Saturday 8 January 2011 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 6

PART VI

Nathan menghela napas panjang berkali-kali. Pikirannya banyak sekali, terlalui banyak malah untuk seusianya. Padahal harusnya ia sekarang menikmati masa mudanya yang penuh dengan kesenangan, menikmati masa-masa keindahan cintanya, pencarian jati diri, dan banyak mencoba hal-hal baru layaknya remaja lain.

Tapi tidak untuknya, ia sudah mendapatkannya beberapa tahun yang lalu, kedewasaan yang tumbuh lebih cepat dalam dirinya, membuatnya selalu menjadi yang pertama dalam merasakan segalanya. Dan sekarang, ia sudah merasakan penderitaan yang sangat berat, tidak terlalu awal kah?

Bahkan kalau ia bisa memilih, ia tak mau menjadi jenius, tidak mau cepat dewasa, dia mau merasakannya bersamaan dengan yang lain. Tapi mau bagaimana lagi, mamanya menurunkan kepintaran luar biasanya pada dirinya. Dan jadilah ia selalu melompati kelas, hingga harusnya ia tak lagi menjadi seorang anak SMA, melainkan mahasiswa yang setahun lagi akan lulus.

Ia tahu maksud baik sivia dan shilla, membuatnya menjadi anak biasa, sekaligus menyelesaikan masalah masa lalunya. Tapi entahlah, rasanya ia takkan sanggup menyelesaikan semua masalahnya, terlalu rumit dan berkesinambungan. Ia bingung, harus memulai dari mana semua ini.

Aren yang baru muncul dan melihat Nathan memejamkan matanya tersenyum. Ia mendekat, menatap laki-laki yang dulu sempat menjadi pujaan hatinya, idolanya, sekaligus orang yang dikasihinya. Meski Nathan sudah berkali-kali menyuruhnya memanggil Nathan bukan Alvin, ia tak akan pernah mau. Yang dihadapannya ini, masih tetap alvinnya, yang memakai topeng seorang Nathan.

Berulang kali ia berkata pada Nathan, kalau Nathan harus mengakui, dirinya takkan pernah bisa menjadi Nathan, karna ia selamanya seorang Alvin. Dan tak mudah untuk merubah kepribadiannya. Tapi, mau sebanyak apapun dia berkata seperti itu, Nathan tak akan pernah mendengarnya.

“vin, lo harus ngilangin trauma lo. Percaya sama gue, kalo lo berusaha buat dapetin cewek itu lagi, nasib lo akan berubah. Dan kisah lo sama dia gak akan berakhir kayak kita,” kata aren lembut.

Nathan menggeleng. “gak bisa ren. Gue gak sanggup kalo dia juga ngalamin hal yang sama kayak lo semua. Kalo sama gue, semuanya akan sama, gak akan ada yang baik. Lebih baik dia sama cakka,” katanya pasrah.

“vin, jangan pasrah gini dong. Lo sebenernya gak rela kan kalo dia sama cakka? Ayolah vin! Status lo sama dia tuh lebih dari sekedar sahabat! Gue yakin, walaupun dia amnesia, dia masih nungguin lo, buat nemenin dia lagi vin!” kata aren menggebu-gebu.

Nathan membuka matanya dan menatap aren. “lo tau ren? Waktu lo ngdeketin gue, nyari perhatian gue, nembak gue, gue gak yakin, gue belom bisa ngilangin trauma gue dari acha, silvia, sama nandya. Tapi lo dengan yakinnya bilang kalo lo bisa ngilangin trauma itu, dan kisah kita gak akan sama. Hampir sama dengan yang lo bilang sebelumnya,” nathan menarik napas.

“lo dengan gencarnya masih berusaha kasih motivasi ke gue, sampe akhirnya gue luluh sama lo. Tapi apa ren? Nasib lo sama kayak mereka! Dan bagi gue semuanya udah cukup! Lo gak tau kan? Gue trauma berat ren! Semua yang gue sayang ninggalin gue. Dan gue gak mau dia juga ninggalin gue! Lebih baik gue sakit hati daripada dia harus jadi korban gue lagi.”

Aren terdiam untuk beberapa detik, menyusun memorinya. “tapi seperti yang gue bilang dulu vin, semuanya gak akan selalu sama! Kita gak tau takdir kita! Siapa tahu lo emang Cuma buat dia? Ditakdirin buat dia? Dan mungkin itu salah kita berempat, udah ngebuat lo ngelanggar janji lo ke dia, dan semuanya berakibat fatal ke kita berempat! Itu salah kita vin! Dan lo, sebaiknya deketin dia, gue yakin vin,” aren segera menghilang sebelum nathan membantah perkataannya kembali.

Nathan sendiri masih sama seperti kemarin ini, masih bimbang. Ia khawatir bila semuanya akan berakhir sama. Gadisnya itu terlalu baik, sama sekali tak pantas untuk menjadi korbannya. Tapi ia berpikir, apa benar kata aren? Itu semua terjadi karna ia mengingkari janjinya? janji kesetiaannya dengan gadis itu?
***
*
“excel! Ini gak baik sama sekali untuk Alvin! Kamu kelewatan! Jangan egois! Alvin masih kecil, kamu harusnya maafin dia! ini udah takdir kamu excel, kamu gak bisa ngelak! Meskipun kamu tinggalin dia, semuanya gak akan bisa kembali lagi!” langkah cakka yang sedang berlari segera terhenti di depan pintu studionya.

Ia melihat ke lubang kunci dengan berjinjit. Ada papa dan mamanya, om excel, tante winda, om duta, tante ucie, dan om joe. Tampak wajah mereka tegang. Ada apa?

Cakka yang tertarik sekaligus penasaran dengan nama sepupunya yang disebut-sebut, berniat menguping. “aku gak peduli kak! Dia harus terima hukumannya! Kenapa? Gak ada satu dari kalian yang mau ngurus dia? Gampang! Aku akan bawa dia ke panti asuhan!” seru om excel.

Cakka yang masih kecil, sama sekali tidak mengerti dengan ucapan mereka. PLAK! Terdengar tamparan kencang dari dalam. cakka melihat lagi, tante ucie yang menampar om excel. “excel! Kamu bener-bener keterlaluan! Kamu sama sekali gak bertanggungjawab jadi seorang ayah! Harusnya kamu rawat Alvin, sayangin dia, jagain dia! Bukannya nelantarin dia! Mau seberapa besarpun kesalahannya, dia tetap anak kamu excel, darah daging kamu! kamu harus bisa maklumin dan maafin kesalahannya!” teriak bu ucie.

Cakka menganggap semua yang dilihatnya barusan seru sekali, walaupun agak janggal. Memangnya Alvin berbuat kesalahan apa? “udahlah kak! Excel capek sama dia! Cuma buat excel menderita! Sekarang excel mau tanya, siapa dari kalian yang bersedia ngurus dia? tenang aja, excel tetap biayain semua keperluannya dia,” kata om excel tanpa perasaan.

Cakka melihat semuanya langsung bersedia, dengan omelan yang masih terdengar sangat jelas. Cakka berpikir, apa Alvin akan tinggal dengannya? Kalau iya, dia mau sekali, dengan itu dia punya teman sepantar. Tapi apa Alvin mau?

Cakka kemudian segera meninggalkan tempatnya berdiri, memberitahukannya pada shilla, sivia, dan kak elang yang sepertinya sedang menunggunya kembali.
***
 Cakka kira Alvin anak yang suka bicara dan senang bermain sepertinya. Tapi kenyataannya, terbalik 180 derajat. Memang, ia belum pernah bertemu Alvin secara langsung, ia hanya mendengar cerita dari orangtuanya, serta om dan tantenya yang sering bertemu dengan Alvin.

Hari ini, cakka dan keluarganya menjemput Alvin untuk berkumpul di rumahnya. Pandangan cakka tak lepas dari Alvin, ia putih, tingginya sama dengannya, wajahnya oriental-mirip dengan almarhum mamanya yang keturunan korea, yang sedang menggendong ransel kecil dengan kepala ditundukkan. Cakka mengira-ngira isi ransel itu, mungkin mainan, dan dia bisa meminjamnya, asik!

Cakka mendekati Alvin, berniat menyapanya duluan setelah sekian lama berdiam-diaman. “Alvin ya? Aku cakka,” kata cakka sambil tersenyum.

Alvin menoleh sedikit dan kembali menunduk, tangannya mencengkeram erat tali ranselnya. “isinya mainan ya?” Tanya cakka penasaran, sambil menunjuk ransel itu.

Alvin menggeleng, kemudian mempercepat jalannya, menyetarakan langkah papanya, dan meraih tangan papanya. Papanya segera menggandeng tangannya, membuat Alvin tersenyum sedikit.

Cakka menaikkan sebelah alisnya, “anak aneh,” gumamnya. Aneh sekali. Biasanya kalau sudah ia ajak ngobrol, anak manapun akan langsung antusias membalasnua, tapi ini tidak. Ia jadi penasaran.

Sesampainya di rumah, cakka menarik tangan Alvin ke kamar bermainnya. Disana sudah berkumpul sivia, shilla, kak elang, shanin, juga kekey. Tanpa basa-basi, cakka langsung menyuruh Alvin duduk di dekat mereka.

Alvin mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan maksud cakka, seenaknya saja menariknya dan menyuruhnya, tidak sopan! Tapi biarpun begitu, ia tahu etika, cakka pemilik rumah, dan ia harusnya menuruti saja. Maka ia langsung duduk di karpet, diiringi tatapan yang lain. Ia jadi merasa terganggu dengan tatapan-tatapan mereka.

“sivia!” sivia langsung mengulurkan tangannya ke Alvin dengan mata berbinar, seolah baru melihat hal yang sangat hebat. Alvin membalas ulurannya dan berjabat tangan dengan sivia. “pasti Alvin kan? Udah tau! Hehe,” katanya cengengesan sebelum Alvin menyebutkan namanya.

Alvin mengerutkan keningnya lagi, tidak terlalu suka dengan anak ini, seenaknya saja memotong pembicaraannya, tidak tahu aturan! Ia beralih pada yang lain, kak elang, serta shanin dan kekey yang dibantu oleh seorang anak perempuan lain yang paling cantik dan manis menurutnya.

“shilla,” kata anak itu sambil tersenyum manis. Alvin membalas sedikit senyumannya, setidaknya anak ini jauh lebih baik dari anak yang pertama tadi.

Selesai semua memperkenalkan diri, cakka bertanya kembali, “Alvin, tasnya isinya apa?” tanyanya. Yang lain pun ikut penasaran dengan isinya, karna Alvin memeluknya sejak tadi.

Alvin menggeleng, tidak mau memberitahukannya. Baginya, ini privasi, mau apapun isinya, tetap saja privasinya.

“pasti mainan ya?” cetus sivia. Alvin semakin tidak suka padanya, sok tahu! “boong, pasti mainan kan? Alvin punya mainan kan? Sebanyak punya cakka gak? Tuh liat,” kata sivia lagi sambil menunjuk sekelilingnya.

Alvin mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Semuanya mainan mobil-mobilan, berbeda warna dan model. Pasti koleksi! Pikirnya. Alvin menggeleng kembali.

“terus apa dong?” Tanya sivia lagi.

“mau tau aja!” kata Alvin ketus. Sivia memajukan bibirnya, sementara yang lain bertukar pandang, karna daritadi belum mendengarkan satu patah kata pun yang terucap dari bibir Alvin.

“boleh liat gak?” Tanya kak elang. Alvin menggeleng kembali. “kok Alvin ngomongnya dikit banget sih? Pelit!” kata kak elang kesal.

Alvin masih diam saja, tidak berniat menanggapi. Ia malah berdiri dan berjalan keluar, mencari papanya.
***
Beberapa hari Alvin menginap di rumah cakka, sikapnya sudah mencair sedikit pada shilla dan cakka, tapi tidak untuk sivia. Menurutnya, shilla sangat manis, kalem. dan lembut, juga sedikit dewasa, mungkin karna usinya yang lebih tua dua bulan darinya. Sedangkan cakka, biarpun cakka sangat suka bicara dan kadang egois serta suka memaksa, cakka terhitung sangat baik padanya, karna tidak terlalu banyak ikut campur dengan urusannya, tidak seperti sivia yang mau tahu dan selalu ikut campur dengan urusannya.

Di matanya, sivia tidak lebih dari seorang anak cengeng, manja, carper, dan suka ikut campur urusan orang lain. Maka itu, dia tidak peduli dengan apa yang dilakukan dan terjadi pada sivia.

Begitu juga dengan cakka, biarpun Alvin pendiam dan suka menyendiri, ia menganggapnya sangat baik, karna Alvin orang yang mau mengalah dan suka membantunya. Shilla, sangat baik padanya, murah hati, suka senyum, dan senang menasehati. Setali tiga uang dengan Alvin, ia juga beranggapan yang sama tentang sivia, tapi ia memakluminya karena sivia anak tunggal, dan biasa dimanjakan.

Beberapa hari itu juga ternyata orangtua mereka sedang mengamati, kepada siapa Alvin cocok, dan akhirnya ditentukanlah ia sangat cocok dengan cakka. Lagipula orangtua cakka berpikir, lebih baik kalau cakka punya teman sepantar, dengan itu ia tidak akan terlalu egois.

Dan tibalah hari itu, hari dimana Alvin akhirnya akan tinggal bersama cakka selama beberapa tahun, dimana ia terakhir kali bertemu dengan papanya. Alvin mrurng terus hari ini, wajahnya ditekuk terus, ia tidak mau melepas gandengannya pada papanya.

Pak excel memeluk Alvin dan mengusap rambutnya. “Alvin, papa pulang dulu ya, kan di rumah masih ada keke. Papa harus jagain keke,” kata pak excel.

Alvin melepas pelukannya. “kalo gitu alvin ikut pulang! Alvin gak mau disini! Alvin mau sama papa!”

Pak excel menepuk kedua pundak Alvin. “Alvin, kamu disini aja ya. Kamu sekolah disini. Kan ada cakka sama yang lain, kalo disana kan kamu gak ada temennya. Papa janji deh akan jemput kamu lagi kalo kamu jadi anak baik, pinter, gak nakal, dan bisa bikin papa bangga, ya?”

Alvin menggeleng. “pokoknya Alvin ikut papa! Alvin mau sama papa!” ngotot Alvin.

“Alvin, dengerin papa. Kamu sayang kan sama papa? Kalo kamu sayang sama papa, kamu nurut dong apa kata papa. Kan papa udah janji, papa akan balik lagi kesini, buat jemput kamu,” bujuk pak excel.

Alvin memeluk papanya dan menangis. “nanti kalo Alvin kangen sama papa gimana? Mama udah gak ada, Alvin gak punya siapa-siapa lagi selain papa sama keke. Alvin mau sama papa aja,” rengek Alvin disela tangisnya.

Pak excel menggendong Alvin dan meredakan tangis anaknya ini. Setidaknya ini terakhir kalinya ia bisa menggendong anaknya. Karna setelah ini, ia berniat untuk tidak menemui Alvin lagi. “Alvin, jangan cengeng dong. Emangnya papa ngajarin kamu buat cengeng? Enggak kan? Udah ya sayang, papa harus pergi, papa yakin kok kamu bisa mandiri,” pak excel menurunkan Alvin dan menghapus air mata Alvin.

“kamu baik-baik ya disini, dah,” pamit pak excel setelah Alvin lebih tenang. Alvin tersenyum tipis dan membalas lambaian tangan papanya.
***
Mungkin karena janji papanya itu alvin bersikap lebih baik pada yang lain. Yang paling merasakan adalah cakka, dulu kalau alvin diajak bicara, boro-boro dijawab, ditanggapi saja tidak. Sedangkan sekarang, sudah bisa diajak bicara dan bercanda.

“alvin! sini,” panggil pak chiko, papanya cakka dan kak elang. Alvin mendekat dan menunggu omnya melanjutkan.

Om chiko mengeluarkan sebuah box mainan dan memberikannya pada alvin. “nih, buat kamu,” katanya sambil tersenyum.

Alvin tersenyum dan menggeleng. “makasih om. Tapi gak usah, alvin gak terlalu suka main mobil-mobilan,” tolaknya halus. Ia tidak enak, sudah menumpang tinggal, diberikan mainan pula.

Om chiko berjongkok, menyetarakan kepalanya dengan alvin. “udah, kamu ambil aja. Om tau kok kamu suka, jangan sungkan gitu dong,” bujuknya dan meletakkannya di tangan alvin.

“makasih om,” katanya lagi, lalu beranjak ke kamarnya dan menaruhnya, sementara ia membaca kembali bukunya.

Tapi ia penasaran juga dengan mainan itu, akhirnya ia membukanya dan memainkannya. Wajarlah, seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang sedang senang-senangnya bermain.

Cakka yang sudah mengamati daritadi, menatap iri mobil-mobilan yang dimainkan alvin. hei! Itu mobil-mobilan limited edition! Yang kemarin lusa ia minta sama papanya tapi tidak dibelikan! Baiklah, dia memang sudah punya banyak sekali mobil-mobilan, ratusan malah, tapi dia mau yang itu!

Ia masuk ke kamar alvin dan mendekatinya. “wah, mainan baru ya vin?” tanyanya, tanpa melepaskan pandangan ke mobil-mobilan itu.

Alvin mengangguk, kemudian menghentikan mainannya. Ia menatap cakka yang terus menatap mainan di tangannya. Tanpa berpikir panjang, alvin langsung menyodorkannya pada cakka. “buat cakka aja! Alvin tau, cakka mau kan?” tebaknya.

Cakka menolaknya. Ya, bagaimanapun juga kan itu punya alvin. “gak kok! Itu kan punya alvin, dikasih sama papa lagi, mana boleh buat cakka,” tolak cakka, tidak enak pada alvin.

“karna ini punya alvin, makanya alvin kasih ke cakka. Mulai sekarang, mainan alvin mainan cakka juga. Kalo yang ini, buat cakka aja. Alvin lebih suka baca buku,” katanya. Cakka tersenyum dan mengambilnya dari tangan alvin, kemudian memainkannya.

Alvin menatap cakka sebentar kemudian melanjutkan bacanya. Biarpun dia suka dengan mainan itu, cakka lebih berhak memainkannya, itu kan diberi oleh papanya cakka.

“alvin,” panggil cakka, masih bermain dengan mainan barunya.

“apa?”

“alvin beneran ngasih ini buat cakka?” tanya cakka memastikan. Alvin mengangguk. “emangnya alvin gak suka? Ini bagus loh! Limited edition! Cakka aja kemaren ini minta ke papa gak dikasih,” cerita cakka.

Alvin tersenyum. “alvin lebih suka kalo cakka yang mainin. Kalo sama alvin nanti mainannya dianggurin, kan kasian, mendingan cakka aja yang mainin,” kata alvin.

“alvin baik deh! Cakka seneng alvin tinggal sama cakka! Nanti cakka kenalin sama tetangga cakka deh, cantik loh,” kata cakka lagi. Setelah itu, alvin hanya mendengarkan cakka yang terus bercerita.
***
Semakin lama alvin tinggal disana, semakin cakka senang. Pasalnya, alvin selalu mengalah padanya. Semua yang diberikan pada alvin, malah diberikan padanya oleh alvin sendiri. Dan alvin selalu mendahulukan dirinya ketimbang alvin sendiri. Benar-benar baik!

Cakka yang memang sudah sedikit manja karna ia anak bungsu, semakin manja lagi pada alvin. alvin memang orang yang sangat sungkan, jadinya ia selalu menuruti kemauan cakka.

“alvin, tolong ambilin bola voli cakka dong di kamar, mau main sama agni sama vana,” suruh cakka. Alvin langsung mengambilkannya dan memberikannya pada cakka. Cakka berterimakasih, kemudian seperti yang sudah-sudah ia mengajak alvin untuk main bersamanya, namun lagi-lagi alvin menolaknya. Ya sudah!

“ohya vin. Ntar alvin temenin cakka ya ke toko mainan! Cakka mau beli mobil-mobilan yang banyak!” kata cakka lalu pergi meninggalkan alvin.

Alvin menggelengkan kepalanya pelan. Sebenarnya kalau cakka menyuruh-nyuruhnya ia masih mau, tapi kalo disuruh nemenin pergi mendingan dia baca buku deh di rumah, mengganggu waktunya saja. tapi walaupun begitu ia ingat, ia hanya numpang disini, gak tau diri banget kelihatannya kalo nolak permintaan cakka.
***
Cakka dimarahi mama dan papanya karna pulang kemalaman dan beli banyak banget mainan. Alvin sudah membela cakka dengan mengatakan bahwa ia yang mengajak cakka main dulu sehingga pulang telat. Tapi tentu saja om dan tantenya itu tidak percaya, mana mungkin alvin yang kalem dan pendiam ini berbuat begitu?

“udah vin, kamu gak usah belain cakka. Dia emang anak manja! Harusnya om sama tante gak ngijinin dia pergi main. Selalu seperti ini!” kata pak chiko.

“cakka! Mama sama papa kan udah bilang berulang kali, jangan pulang kemaleman! Kamu itu masih kecil! Nanti kalo diapa-apain gimana? Kamu juga jangan beli mainan terus dong! Tiru Alvin! Dia nurut dan gak nakal kayak kamu! Kamu harusnya bisa kayak Alvin dong! Mama sama papa bawa dia kesini tuh biar kamu bisa berubah! Bukannya semakin manja!”

Saat orangtuanya membandingkannya dengan Alvin, timbul sedikit rasa tidak suka Cakka terhadap Alvin. Yang jelas, ia tidak suka dibandingkan! Meniru Alvin? No way! Gak akan! Mana betah dia diam dan baca buku terus?

“om, tante, gak usah marahin cakka lagi. Marahin Alvin aja, kasian cakka dimarahin terus,” tawar Alvin. Ia tak tega melihat sepupunya ini dimarahi terus nyaris setiap hari.

“gak usah sok belain cakka!” kata cakka kesal. Selalu saja Alvin menawarkan diri menggantikan dirinya untuk dimarahi, dan setelah itu pasti orangtuanya akan membandingkannya kembali dengan Alvin karena Alvin bla bla bla, menyebalkan! Memangnya dia sepayah itu apa?!
***
Cakka uring-uringan di tempat tidurnya. Bantal, selimut, bedcover, guling, sudah acak-acakkan. Ia mengacak-acak rambutnya. Sebal sebal sebal! Alvin benar-benar menyebalkan! Dia jadi menyesal menerima alvin di rumahnya!

Baiklah, alvin memang baik, sangat baik malah. Tapi kalau ia terus dibandingkan ya bosan juga dong! Memangnya alvin sempurna apa? Bagusan juga dirinya! Alvin pintar? Oke, dia akui. Alvin baik? memang. Alvin penurut? Tidak juga ah. Itu semua karna alvin canggung. Kalau aslinya sih tidak tahu juga ya.

Coba dirinya? Ganteng? Oh iya dong. Supel? Banget. Ramah? Dari dulu. Baiklah, cakka akui, ia memang cenderung keras kepala, egois, manja, dan susah diatur. Tapi, dibandingkan alvin yang pendiam, penyendiri, kutu buku, dan anti-sosial itu, dia masih jauh lebih baik!

Padahal awalnya cakka berharap kalau ia akan menjadi contoh untuk alvin, tidak tahunya, malah terbalik! Alvin terus yang dipuji, sedangkan dia diremehkan terus. Ya ampun, memangnya dia tidak bisa diandalkan apa? Dia juga punya kelebihan kali!

Cakka meraih handphonenya yang berbunyi terus kemudian menekan tombol hijau dan menjawab panggilannya, “vana, kesini dong, ajak agni juga, cakka bete nih,” kata cakka manja.

Terdengar kekehan manis membalas perkataannya. “ih vana, ngapain sih ketawa gitu? Apa yang lucu?” tanya cakka heran.

“gak papa. Tapi agni gak bisa, dia lagi nemenin mamanya pergi,” jawab vana.

“oo.. ya udah, vana aja. Ke kamar cakka aja langsung. Jangan lama-lama!” suruh cakka lalu memutuskan komunikasinya.

Sementara menunggu cakka mengeluarkan mainan yang diberikan alvin padanya lalu memasukkannya dalam satu kardus, kemudian ia membawanya keluar, ke kamar alvin.

Cakka mengetuk pintu kamar alvin dan menyerahkan dusnya di depan kaki sang penghuni kamar yang membuka pintu. “tuh! Cakka gak butuh mainan alvin!” kata cakka dengan nada tidak suka.

Alvin menaikkan sebelah alisnya, kemudian berkata, “kenapa? cakka bosen?” tanyanya baik-baik.

Cakka tidak menghiraukannya dan melangkah dengan angkuh kembali ke kamar. Alvin yang tidak mengerti hanya mengangkat bahu, mengira cakka sedang kesal dan nanti akan baik lagi.
***
Vana melangkahkan kakinya ke dalam rumah bergaya eropa yang minimalis ini, dengan halaman yang cukup luas mengelilinginya. Ia segera menuju ke kamar cakka begitu sang pemilik rumah mempersilahkan masuk.

Ia membuka pintu kamar cakka, kosong. Ia celingukan mencari cakka dan memanggilnya, “cakka.”

Cakka muncul dari balik pintu yang tertutup dan menepuk kedua pundak vana dari belakang. “disini!” serunya.

Vana tersentak dan mengelus dadanya kaget, kemudian berteriak, “cakka! Iseng banget sih! Kebiasaan!” sambil memukul-mukul lengan cakka.

“iya-iya! Udah dong vana! Sakit tau!” kata cakka, menghindar dan mengelus lengannya yang dipukuli vana.

Vana malah cemberut dan melipat kedua tangannya, berbalik  membelakangi cakka. cakka tersenyum kecil, kemudian mengambil sesuatu dari bungkusan plastic yang ada di sudut kamarnya, dan menyodorkannya tepat di depan wajah vana. Sebuah boneka kotak berwarna kuning dan coklat.

“spongebob!!” seru vana senang seraya memeluk boneka itu.  Cakka tertawa kecil, lucu sekali ekspresi vana.

“buat vana. Kemaren cakka beli di toko mainan,” kata cakka sambil menutup pintu kamarnya dan duduk di tempat tidurnya.

Vana mengikuti cakka, duduk bersila di depannya, sudah hilang ambeknya tadi. Dikasih boneks spongebob sih, hehe.. “makasih ya cakka. cakka baek deh. Hehe..” katanya.

“ohya, tadi cakka bete kenapa?” tambah vana, ingat akan alasan dirinya dating.

Muka cakka yang sudah senang tadi berubah cemberut. Ia memeluk boneka mobil-mobilannya dan berkata, “itu tuh, si Alvin! Masa cakka dibandingin terus sama dia?! bagusan juga cakka kemana-mana!”

Kening vana berkerut. Cakka selalu bercerita tentang Alvin, tapi sekalipun dirinya pelum pernah bertemu. “emangnya Alvin kayak gimana sih? Vana mau liat,” katanya penasaran.

Cakka manyun. “gak usah! Dia tuh anaknya pendiem, jelek, terus jahat! Udah deh! Pokoknya vana gak perlu kenal sama Alvin! Mendingan sama cakka aja!” karang cakka.

Vana setengah percaya dengan cakka. “tapi dulu kok cakka bilang dia baek? Jadi yang bener jahat apa baek?” tanyanya bingung.

“jahat! Gara-gara dia cakka jadi dimarahin terus sama mama papa! Jadi dibandingin terus! Pokoknya cakka kesel sama Alvin!” kata cakka sambil memukuli bonekanya, seakan-akan itu Alvin.

“iya-iya vana percaya. Cakka, vana aus nih,” kata vana.

Cakka langsung turun dari tempat tidurnya dan menarik tangan vana. “cakka juga. Yuk!” ajaknya lalu berjalan ke dapur. Di belakangnya vana hanya mengikuti.

Di meja makan, cakka melihat ada Alvin yang sedang membaca bukunya sambil memakan cemilan. Cakka tak mempedulikannya dan mengambil minuman untuknya dan vana.

Vana melihat sosok putih itu, mungkin Alvin, pikirnya. Ia kemudian menghampiri Alvin dan bertanya, “hei, kamu Alvin ya? Sepupunya cakka?” tanyanya tanpa basa-basi.

Alvin menatap vana sebelum menjawab. Kebiasaannya, memperhatikan dulu penampilan orang dan sifatnya dari sorot mata serta tutur bicaranya. Kemudian ia mengangguk singkat dan kembali membaca bukunya.

“kenalin! Aku vana! Zevana! Tapi jangan panggil vana juga, itu khusus buat cakka! panggil Zeva aja,” kata vana, mengulurkan tangan sambil tersenyum.

Alvin menatap anak perempuan ini, kemudian membalas ulurannya, “Alvin,” katanya singkat.

“kok Alvin gak keliatan jahat ya? Tadi cakka bilang Alvin jahat,” kata vana polos.

Alvin menaikkan sebelah alisnya dan menatap cakka yang sedang menuangkan minuman, agak jauh dari mereka. Ia kemudian mendekatkan wajahnya pada vana dan membalas dengan bisikan, “cakka bilang begitu? Kenapa?”

Vana menatap kedua bola mata berwarna coklat tua itu, dan menjawab, “nanti zeva kasihtau. Tapi Alvin harus main sama zeva sama agni, juga sama cakka!”

Alvin manyun dan memundurkan wajahnya. Masih kecil saja sudah pake syarat segala! Keluhnya dalam hati. Tapi, kenapa cakka mengatainya jahat? Memangnya dia salah apa?

Zeva yang tidak mendapat tanggapan segera menyusul cakka. “cakka! katanya Alvin jelek? Tapi kok cakep?” tanyanya.

“itu jelek tau! Cakepan juga cakka! pokoknya cakka gak mau zeva deket-deket sama dia! bilangin ke agni juga!” kata cakka sebal.

Vana meneguk minumannya dan mengikuti cakka kembali ke kamar. Sepanjang jalan, cakka terus melarangnya berdekatan dengan Alvin, aneh sekali. “cakka, cakka cemburu ya?” tanyanya kembali.

“cemburu?” Tanya cakka tidak mengerti.

“iya! Kalo cakka gak mau vana deket-deket sama Alvin kan berarti cakka cemburu sama dia. itu menurut buku yang baru selesai vana baca loh,” kata vana.

“iya deh! Terserah apa itu! Yang jelas cakka gak mau vana sama agni main sama Alvin! Kalian Cuma boleh main sama cakka!” jawab cakka.

Vana tersenyum senang. Yang jelas hatinya girang sekali mendengarnya. Cakka cemburu padanya? Berarti cakka suka padanya dong? Asik!!
***
Cakka, vana, dan agni tengah bermain voli di taman kompleks. Sebenarnya sejak ia tiba di taman ini, ia sudah tertarik pada seorang anak laki-laki seumurannya yang duduk di ayunan gantung dan membaca buku. Ia ingin mengenalnya, karna tahu anak itu pasti penghuni baru di kompleks ini.

“yah, bolanya jauh,” kata vana kecewa, membuat agni tersadar dari lamunannya.

Cakka mengedarkan pandangannya, mencari kemana bola voli yang dipassingnya tadi jatuh.

“agni aja yang ambil!” kata agni, ketika tahu dimana letak bolanya itu. ia segera berlari mengambil, di dekat ayunan anak laki-laki itu.

Agni menatap anak itu lekat-lekat, bahkan saat memungut bolanya pun pandangannya tak bisa lepas. Tampaknya anak itu tidak menyadari kehadirannya, atau tidak peduli dengan kehadirannya? Entahlah.

Agni duduk di ayunan sebelah anak itu, dan meamngku bolanya. “kamu anak baru ya di sini?” tanya agni.

Anak itu mengangkat kepalanya dan melirik agni sekilas, kemudian menutup bukunya dan meloyor pergi tanpa berkata apapun. Agni menatap anak itu heran. Aneh sekali.

“agni! ngapain bengong?” teriak cakka dari tempat mereka main tadi. Cakka lihat, apa yang dilakukan agni disana, dan ia tidak suka. Ia tidak mau agni peduli dengan alvin. ia mau perhatian agni hanya untuknya. Hanya untuknya!
***
“cakka,” panggil agni sambil menarik ujung lengan baju cakka.

“apa?”

Agni memilin-milin ujung lengan baju cakka dan menjawab, “itu loh, kan ada anak baru disini. Yang putih, sipit, tingginya secakkalah, cakka kenal gak?”

Cakka menatap agni. “emang kenapa? agni suka ya?” tanyanya kecewa.

Agni mengangkat bahu, lalu memeluk lengan cakka dan bersandar. “agni Cuma penasaran aja. Dia baik gak ya?”

Raut wajah cakka berubah masam. “dia jahat! Udah deh, pokoknya agni gak perlu kenal sama dia! Dia gak baik buat agni!” cegahnya.

Kening agni berkerut. “cakka kenal ya sama dia? Dia tinggal di mana? Agni pengen kenalan!” katanya bersemangat.

Cakka melengos. “agni mah gitu. Nanti kalo udah kenal cowok lain cakka ditinggalin,” katanya kecewa, seolah-olah agni adalah pacarnya, miliknya.

“enggak kok. Agni Cuma mau tau aja. Jadi rumahnya dimana? Namanya siapa?” tanya agni kembali.

“gak tau. Cari tau aja sendiri,” kata cakka dingin. Agni cemberut, namun ia bertekad, akan mencari anak itu dan berkenalan dengannya. Ia yakin, anak itu pasti tidak seburuk yang cakka bilang.
***
“alvin duduk aja dimana kek terserah. Cakka mau main sama temen cakka. Tapi jangan di ayunan itu lagi! Cakka gak mau agni nemuin alvin lagi!” suruh cakka.

“agni?” ulang alvin dengan kening berkerut.

Cakka mengangguk. “iya! Cewek yang ngambil bola kemarin itu agni! pokoknya alvin gak boleh deket-deket sama agni!” perintah cakka.

Alvin hanya mengangguk. Ia mengerti gelagat cakka. Pasti cakka suka dengan si agni agni itu. ia berjalan ke sebuah pohon yang rindang, dan duduk di bawahnya sambil membaca buku. cakka segera meninggalkannya dan bermain bersama vana.

“baca buku apa sih? Serius amat?” alvin menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari asal suara tersebut. Ia yakin, pertanyaan itu ditujukan untuknya.

“aku diatas,” kata suara itu lagi. Alvin menengadahkan kepalanya, melihat ke atas pohon. Ia segera berdiri, begitu melihat anak yang dijumpainya kemarin duduk santai di atas pohon.

Alvin berdecak dan beranjak dari tempatnya, sampai anak itu mencegahnya. “tunggu! Bantuin aku turun!” alvin berbalik dan memandangnya.

“turun sendiri! Punya kaki kan?!” ketus alvin.

“ah! justru itu, aku gak bisa turunnya! Aku takut jatoh! Bantuin dong!” mohon anak itu.

Alvin meletakkan bukunya dan mengulurkan kedua tangannya, “cepetan turun sebelum cakka liat!” perintah alvin dengan nada tinggi.

Anak itu tampak takut-takut. Tidak yakin dengan uluran tangan alvin. “gak mau turun? Yaudah,” alvin menarik kembali kedua tangannya. “lompat aja kalo gak,” kata alvin kembali.

“iya-iya! Aku lompat ya! Tapi kamu jagain di bawah!” kata anak itu, kemudian memejamkan matanya dan melompat turun.

HAP! Tidak sakit? Anak itu membuka matanya dan terpaku menatap wajah di hadapannya. “hei! Berat tau! Singkirkan badanmu!” kata alvin, yang tertindih anak itu.

Anak itu tersadar dan buru-buru berdiri. Ia tersenyum, lalu mengulurkan tangannya, “agni, kamu?”

Alvin berdiri dan membersihkan daun-daun yang menempel di badannya. Seperti kemarin, tanpa berkata apapun ia langsung pergi setelah mengambil bukunya.

Agni mendahului alvin dan menghadang jalannya. “nama kamu siapa?” tanyanya kembali.

“alvin,” jawab alvin singkat dan padat.

Agni tersenyum. “alvin tinggal di mana?” tanyanya, jalan beriringan dengan alvin.

Alvin berhenti dan menatap agni tajam. “mau tau aja! Sok kenal sok akrab sok deket! Siapa sih kamu?! Jangan bikin aku salah paham dong sama cakka!” bentak alvin.

Air mata agni menggenang, tak lama ia menangis. Alvin yang bingung, malah tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan anak ini kembali. “diem dong!” katanya, masih terdengar seperti bentakan.

Tangis agni semakin keras, membuat alvin semakin kewalahan. “hei, udah dong jangan nangis. Udah ya nangisnya, nanti kalo cakka tau aku bisa dimarahin,” bujuk alvin.

“alvin apa sih?! Kok nyebut cakka terus?! alvin jahat! alvin bentak agni!”

“iya-iya. Maaf deh ya, tapi jangan nangis lagi. Nanti aku dimarahin,” mohon alvin dengan lembut.

Agni tersenyum dan segera mengusap air matanya. “berarti kita temenan ya!” katanya riang.

Sebelah alis alvin terangkat. Jangan-jangan anak ini menangis untuk membuatnya nurut? “gak! Siapa yang mau temenan sama kamu!” sinisnya.

Agni sudah bersiap akan menangis lagi. “iya! Iya! Kita temenan!” sahut alvin terpaksa.

Agni tampak senang sekali. “jadi Alvin tinggal di mana?” ulangnya, dengan sorot mata yang berbinar menunggu.

 “mau tau aja! Suka-suka aku dong mau tinggal di mana!” jawabnya jutek.

Bibir agni mengerucut, manyun. “kok Alvin gitu banget sih sama agni? Emangnya agni salah apa? agni kan Cuma mau kenalan sama Alvin,” kata agni sambil menunduk.

Alvin menatapnya iba. Dia paling tidak bisa bila dihadapkan situasi seperti ini. “di rumah cakka,” jawabnya kemudian.

“di rumah cakka? asik! Kalo gitu kita bisa main bareng dong!” kata agni semangat.

Alvin memutar bola matanya. Daritadi ia dikerjai anak ini terus, menyebalkan! “kamu ngapain sih nanya-nanya mulu? Kan ada cakka, nanti cakka marahin aku tau!” ungkap Alvin kesal.

“kok cakka lagi cakka lagi sih? Emangnya cakka marahin Alvin ya? Kenapa?” Tanya agni ingin tahu.

Alvin mengelus dadanya, mau tahu urusan orang saja anak ini! Huh! Agaknya ia harus bersabar menghadapi anak ini. “kamu kan udah turun, main sana gih! Aku mau pulang!” usir Alvin halus.

Agni menggembungkan pipinya. “kok Alvin ngusir sih? Agni kan mau main sama Alvin. Ohya, satu lagi. jangan pake aku-kamu dong. Pake Alvin agni aja,” kata agni.

Alvin tidak mempedulikannya, ia malah berjalan ke rumahnya. Walaupun ia tahu, di belakangnya, agni mengikuti.
***
Cakka melipat kedua tangannya di dada dengan wajah ditekuk. Ia melihat agni mengikuti Alvin ke rumahnya, tanpa pandangan yang lepas dari Alvin. Cakka menggerutu pelan. Mau Alvin apa sih? Perhatian orangtua dan kakaknya sudah direbut, kemarin zeva juga sudah, masa sekarang agni juga sih?

Cakka berlari ke arah agni dan berdiri di depannya. “agni! Main yuk!” ajaknya.

Agni menggeleng, lalu memasang wajah kesal pada cakka. “cakka kok gitu sih? Cakka gak bilang kalo Alvin tinggal di rumah cakka?!” kesal agni.

“cakka kan gak mau agni deket-deket sama dia. nanti agni malah ninggalin cakka,” ujar cakka muram. “lagian agni kok penasaran banget sih sama Alvin? Apa bagusnya coba?” ujarnya kembali.

Agni mengangkat bahu. “gak tau. Udahlah, ayo masuk. Agni mau ngobrol sama Alvin,” ajak agni sambil menarik tangan cakka. cakka hanya bisa menurut dan mengikutinya saja.

Agni dan cakka segera duduk di sebelah Alvin di sofa. Alvin yang melihat mata cakka yang sudah berkilat-kilat menundukkan kepalanya, memusatkan pandangannya pada buku.

“Alvin! Nih, kan udah ada cakka! jadi kita nanti Alvin gak dimarahin lagi sama cakka kalo ngobrol sama agni,” kata agni berbelit-belit. Ia sendiri belum tahu sebab Alvin akan dimarahi oleh cakka.

“emangnya cakka mau marahin Alvin?” Tanya cakka tidak mengerti.

Agni menganggukkan kepalanya. “kata Alvin gitu. Jadi, kalo agni Cuma berdua sama Alvin, cakka marah. Emang iya?” Tanya agni polos.

Cakka menatap Alvin marah. Membuat kesannya buruk saja di mata agni! “gak kok!” kata cakka berbohong.

“kalo gitu agni boleh deket-deket sama Alvin ya?” Tanya agni dengan mata berbinar, layaknya anak kecil yang mendapat mainan kesukaannya.

Cakka beralih menatap agni, dengan pandangan lembut. “kok gitu? Agni udah bosen ya sama cakka?”

“gak kok. Kan cakka gu.. gu.. gu apa sih itu? Susah banget,” kata agni lupa.

“guardian angel,” kata cakka lancar dengan senyum mengembang.

Agni mengacungkan telunjuknya. “ya! Itu! Cakka kan guardian angelnya agni! Gak mungkin agni bosen dan ninggalin cakka! gimana kalo kita main berempat aja? Sama zeze?” usul agni.

  Alvin yang sedaritadi menyimak saja angkat bicara, “gak usah. Alvin lebih suka baca buku daripada main.”

Cakka mencibir mendengarnya. Sombong! “pokoknya Alvin harus mau!” paksanya tajam. Apapun keinginan agni, ia penuhi selama itu masih di batas kemampuannya. Ya sekalipun memasukkan agni dalam lingkar pertemanan mereka.

“kalo Alvin gak mau, jangan pernah nyentuh barang-barang cakka lagi!” ancam cakka. ia menatap Alvin yang terheran-heran dengan ucapannya, dengan pandangan bercampur. Tajam, marah, benci, memaksa, dan lainnya.

Alvin yang melihat tatapan cakka menelan ludah. Kemudian mengangguk dengan terpaksa.
*
***
Cakka mencengkeram erat buku yang ada di genggamannya. Tiba-tiba saja beberapa kenangan masa kecilnya terlintas kembali dalam benaknya. Huh, bahkan sampai sekarang saja ia masih dan tetap benci dengan alvin. anak itu sudah merebut semua miliknya, bahkan semua yang harus ia dapatkan.

Apalagi alvin sepertinya suka sekali merebut perhatian agni dari dulu. Mulai dari sok dingin, sok pendiam, bahkan sampai sok tidak butuh teman. Menyebalkan! Anak itu tahu saja apa yang membuat cewek penasaran.

Cakka mengacak-acak rambutnya. Dia jadi kesal sendiri. Andai saja dia tidak menerima alvin dulu, pasti agni sudah menjadi miliknya. Ya, miliknya. Bukannya amnesia seperti sekarang.

Lihatlah, bahkan si pembawa sial itu dengan tenangnya bersekolah di sekolah yang sama dengannya dan agni. cakka sudah berhipotesis kalau anak itu pasti akan merebut agni kembali darinya. Takkan ia biarkan! Mau bagaimanapun juga, agni harus menjadi miliknya!

Hei, bahkan dulu agni begitu manja dan perhatian padanya! Tapi sejak alvin mengenal agni, perhatian agni pada cakka teralih sepenuhnya kepada alvin! bagaimana tidak sakit hati cakka ini?

Satu yang ada di pikiran cakka sekarang. Ia harus melakukan apapun, agar agni bisa kembali padanya, dalam perlindungannya, agar agni tak kembali tersakiti oleh alvin. sudah cukup agni hilang ingatan tentang orangtuanya, dan tak perlu ditambahi oleh si pembawa sial itu lagI!
***
 Ray membunyikan klaksonnya, memberitahu orang yang ditunggunya agar lebih cepat. Ia tak mau terlambat ke sekolah. Lagipula, untuk apa sih anak ini mau ikut dengannya ke sekolah?

Seorang gadis dengan stelan rompi dan celana model army, serta topi baret yang ikut menyamai warna rompinya, agak tergesa menghampiri ray yang sudah mulai tidak sabar menunggunya.

Ray mengangkat alis. Dandanan macam apa ini? “hei! Lo mau kemana non? Mau militer?” sindirnya sambil memperhatikan style oliv dari bawah sampai atas.

“ke sekolah lo lah! Gue jadi murid sementara di sana. Kemarin gue udah ajuin proposal dan surat ijinnya ke sekolah lo,” terang Oliv.

Ray hanya membulatkan mulutnya. Dia sedang malas untuk bertengkar dengan Oliv hari ini. Entahlah, rasanya badmood saja dia hari ini. Dan kalau raynald prasetya sudah badmood, jangan coba-coba untuk mengajaknya bercanda atau apapun seperti biasa. Itu hanya akan mengundang ledakan dari ray sendiri.

Oliv yang sudah hafal diluar kepala semua mood dan gelagat ray, memilih diam sebagai pilihan terbaik, dan langsung duduk di boncengan motor ray. Dan setelah itu, ray menggas motornya cepat.

Oliv menatap ray yang tak mengatakan apa-apa lagi sejak tadi. Ia tersenyum. Ia tak habis pikir, sejak kapan ia menyukai pemuda di depannya ini? Baiklah, ray memang sangat sempurna di matanya. Dari dulu.

Ray yang selalu membelanya, melindunginya, dan menemaninya. 16 tahun yang panjang sudah ia lewati bersama ray. Dan selama itu pula, mungkin, perasaannya tumbuh terhadap ray. Rasa yang lebih dari sahabat, dan keinginan memiliki yang lebih dari sebatas sahabat.
***
Ify menyenggol tangan ray dengan sikutnya, menunggu sampai ray menoleh, baru berbisik, “ngapain lo bawa-bawa dia?”

Ray menatap ify malas-malasan. “asisten gue. Ngerjain penelitian atau apalah. Tiga bulan,” jawab ray terpotong-potong agar singkat.

“penelitian apaan? Aneh banget,” kata ify curiga. Hah! Ini pasti akal-akalan gadis itu saja-oliv-biar bisa dekat-dekat dengan ray!

“tau ah! nanya mulu! Tanya ke dia aja sendiri! Gue ada kelas broadcast sekarang. Jadi tanya dia aja!” sahut ray kesal bercampur jutek, kemudian membereskan beberapa buku dan bergegas pergi.

Ify menggerutu. Ia tahu sih kalau ray sedang badmood, tapi kan dia penasaran. Masa harus tanya ke gadis itu sih? Malas!
***
Oliv mengambil gambar dari kamera yang digantungnya di leher. Sementara ray menjalani kelas yang tertutup, lebih baik dia mencari kegiatan artis lain.

Seseorang menepuk bahunya dan berdeham kencang. ia berbalik, dan menunjuk orang itu, “Gabriel?”

Gabriel mengangkat alis. Memorinya sedang mencari siapa anak ini. “Oliv?” balasnya menunjuk.

Oliv mengangguk. “lo sekolah di sini? Kok gak ngikutin kelas?” tanyanya.

Gabriel mengajaknya berkeliling sekolah. “lagi kelas kosong. Lo ngapain di sini?” balasnya bertanya.

Oliv melihat-lihat hasil potretannya tadi. “nyari bahan penelitian aja. Tuh objeknya si ray, lagi ada kelas dia,” jawabnya.

“waw! Lo gak ada bosen-bosennya ya bikin penelitian, student exchange, ikutin olimpiade, dan program prestasi lainnya. Salut gue sama lo,” kata Gabriel kagum sambil menepuk bahu Oliv.

Oliv hanya tersenyum. Ia suka semua itu. semua yang menggunakan kecerdasan, logika, dan otak. Bukannya jadi artis yang bermodal tampang dan kadang tidak berbobot itu otaknya.

Langkah Oliv terhenti di depan sebuah ruang kelas. Gabriel yang masih berjalan ikut menghentikan langkahnya ketika sadar Oliv tak sudah tak bersamanya. Gabriel mengikuti arah pandang oliv. Alvin?

Detik berikutnya, Oliv berseru histeris, “ALVIN!!” semua yang mendengarnya langsung menatap oliv serempak.

Gabriel terkejut dengan seruan oliv tadi. Bahkan oliv sekali lihat saja langsung tahu kalau Nathan itu alvin? bahkan ia saja butuh beberapa detik lebih lama untuk menyadarinya. Ah! lagi-lagi dia kalah cepat dengan oliv! Mengagumkan sekali gadis di sebelahnya ini, hebat!

Sedangkan Nathan yang sangat jelas mendengar itu mulai pucat wajahnya. Ia tahu suara siapa itu tanpa perlu melihatnya. Olivia. Ya, Olivia. Gawat sekali kalau anak itu histeris di depannya dan memanggil dia dengan nama terkutuk itu lagi.

Olivia menunggu bubaran kelas dengan masih setia berdiri di depan kelas, langsung menghambur pada Nathan begitu semua sudah keluar. Gabriel mengikutinya dari belakang. “alvin! gila! Udah lama banget gue gak liat lo! kok lo disini sih? Gimana dengan kuliah lo? asik deh ya yang udah jadi mahasiswa,” cerocos oliv dengan akrabnya pada Nathan yang sedang membereskan buku-bukunya.

Gabriel mengangkat alis, kemudian membuka mulutnya, melihat tak ada reaksi dari Nathan. “lo kenal dia liv?”

Olivia mengangguk. “iyalah! Dia kan temen gue waktu gue student exchange di singapur dulu. Sumpah deh, dia orang paling pinter yang pernah gue temuin langsung!”

Gabriel tersenyum sinis pada Nathan kemudian berkata, “oh. Jadi lo bener alvin kan? Bukti hidup saja sudah ada tepat di depan lo ini. Perlu gue cari bukti yang lain?”

Nathan berdiri dan melempar pandang tajam kepada keduanya, “gue bukan alvin,” ucapnya penuh penekanan.

Oliv yang tidak mengerti maksud keduanya langsung bertanya, “maksud lo berdua apa sih? Jelas-jelas elo alvin. lo gak inget sama gue? Olivia! Gue aja masih inget banget sama lo!”

Nathan hanya mengangkat bahu dan menyelempangkan tas ke bahunya. “gue gak kenal sama lo,” jawabnya sambil meloyor pergi.

Gabriel tersenyum remeh melihat punggung Nathan yang semakin menjauh. Sikap Nathan itu sangat sangat janggal. Sebaiknya ia bercerita pada oliv. Anak yang satu ini sangat pintar analisisnya. “liv,” panggil Gabriel.

“apa?” tanya oliv setelah menoleh. Ia sendiri heran dengan perlakuan aneh alvin.

Belum Gabriel menjawab, hape oliv sudah berdering. Ringtonenya menunjukkan kalau itu dari ray. Buru-buru ia menjawab dan pamit pada Gabriel. “gue duluan ya! Ray udah ngomel-ngomel. Hubungin gue aja kalo penting! Bye!”

Gabriel tersenyum kecut. Padahal otaknya sudah merancang kalimat analisis yang tepat. Ya sudahlah, nanti ia hubungi oliv lagi.

2 comments:

Anonymous said...

lanjut doooonnggg. ditunggu banget

rizna larasati said...

lanjutin cerbungnya!
Seru:Dlanjutin cerbungnya!
Seru:D

Post a Comment