PART II
IFY’S POV
Langkahku terhenti
ketika melihat sepasang muda-mudi di koridor lantai dua. Mereka sedang
berbicara sambil menghadap ke lantai 1. tampaknya pembicaraan mereka
kali ini meresahkan, terpeta dalam wajah sang pemuda yang serius. Namun
tak lama, keduanya malah tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan.
Huh.
Menyebalkan sekali melihat itu. biarpun aku sudah sering melihatnya,
aku tidak suka! Mau tahu siapa mereka? Kak alvin dan kak zeva! Mau tau
siapa kak zeva? Kak zeva itu partnernya kak alvin sebagai guru
konseling. Nama lengkapnya Anastasia Zevana, 23 tahun, seumur dengan
kak alvin. Kalo kak alvin kerjaannya terima curhatan murid, kak zeva
yang ngajar murid-murid di dalam kelas.
Tapi kalau sudah
diluar jam mengajarnya, lumayan juga anak yang mau berkonsultasi
dengannya. Dan partnering serta kesamaan usia inilah yang membuat
mereka lebih sering berkomunikasi dibanding dengan rekan guru lainnya.
Menyebalkan bukan?
Tanpa berpikir panjang aku langsung
mengambil salah satu panahku, yang selalu kuselempangkan di belakang,
seperti pemanah lainnya lah. Aku berusaha membidik dengan tepat, celah
di antara kedua muda-mudi itu.
Panahku meninggalkan busurnya dengan cepat, kurang dari 1 detik. Hebat bukan kemampuanku? Hahaha..
Kulihat
mata kak alvin melebar saat panahku melaju cepat tepat di sebelah
pipinya. Aku diam saja. tak peduli dia mau marah padaku. Aku sangat
tidak suka kebiasaannya yang satu ini.
Benar saja, kak
alvin langsung berteriak memanggilku saat panah itu menancap kuat di
dinding yang berwarna krem. “KATARINA!!” teriaknya marah dan mencariku
dengan sapuan matanya.
Ia berjalan cepat ke bawah,
tempatku berdiri. Aku masih diam di tempatku, dengan kedua tangan
terlipat di dada. Dapat kulihat kalau kak zeva mengejar langkah cepat
kak alvin dengan wajah khawatir.
“kamu itu! kakak sudah
bilang berapa kali! Jangan gunakan panahmu di luar area memanah! Kalau
tadi kena kakak atau kak zeva gimana?! Kamu mau kami mati di tempat
ya!” kak alvin menyerocos memarahiku.
“vin, udahlah. Dia pasti ada maksud ngelakuin itu,” kata kak zeva sok menenangkan kak alvin. ih! Apa banget deh!
Kak
alvin menarik napas dan menghembuskannya pelan. Aku tau dia sangat
marah dengan kelakuanku tadi. Sangat membahayakan. Sedikit saja
bidikkanku meleset, bisa-bisa kena jantung mereka.
Kak
alvin menatapku kesal, kemudian tiba-tiba saja dia menjewer telingaku.
Refleks aku berteriak. “jadi maksud kamu apa hah?!” tanya kak alvin
tidak sabar.
Aku melepas tangan kak alvin, lalu
menggosok-gosok telingaku pelan. “abisan kakak seru banget sih sama kak
zeva! Gak inget sama kak acha apa? Nanti aku laporin ke kak acha baru
tau rasa!” keluhku kesal.
“apaan sih pake lapor ke kak
acha segala?! Udah deh kamu gak usah ikut campur urusan kakak! Kakak
udah cukup pusing mikirin masalah kakak! Kamu jangan nambah-nambahin
beban kakak dong! Sekarang serahin panah kamu! Kalo kamu ada kelas,
baru ambil ke kakak!”
Aku terhenyak dengan ucapan kak
alvin. kedengarannya dia benar-benar sedang tidak dalam kondisi tenang.
Emosinya keluar begitu saja. aku jadi merasa bersalah padanya.
Kuserahkan busur beserta tempat penyimpanan panahku kepadanya. “maaf
kak, aku gak bermaksud buat kakak marah,” sesalku. Aku tak berani
menatapnya.
“kembalilah ke asramamu. Jangan keluar
sebelum makan malam. Renungkan perbuatanmu. Dan setelah makan malam
nanti, temui kakak di ruangan kakak. Ada yang harus kita bicarakan,”
ucap kak alvin pelan. Sepertinya emosinya sudah terkontrol kembali.
Aku
beranjak dari sana, dan setelah agak jauh sayup-sayup aku mendengar
suara kak zeva. “jangan terlalu keras pada ify, vin, dia hanya tidak
suka melihatku di dekatmu. Dia sangat sayang pada acha sepertinya.
Ayolah, kau tidak mungkin benar-benar memarahinya kan? Bukannya kau
ingin mengabarkan kabar baik padanya?”
Aku tidak mengerti
dengan ucapan kak zeva. Lagipula, aku sedang menjalani hukuman kak
alvin, kembali ke asramaku dan diam di sana. hei, kenapa? baru kali ini
melihatku sedih? Aku memang seperti ini kalau kak alvin mulai marah
padaku. Kalian tahu? Aku sangat sangat sayang pada kak alvin, begitupun
terhadap kak acha. Aku tidak ingin membuat salah satu dari mereka marah
atau kecewa. Makanya, aku tidak suka melihat kedekatan kak alvin dan
kak zeva tadi.
Ah kak acha! Cepatlah kembali ke Indonesia!!
***
Author’s POV
Hening.
Seisi penghuni ruang audio visual terus curi-curi pandang ke tempat
duduk paling depan di pojok kiri. Mereka melirik dengan pandangan yang
mengisyaratkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal.
Salah seorang dari mereka memberanikan diri mengangkat tangan. “emm.. pak, gak salah nih kelompoknya?” tanyanya.
Sang
guru menggeleng. Ini sudah menjadi keputusannya dan kedua guru
konseling untuk membagi seluruh anak kelas sepuluh berdua-dua untuk
mengerjakan proyek rutin kelas sepuluh, membuat makalah.
Dan
yang beda untuk tahun ini, pembuatan makalah harus berpasangan, siswa
dan siswi, ditentukan oleh guru, dan semua kelas sepuluh diacak.
Jadilah murid-murid heboh dan kontan berbisik-bisik heran melihat
sebuah pasangan yang terakhir disebutkan. Agata dan Xaverius. Nova dan
Raynald.
Tidak salah? Masa si pangeran es dan putri es
dijadikan satu kelompok? Apanya yang akan membina kekompakkan dan
memupuk rasa solider? Yang ada nanti malah kerja individu dan saling
cela.
Pemuda yang kemarin, yang bernama Raynald, yang
sudah semenjak 30 menit lalu menjadi pusat perhatian, masih diam saja.
seolah tak mendengar apapun, ia masih menatap lurus papan tulis besar
kosong di depannya, meski sesekali mengerling ke sebelah kanannya,
tempat seorang gadis manis duduk.
Gadis itu tahu Raynald
meliriknya terus daritadi, tapi ia tidak peduli. Ia bahkan lebih dingin
daripada si bungsu Dominique ini. Ia menatap papan tulis di depannya,
berusaha menulikan kupingnya dari bisik-bisik buruk tentang keputusan
guru untuk mengelompokkannya dengan Raynald. Cih. Bahkan dia tidak
ambil pusing dengan hal ini. Kenapa mereka yang repot?
Gadis
ini, Agata Nova Theodore, si putri es. Dinginnya melebihi Raynald.
Tidak punya teman, berbicara hanya jika sangat perlu, ditambah dengan
status keturunan dari keluarga Theodore—konglomerat dengan ratusan
butik yang tersebar dimana-mana—, membuatnya sangat angkuh dan anggun.
Menarik bukan?
Dia memang tak sepintar Raynald, tapi kepopulerannya di sekolah menyamai seorang Xaverius Raynald Dominique. Hebat bukan?
Raynald
berbisik pelan, amat pelan, hingga hanya Nova yang mungkin bisa
mendengarnya. “sebelas malam, ruang rekreasi.” Ah ya, ruang rekreasi,
tempat murid-murid bisa berkumpul di asrama, karna terletak di antara
asrama putra dan putri, yang memiliki jam malam sampai pukul 12.
Nova
tak menanggapi, dia malah berdiri dan melenggang bak putri raja keluar
ruangan, melihat semua sudah mulai bubar mengosongkan aula. Raynald
menghela napas pelan, kemudian keluar mengikuti yang lain.
***
Cakka
mengacak-acak rambutnya. Ia sudah menemui hampir semua anak kelas
sepuluh, namun tak ada yang mau berteman dengan Raynald. Bahkan
mencobanya saja mereka tampak enggan.
Ia melayangkan
pandangannya ke seisi ruang rekreasi. Sudah sepi. Ia melirik jam
tangannya. Oh, jam sebelas lewat. Pantas saja. dia sudah kemalaman
rupanya.
Ia melirik ke sebelahnya, agni masih setia
menungguinya dari jam delapan tadi. Sekarang gadis itu sedang serius
membaca buku pelajarannya. Oh, rajin sekali.
Cakka
mengedarkan pandangannya lagi, kini lebih menaruh perhatian. Tunggu! di
meja paling sudut—yang biasanya tak terlalu diperhatikan baik olehnya
ataupun murid lainnya. Raynald! Beserta seorang siswi tampaknya. cakka
memicingkan matanya. Ah ya, kalau dia tidak salah, itu Nova, putri
semata wayang keluarga Theodore, anak kolega papanya.
Lama
cakka mengamati mereka, sampai ia mendapatkan sebuah ide cemerlang!
“agni! aku udah tau siapa yang bisa ngebantuku lulus dari Raynald!”
serunya pada agni.
Agni mengangkat kepalanya. “siapa?” tanyanya heran.
“Nova!” seru cakka lagi. Ia sedang dalam kondisi sangat tidak sabar untuk menyelesaikan challenge dari Raynald. Sebentar lagi..
Raut wajah agni berubah, tak terdefinisikan. “jangan. Yang lain aja kka,” cegahnya.
“kenapa?
kau tidak lihat ag? Raynald sepertinya tertarik dengan si Nova itu.
lihat saja dari dia yang berbicara banyak, berarti cuma Nova kan yang
setidaknya mau berteman dengan Raynald?” ujarnya antusias.
Agni
mengikuti arah pandang cakka. tampaknya memang begitu. Tapi… “lebih
baik kamu cari teman laki-laki saja untuknya kka, lagipula apa Nova
mau?” alasan agni.
Cakka tampak berpikir. Benar juga sih
apa kata agni. apa nova mau? Kemudian ia mengangkat bahu. “kalau gak
dicoba kita gak akan tau. Siapa tahu Nova mau?”
“kau bicara dengannya saja tidak dia acuhkan. Apalagi kamu minta jawaban darinya? Mustahil,” balas agni tidak mau kalah.
Cakka
menghempaskan badannya ke sofa panjang yang didudukinya dari tadi.
“lalu siapa lagi? Aku sudah menemui seluruh anak kelas sepuluh, tapi
semua menolak. Tinggal nova. Aku yakin dia penyelamatku! Pokoknya aku
harus bisa membujuknya! Lagian kau kenapa sih ag? Sepertinya tidak
senang sekali kalau aku bisa lulus dari Raynald?” tanya cakka heran.
Agni
menatap adiknya yang berada di kejauhan. “bukannya begitu kka, tapi aku
Cuma menyarankanmu untuk tidak dengan Nova. Kau bisa menambah
perpecahan di keluarga kami kalau begitu,” kata agni lalu menghela
napas.
Cakka menatap agni penasaran. “maksudmu?” tanyanya tidak mengerti.
Agni berdiri dan membawa buku-bukunya. “sudahlah kka, ada saatnya nanti kau tahu. Apa kau sudah mencoba pada Deva?”
“deva? Anak overactive begitu? Kau bercanda?” tanya cakka balik, benar-benar heran.
Agni
mengangguk. “coba saja dulu. Kita tidak akan tahu sebelum mencoba
bukan? ah ya kka, aku kembali ke asrama dulu ya, aku sudah ngantuk,”
kata agni sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan, menguap.
Cakka
mengangguk dan membiarkan agni berlalu. Deva? Quirinus Deva Ravellion?
Yang anehnya hampir menyamai Loony Luna di Harry Potter? Oh my god!
Bagaimana bisa agni mengusulkan si aneh itu?
***
Gabriel
mengepalkan jari-jarinya kesal. Adiknya yang satu itu.. benar-benar tak
bisa diatur! Lagi-lagi ia yang kena marah bukan? gara-gara Mario
menolak perintah keluarga untuk belajar bisnis dengannya, ia yang kena
omel karna tak bisa membuat adiknya itu berhenti membangkang.
Memangnya
seluruh hidupnya hanya untuk mengurus adik-adiknya apa? Mario itu sudah
besar! Sudah 19 tahun! Biarkan saja anak itu memilih jalan hidupnya
sendiri! Jadi jangan jadikan dirinya pelampiasan ketidakpuasan
keluarganya terhadap Mario! Toh ini semua terjadi karna keputusan fatal
keluarga kan?
Kapan dia bisa memikirkan hidupnya sendiri
kalau harus terus mengawasi adik-adiknya? Jangan mentang-mentang dia
anak sulung dia yang harus bertanggung jawab akan semuanya.
Hahh..
Gabriel menghela napas. Sebaiknya ia memikirkan bagaimana mengerjakan
setumpuk tugas di hadapannya ini sebelum sore menjelang.
“Gabriel!” seru seseorang. Gabriel menoleh. Ah, sivia. Lagi-lagi gadis ini menghampirinya.
“apa?” tanya Gabriel, setengah acuh.
Sivia
menggeser sebuah kursi ke sebelah Gabriel. “bagaimana kalau kita
kerjakan bersama-sama? Kau tidak keberatan kan?” usul sivia tanpa
basa-basi.
Gabriel mengangguk saja. yang penting tugasnya
cepat selesai, dan ia mau mengamati seorang gadis yang baru-baru ini
menarik perhatiannya.
Sivia tersenyum, lalu langsung
ditenggelamkan oleh diskusinya bersama Gabriel. Satu jam kemudian,
semua selesai. Baik sivia maupun Gabriel menghela napas lega.
Gabriel segera membereskan buku-bukunya, ia ingin tahu siapa gadis yang menarik perhatiannya kemarin.
>>Flashback On<<
Gabriel
yang baru saja menuruni tangga asrama SMA putra berhenti di tekukkan
tangga yang berada sebelum tangga-tangga terakhir sambil memandang
sekeliling. Sudah lama juga ia tidak tinggal di asrama ini lagi,
semenjak hari kelulusannya. Ia mengamati sekelilingnya, yang dari
tangga tempatnya berdiri bisa melihat seluruh wilayah asrama putra,
perbatasan antar asrama, serta halaman dan lobby sekolah. Hmm..
Pandangan
Gabriel berhenti di satu titik ketika seorang gadis berjalan dari lobby
sekolah menuju kediaman para siswi SMA St. Peter, asrama putri. Gadis
itu berjalan dengan santainya, meski di wajahnya tampak segurat
penyesalan. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, Gabriel tidak
terlalu peduli.
Tidak peduli? Tapi kenapa dia tidak bisa
melepas pandangan dari gadis itu? Hei! Masih banyak gadis lain yang
lebih cantik daripada gadis itu! Gabriel berusaha menelengkan kepalanya
ke samping, tapi tetap saja matanya mengikuti gadis itu.
Ah!
Baiklah! Dia akui, dia penasaran dengan gadis itu! Padahal gadis itu ta
melakukan sesuatu yang menarik, wajahnya tak begitu cantik-cantik
sekali, gurat wajahnya saat ini tidak begitu enak dilihat, tapi kenapa
dia jadi ingin tahu dengan gadis ini? Aneh!
“halooo.. kak
Gabriel kan?” seruan itu membuyarkan lamunan Gabriel. Ia tersentak,
kemudian melihat gadis itu sudah ada di perbatasan kedua asrama.
Gabriel
mengangkat alis. Dari mana anak ini punya keberanian memanggil namanya?
Bahkan teman sepantarnya saja jarang menyebutkan namanya, kecuali Sivia.
Gadis itu berkata kemudian, “kalo mau ketemu agni dia masih ada kelas kak, maaf ya kak aku duluan,” pamitnya sekalian.
Alis
Gabriel terangkat semakin tinggi. Sepertinya gadis itu memang sedang
bermasalah. Buktinya dari dekat pun wajahnya semakin terlihat suram.
Padahal kalau dilihat-lihat dari garis wajahnya, Gabriel bisa menebak
gadis ini selalu ceria, entah dari mana.
Tunggu. Jam
segini sudah ada yang kembali ke asrama? Sebentar. Gabriel melirik jam
tangannya. Kalau sistem dan jadwal belum berubah, baru anak kelas
memanah yang selesai jam segini. Seketika Gabriel terkagum. Oh jadi
anak itu anak memanah ya? Hebat juga. Di jamannya dia sekolah di sini,
kelas memanah hanya diisi anak laki-laki.
Gabriel menatap
anak itu lagi sekilas, punggung yang semakin menjauh, dan menaiki
tangga perlahan. Entah apa dan bagaimana, ia jadi tertarik dengan gadis
itu. Well, lumayan juga.
>>Flashback Off<<
“gab! Kamu buru-buru ya?” Tanya sivia, sedikit kecewa. Gabriel hanya mengangguk singkat.
Setelah
memastikan tak ada yang tertinggal, Gabriel pamit, “duluan ya,” lalu
melangkahkan kakinya cepat ke bangunan SMA yang terletak sekitar 100
meter dari bangunan Universitasnya.
***
Alvin semakin tak
sabar menunggu hari H, hari kedatangan tunangannya kembali ke
Indonesia. Sudah setahun lebih ia tidak menemui Acha, dan rasa rindunya
semakin sulit untuk ditahan. Namun ia mencoba menyimpan rasa itu
rapat-rapat, demi mempertahankan emosi tenangnya di depan
murid-muridnya yang juga memiliki banyak masalah.
Pintu
terbuka dan tampak ify masuk ke dalam ruangannya. Dari pantulan dinding
kaca, ia dapat melihat ify beringsut ke arahnya, kemudian memeluk salah
satu lengannya dan bersandar. Ia masih tetap pada posisinya, memandang
langit yang gelap dengan kedua tangan terlipat di dada.
“kak..”
panggil ify. “maaf,” ucapnya lagi. Melihat tidak adanya tanggapan dari
Alvin, ia menambahkan, “ify janji deh gak akan ngelakuin itu lagi. Ify
tadi Cuma kesel aja sama kak Alvin, jadinya gak mikir panjang deh.”
“kak
alviinn..” panggil ify lagi. Terpaksa kali ini dia harus mengeluarkan
jurus melasnya agar kak Alvin mencair—memang hanya ini satu-satunya
cara untuk mencairkan kak Alvin sih sebenarnya.
Alvin
menoleh pada ify. Wajah adik bungsunya ini sudah benar-benar melas dan
mencari perhatian. Seperti yang sudah-sudah, ia paling tidak tega kalau
adik-adiknya memasang wajah seperti ini. Ia mengusap rambut ify dan
berkata, “iya, tapi jangan diulangin lagi ya.”
Ify
tersenyum dan mengangguk. Dengan sedikit merenggangkan pelukannya di
lengan Alvin ia menatap Alvin dan bertanya, “kakak mau ngomong apa?
Sampe malem begini kakak masih di sini? Penting banget ya kak?”
“lusa kamu sama kak via jemput kak acha ya di bandara. Bantuin kak via bawain barang-barang kak acha,” suruh Alvin.
Ify
mengerutkan keningnya. “terus kak Alvin? Kenapa gak kak Alvin aja yang
jemput kak acha?” bukankah kakaknya ini sangat merindukan kak Acha?
Kenapa pula tidak mau menjemputnya?
Alvin tersenyum
tipis. “kamu jemput dia saja dulu. Kakak akan tunggu kalian di parkiran
kok,” jawabnya pelan. nyata bahwa ia teramat berat untuk membuang waktu
sedetikpun untuk menemui Acha.
Ify cemberut. Ia tidak mau
melihat kakaknya ini kecewa, bahkan untuk sedikit saja. “ikut aja ya
kak,” bujuknya sambil menarik-narik pelan lengan kakaknya.
Alvin
yang mengerti jalan pikiran adiknya ini malah merengkuh adiknya dalam
pelukan, “kakak gak papa kok. Yang penting kan nanti kami bisa bertemu.
Lagipula kan dia awalnya mau buat surprise buat kakak, seenggaknya
kakak gak ngecewain dia dari awal kan?” jelasnya.
Ify
malah semakin gemas dengan jalan pikiran kakak sulungnya yang sudah
bertahan dalam long distance selama 6 tahunan. “udahlah kak, kakak ikut
aja. Ify yakin kok kalo udah liat kak Alvin pasti kak acha bakal lupa
sama niatnya buat surprise. Kakak seperti tidak tahu saja sifatnya kak
Acha,” bujuk ify lagi.
Sepertinya kali ini Alvin
kehabisan kata-kata. Ia memang tak akan pernah bisa melawan niatnya
untuk melakukan hal itu. Dia hanya ingin bertemu kekasihnya, tidak
salah bukan? Jadi dia sendiri tak ada alasan untuk membantah bukan?
Ify
tersenyum mendengar tak ada penolakan dari Alvin. Merasa tangan
kakaknya malah mengusap rambutnya, ia malah semakin senyam-senyum.
“kak,” panggilnya menahan cengengesnya.
“apa?” Tanya Alvin, pandangannya masih menerawang ke langit luar.
“kakak
kangen banget ya sama kak Acha? Tumben amat meluk ify, diusap-usap lagi
rambutnya,” goda ify sambil cengengesan. Jelas, kakaknya ini sangat tak
terbiasa memperlakukannya sangat lembut seperti ini.
Alvin
tersentak, tapi seketika tersenyum. “emang salah ya kalau kakak mau
meluk kamu gini? Toh kamu adik kakak ini kan?” ucapnya lembut.
Ify
mengangkat alis. Tapi kemudian menyadari, bahwa kakaknya mungkin sedang
berangan-angan bahwa yang dipeluk adalah sang kekasih, kak Acha. Ify
diam saja. Selama ini dia yang paling dekat dengan kak Alvin, meski
perlakuannya pada kak Alvin tak pernah seperti kak Alvin dan kak Via
yang bisa seenaknya cium pipi dan pelukan. Rentang usianya terlalu jauh
dengan kak Alvin, 7 tahun.
Jadi wajar saja kalau
kedekatan ify dengan Alvin tak seperti Alvin dan sivia. Dan itu malah
membuat ify menjadi anak yang polos, tidak terlalu mengerti dengan
hal-hal seperti ini, belum bisa memaknainya. Maka jika detik ini sang
kakak memeluknya, ia sedikit kikuk, meski tak nampak dalam reaksinya.
***
“kak acha!!” panggil sivia sambil melambai-lambaikan tangannya.
Gadis
yang dimaksud menoleh ke asal suara. Kemudian senyum terkembang di
wajah cantiknya begitu tahu siapa yang memanggil. Ia bergegas
menghampiri keduanya, kemudian memeluk mereka.
“ify kangen banget sama kakak,” ucap ify dalam pelukan singkat acha.
Acha
tersenyum. “kakak juga kangen banget sama kalian. Ohya, bagaimana kabar
kak Alvin? Dia baik-baik saja kan? Karirnya juga masih tetap baik kan?”
tanyanya tidak sabar. Baik ify maupun sivia mengangguk.
Sivia langsung mengambil alih troli yang berisi barang-barang Acha sementara ify menemaninya berjalan sambil berbincang.
***
Alvin
mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, sesekali melirik ke luar jendela,
tak sabar menunggu. Ketika dilihatnya tiga orang gadis berjalan
beriringan sambil berbincang seru, segera ia bangkit dan menghampiri
ketiganya.
Langkah cepatnya terhenti begitu pandangan
matanya bertabrakan dengan gadis yang berada di tengah, yang kini malah
mengangkat alis heran kepada kedua gadis lain di kanan kirinya.
Tanpa
komando, kedua bibir Alvin terangkat, membentuk senyum lebar setelah
melihat gadis itu. Kakinya melangkah mendekat, melihat gadis itu malah
seperti sedang protes pada kedua gadis lainnya.
“honey,”
panggilnya ketika ia sampai tepat di depan gadis itu. Lekat matanya
menatap gadis itu, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Berubah.
Semakin cantik.
Gadis itu menunjuknya dan mengajukan
protes kepada kedua gadis yang mengapitnya. “kenapa dia ada di sini?
Kan kakak bilang jangan kasihtau dia! Gimana sih!” kesalnya.
Belum
sempat sivia atau ify membela diri, Alvin sudah menyela, “emangnya
kenapa kalo aku jemput kamu? Bukannya juga biasanya gitu ya?”
Gadis
itu cemberut. Menatap Alvin yang menatapnya balik dengan penuh
kerinduan itu membuatnya sulit berkata-kata. Ia jadi ingin segera
merasakan kehangatan pelukan Alvin. Hmm..
“tapi kan tadiannya aku mau bikin surprise buat kamu. Tapi kalo gini sia-sia dong?”
Rasa
kecewa gadis itu menjalar ke tubuh Alvin, namun berbeda. Kalau gadis
itu kecewa dengan surprisenya yang batal, Alvin malah merasa gadis ini
tidak merindukannya. Buktinya ia tak mendapat sambutan hangat dari
gadis ini.
“gitu ya? Yaudah deh. Aku pulang aja. Bikin
aja surprise ke rumah orangtua kamu, pasti kamu lebih seneng dengan
reaksi mereka. Vi, kamu aja deh yang bawa mobil. Kakak pulang naik
taksi aja,” pasrah Alvin dengan wajah yang sarat kekecewaan. Ia segera
berbalik dan melangkah lambat ke luar bandara.
Baru dua
langkah Alvin berjalan, gadis itu sudah berlari dan menariknya
berbalik, lalu dengan cepat memeluknya. Tanpa membuang waktu, Alvin
langsung membalas pelukan gadis ini. Sangat erat. Meluapkan segala
rindu yang sudah tertahan selama setahun lebih ini pada kekasihnya,
Acha.
Ify dan sivia dapat melihat dengan jelas kelegaan
di wajah Alvin. Melihat kakaknya dapat tersenyum bahagia seperti itu
membuat mereka ikut tersenyum, menikmati kebahagiaan yang dirasakan
oleh kakaknya.
“aku kangen banget sama kamu honey,” ucap
Alvin, tak merenggangkan sedikitpun pelukannya, tak peduli ini di depan
umum. Yang ia inginkan hanya bersama kekasihnya, itu saja.
Acha
menyenderkan kepalanya di bahu Alvin kemudian membalas, “me too.
Pokoknya aku mau ngabisin waktu tiga bulan ini buat sama kamu terus.”
Alvin
menganggukkan kepalanya dan merenggangkan pelukannya. Perlahan ia
mendaratkan kecupannya di kening acha, kemudian berbisik, “love you.”
Acha
tersenyum dan berbisik membalasnya, “love you too honey,” yang membuat
Alvin menggandeng tangannya dan mengambil alih troli barang-barang
acha, mengabaikan kedua makhluk yang sedaritadi menonton mereka.
Sivia
dan ify tertawa kecil dan menggelengkan kepala melihat sang kakak sudah
mengabaikan mereka berdua. Kebiasaan. Selalu yang ada di matanya hanya
Acha seorang. Mereka berjalan di belakang Alvin dan acha, menebak-nebak
apa yang akan dilakukan keduanya setelah setahun lebih berpisah. Satu
yang mereka yakini, pasti ‘lebih’ dari biasanya.
***
Alvin
dan acha sudah sampai duluan di mobil. Meski ify dan sivia sudah sampai
di dalam mobil, mereka masih sibuk sendiri, belum sadar kalau kedua
manusia itu sudah bersama mereka.
Alvin yang berada di
belakang kemudi mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi acha yang
duduk di sebelahnya, sementara satu tangannya sudah menggenggam jemari
acha.
Perlahan Alvin mendekatkan wajahnya pada acha. Ify
yang mengira kakaknya berniat mencium acha langsung menutup matanya
dengan kedua telapak tangannya. Kakaknya yang satu itu, meskipun
seorang guru konseling, sama sekali tidak tahu tempat kalau sudah
bersama acha. Kadang dia memikirkan kelakuan kakaknya kalau sedang di
Itali—gantian mengunjungi acha saat libur akhir tahun ajaran—, bisa
jadi kakaknya itu seperti orang-orang bule di luar sana yang suka
bermesraan di tengah jalan.
Sivia menanggapi biasa saja,
meski ia malah ingin tertawa melihat tingkah ify. Alvin mengecup pipi
acha agak lama dan tersenyum melihat ify yang sudah memejamkan mata
rapat-rapat ditambah dengan tangan yang menutupi wajah.
“kenapa fy?” tanya acha, yang sudah tahu jelas sifat adik-adiknya Alvin, terutama ify, yang paling dekat dengannya.
Ify membuka matanya dan menurunkan kedua tangannya, kemudian memajukan bibirnya. “kak Alvin!! Nyebelin banget sih!” omelnya.
Alvin
malah tersenyum dan menyalakan mesin mobilnya. “emangnya kakak ngapain?
Udah deh kamu diem aja, gak usah ngomel-ngomel, berisik tau.”
Ify
menggerutu pelan. kakaknya ini. Berubah 180 derajat bila sudah di luar
area sekolah, apalagi bila bersama acha. Pasti semua tutur katanya
berubah jadi sangat tidak baku. Padahal kalau di sekolah baku sekali
bicaranya. Belum lagi kakaknya ini aslinya cukup menyebalkan, seperti
ini contohnya.
“ohya kak, kak acha mau tinggal di mana?
Kan rumah kita pindah ke Bandung,” tanya sivia, baru ingat rumah mereka
yang biasa dipakai acha untuk tinggal sementara sudah pindah ke Bandung.
Alvin
menatap acha. “kamu gak keberatan kan Cha tinggal sementara di asrama?
Tunggu sampai aku libur? kita masih bisa bareng kok tiap hari, gimana?”
tanyanya.
Acha mengangguk. “aku gak masalah mau tinggal
di mana aja asal sama kamu,” jawabnya sambil tersenyum. “lagian aku
juga mau tau lingkungan kerja kamu. Selama ini kan kamu doang yang tau
tentang kerjaanku, sementara aku gak tau,” jelasnya.
Alvin
mengelus tangan acha sebentar dan melajukan kembali mobilnya. Calon
istri yang sangat pengertian, pikirnya. Setelah tersenyum sebentar ia
langsung melajukan mobilnya ke tempat tujuan.
***
Another life in my mind
Pages
Visitors
Followers
Popular Posts
-
gue post deh disini ceritanya.. gue harap reader gue bener semua.. kaga ada yang suka ngopas seenaknya --" PART I Seorang ga...
-
wohoo lupa ngepost disini. maklum koneksi memang lemot, hehe.. setelah setahun lebih tidak dilanjut.. hahay~ kayaknya udah gak ada yang m...
-
Wow! kalo yang sebelumnya tentang KNg terus,, sekarang ganti!! haha.. kita ganti ma yang lebih muda, lebih imut, lebih lucu, n lebih keren t...
-
nah, yang ini part 2nya.. rada gaje gitu.. abisan gue sibuk+ilang feelnya.. hwhw.. terpaksa buka konflik, biar konflik lain bisa masuk --&qu...
-
PART II IFY’S POV Langkahku terhenti ketika melihat sepasang muda-mudi di koridor lantai dua. Mereka sedang berbicara sambil menghadap k...
-
PART III Cakka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Di pikirannya berkelebat semuanya. Kehilangan.. keputusasaan.. kehancuran.. ...
-
Loha loha! Gila ini cerbung udah berapa lama kaga dilanjut -___- kayaknya setaon sekali. hahay~ oke mungkin untuk selanjutnya saya akan pos...
-
PART VI Nathan menghela napas panjang berkali-kali. Pikirannya banyak sekali, terlalui banyak malah untuk seusianya. Padahal harusnya ia...
-
PART V Ray tak tahu mengapa ia hanya bisa diam seperti ini di tempatnya. Sebagian dari dirinya ingin menyusul ify, tapi sebagian la...
-
PART VII Dua anak kecil berusia tujuh tahunan duduk di ayunan gantung. Hanya menduduki, belum memainkannya. Yang satu, seorang gadis...
Powered by Blogger.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Words to Mind
"Perasaan yang baru saja kaurasakan tadi. Cinta, sensasi bahagia yang membuatmu bertanya-tanya itu perasaan siapa?"
"Itu perasaanku."
Touche - Windhy Puspitadewi
Labels
- everything i like (1)
- Films (1)
- Lyrics of my fav song (2)
- Movie (1)
- My First Romance (3)
- My idols (4)
- My poems (2)
- My Writings (4)
- Suka-suka (3)
- Unpredictable Love (7)
About Me
- Vina Arisandra
- believes in magic n miracle, always dreaming, keep smiling, n never stop hoping. Like humor so much, laughing, and imaginative. i'd love to imagine!