Saturday 16 April 2011 | By: Vina Arisandra

My First Romance Part 2

PART II


IFY’S POV


Langkahku terhenti ketika melihat sepasang muda-mudi di koridor lantai dua. Mereka sedang berbicara sambil menghadap ke lantai 1. tampaknya pembicaraan mereka kali ini meresahkan, terpeta dalam wajah sang pemuda yang serius. Namun tak lama, keduanya malah tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan.


Huh. Menyebalkan sekali melihat itu. biarpun aku sudah sering melihatnya, aku tidak suka! Mau tahu siapa mereka? Kak alvin dan kak zeva! Mau tau siapa kak zeva? Kak zeva itu partnernya kak alvin sebagai guru konseling. Nama lengkapnya Anastasia Zevana, 23 tahun, seumur dengan kak alvin. Kalo kak alvin kerjaannya terima curhatan murid, kak zeva yang ngajar murid-murid di dalam kelas.


Tapi kalau sudah diluar jam mengajarnya, lumayan juga anak yang mau berkonsultasi dengannya. Dan partnering serta kesamaan usia inilah yang membuat mereka lebih sering berkomunikasi dibanding dengan rekan guru lainnya. Menyebalkan bukan?


Tanpa berpikir panjang aku langsung mengambil salah satu panahku, yang selalu kuselempangkan di belakang, seperti pemanah lainnya lah. Aku berusaha membidik dengan tepat, celah di antara kedua muda-mudi itu.


Panahku meninggalkan busurnya dengan cepat, kurang dari 1 detik. Hebat bukan kemampuanku? Hahaha..


Kulihat mata kak alvin melebar saat panahku melaju cepat tepat di sebelah pipinya. Aku diam saja. tak peduli dia mau marah padaku. Aku sangat tidak suka kebiasaannya yang satu ini.


Benar saja, kak alvin langsung berteriak memanggilku saat panah itu menancap kuat di dinding yang berwarna krem. “KATARINA!!” teriaknya marah dan mencariku dengan sapuan matanya.


Ia berjalan cepat ke bawah, tempatku berdiri. Aku masih diam di tempatku, dengan kedua tangan terlipat di dada. Dapat kulihat kalau kak zeva mengejar langkah cepat kak alvin dengan wajah khawatir.


“kamu itu! kakak sudah bilang berapa kali! Jangan gunakan panahmu di luar area memanah! Kalau tadi kena kakak atau kak zeva gimana?! Kamu mau kami mati di tempat ya!” kak alvin menyerocos memarahiku.


“vin, udahlah. Dia pasti ada maksud ngelakuin itu,” kata kak zeva sok menenangkan kak alvin. ih! Apa banget deh!


Kak alvin menarik napas dan menghembuskannya pelan. Aku tau dia sangat marah dengan kelakuanku tadi. Sangat membahayakan. Sedikit saja bidikkanku meleset, bisa-bisa kena jantung mereka.


Kak alvin menatapku kesal, kemudian tiba-tiba saja dia menjewer telingaku. Refleks aku berteriak. “jadi maksud kamu apa hah?!” tanya kak alvin tidak sabar.


Aku melepas tangan kak alvin, lalu menggosok-gosok telingaku pelan. “abisan kakak seru banget sih sama kak zeva! Gak inget sama kak acha apa? Nanti aku laporin ke kak acha baru tau rasa!” keluhku kesal.


“apaan sih pake lapor ke kak acha segala?! Udah deh kamu gak usah ikut campur urusan kakak! Kakak udah cukup pusing mikirin masalah kakak! Kamu jangan nambah-nambahin beban kakak dong! Sekarang serahin panah kamu! Kalo kamu ada kelas, baru ambil ke kakak!”


Aku terhenyak dengan ucapan kak alvin. kedengarannya dia benar-benar sedang tidak dalam kondisi tenang. Emosinya keluar begitu saja. aku jadi merasa bersalah padanya. Kuserahkan busur beserta tempat penyimpanan panahku kepadanya. “maaf kak, aku gak bermaksud buat kakak marah,” sesalku. Aku tak berani menatapnya.


“kembalilah ke asramamu. Jangan keluar sebelum makan malam. Renungkan perbuatanmu. Dan setelah makan malam nanti, temui kakak di ruangan kakak. Ada yang harus kita bicarakan,” ucap kak alvin pelan. Sepertinya emosinya sudah terkontrol kembali.


Aku beranjak dari sana, dan setelah agak jauh sayup-sayup aku mendengar suara kak zeva. “jangan terlalu keras pada ify, vin, dia hanya tidak suka melihatku di dekatmu. Dia sangat sayang pada acha sepertinya. Ayolah, kau tidak mungkin benar-benar memarahinya kan? Bukannya kau ingin mengabarkan kabar baik padanya?”


Aku tidak mengerti dengan ucapan kak zeva. Lagipula, aku sedang menjalani hukuman kak alvin, kembali ke asramaku dan diam di sana. hei, kenapa? baru kali ini melihatku sedih? Aku memang seperti ini kalau kak alvin mulai marah padaku. Kalian tahu? Aku sangat sangat sayang pada kak alvin, begitupun terhadap kak acha. Aku tidak ingin membuat salah satu dari mereka marah atau kecewa. Makanya, aku tidak suka melihat kedekatan kak alvin dan kak zeva tadi.


Ah kak acha! Cepatlah kembali ke Indonesia!!
***
Author’s POV


Hening. Seisi penghuni ruang audio visual terus curi-curi pandang ke tempat duduk paling depan di pojok kiri. Mereka melirik dengan pandangan yang mengisyaratkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal.


Salah seorang dari mereka memberanikan diri mengangkat tangan. “emm.. pak, gak salah nih kelompoknya?” tanyanya.


Sang guru menggeleng. Ini sudah menjadi keputusannya dan kedua guru konseling untuk membagi seluruh anak kelas sepuluh berdua-dua untuk mengerjakan proyek rutin kelas sepuluh, membuat makalah.


Dan yang beda untuk tahun ini, pembuatan makalah harus berpasangan, siswa dan siswi, ditentukan oleh guru, dan semua kelas sepuluh diacak. Jadilah murid-murid heboh dan kontan berbisik-bisik heran melihat sebuah pasangan yang terakhir disebutkan. Agata dan Xaverius. Nova dan Raynald.


Tidak salah? Masa si pangeran es dan putri es dijadikan satu kelompok? Apanya yang akan membina kekompakkan dan memupuk rasa solider? Yang ada nanti malah kerja individu dan saling cela.


Pemuda yang kemarin, yang bernama Raynald, yang sudah semenjak 30 menit lalu menjadi pusat perhatian, masih diam saja. seolah tak mendengar apapun, ia masih menatap lurus papan tulis besar kosong di depannya, meski sesekali mengerling ke sebelah kanannya, tempat seorang gadis manis duduk.


Gadis itu tahu Raynald meliriknya terus daritadi, tapi ia tidak peduli. Ia bahkan lebih dingin daripada si bungsu Dominique ini. Ia menatap papan tulis di depannya, berusaha menulikan kupingnya dari bisik-bisik buruk tentang keputusan guru untuk mengelompokkannya dengan Raynald. Cih. Bahkan dia tidak ambil pusing dengan hal ini. Kenapa mereka yang repot?


Gadis ini, Agata Nova Theodore, si putri es. Dinginnya melebihi Raynald. Tidak punya teman, berbicara hanya jika sangat perlu, ditambah dengan status keturunan dari keluarga Theodore—konglomerat dengan ratusan butik yang tersebar dimana-mana—,  membuatnya sangat angkuh dan anggun. Menarik bukan?


Dia memang tak sepintar Raynald, tapi kepopulerannya di sekolah menyamai seorang Xaverius Raynald Dominique. Hebat bukan?


Raynald berbisik pelan, amat pelan, hingga hanya Nova yang mungkin bisa mendengarnya. “sebelas malam, ruang rekreasi.” Ah ya, ruang rekreasi, tempat murid-murid bisa berkumpul di asrama, karna terletak di antara asrama putra dan putri, yang memiliki jam malam sampai pukul 12.


Nova tak menanggapi, dia malah berdiri dan melenggang bak putri raja keluar ruangan, melihat semua sudah mulai bubar mengosongkan aula. Raynald menghela napas pelan, kemudian keluar mengikuti yang lain.
***
Cakka mengacak-acak rambutnya. Ia sudah menemui hampir semua anak kelas sepuluh, namun tak ada yang mau berteman dengan Raynald. Bahkan mencobanya saja mereka tampak enggan.


Ia melayangkan pandangannya ke seisi ruang rekreasi. Sudah sepi. Ia melirik jam tangannya. Oh, jam sebelas lewat. Pantas saja. dia sudah kemalaman rupanya.


Ia melirik ke sebelahnya, agni masih setia menungguinya dari jam delapan tadi. Sekarang gadis itu sedang serius membaca buku pelajarannya. Oh, rajin sekali.


Cakka mengedarkan pandangannya lagi, kini lebih menaruh perhatian. Tunggu! di meja paling sudut—yang biasanya tak terlalu diperhatikan baik olehnya ataupun murid lainnya. Raynald! Beserta seorang siswi tampaknya. cakka memicingkan matanya. Ah ya, kalau dia tidak salah, itu Nova, putri semata wayang keluarga Theodore, anak kolega papanya.


Lama cakka mengamati mereka, sampai ia mendapatkan sebuah ide cemerlang! “agni! aku udah tau siapa yang bisa ngebantuku lulus dari Raynald!” serunya pada agni.


Agni mengangkat kepalanya. “siapa?” tanyanya heran.


“Nova!” seru cakka lagi. Ia sedang dalam kondisi sangat tidak sabar untuk menyelesaikan challenge dari Raynald. Sebentar lagi..


Raut wajah agni berubah, tak terdefinisikan. “jangan. Yang lain aja kka,” cegahnya.


“kenapa? kau tidak lihat ag? Raynald sepertinya tertarik dengan si Nova itu. lihat saja dari dia yang berbicara banyak, berarti cuma Nova kan yang setidaknya mau berteman dengan Raynald?” ujarnya antusias.


Agni mengikuti arah pandang cakka. tampaknya memang begitu. Tapi… “lebih baik kamu cari teman laki-laki saja untuknya kka, lagipula apa Nova mau?” alasan agni.


Cakka tampak berpikir. Benar juga sih apa kata agni. apa nova mau? Kemudian ia mengangkat bahu. “kalau gak dicoba kita gak akan tau. Siapa tahu Nova mau?”


“kau bicara dengannya saja tidak dia acuhkan. Apalagi kamu minta jawaban darinya? Mustahil,” balas agni tidak mau kalah.


Cakka menghempaskan badannya ke sofa panjang yang didudukinya dari tadi. “lalu siapa lagi? Aku sudah menemui seluruh anak kelas sepuluh, tapi semua menolak. Tinggal nova. Aku yakin dia penyelamatku! Pokoknya aku harus bisa membujuknya! Lagian kau kenapa sih ag? Sepertinya tidak senang sekali kalau aku bisa lulus dari Raynald?” tanya cakka heran.


Agni menatap adiknya yang berada di kejauhan. “bukannya begitu kka, tapi aku Cuma menyarankanmu untuk tidak dengan Nova. Kau bisa menambah perpecahan di keluarga kami kalau begitu,” kata agni lalu menghela napas.


Cakka menatap agni penasaran. “maksudmu?” tanyanya tidak mengerti.


Agni berdiri dan membawa buku-bukunya. “sudahlah kka, ada saatnya nanti kau tahu. Apa kau sudah mencoba pada Deva?”


“deva? Anak overactive begitu? Kau bercanda?” tanya cakka balik, benar-benar heran.


Agni mengangguk. “coba saja dulu. Kita tidak akan tahu sebelum mencoba bukan? ah ya kka, aku kembali ke asrama dulu ya, aku sudah ngantuk,” kata agni sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan, menguap.


Cakka mengangguk dan membiarkan agni berlalu. Deva? Quirinus Deva Ravellion? Yang anehnya hampir menyamai Loony Luna di Harry Potter? Oh my god! Bagaimana bisa agni mengusulkan si aneh itu?
***
Gabriel mengepalkan jari-jarinya kesal. Adiknya yang satu itu.. benar-benar tak bisa diatur! Lagi-lagi ia yang kena marah bukan? gara-gara Mario menolak perintah keluarga untuk belajar bisnis dengannya, ia yang kena omel karna tak bisa membuat adiknya itu berhenti membangkang.


Memangnya seluruh hidupnya hanya untuk mengurus adik-adiknya apa? Mario itu sudah besar! Sudah 19 tahun! Biarkan saja anak itu memilih jalan hidupnya sendiri! Jadi jangan jadikan dirinya pelampiasan ketidakpuasan keluarganya terhadap Mario! Toh ini semua terjadi karna keputusan fatal keluarga kan?


Kapan dia bisa memikirkan hidupnya sendiri kalau harus terus mengawasi adik-adiknya? Jangan mentang-mentang dia anak sulung dia yang harus bertanggung jawab akan semuanya.


Hahh.. Gabriel menghela napas. Sebaiknya ia memikirkan bagaimana mengerjakan setumpuk tugas di hadapannya ini sebelum sore menjelang.


“Gabriel!” seru seseorang. Gabriel menoleh. Ah, sivia. Lagi-lagi gadis ini menghampirinya.


“apa?” tanya Gabriel, setengah acuh.


Sivia menggeser sebuah kursi ke sebelah Gabriel. “bagaimana kalau kita kerjakan bersama-sama? Kau tidak keberatan kan?” usul sivia tanpa basa-basi.


Gabriel mengangguk saja. yang penting tugasnya cepat selesai, dan ia mau mengamati seorang gadis yang baru-baru ini menarik perhatiannya.


Sivia tersenyum, lalu langsung ditenggelamkan oleh diskusinya bersama Gabriel. Satu jam kemudian, semua selesai. Baik sivia maupun Gabriel menghela napas lega.


Gabriel segera membereskan buku-bukunya, ia ingin tahu siapa gadis yang menarik perhatiannya kemarin.


>>Flashback On<<


Gabriel yang baru saja menuruni tangga asrama SMA putra berhenti di tekukkan tangga yang berada sebelum tangga-tangga terakhir sambil memandang sekeliling. Sudah lama juga ia tidak tinggal di asrama ini lagi, semenjak hari kelulusannya. Ia mengamati sekelilingnya, yang dari tangga tempatnya berdiri bisa melihat seluruh wilayah asrama putra, perbatasan antar asrama, serta halaman dan lobby sekolah. Hmm..


Pandangan Gabriel berhenti di satu titik ketika seorang gadis berjalan dari lobby sekolah menuju kediaman para siswi SMA St. Peter, asrama putri. Gadis itu berjalan dengan santainya, meski di wajahnya tampak segurat penyesalan. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, Gabriel tidak terlalu peduli.


Tidak peduli? Tapi kenapa dia tidak bisa melepas pandangan dari gadis itu? Hei! Masih banyak gadis lain yang lebih cantik daripada gadis itu! Gabriel berusaha menelengkan kepalanya ke samping, tapi tetap saja matanya mengikuti gadis itu.


Ah! Baiklah! Dia akui, dia penasaran dengan gadis itu! Padahal gadis itu ta melakukan sesuatu yang menarik, wajahnya tak begitu cantik-cantik sekali, gurat wajahnya saat ini tidak begitu enak dilihat, tapi kenapa dia jadi ingin tahu dengan gadis ini? Aneh!


“halooo.. kak Gabriel kan?” seruan itu membuyarkan lamunan Gabriel. Ia tersentak, kemudian melihat gadis itu sudah ada di perbatasan kedua asrama.


Gabriel mengangkat alis. Dari mana anak ini punya keberanian memanggil namanya? Bahkan teman sepantarnya saja jarang menyebutkan namanya, kecuali Sivia.


Gadis itu berkata kemudian, “kalo mau ketemu agni dia masih ada kelas kak, maaf ya kak aku duluan,” pamitnya sekalian.


Alis Gabriel terangkat semakin tinggi. Sepertinya gadis itu memang sedang bermasalah. Buktinya dari dekat pun wajahnya semakin terlihat suram. Padahal kalau dilihat-lihat dari garis wajahnya, Gabriel bisa menebak gadis ini selalu ceria, entah dari mana.


Tunggu. Jam segini sudah ada yang kembali ke asrama? Sebentar. Gabriel melirik jam tangannya. Kalau sistem dan jadwal belum berubah, baru anak kelas memanah yang selesai jam segini. Seketika Gabriel terkagum. Oh jadi anak itu anak memanah ya? Hebat juga. Di jamannya dia sekolah di sini, kelas memanah hanya diisi anak laki-laki.


Gabriel menatap anak itu lagi sekilas, punggung yang semakin menjauh, dan menaiki tangga perlahan. Entah apa dan bagaimana, ia jadi tertarik dengan gadis itu. Well, lumayan juga.


>>Flashback Off<<


“gab! Kamu buru-buru ya?” Tanya sivia, sedikit kecewa. Gabriel hanya mengangguk singkat.


Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, Gabriel pamit, “duluan ya,” lalu melangkahkan kakinya cepat ke bangunan SMA yang terletak sekitar 100 meter dari bangunan Universitasnya.
***
Alvin semakin tak sabar menunggu hari H, hari kedatangan tunangannya kembali ke Indonesia. Sudah setahun lebih ia tidak menemui Acha, dan rasa rindunya semakin sulit untuk ditahan. Namun ia mencoba menyimpan rasa itu rapat-rapat, demi mempertahankan emosi tenangnya di depan murid-muridnya yang juga memiliki banyak masalah.


Pintu terbuka dan tampak ify masuk ke dalam ruangannya. Dari pantulan dinding kaca, ia dapat melihat ify beringsut ke arahnya, kemudian memeluk salah satu lengannya dan bersandar. Ia masih tetap pada posisinya, memandang langit yang gelap dengan kedua tangan terlipat di dada.


“kak..” panggil ify. “maaf,” ucapnya lagi. Melihat tidak adanya tanggapan dari Alvin, ia menambahkan, “ify janji deh gak akan ngelakuin itu lagi. Ify tadi Cuma kesel aja sama kak Alvin, jadinya gak mikir panjang deh.”


“kak alviinn..” panggil ify lagi. Terpaksa kali ini dia harus mengeluarkan jurus melasnya agar kak Alvin mencair—memang hanya ini satu-satunya cara untuk mencairkan kak Alvin sih sebenarnya.


Alvin menoleh pada ify. Wajah adik bungsunya ini sudah benar-benar melas dan mencari perhatian. Seperti yang sudah-sudah, ia paling tidak tega kalau adik-adiknya memasang wajah seperti ini. Ia mengusap rambut ify dan berkata, “iya, tapi jangan diulangin lagi ya.”


Ify tersenyum dan mengangguk. Dengan sedikit merenggangkan pelukannya di lengan Alvin ia menatap Alvin dan bertanya, “kakak mau ngomong apa? Sampe malem begini kakak masih di sini? Penting banget ya kak?”


“lusa kamu sama kak via jemput kak acha ya di bandara. Bantuin kak via bawain barang-barang kak acha,” suruh Alvin.


Ify mengerutkan keningnya. “terus kak Alvin? Kenapa gak kak Alvin aja yang jemput kak acha?” bukankah kakaknya ini sangat merindukan kak Acha? Kenapa pula tidak mau menjemputnya?


Alvin tersenyum tipis. “kamu jemput dia saja dulu. Kakak akan tunggu kalian di parkiran kok,” jawabnya pelan. nyata bahwa ia teramat berat untuk membuang waktu sedetikpun untuk menemui Acha.


Ify cemberut. Ia tidak mau melihat kakaknya ini kecewa, bahkan untuk sedikit saja. “ikut aja ya kak,” bujuknya sambil menarik-narik pelan lengan kakaknya.


Alvin yang mengerti jalan pikiran adiknya ini malah merengkuh adiknya dalam pelukan, “kakak gak papa kok. Yang penting kan nanti kami bisa bertemu. Lagipula kan dia awalnya mau buat surprise buat kakak, seenggaknya kakak gak ngecewain dia dari awal kan?” jelasnya.


Ify malah semakin gemas dengan jalan pikiran kakak sulungnya yang sudah bertahan dalam long distance selama 6 tahunan. “udahlah kak, kakak ikut aja. Ify yakin kok kalo udah liat kak Alvin pasti kak acha bakal lupa sama niatnya buat surprise. Kakak seperti tidak tahu saja sifatnya kak Acha,” bujuk ify lagi.


Sepertinya kali ini Alvin kehabisan kata-kata. Ia memang tak akan pernah bisa melawan niatnya untuk melakukan hal itu. Dia hanya ingin bertemu kekasihnya, tidak salah bukan? Jadi dia sendiri tak ada alasan untuk membantah bukan?


Ify tersenyum mendengar tak ada penolakan dari Alvin. Merasa tangan kakaknya malah mengusap rambutnya, ia malah semakin senyam-senyum. “kak,” panggilnya menahan cengengesnya.


“apa?” Tanya Alvin, pandangannya masih menerawang ke langit luar.


“kakak kangen banget ya sama kak Acha? Tumben amat meluk ify, diusap-usap lagi rambutnya,” goda ify sambil cengengesan. Jelas, kakaknya ini sangat tak terbiasa memperlakukannya sangat lembut seperti ini.


Alvin tersentak, tapi seketika tersenyum. “emang salah ya kalau kakak mau meluk kamu gini? Toh kamu adik kakak ini kan?” ucapnya lembut.


Ify mengangkat alis. Tapi kemudian menyadari, bahwa kakaknya mungkin sedang berangan-angan bahwa yang dipeluk adalah sang kekasih, kak Acha. Ify diam saja. Selama ini dia yang paling dekat dengan kak Alvin, meski perlakuannya pada kak Alvin tak pernah seperti kak Alvin dan kak Via yang bisa seenaknya cium pipi dan pelukan. Rentang usianya terlalu jauh dengan kak Alvin, 7 tahun.


Jadi wajar saja kalau kedekatan ify dengan Alvin tak seperti Alvin dan sivia. Dan itu malah membuat ify menjadi anak yang polos, tidak terlalu mengerti dengan hal-hal seperti ini, belum bisa memaknainya. Maka jika detik ini sang kakak memeluknya, ia sedikit kikuk, meski tak nampak dalam reaksinya.
***
“kak acha!!” panggil sivia sambil melambai-lambaikan tangannya.


Gadis yang dimaksud menoleh ke asal suara. Kemudian senyum terkembang di wajah cantiknya begitu tahu siapa yang memanggil. Ia bergegas menghampiri keduanya, kemudian memeluk mereka.


“ify kangen banget sama kakak,” ucap ify dalam pelukan singkat acha.


Acha tersenyum. “kakak juga kangen banget sama kalian. Ohya, bagaimana kabar kak Alvin? Dia baik-baik saja kan? Karirnya juga masih tetap baik kan?” tanyanya tidak sabar. Baik ify maupun sivia mengangguk.


Sivia langsung mengambil alih troli yang berisi barang-barang Acha sementara ify menemaninya berjalan sambil berbincang.
***
Alvin mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, sesekali melirik ke luar jendela, tak sabar menunggu. Ketika dilihatnya tiga orang gadis berjalan beriringan sambil berbincang seru, segera ia bangkit dan menghampiri ketiganya.


Langkah cepatnya terhenti begitu pandangan matanya bertabrakan dengan gadis yang berada di tengah, yang kini malah mengangkat alis heran kepada kedua gadis lain di kanan kirinya.


Tanpa komando, kedua bibir Alvin terangkat, membentuk senyum lebar setelah melihat gadis itu. Kakinya melangkah mendekat, melihat gadis itu malah seperti sedang protes pada kedua gadis lainnya.


“honey,” panggilnya ketika ia sampai tepat di depan gadis itu. Lekat matanya menatap gadis itu, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Berubah. Semakin cantik.


Gadis itu menunjuknya dan mengajukan protes kepada kedua gadis yang mengapitnya. “kenapa dia ada di sini? Kan kakak bilang jangan kasihtau dia! Gimana sih!” kesalnya.


Belum sempat sivia atau ify membela diri, Alvin sudah menyela, “emangnya kenapa kalo aku jemput kamu? Bukannya juga biasanya gitu ya?”


Gadis itu cemberut. Menatap Alvin yang menatapnya balik dengan penuh kerinduan itu membuatnya sulit berkata-kata. Ia jadi ingin segera merasakan kehangatan pelukan Alvin. Hmm..


“tapi kan tadiannya aku mau bikin surprise buat kamu. Tapi kalo gini sia-sia dong?”


Rasa kecewa gadis itu menjalar ke tubuh Alvin, namun berbeda. Kalau gadis itu kecewa dengan surprisenya yang batal, Alvin malah merasa gadis ini tidak merindukannya. Buktinya ia tak mendapat sambutan hangat dari gadis ini.


“gitu ya? Yaudah deh. Aku pulang aja. Bikin aja surprise ke rumah orangtua kamu, pasti kamu lebih seneng dengan reaksi mereka. Vi, kamu aja deh yang bawa mobil. Kakak pulang naik taksi aja,” pasrah Alvin dengan wajah yang sarat kekecewaan. Ia segera berbalik dan melangkah lambat ke luar bandara.


Baru dua langkah Alvin berjalan, gadis itu sudah berlari dan menariknya berbalik, lalu dengan cepat memeluknya. Tanpa membuang waktu, Alvin langsung membalas pelukan gadis ini. Sangat erat. Meluapkan segala rindu yang sudah tertahan selama setahun lebih ini pada kekasihnya, Acha.


Ify dan sivia dapat melihat dengan jelas kelegaan di wajah Alvin. Melihat kakaknya dapat tersenyum bahagia seperti itu membuat mereka ikut tersenyum, menikmati kebahagiaan yang dirasakan oleh kakaknya.


“aku kangen banget sama kamu honey,” ucap Alvin, tak merenggangkan sedikitpun pelukannya, tak peduli ini di depan umum. Yang ia inginkan hanya bersama kekasihnya, itu saja.


Acha menyenderkan kepalanya di bahu Alvin kemudian membalas, “me too. Pokoknya aku mau ngabisin waktu tiga bulan ini buat sama kamu terus.”


Alvin menganggukkan kepalanya dan merenggangkan pelukannya. Perlahan ia mendaratkan kecupannya di kening acha, kemudian berbisik, “love you.”


Acha tersenyum dan berbisik membalasnya, “love you too honey,” yang membuat Alvin menggandeng tangannya dan mengambil alih troli barang-barang acha, mengabaikan kedua makhluk yang sedaritadi menonton mereka.


Sivia dan ify tertawa kecil dan menggelengkan kepala melihat sang kakak sudah mengabaikan mereka berdua. Kebiasaan. Selalu yang ada di matanya hanya Acha seorang. Mereka berjalan di belakang Alvin dan acha, menebak-nebak apa yang akan dilakukan keduanya setelah setahun lebih berpisah. Satu yang mereka yakini, pasti ‘lebih’ dari biasanya.
***
 Alvin dan acha sudah sampai duluan di mobil. Meski ify dan sivia sudah sampai di dalam mobil, mereka masih sibuk sendiri, belum sadar kalau kedua manusia itu sudah bersama mereka.


Alvin yang berada di belakang kemudi mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi acha yang duduk di sebelahnya, sementara satu tangannya sudah menggenggam jemari acha.


Perlahan Alvin mendekatkan wajahnya pada acha. Ify yang mengira kakaknya berniat mencium acha langsung menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Kakaknya yang satu itu, meskipun seorang guru konseling, sama sekali tidak tahu tempat kalau sudah bersama acha. Kadang dia memikirkan kelakuan kakaknya kalau sedang di Itali—gantian mengunjungi acha saat libur akhir tahun ajaran—, bisa jadi kakaknya itu seperti orang-orang bule di luar sana yang suka bermesraan di tengah jalan.


Sivia menanggapi biasa saja, meski ia malah ingin tertawa melihat tingkah ify. Alvin mengecup pipi acha agak lama dan tersenyum melihat ify yang sudah memejamkan mata rapat-rapat ditambah dengan tangan yang menutupi wajah.


“kenapa fy?” tanya acha, yang sudah tahu jelas sifat adik-adiknya Alvin, terutama ify, yang paling dekat dengannya.


Ify membuka matanya dan menurunkan kedua tangannya, kemudian memajukan bibirnya. “kak Alvin!! Nyebelin banget sih!” omelnya.


Alvin malah tersenyum dan menyalakan mesin mobilnya. “emangnya kakak ngapain? Udah deh kamu diem aja, gak usah ngomel-ngomel, berisik tau.”


Ify menggerutu pelan. kakaknya ini. Berubah 180 derajat bila sudah di luar area sekolah, apalagi bila bersama acha. Pasti semua tutur katanya berubah jadi sangat tidak baku. Padahal kalau di sekolah baku sekali bicaranya. Belum lagi kakaknya ini aslinya cukup menyebalkan, seperti ini contohnya.


“ohya kak, kak acha mau tinggal di mana? Kan rumah kita pindah ke Bandung,” tanya sivia, baru ingat rumah mereka yang biasa dipakai acha untuk tinggal sementara sudah pindah ke Bandung.


Alvin menatap acha. “kamu gak keberatan kan Cha tinggal sementara di asrama? Tunggu sampai aku libur? kita masih bisa bareng kok tiap hari, gimana?” tanyanya.


Acha mengangguk. “aku gak masalah mau tinggal di mana aja asal sama kamu,” jawabnya sambil tersenyum. “lagian aku juga mau tau lingkungan kerja kamu. Selama ini kan kamu doang yang tau tentang kerjaanku, sementara aku gak tau,” jelasnya.


Alvin mengelus tangan acha sebentar dan melajukan kembali mobilnya. Calon istri yang sangat pengertian, pikirnya. Setelah tersenyum sebentar ia langsung melajukan mobilnya ke tempat tujuan.
***