pernah ia menemukan suara semacam ini sebelumnya.

“Suara lo..”

“Kenapa? Jangan bilang darah lo berdesir denger suara gue,” kata Prissy bosan. Hampir semua pemuda yang ia temui berkata seperti ini. Gombal.

Nathan terdiam mendengarnya. Bagaimana gadis ini bisa menebak perasaannya? Sebelum ia larut kembali dalam pikirannya, Papa sudah berbicara, “Kamu akan debut lagi. Duet. Dengan Pricilla tentunya. Jadwal latihanmu sudah ada di manajer. Sekarang temui dulu manajer kamu. Ada yang perlu saya bicarakan dengan Pricilla.”

Tak menunggu anggukan Nathan, Keke segera membawa kakaknya ini ke ruangan—yang paling disegani dan ditakuti seantero artis manajemen ini—pribadi Papanya. Akan ada satu kejutan lagi. Dan dijamin sukses membuat kakaknya speechless.

“And here is..” Keke membuka pintunya, menampakkan seseorang—entah pria atau pemuda—dengan balutan kemeja dan celana hitam. Pemuda itu tersenyum, dan membungkukkan badannya.

“Bertemu kembali Tuan Muda,” katanya sopan. Ia tersenyum melihat kebingungan Nathan.

Nathan menunjuk pemuda itu tidak percaya. Matanya melebar. “Ini serius? Kak Nyopon?!” seru Nathan antusias.

Pemuda berkulit cokelat itu—yang usianya 5 tahun lebih tua dari Nathan—mengangguk. Ia sangat bersyukur tuan mudanya masih hidup dan dalam keadaan sehat. Ia kira setelah ia dipanggil kembali ke Korea—saat Nathan memutuskan untuk vakum dari dunia hiburan—, tuan mudanya akan terpuruk dan tak sanggup melanjutkan hidupnya. Syukurlah.

Nathan menghambur memeluk pelayan pribadinya ini—yang sudah ia anggap sebagai kakak, sahabat, dan sekarang menjadi manajernya kembali—. “Akhirnya Kakak balik lagi! Alvin kira Kakak udah dipecat gara-gara vakumnya Alvin,” sang pelayan hanya menepuk-nepuk punggung tuan mudanya, selayaknya kakak terhadap adiknya.

Nyopon tersenyum dan mengambil kotak besar di meja. Ia menyodorkannya pada Nathan. “Ini, koleksi ensiklopedia limited edition. Terbaru. Terdiri dari 10 buku. Masing-masing 1000 halaman. Seperti biasa, bacaan ringan kesukaan Tuan Muda,” ucapnya.

Lagi-lagi Nathan dibuat terkejut. Ini koleksi yang dia incar tahun ini. Bahkan untuk membelinya perlu akses khusus karna hanya tercetak 20 eksemplar. Awalnya ia ragu bisa mendapatkannya, tapi setelah ingat Papa banyak memiliki akses khusus, dengan mudah bisa didapatkan tentu saja.

“Itu khusus loh, Nyopon sendiri yang nyari. Dia selalu tau Kak Alvin, bahkan lebih dari Keke, adik Kakak sendiri,” ucap Keke murung.

Hanya Nyopon pelayan yang dipanggil ‘Kak’ oleh Nathan. Keberadaannya sangat dihargai oleh tuan mudanya. Hanya ia yang mengerti dan selalu mematuhi Nathan. Dan hanya ialah yang mampu mengatasi emosi dan perilaku tuan mudanya.
***
“Cat pirang?! Please Pa, Alvin gak mau kayak boyband kampungan pake pirang segala!” tolak Nathan, eh, Alvin mentah-mentah.

“Tidak kampungan! Itu semua tergantung tampang! Bersyukurlah kamu dikaruniai wajah yang lumayan!”

“Tapi Alvin tetep gak mau! Lagian ngapain sih mesti ke salon segala?!”

Excel melotot. “Kamu harus ubah tampilanmu! Biar lebih fresh! Saya muak melihat rambutmu yang tidak jelas itu!”

“Tapi—”

“Highlight! Highlight pirang! Tanpa protes!” tukas Excel menyudahi.

Keke yang sedaritadi melihat Papa dan Kakaknya berargumen, hanya bisa tersenyum. Setidaknya mereka sudah tidak sedingin kemarin-kemarin. Meski Papa masih berbicara formal dengan Kakaknya, ia bisa melihat jelas kepedulian Papanya yang semakin hari semakin bertambah. Semakin ingin mengubah Kakaknya menjadi Alvin kembali.

Alvin masih menekuk muka meski rambutnya sudah diurus oleh stylist. “Sudahlah Tuan Muda, ini juga untuk kebaikan Anda. Tuan Besar sangat peduli dengan Anda, dia tidak mungkin membuat Anda terlihat kampungan,” kata Nyopon, menenangkan Tuan Mudanya.

“Hmm,” balas Alvin, masih kesal. Ia melirik ke arah jendela. Tunggu. Deva? Alvin segera menenangkan perasaannya. Ia tidak mau terlihat gila di depan orang banyak. Ini kacau. Kalau Deva muncul, Dea apalagi. Pasti mereka akan adu argumen hingga dirinya menjadi bingung sendiri.

Deva melambaikan tangannya dari balik kaca. Alvin menggelengkan kepalanya pelan, membuat sang stylist keheranan. “Hai Nath! Eh sekarang gue harus panggil Alvin ya? Gak boleh Nathan lagi,” gurau Deva, yang sejak kapan sudah duduk di kursi sebelahnya.

‘Oke Alvin lo gak perlu nanggepin omongan Deva. Lo harus fokus, ada Kak Nyopon, lo gak mungkin bertingkah gila di depan pelayan lo.’ Ulang Alvin dalam hati. Ia tidak mau Nyopon mengundurkan diri karena kegilaannya.

Deva menepuk bahunya pelan. “Udah ada Nyopon Hyung, lo gak butuh gue lagi ya? Padahal gue seneng punya temen kayak lo,” ucap Deva sedih. Ia ingat di awal-awal mengenal Alvin, anak itu banyak bercerita mengenai Hyung kebanggaannya.

Alvin melihatnya dari kaca. ‘Bukan begitu. Lo itu bayangan. Khayalan. Gue gak bisa ngobrol sama lo sekarang. Gue bisa dikira gila,’ balas Alvin dalam hati.

Raut Deva semakin sedih, hingga stylistnya berbicara, “Dek kok gak ditanggepin temennya? Kasihan, sedih gitu mukanya.” Mendengarnya Nathan langsung melotot dan menoleh. Ini serius? Deva keliatan? Bukan khayalannya saja.

“Iya. Gue Deva. Gue nyata kok. Gue rasa ini udah saatnya lo tau. Gue bukan khayalan lo aja. Gue ‘gifted’. Waktu itu gue lagi liburan di Singapur dan besoknya ada pikiran anak yang menarik gue buat kenal lebih jauh. Dia frustasi. Dia kecewa. Dia marah. Dia gak percaya. Gue masuk ke pikiran anak itu dan berusaha memotivasi dia buat sembuh. Gue seneng banget akhirnya gue punya temen. Tapi gue gak yakin setelah ini..” Deva menjelaskan tanpa jeda, kemudian menghela napas berat.

“Gifted kayak gimana?” tanya Alvin penasaran.

Deva mengangkat kedua bahunya. “Gue bisa baca pikiran orang. Dan bisa mengikatnya dengan pikiran gue sendiri. Kayak lo. Gue bisa muncul di hadapan lo kapan aja. Itu karna gue mengikat pikiran lo, gue butuh temen yang membutuhkan gue, kayak lo.”

“Berarti Dea juga nyata?” tanya Alvin bingung. Ini sulit dicerna otak jeniusnya. Tidak logis. Nonsense. Ia belum pernah membaca yang seperti ini sebelumnya.

“Gak. Dea, Acha, Aren, semua murni dari pikiran dan perasaan lo sendiri. Dea itu perwujudan hati kecil lo, dia ngungkapin perasaan yang lo sembunyiin dalem-dalem, yang lo gak mau akui. Kalo Acha sama Aren, rasa bersalah lo dalem banget ke mereka. Lo gak bisa ngabaiin penyesalan itu. Lo mau minta maaf ke mereka, tapi lo gak bisa. Lama-lama, lo ngewujudin mereka dalam pikiran lo,” terang Deva lagi, menyadarkan Alvin atas kekeliruannya selama ini.

Deva beranjak dari kursinya. Ia memandang Alvin yang tampak shock mendengar penjelasannya. “Gue tunggu sampe besok jam 7 pagi. Gue butuh keputusan lo, lo masih butuh gue atau enggak. Ini emang mendadak, tapi gue yakin mental lo cukup siap nerima ini,” ucapnya kemudian berlalu, meninggalkan Alvin yang mengurut pelipisnya.

Terlalu banyak kejutan tidak baik untuknya. Ia belum sanggup kalau harus menerima satu lagi..

“Tuan Muda, setelah ini kita akan menyusul Tuan Besar ke butik. Ada yang mau Anda beli dulu?” tanya Nyopon, setelah rambut Alvin masuk tahap pengeringan.

Diingatkan tentang Acha dan Aren, ia jadi ingat Agni. Sudah lama ia tidak bertemu dengan gadis itu. Bahkan ia belum menyampaikan permintaan maaf atas kehebohan yang dibuatnya di jejaring sosial.

“Ada. Sekalian pulang dari mall Alvin mau ke rumah temen dulu.”
***
Zevana menyeret kakinya malas. Siapa sih yang dateng siang-siang begini? Ganggu tidur siangnya aja deh. Masih dengan wajah kucel dan mata setengah watt, Zevana membuka pintunya.

“Hai Zev,” sapa orang yang mengganggu siang Zevana di hari Minggu terik ini.

Zevana melebarkan kelopak matanya dan speechless melihat warna rambut tamunya. “Alvin! Lo apain rambut lo! Gila! Keren banget!” histeris Zevana. Ia menyentuh rambut Alvin. Ya ampun, Alvin jadi mirip orang barat, mirip bule.

Alvin membalas dengan senyum tipis. “Agni ada kan?” Ia mengangkat tangannya yang membawa 2 tas karton. “Gue bawa sesuatu buat lo berdua.”

Zevana mengangguk dan membiarkan Alvin masuk ke dalam. “Kenapa rambut lo dicat?” tanyanya yang masih tertarik dengan rambut baru Alvin.

“Dipaksa Papa. Oh iya, ini buat lo,” jawab Alvin dan memberikan bungkusan yang lebih kecil.

“Gue dapet yang lebih kecil nih? Gak adil,” gumam Zevana.

“Buka dulu baru komen,” balas Alvin sabar.

Softlens. “Lo lebih cantik tanpa kacamata Zev,” ucap Alvin. “Dan gue yakin Cakka juga berpendapat sama.”

Zevana menatap softlensnya. “Gue bantu makenya,” kata Alvin, menyadari kekhawatiran Zevana. “Tapi gue harus cuci tangan dulu..”
***
Agni menuruni tangga dengan gelas dalam genggamannya. Ia menoleh ke arah ruang tamu. Tadi bukannya ada tamu? Zevana kemana? “Ze?” panggil Agni agak kencang.

“Dapur Ag!” seruan Zevana membuat Agni menghembuskan napas lega. Ia kira Zevana diculik atau apa.

Langkah Agni yang semakin mendekati dapur berhenti tiba-tiba. Mendadak napasnya tercekat. Ia mematung melihat adegan di depannya. Sosok berhighlight yang ia kenali sebagai Nathan, tengah menatap Zevana dengan intens. Wajah mereka yang berdekatan, ditambah sebelah tangan Nathan mengangkat wajah Zevana membuatnya—entah kenapa—tidak suka.

“Ag?” Zevana yang beringsut ke arahnya membuat Agni tersadar. “Yang lo liat barusan bukan apa-apa kok. Nathan ngasih gue softlens, dia ngajarin gue makenya. Gimana?” klarifikasi sekaligus tanya Zevana.

“Eh.. Cocok kok. Lebih cantik,” Agni mengacungkan jempolnya dan tersenyum. Pandangannya beralih pada Nathan yang mengusap rambut barunya.

“Hai Ag. Sori gue baru dateng. Gue minta maaf buat kekacauan kemaren. Gue gak nyangka bakal rame di media,” ucapan Nathan terhenti, membiarkan Zevana undur diri dari mereka.

“Lo pasti dikejar-kejar wartawan ya? Lo pasti bingung sama pertanyaan mereka. Sementara kehidupan lo diusik sama mereka, gue malah diem di rumah. Tapi gue bukannya gak ada niat minta maaf, gue dikurung di rumah,” Agni hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak mempermasalahkan masalah itu.

 Nathan berjalan ke ruang tamu dan memberikan tas karton yang lebih besar. “Ini permintaan maaf dari gue, semoga lo suka dan diterima,” ucapnya sambil tersenyum.

Agni meletakkan gelasnya dan mengambil isi bingkisannya. “Jaket?” Ia membuka jaket itu. Lucu sekali. Jaket putih dengan motif oranye dan abu-abu serta dua kuping di tudungnya membentuk kucing. “Lucu banget,” kata Agni berbinar. Hal ini sukses membuatnya lupa akan adegan tadi.

“Thanks ya. Gue suka banget. Sebenernya gak perlu segininya,” kata Agni sungkan. Nama toko yang tertera di bungkusnya membuat Agni merasa tidak enak. Ini dari butik yang sedikitpun ia tidak berpikir untuk masuki. Mahal sekali.

Nathan meremas tangannya sendiri. Mati-matian menahan dorongan untuk mengelus kepala Agni, atau bahkan menarik gadis itu dalam pelukannya. Ia mengalihkan pandangannya.

“Nath,” panggilan Agni membuyarkan keheningan yang berlangsung setengah menit sebelumnya. Nathan menoleh. “Lo beneran Alvin? Alvin Jonathan personil CASS? Semua media bilang begitu. Bahkan gabriel juga memuat berita tentang lo di buletin sekolah.”

Anggukan Nathan menjawab semua pertanyaan Agni. “Jangan cerita ke orang lain, sebelum gue yang klarifikasi sendiri,” mohon Nathan. Agni mengangguk dan berjanji untuk tidak melakukannya.

“Tapi kenapa lo ngaku bernama Nathan? Dan kenapa lo mendadak ilang dan diberitain  udah meninggal? Lo ada masalah?” tanya Agni perhatian. Melihat Nathan yang menunduk, Agni menyentuh tangan pemuda itu.

Nathan—karna Agni sudah tahu, kita sebut saja Alvin—berbalik menggenggam tangan Agni. Ia ingin bersandar di pundak Agni, bahkan untuk sebentar saja. Bebannya memang meringan hari ini, tapi bukan berarti hilang.

“Audisi yang kemarin gimana?” Mengerti maksud Alvin, Agni tersenyum lembut. Sepertinya ia bertanya terlalu jauh.

Jawaban Agni tertunda oleh bunyi bel. “Cakka?” seru Agni senang begitu membuka pintu. Lain dengan Alvin, tubuhnya langsung menegang dan menatap pintu dengan napas tertahan.

“Hei,” Cakka mengusap puncak kepala Agni. Gadis itu merona. Cakka terkekeh. Ia menyadari kehadiran sepupunya, namun ia tidak peduli.

“Ntar malem ada acara?” tanya Cakka, langsung pada tujuannya.

“Gak ada. Mau jalan?” tanya Agni balik.

Cakka mengangguk. “Tapi lo harus pake ini ya. Malem ini spesial banget soalnya,” Agni menerima sodoran kotak Cakka. Spesial? Berarti dia juga spesial di hati Cakka? Agni mencubit pipinya sendiri. Kedekatannya dengan sang idola terlalu membuatnya melambung.

Cakka gemas sendiri melihat Agni. “Lo gak mimpi kok. Selalu gitu deh tiap gue ajak jalan,” kata Cakka, berakting sedih.

“Yah bukan begitu. Gue kan..”

“Iya gue bercanda sih. Jangan gak enakan gitu sama gue. Ntar jam 7 gue jemput ya. Yang cantik,” goda Cakka, mengedipkan sebelah matanya.

Alvin yang tidak tahan melihat kedekatan keduanya memilih pulang. “Gue duluan Ag,” pamitnya singkat. Cakka menyeringai senang. “Gak perlu balik lagi,” desis Cakka santai, tepat saat Alvin melewatinya. Pemuda itu mengabaikannya, dan terus berjalan hingga mencapai mobilnya.

Selepas kepergian Alvin, Agni mempertanyakan sikap Cakka barusan, “Lo sama dia kenapa sih?”

“Nanti juga lo tau,” jawab Cakka. Tangannya mengusap lembut pipi Agni. Menatap manik mata gadis yang dalam hitungan jam akan menjadi miliknya. “Gue gak akan biarin dia ngerebut kebahagiaan gue lagi,” ucapnya serius.

Agni tertegun. Belum pernah ia melihat Cakka yang seserius ini, bahkan di TV sekalipun. Apa yang kedua pemuda ini sembunyikan?
***
“Lounge?” Agni meragukan tempat ini. Memang sih kelihatan berkelas, tapi ia tidak menyangka Cakka akan mengajaknya ke tempat ini. Pemberian Cakka yang berupa mini dress biru membuat Agni semakin curiga.

Cakka meraih tangan Agni, menggenggamnya. “Gue bersumpah gak akan ngapa-ngapain lo. Gak akan ada yang mabuk di antara kita. Lo percaya kan sama gue?” yakin Cakka.

“Apa jaminannya?” Agni tidak mau mengambil resiko. Apapun bisa terjadi di dalam sana.

“Lo bisa bunuh gue kalo ada hal yang gak diinginkan. Sampe kita pulang nanti, gue jamin gak ada yang berani nyentuh lo, seujung kuku pun.”

Melihat anggukan Agni, Cakka langsung berlari memutar, membukakan pintu untuk calon pacarnya.
***
Agni berjalan dengan menundukkan kepalanya, membiarkan Cakka membimbingnya entah kemana. Sejak tadi ia terus ditatap aneh oleh seisi lounge. Apa ia tidak pantas ada di sini? Atau ia tidak pantas bersama Cakka?

“Lo tunggu di sini dulu ya, gue mau ke toilet bentar,” ijin Cakka. Agni menggeleng pelan, menahan tangan Cakka yang hendak beranjak. “Jagain dia ya!” suruhnya pada mixologist yang berada di dekatnya. “Bentar doang kok,” pamit Cakka kembali. Mau tak mau Agni membiarkannya pergi.

Ia menatap sekeliling. Tempat ini begitu mewah. Tidak heran yang berkumpul di sini artis-artis semua. Lantai dansa masih kosong, dan musik yang mengalun masih musik klasik. Acaranya belum mulai kah?

BLIP!

Gelap. Agni tidak bisa melihat, atau bahkan mendengar apapun. Keheningan mencekamnya. Ia sampai mencengkeram dressnya sendiri. Ketakutan. Bagaimana kalau ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi?

“Cakka..” panggilnya pelan. Berharap pemuda itu segera kembali menjaganya.

Ia dengar derap langkah mendekatinya. Agni beringsut ke bar. “Ini gue,” oh rupanya Cakka. Agni mendesah pelan. Ia kira siapa. “Ikut gue,” ucap Cakka masih berbisik. Tidak sempat Agni bertanya. Ia mengikuti pemuda itu yang menarik tangannya.

Sebentar. Ini naik kemana? Kenapa ada tangga yang harus dilewatinya? Dan kenapa Cakka berhenti tiba-tiba? “Ehem,” deheman Cakka langsung menyalakan lampu sorot ke arah mereka berdua. Agni dapat melihat di hadapannya ada sebuah DJ Booth.

“Halo semuanya,” suara Cakka menggema, menggunakan microphone yang ada di DJ Booth tersebut. “Thanks udah dateng ke sini. Gue mau kalian jadi saksi pernyataan cinta gue, ke gadis impian gue, yang gak pernah sekalipun gue lupain selama 7 tahun ini. Dia gadis yang spesial, sangat spesial dan berarti buat gue malah.” Cakka menarik napasnya, melirik Agni yang tercengang mendengarnya.

Cakka tersenyum lembut, sangat lembut, hingga membuat Agni tersentuh. Ia menggenggam satu tangan Agni, dengan tangan yang lainnya masih memegang microphone. “Well, Agni, boleh kan gue jadi pacar lo?” tanyanya mantap.

Agni menatap Cakka, melihat kesungguhan pemuda itu padanya. Ia ingin sekali berteriak dan bilang ‘ya’, tapi berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya. 7 tahun lalu, bukankah itu saat dia amnesia? Siapa Cakka sebenarnya? Bagian masa lalunya kah?

“Ag,” panggil Cakka khawatir. Jangan bilang Agni menolaknya. Ia sudah yakin akan diterima dan sama sekali tidak berpikir untuk ditolak.

“Iya,” jawaban pelan Agni membuat Cakka lega. Refleks, Cakka langsung memeluk gadisnya. Dia tidak pernah sesenang ini sebelumnya. Satu impiannya sudah tercapai, maka tinggal mewujudkan mimpi yang lainnya: hidup bersama Agni selamanya.

Berbagai seruan selamat diabaikan Cakka. Ia sibuk mengelus rambut gadis yang mengaku malu disoraki seperti itu. “Sebentar,” Cakka mengurai pelukannya dan kembali ke microphone.

“Well, let’s the party begin!” teriak Cakka, yang langsung menyalakan lampu serta musik, mengembalikan keberadaan klub yang hanya muncul di malam hari.

Agni mencubit pipinya sendiri. Rasanya seperti mimpi ditembak oleh sang idola. Tangannya bergerak ke dada, merasakan detak jantung yang mulai tak normal. Pipinya merona, sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. Cakka bilang dia spesial. Ah, benarkah?
***
 “Kalo gitu, perkenalkan,” Cakka mengangsurkan tangannya ke Agni. “Cassanova Sakka Mahaputra,” lanjut Cakka bahagia. Agni gadis pertama—selain keluarganya—yang mengetahui nama aslinya. Dan ia akan pastikan hanya Agni yang tahu. Ia kan akan menikah dengan Agni, nanti, saat mereka lebih dewasa.

Agni terdiam. Ia seperti mengingat sesuatu. Rasanya ini déjà vu. Ia pernah mengalami ini sebelumnya, ia yakin, dan entah kenapa hatinya jadi merindukan hal itu.

“Agni, jangan ngelamun lagi. Lo kenapa sih?” tanya Cakka khawatir. Ia mengelus tangan Agni dan mengecupnya.

“Kayaknya gue pernah denger ini sebelumnya. Tapi gue lupa kapan dan dimana,” ucap Agni jujur. Mendengarnya Cakka langsung menegang. Pernah? Berarti Alvin yang mengatakannya. Sial! Kenapa Agni lebih ingat pada si pembawa sial itu dibanding dirinya?!

Cakka langsung memasang senyum dan lebih rileks. Maaf Agni, kali ini dirinya harus berakting.  “Perasaan lo aja mungkin. Udah sekarang gue anter pulang ya?”
***
“HAH?! AGNI JADIAN SAMA CAKKA?! KENAPA LO GAK BILANG GUE!” histeris Rio. Ia tidak menyangka secepat ini Agni melupakannya. Dan bagaimana bisa Cakka nembak Agni? Dia kan baru kenal Agni sebulan!

Ify menggosok-gosok kupingnya. “Ya gue mana tau Kak. Cakka cuma bilang mau bikin party. Mana gue nyangka dia bakal nembak Agni disana,” balas Ify.

Pandangan sangar Rio beralih ke Ray. Ia menunjuk wajah pemuda itu geram. “Lo kan deket sama Cakka! Masa lo gak tau! Lo sengaja ya gak mau gue balikan sama Agni!” tuduhnya.

“Heh apa-apaan! Gue gak deket sama Cakka, cuma kadang main bareng doang! Dia sendiri yang tau-tau nembak Agni. Lo jangan nyalahin orang dong! Terima aja fakta kalo Agni udah lupain lo, udah gak suka sama lo!” seru Ray kesal. Ia beranjak dari duduknya dan segera pergi.

Ify berdecak melihat kelakuan aneh kakaknya. Ia berjalan mengejar Ray. “Ray, maafin kakak gue ya. Lo tau sekarang ini dia sensi banget kalo denger nama Agni. Apalagi denger Agni jadian ama Cakka. Lo inget kan waktu mereka jadian aja Agni sering banget muji-muji Cakka dan itu bikin Kak Rio gedeg setengah mati. Apalagi denger keduanya jadian,” bisik Ify.

Ray memutar bola matanya. Ia hapal mati bagaimana kisah Rio-Agni semasa jadian. Dia kan temen curhat Rio yang paling dipercaya. Jadi gak perlu ngingetin dia gimana perasaan Rio sekarang.

“Yaudah. Gue pulang dulu. Lo kenapa gak bareng Septian, malah bareng gue?” tanya Ray, hampir lupa dengan pertanyaan pentingnya sejak Ify minta jemput tadi.

“Oh. Gue udah putus sama dia,” jawab Ify enteng. Ia memainkan kuku-kukunya, membuat Ray gemas.

Ray tersenyum mendengar jawaban Ify. Dari seluruh mantannya Ify, Septian ini paling susah diputusin. Kekeuh banget pertahanin hubungannya. Tapi Ray tidak mau tahu bagaimana keduanya putus. Yang penting sekarang ia bisa jalan berdua sama Ify, bebas tanpa harus digosipin.

“Eh, gue udah dapet nomernya Debo loh! Ternyata dia scout talentnya XEnt. Gak jauh-jauh ya ternyata. Gedung sebelah, hehe.. Gue kirain jauh,” celoteh Ify senang.

Ray yang semula sudah senang malah drop lagi. Great. Kapan sih Ify mau mandang dia?
***

Kan kan kan ceritanya gaje -___-
untuk kelanjutannya saya juga gak tau yah, hehe..
kalo mungkin dilanjutin pun bakal dibuat part-part pendek, sekitar setengah atau sepertiga dari part ini.
tapi saya udah mandek ide, kelamaan gak nulis, udah lupa ide awalnya --"
thanks udah membaca dan komen, kritik, serta saran saya tunggu di fb/postingan ini :D