Monday 24 October 2011 | By: Vina Arisandra

Kelanjutan Cerita?

Loha loha! Long time no see ya!!
Pan gua udah kaga ngelanjut cerita lagi nih, biasalah sibuk cuy! Padahal tanggungan cerita gua ada banyak. Banyaakk banget.. Ada Sekuel HiL, UpL, MFR, dan kalo kalian belum lupa masih ada My POV. Demi deh itu tanggungan atau apa. Gak tanggungjawab banget ya gue -_____-

One day gue bakal lanjut kok kalo ada waktu. entah kapan itu~ hahaha :D
Bukan cuma gak ada waktu aja sebenernya, tapi gue juga kaga ada ide. ya maklum lah kan gua gak mau ceritanya pasaran punya, hahay~ sok ya gue? emang --"
teruss... gue juga kayaknya udah kehilangan minat ngebuat cerita. karna jam terbangnya udah gak kayak dulu kali ya? hmm..

oke berdoa aja semoga gue dapet mood gue lagi, biar tu cerita pada cepet tuntas, haha..
sebenernya sih di otak gue udah ada, cuman gak nyambung gimana gitu ya, haha :DD

Tuesday 6 September 2011 | By: Vina Arisandra

Imaginary Viegrache?

Imaginary Viegrache? Mungkin sebagian dari lo yang baca title blog ini belom bisa nyerna apa sih maksudnya dan langsung mengabaikan begitu saja. Padahal sebenernya ada filosofinya loh~

Imaginary: means that it's just an imagination or something ellusive that we known it wasn't real. Yeah. Imajiner. Khayalan.

Viegrache: nama twitter gue. Oke, bukannya promo twitter atau apa, tapi nama Viegrache ini sendiri udah jadi sesuatu yang khas buat gue. Bisa dibilang nama lain gue. Gue gak bisa kasihtau gimana ni nama bisa muncul. Ya secara ajaib gitu deh. Tapi nama ini cuma ada satu, Viegrachenya Vina! *apadeh*

So, kalo kita gabung, Imaginary Viegrache jadinya diri gue yang imajiner, yang maya, yang ada di sisi lain. Gue yang selalu berfantasi, gue yang selalu tertarik sama hal-hal yang gak lazim buat orang lain, gue yang mungkin lebih bisa menjadi diri gue sendiri di dunia fantasi dan imajiner ini.

Sama kayak umumnya, blog gue udah kayak buku diary gue aja. Gue ngomong seenak jidat begimana-begimananya, kritik ini itu, norakis, dan sebagainya~ Gue gak pengen lepas dari dunia fantasi gue sendiri, pokoknya, gue nganggep blog yang gue buat bisa jadi kekuatan gue, pendorong gue, buat gak berhenti berfantasi dan berkhayal.

Udah, itu aja. Itu aja udah ngelantur apa banget coba. Ehya, betewe gue punya Tumblr loh~ Tapi gak ngerti ngegunainnya~ Namanya? Ellusive Soul. Sama aje ye kayak Imaginary Viegrache? haha.. Intinya imajiner, khayal, fantasi, ilusi. Antara nyata dan enggak~
Friday 1 July 2011 | By: Vina Arisandra

Sekuel Hasinuda in Love!

yayaya gue tau telat banget gue nulisnya padahal sekuelnya udah dipost. iya juga gue kemakan omongan gue sendiri yang tadiannya bilang gak mau bikin sekuel --"
abis gimana ya, gue ada ide nanggung sih, haha..

yang mau baca Hasinuda in Love dan Sekuel Hasinuda in Love ada di fb kedua gue: Vina Arisandra vg-stories.

di situ juga ada MFR sama UpL. gue gak mau ngepost di sini soalnya nanti banyak yang COPAS dan JIPLAK! males banget gue sama yang ngaku-ngakuin tu cerita --"
kalo ada yang ngaku-ngaku itu cerita dia lapor ke gue ya, biar gue tegur. abisan udah banyak juga yang begitu --"

kenapa gak di fs icl yang baru? gue udah nyoba join tapi tidak bisa~~  ya sutralah gue post di efbeh kedua aje~ hehe..

Betewe, sekuel HiLnya ancur!! bedeuh.. gak ada feelnya. garing, jayus, maksud, gaje, pokoknya semuanya deh. kaga mau baca gak papa banget! daripada imej HiL yang udah lo tau malah makin jelek setelah baca sekuelnya, hihi..

udah gue cuma mau ngasihtau doang, hihi.. happy reading!!
Saturday 16 April 2011 | By: Vina Arisandra

My First Romance Part 2

PART II


IFY’S POV


Langkahku terhenti ketika melihat sepasang muda-mudi di koridor lantai dua. Mereka sedang berbicara sambil menghadap ke lantai 1. tampaknya pembicaraan mereka kali ini meresahkan, terpeta dalam wajah sang pemuda yang serius. Namun tak lama, keduanya malah tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan.


Huh. Menyebalkan sekali melihat itu. biarpun aku sudah sering melihatnya, aku tidak suka! Mau tahu siapa mereka? Kak alvin dan kak zeva! Mau tau siapa kak zeva? Kak zeva itu partnernya kak alvin sebagai guru konseling. Nama lengkapnya Anastasia Zevana, 23 tahun, seumur dengan kak alvin. Kalo kak alvin kerjaannya terima curhatan murid, kak zeva yang ngajar murid-murid di dalam kelas.


Tapi kalau sudah diluar jam mengajarnya, lumayan juga anak yang mau berkonsultasi dengannya. Dan partnering serta kesamaan usia inilah yang membuat mereka lebih sering berkomunikasi dibanding dengan rekan guru lainnya. Menyebalkan bukan?


Tanpa berpikir panjang aku langsung mengambil salah satu panahku, yang selalu kuselempangkan di belakang, seperti pemanah lainnya lah. Aku berusaha membidik dengan tepat, celah di antara kedua muda-mudi itu.


Panahku meninggalkan busurnya dengan cepat, kurang dari 1 detik. Hebat bukan kemampuanku? Hahaha..


Kulihat mata kak alvin melebar saat panahku melaju cepat tepat di sebelah pipinya. Aku diam saja. tak peduli dia mau marah padaku. Aku sangat tidak suka kebiasaannya yang satu ini.


Benar saja, kak alvin langsung berteriak memanggilku saat panah itu menancap kuat di dinding yang berwarna krem. “KATARINA!!” teriaknya marah dan mencariku dengan sapuan matanya.


Ia berjalan cepat ke bawah, tempatku berdiri. Aku masih diam di tempatku, dengan kedua tangan terlipat di dada. Dapat kulihat kalau kak zeva mengejar langkah cepat kak alvin dengan wajah khawatir.


“kamu itu! kakak sudah bilang berapa kali! Jangan gunakan panahmu di luar area memanah! Kalau tadi kena kakak atau kak zeva gimana?! Kamu mau kami mati di tempat ya!” kak alvin menyerocos memarahiku.


“vin, udahlah. Dia pasti ada maksud ngelakuin itu,” kata kak zeva sok menenangkan kak alvin. ih! Apa banget deh!


Kak alvin menarik napas dan menghembuskannya pelan. Aku tau dia sangat marah dengan kelakuanku tadi. Sangat membahayakan. Sedikit saja bidikkanku meleset, bisa-bisa kena jantung mereka.


Kak alvin menatapku kesal, kemudian tiba-tiba saja dia menjewer telingaku. Refleks aku berteriak. “jadi maksud kamu apa hah?!” tanya kak alvin tidak sabar.


Aku melepas tangan kak alvin, lalu menggosok-gosok telingaku pelan. “abisan kakak seru banget sih sama kak zeva! Gak inget sama kak acha apa? Nanti aku laporin ke kak acha baru tau rasa!” keluhku kesal.


“apaan sih pake lapor ke kak acha segala?! Udah deh kamu gak usah ikut campur urusan kakak! Kakak udah cukup pusing mikirin masalah kakak! Kamu jangan nambah-nambahin beban kakak dong! Sekarang serahin panah kamu! Kalo kamu ada kelas, baru ambil ke kakak!”


Aku terhenyak dengan ucapan kak alvin. kedengarannya dia benar-benar sedang tidak dalam kondisi tenang. Emosinya keluar begitu saja. aku jadi merasa bersalah padanya. Kuserahkan busur beserta tempat penyimpanan panahku kepadanya. “maaf kak, aku gak bermaksud buat kakak marah,” sesalku. Aku tak berani menatapnya.


“kembalilah ke asramamu. Jangan keluar sebelum makan malam. Renungkan perbuatanmu. Dan setelah makan malam nanti, temui kakak di ruangan kakak. Ada yang harus kita bicarakan,” ucap kak alvin pelan. Sepertinya emosinya sudah terkontrol kembali.


Aku beranjak dari sana, dan setelah agak jauh sayup-sayup aku mendengar suara kak zeva. “jangan terlalu keras pada ify, vin, dia hanya tidak suka melihatku di dekatmu. Dia sangat sayang pada acha sepertinya. Ayolah, kau tidak mungkin benar-benar memarahinya kan? Bukannya kau ingin mengabarkan kabar baik padanya?”


Aku tidak mengerti dengan ucapan kak zeva. Lagipula, aku sedang menjalani hukuman kak alvin, kembali ke asramaku dan diam di sana. hei, kenapa? baru kali ini melihatku sedih? Aku memang seperti ini kalau kak alvin mulai marah padaku. Kalian tahu? Aku sangat sangat sayang pada kak alvin, begitupun terhadap kak acha. Aku tidak ingin membuat salah satu dari mereka marah atau kecewa. Makanya, aku tidak suka melihat kedekatan kak alvin dan kak zeva tadi.


Ah kak acha! Cepatlah kembali ke Indonesia!!
***
Author’s POV


Hening. Seisi penghuni ruang audio visual terus curi-curi pandang ke tempat duduk paling depan di pojok kiri. Mereka melirik dengan pandangan yang mengisyaratkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal.


Salah seorang dari mereka memberanikan diri mengangkat tangan. “emm.. pak, gak salah nih kelompoknya?” tanyanya.


Sang guru menggeleng. Ini sudah menjadi keputusannya dan kedua guru konseling untuk membagi seluruh anak kelas sepuluh berdua-dua untuk mengerjakan proyek rutin kelas sepuluh, membuat makalah.


Dan yang beda untuk tahun ini, pembuatan makalah harus berpasangan, siswa dan siswi, ditentukan oleh guru, dan semua kelas sepuluh diacak. Jadilah murid-murid heboh dan kontan berbisik-bisik heran melihat sebuah pasangan yang terakhir disebutkan. Agata dan Xaverius. Nova dan Raynald.


Tidak salah? Masa si pangeran es dan putri es dijadikan satu kelompok? Apanya yang akan membina kekompakkan dan memupuk rasa solider? Yang ada nanti malah kerja individu dan saling cela.


Pemuda yang kemarin, yang bernama Raynald, yang sudah semenjak 30 menit lalu menjadi pusat perhatian, masih diam saja. seolah tak mendengar apapun, ia masih menatap lurus papan tulis besar kosong di depannya, meski sesekali mengerling ke sebelah kanannya, tempat seorang gadis manis duduk.


Gadis itu tahu Raynald meliriknya terus daritadi, tapi ia tidak peduli. Ia bahkan lebih dingin daripada si bungsu Dominique ini. Ia menatap papan tulis di depannya, berusaha menulikan kupingnya dari bisik-bisik buruk tentang keputusan guru untuk mengelompokkannya dengan Raynald. Cih. Bahkan dia tidak ambil pusing dengan hal ini. Kenapa mereka yang repot?


Gadis ini, Agata Nova Theodore, si putri es. Dinginnya melebihi Raynald. Tidak punya teman, berbicara hanya jika sangat perlu, ditambah dengan status keturunan dari keluarga Theodore—konglomerat dengan ratusan butik yang tersebar dimana-mana—,  membuatnya sangat angkuh dan anggun. Menarik bukan?


Dia memang tak sepintar Raynald, tapi kepopulerannya di sekolah menyamai seorang Xaverius Raynald Dominique. Hebat bukan?


Raynald berbisik pelan, amat pelan, hingga hanya Nova yang mungkin bisa mendengarnya. “sebelas malam, ruang rekreasi.” Ah ya, ruang rekreasi, tempat murid-murid bisa berkumpul di asrama, karna terletak di antara asrama putra dan putri, yang memiliki jam malam sampai pukul 12.


Nova tak menanggapi, dia malah berdiri dan melenggang bak putri raja keluar ruangan, melihat semua sudah mulai bubar mengosongkan aula. Raynald menghela napas pelan, kemudian keluar mengikuti yang lain.
***
Cakka mengacak-acak rambutnya. Ia sudah menemui hampir semua anak kelas sepuluh, namun tak ada yang mau berteman dengan Raynald. Bahkan mencobanya saja mereka tampak enggan.


Ia melayangkan pandangannya ke seisi ruang rekreasi. Sudah sepi. Ia melirik jam tangannya. Oh, jam sebelas lewat. Pantas saja. dia sudah kemalaman rupanya.


Ia melirik ke sebelahnya, agni masih setia menungguinya dari jam delapan tadi. Sekarang gadis itu sedang serius membaca buku pelajarannya. Oh, rajin sekali.


Cakka mengedarkan pandangannya lagi, kini lebih menaruh perhatian. Tunggu! di meja paling sudut—yang biasanya tak terlalu diperhatikan baik olehnya ataupun murid lainnya. Raynald! Beserta seorang siswi tampaknya. cakka memicingkan matanya. Ah ya, kalau dia tidak salah, itu Nova, putri semata wayang keluarga Theodore, anak kolega papanya.


Lama cakka mengamati mereka, sampai ia mendapatkan sebuah ide cemerlang! “agni! aku udah tau siapa yang bisa ngebantuku lulus dari Raynald!” serunya pada agni.


Agni mengangkat kepalanya. “siapa?” tanyanya heran.


“Nova!” seru cakka lagi. Ia sedang dalam kondisi sangat tidak sabar untuk menyelesaikan challenge dari Raynald. Sebentar lagi..


Raut wajah agni berubah, tak terdefinisikan. “jangan. Yang lain aja kka,” cegahnya.


“kenapa? kau tidak lihat ag? Raynald sepertinya tertarik dengan si Nova itu. lihat saja dari dia yang berbicara banyak, berarti cuma Nova kan yang setidaknya mau berteman dengan Raynald?” ujarnya antusias.


Agni mengikuti arah pandang cakka. tampaknya memang begitu. Tapi… “lebih baik kamu cari teman laki-laki saja untuknya kka, lagipula apa Nova mau?” alasan agni.


Cakka tampak berpikir. Benar juga sih apa kata agni. apa nova mau? Kemudian ia mengangkat bahu. “kalau gak dicoba kita gak akan tau. Siapa tahu Nova mau?”


“kau bicara dengannya saja tidak dia acuhkan. Apalagi kamu minta jawaban darinya? Mustahil,” balas agni tidak mau kalah.


Cakka menghempaskan badannya ke sofa panjang yang didudukinya dari tadi. “lalu siapa lagi? Aku sudah menemui seluruh anak kelas sepuluh, tapi semua menolak. Tinggal nova. Aku yakin dia penyelamatku! Pokoknya aku harus bisa membujuknya! Lagian kau kenapa sih ag? Sepertinya tidak senang sekali kalau aku bisa lulus dari Raynald?” tanya cakka heran.


Agni menatap adiknya yang berada di kejauhan. “bukannya begitu kka, tapi aku Cuma menyarankanmu untuk tidak dengan Nova. Kau bisa menambah perpecahan di keluarga kami kalau begitu,” kata agni lalu menghela napas.


Cakka menatap agni penasaran. “maksudmu?” tanyanya tidak mengerti.


Agni berdiri dan membawa buku-bukunya. “sudahlah kka, ada saatnya nanti kau tahu. Apa kau sudah mencoba pada Deva?”


“deva? Anak overactive begitu? Kau bercanda?” tanya cakka balik, benar-benar heran.


Agni mengangguk. “coba saja dulu. Kita tidak akan tahu sebelum mencoba bukan? ah ya kka, aku kembali ke asrama dulu ya, aku sudah ngantuk,” kata agni sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan, menguap.


Cakka mengangguk dan membiarkan agni berlalu. Deva? Quirinus Deva Ravellion? Yang anehnya hampir menyamai Loony Luna di Harry Potter? Oh my god! Bagaimana bisa agni mengusulkan si aneh itu?
***
Gabriel mengepalkan jari-jarinya kesal. Adiknya yang satu itu.. benar-benar tak bisa diatur! Lagi-lagi ia yang kena marah bukan? gara-gara Mario menolak perintah keluarga untuk belajar bisnis dengannya, ia yang kena omel karna tak bisa membuat adiknya itu berhenti membangkang.


Memangnya seluruh hidupnya hanya untuk mengurus adik-adiknya apa? Mario itu sudah besar! Sudah 19 tahun! Biarkan saja anak itu memilih jalan hidupnya sendiri! Jadi jangan jadikan dirinya pelampiasan ketidakpuasan keluarganya terhadap Mario! Toh ini semua terjadi karna keputusan fatal keluarga kan?


Kapan dia bisa memikirkan hidupnya sendiri kalau harus terus mengawasi adik-adiknya? Jangan mentang-mentang dia anak sulung dia yang harus bertanggung jawab akan semuanya.


Hahh.. Gabriel menghela napas. Sebaiknya ia memikirkan bagaimana mengerjakan setumpuk tugas di hadapannya ini sebelum sore menjelang.


“Gabriel!” seru seseorang. Gabriel menoleh. Ah, sivia. Lagi-lagi gadis ini menghampirinya.


“apa?” tanya Gabriel, setengah acuh.


Sivia menggeser sebuah kursi ke sebelah Gabriel. “bagaimana kalau kita kerjakan bersama-sama? Kau tidak keberatan kan?” usul sivia tanpa basa-basi.


Gabriel mengangguk saja. yang penting tugasnya cepat selesai, dan ia mau mengamati seorang gadis yang baru-baru ini menarik perhatiannya.


Sivia tersenyum, lalu langsung ditenggelamkan oleh diskusinya bersama Gabriel. Satu jam kemudian, semua selesai. Baik sivia maupun Gabriel menghela napas lega.


Gabriel segera membereskan buku-bukunya, ia ingin tahu siapa gadis yang menarik perhatiannya kemarin.


>>Flashback On<<


Gabriel yang baru saja menuruni tangga asrama SMA putra berhenti di tekukkan tangga yang berada sebelum tangga-tangga terakhir sambil memandang sekeliling. Sudah lama juga ia tidak tinggal di asrama ini lagi, semenjak hari kelulusannya. Ia mengamati sekelilingnya, yang dari tangga tempatnya berdiri bisa melihat seluruh wilayah asrama putra, perbatasan antar asrama, serta halaman dan lobby sekolah. Hmm..


Pandangan Gabriel berhenti di satu titik ketika seorang gadis berjalan dari lobby sekolah menuju kediaman para siswi SMA St. Peter, asrama putri. Gadis itu berjalan dengan santainya, meski di wajahnya tampak segurat penyesalan. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, Gabriel tidak terlalu peduli.


Tidak peduli? Tapi kenapa dia tidak bisa melepas pandangan dari gadis itu? Hei! Masih banyak gadis lain yang lebih cantik daripada gadis itu! Gabriel berusaha menelengkan kepalanya ke samping, tapi tetap saja matanya mengikuti gadis itu.


Ah! Baiklah! Dia akui, dia penasaran dengan gadis itu! Padahal gadis itu ta melakukan sesuatu yang menarik, wajahnya tak begitu cantik-cantik sekali, gurat wajahnya saat ini tidak begitu enak dilihat, tapi kenapa dia jadi ingin tahu dengan gadis ini? Aneh!


“halooo.. kak Gabriel kan?” seruan itu membuyarkan lamunan Gabriel. Ia tersentak, kemudian melihat gadis itu sudah ada di perbatasan kedua asrama.


Gabriel mengangkat alis. Dari mana anak ini punya keberanian memanggil namanya? Bahkan teman sepantarnya saja jarang menyebutkan namanya, kecuali Sivia.


Gadis itu berkata kemudian, “kalo mau ketemu agni dia masih ada kelas kak, maaf ya kak aku duluan,” pamitnya sekalian.


Alis Gabriel terangkat semakin tinggi. Sepertinya gadis itu memang sedang bermasalah. Buktinya dari dekat pun wajahnya semakin terlihat suram. Padahal kalau dilihat-lihat dari garis wajahnya, Gabriel bisa menebak gadis ini selalu ceria, entah dari mana.


Tunggu. Jam segini sudah ada yang kembali ke asrama? Sebentar. Gabriel melirik jam tangannya. Kalau sistem dan jadwal belum berubah, baru anak kelas memanah yang selesai jam segini. Seketika Gabriel terkagum. Oh jadi anak itu anak memanah ya? Hebat juga. Di jamannya dia sekolah di sini, kelas memanah hanya diisi anak laki-laki.


Gabriel menatap anak itu lagi sekilas, punggung yang semakin menjauh, dan menaiki tangga perlahan. Entah apa dan bagaimana, ia jadi tertarik dengan gadis itu. Well, lumayan juga.


>>Flashback Off<<


“gab! Kamu buru-buru ya?” Tanya sivia, sedikit kecewa. Gabriel hanya mengangguk singkat.


Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, Gabriel pamit, “duluan ya,” lalu melangkahkan kakinya cepat ke bangunan SMA yang terletak sekitar 100 meter dari bangunan Universitasnya.
***
Alvin semakin tak sabar menunggu hari H, hari kedatangan tunangannya kembali ke Indonesia. Sudah setahun lebih ia tidak menemui Acha, dan rasa rindunya semakin sulit untuk ditahan. Namun ia mencoba menyimpan rasa itu rapat-rapat, demi mempertahankan emosi tenangnya di depan murid-muridnya yang juga memiliki banyak masalah.


Pintu terbuka dan tampak ify masuk ke dalam ruangannya. Dari pantulan dinding kaca, ia dapat melihat ify beringsut ke arahnya, kemudian memeluk salah satu lengannya dan bersandar. Ia masih tetap pada posisinya, memandang langit yang gelap dengan kedua tangan terlipat di dada.


“kak..” panggil ify. “maaf,” ucapnya lagi. Melihat tidak adanya tanggapan dari Alvin, ia menambahkan, “ify janji deh gak akan ngelakuin itu lagi. Ify tadi Cuma kesel aja sama kak Alvin, jadinya gak mikir panjang deh.”


“kak alviinn..” panggil ify lagi. Terpaksa kali ini dia harus mengeluarkan jurus melasnya agar kak Alvin mencair—memang hanya ini satu-satunya cara untuk mencairkan kak Alvin sih sebenarnya.


Alvin menoleh pada ify. Wajah adik bungsunya ini sudah benar-benar melas dan mencari perhatian. Seperti yang sudah-sudah, ia paling tidak tega kalau adik-adiknya memasang wajah seperti ini. Ia mengusap rambut ify dan berkata, “iya, tapi jangan diulangin lagi ya.”


Ify tersenyum dan mengangguk. Dengan sedikit merenggangkan pelukannya di lengan Alvin ia menatap Alvin dan bertanya, “kakak mau ngomong apa? Sampe malem begini kakak masih di sini? Penting banget ya kak?”


“lusa kamu sama kak via jemput kak acha ya di bandara. Bantuin kak via bawain barang-barang kak acha,” suruh Alvin.


Ify mengerutkan keningnya. “terus kak Alvin? Kenapa gak kak Alvin aja yang jemput kak acha?” bukankah kakaknya ini sangat merindukan kak Acha? Kenapa pula tidak mau menjemputnya?


Alvin tersenyum tipis. “kamu jemput dia saja dulu. Kakak akan tunggu kalian di parkiran kok,” jawabnya pelan. nyata bahwa ia teramat berat untuk membuang waktu sedetikpun untuk menemui Acha.


Ify cemberut. Ia tidak mau melihat kakaknya ini kecewa, bahkan untuk sedikit saja. “ikut aja ya kak,” bujuknya sambil menarik-narik pelan lengan kakaknya.


Alvin yang mengerti jalan pikiran adiknya ini malah merengkuh adiknya dalam pelukan, “kakak gak papa kok. Yang penting kan nanti kami bisa bertemu. Lagipula kan dia awalnya mau buat surprise buat kakak, seenggaknya kakak gak ngecewain dia dari awal kan?” jelasnya.


Ify malah semakin gemas dengan jalan pikiran kakak sulungnya yang sudah bertahan dalam long distance selama 6 tahunan. “udahlah kak, kakak ikut aja. Ify yakin kok kalo udah liat kak Alvin pasti kak acha bakal lupa sama niatnya buat surprise. Kakak seperti tidak tahu saja sifatnya kak Acha,” bujuk ify lagi.


Sepertinya kali ini Alvin kehabisan kata-kata. Ia memang tak akan pernah bisa melawan niatnya untuk melakukan hal itu. Dia hanya ingin bertemu kekasihnya, tidak salah bukan? Jadi dia sendiri tak ada alasan untuk membantah bukan?


Ify tersenyum mendengar tak ada penolakan dari Alvin. Merasa tangan kakaknya malah mengusap rambutnya, ia malah semakin senyam-senyum. “kak,” panggilnya menahan cengengesnya.


“apa?” Tanya Alvin, pandangannya masih menerawang ke langit luar.


“kakak kangen banget ya sama kak Acha? Tumben amat meluk ify, diusap-usap lagi rambutnya,” goda ify sambil cengengesan. Jelas, kakaknya ini sangat tak terbiasa memperlakukannya sangat lembut seperti ini.


Alvin tersentak, tapi seketika tersenyum. “emang salah ya kalau kakak mau meluk kamu gini? Toh kamu adik kakak ini kan?” ucapnya lembut.


Ify mengangkat alis. Tapi kemudian menyadari, bahwa kakaknya mungkin sedang berangan-angan bahwa yang dipeluk adalah sang kekasih, kak Acha. Ify diam saja. Selama ini dia yang paling dekat dengan kak Alvin, meski perlakuannya pada kak Alvin tak pernah seperti kak Alvin dan kak Via yang bisa seenaknya cium pipi dan pelukan. Rentang usianya terlalu jauh dengan kak Alvin, 7 tahun.


Jadi wajar saja kalau kedekatan ify dengan Alvin tak seperti Alvin dan sivia. Dan itu malah membuat ify menjadi anak yang polos, tidak terlalu mengerti dengan hal-hal seperti ini, belum bisa memaknainya. Maka jika detik ini sang kakak memeluknya, ia sedikit kikuk, meski tak nampak dalam reaksinya.
***
“kak acha!!” panggil sivia sambil melambai-lambaikan tangannya.


Gadis yang dimaksud menoleh ke asal suara. Kemudian senyum terkembang di wajah cantiknya begitu tahu siapa yang memanggil. Ia bergegas menghampiri keduanya, kemudian memeluk mereka.


“ify kangen banget sama kakak,” ucap ify dalam pelukan singkat acha.


Acha tersenyum. “kakak juga kangen banget sama kalian. Ohya, bagaimana kabar kak Alvin? Dia baik-baik saja kan? Karirnya juga masih tetap baik kan?” tanyanya tidak sabar. Baik ify maupun sivia mengangguk.


Sivia langsung mengambil alih troli yang berisi barang-barang Acha sementara ify menemaninya berjalan sambil berbincang.
***
Alvin mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, sesekali melirik ke luar jendela, tak sabar menunggu. Ketika dilihatnya tiga orang gadis berjalan beriringan sambil berbincang seru, segera ia bangkit dan menghampiri ketiganya.


Langkah cepatnya terhenti begitu pandangan matanya bertabrakan dengan gadis yang berada di tengah, yang kini malah mengangkat alis heran kepada kedua gadis lain di kanan kirinya.


Tanpa komando, kedua bibir Alvin terangkat, membentuk senyum lebar setelah melihat gadis itu. Kakinya melangkah mendekat, melihat gadis itu malah seperti sedang protes pada kedua gadis lainnya.


“honey,” panggilnya ketika ia sampai tepat di depan gadis itu. Lekat matanya menatap gadis itu, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Berubah. Semakin cantik.


Gadis itu menunjuknya dan mengajukan protes kepada kedua gadis yang mengapitnya. “kenapa dia ada di sini? Kan kakak bilang jangan kasihtau dia! Gimana sih!” kesalnya.


Belum sempat sivia atau ify membela diri, Alvin sudah menyela, “emangnya kenapa kalo aku jemput kamu? Bukannya juga biasanya gitu ya?”


Gadis itu cemberut. Menatap Alvin yang menatapnya balik dengan penuh kerinduan itu membuatnya sulit berkata-kata. Ia jadi ingin segera merasakan kehangatan pelukan Alvin. Hmm..


“tapi kan tadiannya aku mau bikin surprise buat kamu. Tapi kalo gini sia-sia dong?”


Rasa kecewa gadis itu menjalar ke tubuh Alvin, namun berbeda. Kalau gadis itu kecewa dengan surprisenya yang batal, Alvin malah merasa gadis ini tidak merindukannya. Buktinya ia tak mendapat sambutan hangat dari gadis ini.


“gitu ya? Yaudah deh. Aku pulang aja. Bikin aja surprise ke rumah orangtua kamu, pasti kamu lebih seneng dengan reaksi mereka. Vi, kamu aja deh yang bawa mobil. Kakak pulang naik taksi aja,” pasrah Alvin dengan wajah yang sarat kekecewaan. Ia segera berbalik dan melangkah lambat ke luar bandara.


Baru dua langkah Alvin berjalan, gadis itu sudah berlari dan menariknya berbalik, lalu dengan cepat memeluknya. Tanpa membuang waktu, Alvin langsung membalas pelukan gadis ini. Sangat erat. Meluapkan segala rindu yang sudah tertahan selama setahun lebih ini pada kekasihnya, Acha.


Ify dan sivia dapat melihat dengan jelas kelegaan di wajah Alvin. Melihat kakaknya dapat tersenyum bahagia seperti itu membuat mereka ikut tersenyum, menikmati kebahagiaan yang dirasakan oleh kakaknya.


“aku kangen banget sama kamu honey,” ucap Alvin, tak merenggangkan sedikitpun pelukannya, tak peduli ini di depan umum. Yang ia inginkan hanya bersama kekasihnya, itu saja.


Acha menyenderkan kepalanya di bahu Alvin kemudian membalas, “me too. Pokoknya aku mau ngabisin waktu tiga bulan ini buat sama kamu terus.”


Alvin menganggukkan kepalanya dan merenggangkan pelukannya. Perlahan ia mendaratkan kecupannya di kening acha, kemudian berbisik, “love you.”


Acha tersenyum dan berbisik membalasnya, “love you too honey,” yang membuat Alvin menggandeng tangannya dan mengambil alih troli barang-barang acha, mengabaikan kedua makhluk yang sedaritadi menonton mereka.


Sivia dan ify tertawa kecil dan menggelengkan kepala melihat sang kakak sudah mengabaikan mereka berdua. Kebiasaan. Selalu yang ada di matanya hanya Acha seorang. Mereka berjalan di belakang Alvin dan acha, menebak-nebak apa yang akan dilakukan keduanya setelah setahun lebih berpisah. Satu yang mereka yakini, pasti ‘lebih’ dari biasanya.
***
 Alvin dan acha sudah sampai duluan di mobil. Meski ify dan sivia sudah sampai di dalam mobil, mereka masih sibuk sendiri, belum sadar kalau kedua manusia itu sudah bersama mereka.


Alvin yang berada di belakang kemudi mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi acha yang duduk di sebelahnya, sementara satu tangannya sudah menggenggam jemari acha.


Perlahan Alvin mendekatkan wajahnya pada acha. Ify yang mengira kakaknya berniat mencium acha langsung menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Kakaknya yang satu itu, meskipun seorang guru konseling, sama sekali tidak tahu tempat kalau sudah bersama acha. Kadang dia memikirkan kelakuan kakaknya kalau sedang di Itali—gantian mengunjungi acha saat libur akhir tahun ajaran—, bisa jadi kakaknya itu seperti orang-orang bule di luar sana yang suka bermesraan di tengah jalan.


Sivia menanggapi biasa saja, meski ia malah ingin tertawa melihat tingkah ify. Alvin mengecup pipi acha agak lama dan tersenyum melihat ify yang sudah memejamkan mata rapat-rapat ditambah dengan tangan yang menutupi wajah.


“kenapa fy?” tanya acha, yang sudah tahu jelas sifat adik-adiknya Alvin, terutama ify, yang paling dekat dengannya.


Ify membuka matanya dan menurunkan kedua tangannya, kemudian memajukan bibirnya. “kak Alvin!! Nyebelin banget sih!” omelnya.


Alvin malah tersenyum dan menyalakan mesin mobilnya. “emangnya kakak ngapain? Udah deh kamu diem aja, gak usah ngomel-ngomel, berisik tau.”


Ify menggerutu pelan. kakaknya ini. Berubah 180 derajat bila sudah di luar area sekolah, apalagi bila bersama acha. Pasti semua tutur katanya berubah jadi sangat tidak baku. Padahal kalau di sekolah baku sekali bicaranya. Belum lagi kakaknya ini aslinya cukup menyebalkan, seperti ini contohnya.


“ohya kak, kak acha mau tinggal di mana? Kan rumah kita pindah ke Bandung,” tanya sivia, baru ingat rumah mereka yang biasa dipakai acha untuk tinggal sementara sudah pindah ke Bandung.


Alvin menatap acha. “kamu gak keberatan kan Cha tinggal sementara di asrama? Tunggu sampai aku libur? kita masih bisa bareng kok tiap hari, gimana?” tanyanya.


Acha mengangguk. “aku gak masalah mau tinggal di mana aja asal sama kamu,” jawabnya sambil tersenyum. “lagian aku juga mau tau lingkungan kerja kamu. Selama ini kan kamu doang yang tau tentang kerjaanku, sementara aku gak tau,” jelasnya.


Alvin mengelus tangan acha sebentar dan melajukan kembali mobilnya. Calon istri yang sangat pengertian, pikirnya. Setelah tersenyum sebentar ia langsung melajukan mobilnya ke tempat tujuan.
***
Sunday 20 March 2011 | By: Vina Arisandra

My First Romance Part 1

PART 1

“kau jelas tahu maksud Theresia, Fransiskus!” ucap seorang lelaki oriental kepada salah satu anak didiknya di ruangannya.

Sang anak didik hanya menatap cangkir yang sudah diisi cappucino hangat itu, yang asapnya mengepul tipis, dan sedang menunggu untuk diminum olehnya. “memangnya harus?” tanyanya pelan. Tangannya meraih tangan cangkir tersebut kemudian menyeruput sedikit isinya.

Lelaki oriental tadi tak melepaskan pandangannya dari jendela yang menggantikan dinding ruangannya, menghadap keluar, menjadikannya tempat memantau seluruh tingkah anak didiknya. Ia masih berdiri di sana, memunggungi si anak didik, membiarkan sang anak didik merasa lebih nyaman tanpa harus melihat salah satu guru konselingnya.

“kau menginginkannya, berarti kau harus menjalaninya. Aku yakin kau bisa melakukannya,” ucap lelaki itu kembali.

“benarkah aku bisa? Tapi selama ini belum ada yang berhasil melakukannya, bahkan Goldi saja, yang jago beladiri setelah Mario tidak dapat melawannya. Bagaimana aku bisa? Aku saja baru sabuk biru senior, hanya bisa karate, dan tak sebanding dengan Mario yang notabene menguasai hampir seluruh cabang beladiri!”

Lelaki itu berbalik, menatap anak didiknya yang sedang mencoba mencari bantuan darinya, dalam usahanya untuk mendapatkan si Theresia, atau biasa dipanggil Agni. Ia tersenyum. “kau berteman dengan Mario bukan? Dia pasti akan memberikan kemudahan bagimu. Tenang saja,” ucapnya kembali.

Sang anak didik berdiri dan mulai berjalan kesana-kemari, bolak-balik, dengan tangan yang terus bergerak juga. “baiklah, anggap saja Mario mendukungku, tapi bagaimana dengan Raynald? Dia tidak akan memberikan sedikitpun kemudahan bagiku! Dan yang dimintanya sangat impossible untuk diluluskan! Dia minta teman?! Hei! Bahkan tak ada satupun yang berminat dekat dengannya! Bagaimana bisa?!” dumelnya kesal.

“Justru di situlah kau diuji. Mau tak mau kau harus coba mendekati Xaverius, dia memang memberikan hal tersulit, hanya agar kakak perempuan semata wayangnya itu tidak jatuh pada tangan laki-laki yang mudah putus asa. Biarpun hubungan mereka tidak cukup baik, Xaverius tetap memegang janji keluarganya untuk menjaga Theresia,” jelas sang lelaki.

Si anak didik berhenti, menatap gurunya, yang biasa dipanggil olehnya dan teman-temannya ‘kakak’, mengharap orang ini mengerti maksudnya. Ia meminta bantuan, setidaknya untuk mencairkan Raynald, agar jalannya untuk mendapatkan Agni lebih mulus.

Seakan mengerti maksud dari tatapan anak didiknya, lelaki oriental itu menggeleng. “Fransiskus Cakka! sudah kubilang berapa kali, jangan memintaku untuk membantumu dalam hal ini! kau harus selesaikannya sendiri. bukankah kau sangat menyayangi Theresia? Atau kau hanya ingin main-main saja dengannya?” tegasnya.

Cakka menghela napas panjang. “baiklah. Kau memang sangat tidak pengertian pada hal ini kak. aku permisi dulu, sebentar lagi kelasku akan mulai,” pamitnya, berjalan ke arah pintu.

Lelaki itu mengangguk, menunggu hingga langkah Cakka tak terdengar lagi, kemudian menggumam, “kau tidak sadar, sebenarnya mereka bertiga sudah memercayakan saudaranya padamu, bahkan sejak melihatmu dekat dengan saudara mereka itu. kau tinggal menjalaninya, mereka sudah memuluskan jalanmu.”
***
Cakka kurang semangat dalam menjalani kelas-kelasnya pada hari ini. pikirannya dipenuhi oleh challenges yang diberikan oleh Dominique Brothers. Padahal tadi pagi ia sudah sangat bersemangat mendengar challenges itu, dengan impian segera mendapatkan Agni, yang sudah sejak lama ia sukai itu.

Tapi semangatnya langsung hilang begitu menemui Mario, yang pertama dicarinya, dengan dugaan challenge kali ini beda dari yang sebelumnya. tapi nyatanya, sama! Ia masih ingat kata-kata temannya itu, “kalau kau sudah siap, datang padaku. Kita akan bertanding, satu pukulanmu saja bisa masuk, aku akan meluluskanmu. Tapi kalau sampai satu jam tidak ada satupun dari pukulanmu yang masuk, jangan pernah berharap mendapatkannya.”

Satu pukulan masuk? Terhadap seorang Mario? Jangan harap! Selama ini belum ada anak laki-laki seumuran mereka yang bisa memukul Mario! Apalagi Mario salah satu kebanggaan sekolah, dengan prestasinya yang selalu menjuarai lomba-lomba beladiri, bahkan sampai tingkat nasional! Ah! Temannya itu tega sekali padanya. Padahal sebelumnya bilang tidak akan menyulitkannya, bagaimana sih?!

Belum lagi sewaktu ia menemui Raynald, anak itu dengan dinginnya berkata, “dalam sebulan, kalau kau bisa memberikan seorang teman untukku, aku akan membiarkanmu bersama dia. tapi kalau kau tak berhasil, berarti kau memang tak pantas untuknya.”

Cakka mencibir kesal setelah si Raynald itu pergi. Ia tak habis pikir, bagaimana anak itu dengan tidak sopannya tidak memanggil dia ‘kak’, belum lagi gaya bicaranya sok dewasa seperti itu. anak itu benar-benar meremehkannya!

Tapi satu yang kemudian terlintas di pikiran Cakka. Impossible! Tak mungkin ada yang mau berteman dengan si aneh Raynald! Kalau begini, bagaimana ia bisa lulus?

Terakhir, ia menemui Gabriel, yang untungnya belum meninggalkan asramanya. Bukannya mendapat challenge seperti Mario dan Raynald, Gabriel malah berkata dengan angkuhnya, “selesaikan dulu permintaan kedua anak itu. baru temui aku. Menuntaskan permintaan mereka saja tidak ada yang berhasil. Ah ya, sedikit saran dariku, sebaiknya selesaikan dahulu permintaan adik kecilku itu, karna sepertinya akan sia-sia saja kau babak belur bila tak lulus olehnya.”

Cakka melemparkan bola basketnya sekuat tenaga, gondok dengan ucapan ketiga Dominique Brothers yang super super menyebalkan dan meremehkannya!

“Kka,” panggil seseorang dari arah belakang.

Cakka langsung berbalik, tahu jelas siapa pemilik suara itu, yang selama ini diam-diam sudah terekam jelas di pikirannya. Ia tersenyum manis dan menghampiri gadis itu, “ya Ag?”

“gimana?” tanya Agni ingin tahu. sudah banyak laki-laki yang langsung menyerah begitu mendengar permintaan ketiga saudaranya itu, dan ia ingin tahu apa Cakka akan ikut mundur bersama mereka.

Cakka mengangkat bahu, “ya gitu deh. bakal jadi perjuangan berat banget nih buat dapetin kamu. Susah juga ya kalo mau dapetin putri Dominique,” ucap Cakka lalu mengacak rambut Agni.

Agni merapikan rambutnya kembali, dengan seulas senyum yang terukir di wajahnya. Entah apa yang dimiliki Cakka, hingga ia sendiri begitu menyukai kehadiran Cakka, demikian dengan perlakuan lembut laki-laki itu padanya.

“kamu gak akan nyerah kan Kka?” tanya Agni, harap-harap cemas.

Cakka menatap Agni, dan menarik kembali kedua ujung bibirnya. “tentu gak,” dan langsung membuat Agni menghela napas lega. Ia sudah khawatir kalau Cakka akan menyerah.

“tapi kamu beneran sayang sama aku kan Ag?” gantian Cakka yang menunggu jawaban Agni dengan cemas.

Agni menjawabnya dengan anggukan dan seulas senyum. “kalo gitu aku akan secepatnya nyari cara buat menuntaskan challenge mereka!” ucap cakka penuh semangat. Agni kembali tersenyum melihat Cakka yang sudah kembali bersemangat. Baguslah.
***
IFY’S POV

Haihai! Kembali denganku, Ify! sekarang aku sedang berada di ruangan kak Alvin, mumpung dia sedang tidak ada pasien, eh, maksudku anak-anak yang sering curhat padanya. Aku lebih suka menyebut mereka pasien kak Alvin. Biar gampang gitu lah nyebutnya.

Kalian lihat apa yang sedang kulakukan? yap! Aku sedang mengelap panah-panahku ini agar mengilap. Apa? Aku belum bilang? Aduh! Aku lupa! Ingatanku memang agak payah. Maklumi saja ya? hehe..

Aku ini atlet memanah. Mengikuti jejak mamaku yang juga atlet memanah. Hebat kan? pasti dong! Haha.. kak Via juga atlet, tapi atlet berkuda. Kalo kak Alvin.. jangan ditanya deh. Dia sama kayak papa, bukan atlet, dan sama sekali gak tertarik pada dunia itu. Payah!

1, 2, 3, ...10! ada sepuluh panahku, mengilap bukan setelah dilap? Aku juga sering mengasahnya agar tajam dan runcing. Rajin ya? hehe.. sebenarnya aku selalu membawa 15 panah untuk jaga-jaga. Lima yang lainnya hanya panah yang ujungnya karet, untuk mainan, jadi tidak bahaya untuk kugunakan~

Entah sudah berapa kali aku mendengar decak kesal kak Alvin dan bunyi-bunyian menganggu. Tentu aku hafal dengan situasi ini. “kenapa lagi sih kak? berisik banget deh,” tanyaku, pura-pura tidak tahu.

Kak Alvin mengabaikan pertanyaanku, masih menekan-nekan tuts hapenya, dan menempelkan di telinga, kemudian melepasnya, dan mengulangnya kembali, dengan tangan yang lainnya mengetuk-ngetuk meja.

“ah! Acha lagi ngapain sih?!” serunya kesal, seraya meletakkan hapenya dengan kasar.

Aku memandang kak Alvin, yang selalu mengomel tidak jelas seperti ini kalau kak Acha tidak dapat dihubungi. “lagi sibuk kali kak. kan tempat kerjanya buka cabang baru, kak Acha jadi chef utamanya lagi. sabar aja kali kak, nanti malem coba hubungin lagi,” saranku.

Kak Alvin beranjak dari tempat duduknya, berdiri di depan jendelanya, menatap ke luar dengan kedua tangan terlipat di dada. “kamu gak ngerasain long distance sih, kamu gak bisa ngerasain khawatirnya kakak sama kak Acha. Dia sama sekali gak bisa dihubungin sebulan ini. gak bales email atau sms, gak ngangkat telpon kakak juga. kakak Cuma khawatir terjadi sesuatu sama dia,” ucap kak Alvin, terdengar sekali nada kekhawatirannya.

Ahh, aku jadi kasihan dengan kak Alvin, pasti dia rindu sekali dengan kak Acha. Tapi, tumben sekali kak Acha tidak bisa dihubungi selama sebulan? Padahal paling lama ia tidak bisa dihubungi Cuma 2 minggu. Tapi ini sampai sebulan? Ada apa ya? apa mereka ada masalah?

“kak, kakak ada masalah sama kak Acha?”

Kak Alvin menggeleng. Aku terdiam, tak tahu harus bicara apa. Kalau kak Alvin sudah kusut seperti itu wajahnya, aku tidak bisa membantu, ia tak akan mendengarkannya.

Kak Alvin kemudian menghela napas panjang, “sudahlah. Nanti kak Alvin coba hubungi lagi. kembalilah ke asramamu. Kau sudah tidak ada kelas kan?”

Aku mengangguk, segera membereskan panah-panahku beserta peralatan lainnya. Aku paham maksud kak Alvin, dia sedang ingin sendiri.

Baru aku membuka pintu, kak Alvin sudah menahanku. “kalau kak Acha menghubungimu, beritahu kakak ya, hati-hati,” pesannya. Aku mengangguk kembali dan segera beranjak pergi.
***
Uhh.. aku tak tega melihat kak Alvin! Aku kira hubungannya dengan kak Acha baik-baik saja seperti biasanya. Habisan kak Alvin tidak berubah seperti biasanya sih kalau lose contact dengan kak Acha.

Biasanya ia akan jadi tidak konsen dalam mengerjakan pekerjaannya, emosinya lebih gampang terlihat. Tapi ini lain. Ia masih tetap diam dan tenang. Apa karna ia mencoba lebih profesional ya dalam bekerja? Aku jadi bingung.

Ah aku pasti lupa bilang lagi. Sudah setahun kak Alvin dan kak acha benar-benar tak bertatap muka. Entah bagaimana bisa waktu membuat mereka tak bisa saling bertemu. Kak acha disibukkan dengan peresmian cabang baru restoran tempatnya bekerja, apalagi tadi sudah kubilang kan, dia menjadi chef utama di sana, kepala chef. Sementara kak Alvin harus mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang disiapkan sekolah untuknya.

Menyebalkan bukan? Aku saja sampai menggerutu seharian gara-gara hal itu. Biarpun aku sering iseng terhadap mereka, aku kan kangen juga dengan kak acha. Apalagi melihat mereka berduaan. Rasanya sudah seperti bertahun-tahun aku tidak melihatnya.

Alhasil, mereka lebih intens berkomunikasi. Kalian tahu apa yang pertama terlintas di benakku saat kak Alvin bilang kalau mereka lose contact sebulan ini? Aku takut kak acha memutuskan hubungannya dengan kak Alvin dan memilih laki-laki lain di luar sana.

Tapi melihat lamanya hubungan mereka ini aku ragu juga dengan pemikiran itu. tidak mungkin kan kak acha yang sangat baik, manis, dan perhatian itu begitu mudah berpindah hati?

Drrtt.. drrtt.. hapeku bergetar.

“kak acha?” gumamku pelan. Segera kuangkat telpon darinya.

“gimana kak Alvin? dia baik-baik aja kan?” tanyanya langsung tanpa berbasa-basi.

“err.. ya.. kak acha kenapa gak bisa dihubungin sebulan ini? kakak gak berminat mutusin kak Alvin kan?” tanyaku dengan bodohnya, tanpa memikirkan perasaan kak acha.

“ya gak akan lah. kamu tau sendiri gak lama lagi kami akan menikah. Bagaimana sih? ohya, jangan katakan apapun pada Alvin ya tentang percakapan ini ataupun tentang aku yang menghubungimu. Aku akan beritahu nanti. Sudah dulu ya, aku sedang sibuk. Nanti malam kuhubungi lagi,” katanya terburu-buru lalu segera menutup teleponnya.

Aneh, sepertinya ada yang disembunyikan kak Acha. Ah, kutunggu saja smsnya nanti malam. Aku jadi penasaran.
***
Author’s POV

Di tengah keramaian lantai dasar sekolah, seorang pemuda yang baru menginjak masa SMA jalan begitu saja, tak peduli dengan apa yang terjadi, akan terjadi, atau bahkan yang mungkin sudah terjadi di sekitarnya.

Pandangannya lurus ke depan, tak melirik kanan kiri sama sekali. Begitu tegas dan dingin. Seakan hanya dia seorang yang sedang ada di sini.

Dan sementara itu, dari arah sebaliknya, seorang gadis berjalan dengan seperti itu juga, tak menghiraukan pandangan tidak suka orang lain padanya. Pandang dingin dan angkuhnya menambah nilai keanggunan yang sudah nampak dari cara berjalannya.

Sang pemuda berhenti. Perhatiannya teralih pada gadis itu. Bibirnya bergerak sedikit, menggumam sesuatu.

Si gadis masih terus berjalan, bahkan saat jalannya akan berpapasan dengan pemuda itu ia masih tak mengalihkan tatap lurusnya.

“va,” pemuda itu menggumam dengan lirihnya, tepat saat gadis itu sejajar dengannya, meski pandangannya sekarang sudah kembali ke depan.

Gadis itu tak berhenti. Ia mengacuhkannya. Sedang berusaha mempertahankan keinginannya untuk kuat. Jangan sampai ia lengah seperti waktu itu lagi.

Pemuda itu menarik napas, kemudian melanjutkan jalannya kembali. Berharap ia bisa lebih sering bertemu gadis itu lagi.
***
Pemuda yang sama masih terus berjalan, hingga sampai ke kamar asramanya. Baru saja ia melepas vest hitamnya, sudah terdengar suara berisik dari luar.

“berhenti sok peduli padaku! aku bukan anak kecil! Jangan mengaturku!” seruan penuh amarah itu membahana di sepanjang koridor.

“Mario! Aku tidak mengaturmu! Aku hanya menuruti permintaan keluarga kita untuk menjagamu! Mereka menerima laporan kalau kau terancam tidak naik kelas lagi! jangan membuat nama baik keluarga kita hancur!” seru yang lainnya, tidak kalah emosi dengan yang tadi.

Pemuda yang mendengarkan semuanya dari dalam kamar mensyukuri satu hal dalam hatinya. Setidaknya baru dia saja yang kembali ke asrama, sehingga tak ada yang mendengar adu mulut sengit ini.

Ia memutar kunci kamarnya dan membuka pintu. Ia menatap dingin keduanya. Yang bernama Mario berdiri tepat di sebelah kanan kamarnya, sementara yang satunya berdiri di sebelah kiri kamarnya. Ia hanya diam, tidak berkata apapun.

Keduanya menyadari kehadiran orang ketiga, mereka mencoba kembali bersikap tenang dan dingin, menyembunyikan raut emosi mereka.

Si pemuda masih diam, meski matanya sedang memberi peringatan kepada keduanya. Mario segera mengeluarkan kunci dari sakunya, kemudian memutarnya ke dalam lubang kunci, dan masuk ke dalam kamar tempatnya adu mulut tadi.

“urus urusanmu sendiri. Aku tidak mau diganggu, begitupun dia. bukankah kau seharusnya lebih menjaga nama baikmu dari hal seperti ini, kakak tertuaku Gabriel?” ucap pemuda itu dengan penekanan pada tiga kata terakhir.

Gabriel melempar pandang mencela pada pemuda di  hadapannya ini. “bersikaplah sopan pada kakakmu, Raynald.” Ucap Gabriel, kemudian melangkah pergi dari asrama SMA itu.

Mata Raynald masih mengekor pada langkah kakaknya itu, dan setelah dipastikan sudah pergi, ia kembali ke dalam kamarnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang untuk tetap menjaga nama baik kedua kakaknya, termasuk nama keluarganya.
***
“kak Via!” panggil seorang gadis pada gadis yang lebih tua darinya yang sedang menaiki tangga.

Gadis yang lebih tua berbalik, “Shilla? Ada apa?” tanyanya sambil tersenyum.

Shilla menghampirinya. “mau ketemu kak Alvin ya kak?” tanyanya.

Sivia mengangguk. “ya. Kenapa?”

Shilla tersipu. “emm.. boleh minta tolong gak kak?

“apa?” Tanya Sivia penasaran.

Shilla menyodorkan sebuah kotak bekal. “tolong kasihin ke kak Alvin ya kak, abisan tadi aku gak liat kak Alvin sih pas makan siang. Nanti kak Alvin kelaperan, lagi,” katanya perhatian.

Sivia tersenyum dan mengambil kotak bekal itu. Dia baru ingat kalau Shilla menyukai Alvin. “oke deh. Makasih ya,” ucapnya.

Shilla mengangguk dan segera pergi. Sivia menggelengkan kepalanya kemudian mengetuk pintu ruangan Alvin.

“kak, nih dibawain makanan dari penggemarmu itu,” kata Sivia lalu meletakkan makanannya dia atas meja Alvin.

“gak laper. Buat kamu aja,” kata Alvin, yang sedang sibuk dengan hapenya, seperti kemarin.

Sivia mengangkat alis. Kalau sudah begini dia hafal jelas. Daripada kakaknya uring-uringan, lebih baik dia beritahu sajalah. “kemarin aku baru abis emailan sama kak Acha,” lapornya.

Pandangan Alvin langsung teralih padanya. “terus? Dia bilang kenapa gak bisa kakak hubungin? Dia baik-baik saja kan?” tanyanya tidak sabar.

Sivia mengangguk, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan kakaknya. “kak Acha baik-baik aja kok,” terdengar hembusan napas lega dari kakaknya itu. “minggu depan dia pulang. Tadiannya sih buat surprise. Tapi berhubung adikmu yang cantik nan manis ini gak tega ngeliat kakaknya khawatir, ya mendingan kubocorin aja deh.”

Alvin langsung tersenyum lebar, benar-benar senang dengan kabar yang diberitakan adiknya ini. “baguslah. kakak udah gak sabar ketemu kak acha,” katanya tanpa melepaskan senyumnya.

Sivia tersenyum kecil melihat kakaknya. “dimakan deh kak makanannya. Kasian Shilla udah repot-repot bawain kakak makanan,” suruh Sivia.

“ah, Brigida itu selalu saja perhatian sama kakak. Kakak jadi gak enak sama dia,” kata Alvin sungkan.

“dia kan suka sama kakak. Katanya sih sejak dia pertama ngeliat kakak. Ah, andaikan aja dia percaya kalau kakak udah punya tunangan, pasti dia akan langsung mundur,” kata Sivia menyayangkan.

Alvin menyuap makanan dari Shilla tadi. “tentu aja. Apalagi kalo dia tau tunangan kakak itu sangat cantik dan manis, kakak yakin dia gak akan berani mencoba menarik perhatian kakak lagi. tapi sayang saja, dia menganggap itu hanya berita bohong, supaya langkahnya berhenti. Benar-benar anak yang tak pantang menyerah.”

“kasihan juga dia kak, perasaannya gak mungkin dibales sama kakak. Atau mungkin kakak mau jadiin dia selingkuhan?” Tanya Sivia asal.

Alvin menghentikan makannya. “ya gak mungkinlah! Kakakmu ini setia dengan Acha! Kakak gak akan melirik gadis lain! Dia yang terbaik yang pernah kakak temui! Lagipula si Brigida itu sudah kakak beritahu berkali-kali, tapi dia tetap bersikukuh. Ya sudahlah, nanti juga dia akan tahu kalau itu fakta, bukan isu saja.”

“lalu menurut kakak dia cocok dengan siapa?”

Alvin mengangkat bahu. “entahlah. Kalian masih kecil, jangan pikirkan pacar-pacaran mulu,” jawabnya santai.

Sivia mencibir. “oh ya? Bukannya dulu kakak malah lebih kecil daripada kami, udah pacaran sama kak Acha? Enteng banget ngomong begitu. Sok tua!”

Alvin terkekeh, kemudian mengacak rambut adiknya ini. “kan Cuma bercanda. udahlah, ngapain sih ngomongin Brigida? Bagaimana denganmu sendiri? udah ada yang menarik perhatianmu belum?”

Sivia tersenyum malu-malu, berpindah ke sebelah Alvin, kemudian berbisik di telinga kakaknya itu. Alvin melotot. Apa dia tidak salah dengar?

“gak lucu! Kamu cuma bercanda bukan?” seru Alvin tidak percaya. Sivia menggeleng. Sebenarnya dia sudah tau reaksi kakaknya ini.

Alvin menatap Sivia lekat-lekat. “jadi kamu tertarik dengan si sulung Dominique itu?” tanyanya pelan, masih mencerna bisikan adiknya tadi.

Sivia tak dapat menyembunyikan kesenangannya membicarakan pemuda yang baru-baru ini menarik perhatiannya itu. Ia menggamit lengan kakaknya itu. Ia mengangguk. “ah, kakak gak tau sih, Gabriel tuh pinter, keren, tinggi, dewasa, cool lagi! gak kayak kakak, udah jelek, sok cool, angkuh lagi!”

Alvin memutar bola matanya. Menyebalkan juga adiknya ini. Gak salah nih, masa dia dibilang jelek, sok cool, sama angkuh sih? Jelas cakep keren begini!

“yayaya. Terserah kamu lah. Tapi apa kamu gak salah? Gabriel itu kan.. ah! pokoknya dia gak pantas sama kamu. Kenapa gak.. ah, ya sudahlah! Terserah kamu saja.”

Sivia tersenyum senang, kakaknya merestuinya. “makasih ya kak! Via sayang kakak!” ucapnya lalu mengecup pipi kakaknya itu dan melesat pergi.

Alvin menggelengkan kepalanya. Adiknya yang satu ini.. ckck.. sulit sekali untuk marah dan tegas, dia terlalu manis dan nampak polos.
***
setiap kumelihatmu, ku terasa di hati, kau punya segalanya, yang aku impikan..” Shilla, atau lengkapnya Brigida Shilla Shalomita, masih terus menyenandungkan lagu Antara Ada dan Tiada itu sampai ia berhenti di depan ruang makan sekolah. Tidak bisa dibilang kantin juga, karna makanan yang disajikan di sini sudah termasuk dalam bayaran sekolah mereka.

Shilla memilih duduk di meja hijau dengan 2 kursi yang berwarna senada di sudut ruangan. Menunggu kelasnya yang mulai 1,5 jam lagi, ia memilih untuk menunggu di sini saja.

Awalnya ia berniat untuk menemui kak Alvin, tapi setelah dipikir-pikir, ia tidak punya alasan yang tepat untuk itu. hufft.. sebaiknya sekarang dia ngapain ya?

Shilla mengedarkan pandangannya. Kali-kali saja ada pemandangan menarik. Hei, benar saja. pandangannya berhenti di meja berwarna merah gelap dengan 4 kursi senada. Mario Stefanus Dominique!

Bukannya ia ngefans atau apa pada Mario seperti gadis-gadis lain, yang menarik perhatiannya adalah si pendekar sekolah itu sedang sibuk mengerjakan tugas. Tampak Mario sangat konsentrasi mengerjakannya.

Waw! Baru kali ini ia melihatnya! Ternyata kakak kelasnya itu juga bisa belajar akademik ya? Kirain hanya bisa baku hantam saja.

Shilla menggelengkan kepalanya. benar-benar ajaib. Langka sekali ini. Padahal setahunya, dan seisi sekolahnya tahu, Mario naik kelas hanya karna prestasi non-akademiknya saja, sedangkan nilai-nilai akademiknya tidak memadai untuk naik kelas. Terlalu sering berantem mungkin membuat kepalanya sering terbentur dan jadi error.

Kalau diingat-ingat, selama dia bersekolah di sekolah ini, ia belum pernah melihat Mario belajar seperti teman-temannya. Yang dia lihat selalu wajah yang kadang biru-biru saja hasil berantem.

Sudahlah! Untuk apa sih memperhatikan kakak kelasnya yang satu itu? lebih baik ia meminta Oik, temannya, untuk menunggunya.

Eh, tapi tidak jadi deh. Oik itu kan salah satu fansnya Mario. Bisa–bisa si pemilik nama lengkap Eleonora Oik itu histeris melihat Mario belajar. Heran heran, bagaimana bisa gadis-gadis di sekolah ini menyukai pemuda yang hobi berantem seperti ini?

Jauh lebih baik juga kak Alvin! sudah tampan, keren, baik, pintar pula! Shilla jadi senyam-senyum sendiri membayangkan kak Alvin. sudah lama ia menaruh hati pada guru konselingnya yang satu ini.

Biarpun usia mereka terpaut cukup jauh, Shilla tidak peduli. Toh kak Alvin masih kelihatan sangat muda dan seperti anak SMA begitu kok! mau kak Alvin bilang sudah punya tunangan pun ia tidak akan percaya sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri. Buktinya, kak Alvin tak pernah menunjukkan gadis yang beruntung itu kok! berarti kesempatan untuknya masih terbuka lebar bukan? hehe..

I Love You Full lah kak Alvin! batin Shilla sambil tersenyum. Love you forever!
***