Friday 7 September 2012 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 8

wohoo lupa ngepost disini. maklum koneksi memang lemot, hehe..

setelah setahun lebih tidak dilanjut.. hahay~ kayaknya udah gak ada yang mau baca --" silahkan membaca and highly recommended muter lagu yang ada sebelom ngelanjut paragraf selanjutnya. soalnya saya labil banget di sini ngetiknya -___-

PART VIII

Nathan memainkan telunjuknya pada bibir gelas. Ia sedang berpikir. Papanya akan berulang tahun dan ia tidak tahu bagaimana cara memberikan hadiahnya. Melihat sivia dan shilla yang baru pulang, ia segera mengikuti mereka ke dapur.

“Lo berdua dateng kan ke pesta ultah papa gue?” tanyanya tiba-tiba. Shilla dan Sivia yang baru meletakkan belanjaan mengelus dada mereka kaget.

“Gak bisa nyapa dulu apa. Jantungan gue lama-lama. Udah bisik-bisik begitu lagi nanyanya,” dumel Sivia.

Nathan berdecak. Tidak suka dengan protes Sivia padanya. “Dateng gak?” tanyanya tidak sabar. Ia selalu malas berdebat. Apalagi dengan Sivia.

“Dateng kok. Emang kenapa?” tanya shilla sabar. Ia curiga Nathan tidak akan datang dan bermaksud meminta tolong pada mereka.

“Bentar,” Nathan melangkah cepat ke kamarnya dan mengambil sebuah kotak kecil. Ketika ia kembali, Shilla dan Sivia sudah duduk di meja makan.

Nathan menyodorkan kotak kecil itu ke hadapan mereka, sambil menarik kursi untuknya duduk. Shilla dan Sivia saling berpandangan, seakan berkomunikasi tanpa suara, kemudian menggeleng, “gak mau,” sahut mereka bersamaan.

Benar kan dugaan Shilla. Kalau Nathan mengajak mereka bicara, pasti ada maunya. Dan kotak kecil berwarna coklat di hadapannya ini sudah membuat mereka mengerti. Nathan menitipkan hadiah ulangtahun untuk papanya kepada mereka.

“Kasih lah sendiri. Lo kan anaknya,” nada Sivia yang tidak senang sukses membuat Nathan tidak mau meliriknya dan menganggapnya ada di sana.

“Emang lo gak diundang?” tanya Shilla. Sivia menyikutnya pelan, setelah melihat Nathan membuang muka. “Eh iya lo kan gak mungkin dapet undangan. Lo kan anaknya,” ralatnya. Ia jadi takut Nathan marah padanya sebab secara tidak langsung mengejeknya karna tidak dianggap oleh papa sendiri.

“Kalo lo berdua gak mau yaudah! Gak usah nyindir gue! Gue tau Keke dapet undangan resmi dari papa sementara gue gak! Gue tau gue aib di keluarga besar kita! Lo berdua gak perlu bersikap seolah-olah gue disayang sama papa gue! Bahkan di hari ulang tahunnya, dia gak mau gue ada! Dia gak mau liat gue! Puas lo berdua?!”

Keduanya terdiam. Shock. Mereka tidak pernah bermaksud menyindir, menghina, mengejek, atau sejenisnya pada Nathan. Sebelumnya sepupunya ini tidak sesensitif ini. Mereka hanya bercanda dan asal bicara saja. Kenapa pula harus dibalas dengan marah-marah?

Nathan meninggalkan mereka dan membanting dirinya ke tempat tidur. Emosinya sampai ke puncak ubun-ubun. Ia benci menyadari kalau dia tidak diinginkan. Ia benci dengan segala situasi yang menyudutkannya. Yang benar-benar menunjukkan kalau ia tidak lebih dari sekedar aib di keluarga ini. Ia benci. Benci. Sangat benci.

Ia menjambak rambutnya. Berteriak kencang. Tidak peduli pada siapapun yang mendengarnya. Ia hanya ingin diperlakukan dengan layak. Berhenti menganggapnya tidak ada dan segalanya akan jauh lebih mudah baginya. Jalan hidupnya sudah sangat rumit. Berhentilah memaksanya menyerah. Dan buanglah semua pikiran kalau ia kuat dan tegar. Ia sudah sangat lelah. Tak adakah yang mau mengertinya?
***
Cakka menggenggam sebuah undangan hitam di tangannya. Ini kesempatan emas untuknya. Ia jadi punya alasan untuk mengajak Agni pergi berdua. Selama ini ia terlalu ragu untuk mengajak Agni. Ia sudah  membuang waktunya selama tiga minggu ini. Untuk kali ini, tidak akan.

Gadis yang diincarnya sedang duduk di bangkunya sambil tersenyum-senyum sendiri. Ia menghampirinya. Tunggu. Cakka berhenti di tempatnya. Ia baru menyadari senyuman itu. Itu senyuman yang sama seperti dulu, saat Agni selalu bersama dengan Alvin. Apakah..

Cakka menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin. Itu pasti senyuman yang ditujukan untuknya, bukan untuk orang lain. Ia yakin Agni tidak tahu kalau Nathan adalah Alvin. Dan ia juga yakin Agni belum ingat apa-apa tentang masa lalunya. Pasti untuknya. Ya. Pasti. Bukankah agni mengaguminya?

Dehaman Cakka membuat Agni kaget dan berdiri, buru-buru merapikan dirinya. Ingin tampil cantik di hadapan Cakka yang diidolakannya. “kenapa Cak?” tanyanya.

“Ini. Oom gue ulang tahun ke 38 hari Sabtu. Gue gak enak kalo dateng sendiri. Lo ikut ya?” ajaknya, memamerkan senyum manisnya.

 Agni terperangah. Nyaris menganga. Apa? Cakka mengajaknya? Dia? Agni? Benarkah? “Serius?” tanya Agni tidak percaya. Cakka mengangguk mantap.

Agni melonjak senang. “Yess!” dengan tangan terkepal, penuh semangat. Untuk pertama kalinya Cakka mengajaknya pergi berdua. Dan ini ke pesta keluarganya! Tak ada lagi yang bisa Agni gambarkan selain rasa senang yang berlebih. Betapa beruntungnya dia!

Gelak tawa Cakka kemudian membuat Agni tersadar dan diam, meski masih tersenyum tidak jelas. Pemuda ini senang dengan reaksi Agni. Ia merentangkan tangannya, dan disambut Agni yang memeluknya. Rasanya Agni ingin memamerkannya pada seluruh fans Cakka. Kalau dirinya orang paling beruntung. Sudah diajak Cakka, dipeluk pula sama Cakka!

“Gue bener-bener fans yang beruntung!” seru Agni senang.

Cakka tertawa kembali. “Sampe kapan lo mau meluk gue?” tanyanya jahil. Agni segera memajukan bibirnya dan melepaskan pelukannya. Sedikit malu juga sebenarnya. Tapi tak apalah, rejeki (?)
***
Zevana yang tahu Agni diajak Cakka jadi kesal dan terus-terusan mendumel. Ia menelepon Nathan dan mengajaknya bertemu. Dan jadilah seperti ini. Zevana baru masuk ke mobil dan langsung menghadiahi Nathan ocehan panjang.

“Lo kenapa gak ajak Agni sih?! Kan lo bisa pamerin dia juga ke semua keluarga lo! Eh malah lo biarin si Cakka yang bawa Agni! Udah gila lo ya?” sembur Zevana tidak percaya. Masa iya Nathan sebodoh itu membiarkan Cakka duluan mengenalkan Agni ke keluarga besar mereka?

Zevana menatap Nathan tajam. Pemuda itu tidak bereaksi. Masih menatap dingin jalanan di depannya. “Kalo lo ajak Agni, pasti dia mau! Dan pasti Cakka bakal ngajak gue! Gak bisa kerjasama banget sih lo! Gue kan udah bantuin lo kemaren. Gantian lah lo bantuin gue.”

“Gue gak diundang. Dan sekalipun gue diundang, gue gak mungkin dateng. Identitas gue bisa ketauan dan ngerusak acara,” kata Nathan tenang. Menutupi kemarahannya yang bisa meledak kapan saja.

Sepertinya Zevana tidak terlalu memperhatikan kata-kata lawan bicaranya. Ia tidak sadar kalau Nathan tidak diundang ke pesta ayahnya sendiri. “Terus gimana kalo Cakka ngenalin Agni ke keluarga kalian, direstuin, terus buntut-buntunya mereka jadian abis pesta? Gak ikhlas gue!” katanya sambil melipat tangan di dada.

“Gue juga gak tau gimana Zev! Gue mau, mau banget bales budi lo. Tapi gue gak bisa berbuat apa-apa! Gak mungkin gue dateng ke pesta itu dan bawa Agni kabur!” mendadak ide gila muncul di kepala Nathan dan segera ia enyahkan. Ia tak akan melakukannya.

Zevana meredam kemarahannya. Nada Nathan sudah mulai meninggi dan ia sedang tidak ingin bertengkar. Ia hanya iri pada Agni. Dan berikan ia kesempatan sekali saja untuk bersama Cakka. Agni sudah mendapatkan Alvin. Haruskah Agni merebut Cakka juga darinya?

Kenapa Cakka tak pernah tertarik padanya? Ia lebih feminin dari Agni, lebih manis, dan lebih pintar. Kenapa dunia itu begitu tidak adil? Semua menginginkan Agni, dan tak ada satupun yang menginginkannya.

“Stop mikir macem-macem. Banyak yang sayang sama lo Zev, tapi lo gak pernah mensyukurinya,” ucap Nathan, yang seakan membaca pikiran Zevana. “Lo punya orangtua yang sayang banget sama lo. Tapi Agni? Orangtuanya udah meninggal Zev. Mungkin Tuhan ngasih dia perhatian yang banyak sebagai balesan kematian orangtuanya.”

Zevana punya ambisi yang kuat. Dan ambisinya kali ini adalah mendapatkan Cakka. Ia tidak akan lagi merelakan Cakka untuk Agni. Tidak seperti dulu, sewaktu mereka masih kecil. Sewaktu Zevana tidak mengerti kalau Cakka menyukai Agni melebihi dirinya. Dan sewaktu Cakka memang tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar saudara.

Dan kalau Agni milik Alvin. Berarti, Cakka milik Zevana!
***
Audisi akan dilaksanakan esok hari dan Zevana baru menyadari kalau ia dan Nathan belum latihan sama sekali! Melupakan perdebatannya dengan Nathan kemarin, ia menarik lengan pemuda itu ke atas stage yang akan digunakan besok.

Belum Nathan sempat mengomelinya, ia sudah nyaris menjerit, “besok kita tampil dan belum latihan!” terdengar suaranya yang masuk ke dalam mode putus asa. “Kita urutan keempat!” serunya lagi, menatap mata Nathan, berharap pemuda itu mengerti.

Nathan hanya mengangkat alis dan berbalik. Tidak peduli dengan audisi bodoh itu. Tapi mengingat ia belum membalas budi Zevana, ia berbalik. “Terus lo mau lagu apa?” tanyanya enggan.

Pemenang dari audisi ini mendapat kesempatan pelatihan musik selama tiga bulan. Dan bila progressnya bagus, mereka bisa masuk dapur rekaman. Menjadi penyanyi, dan terkenal! Siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan ini?

“Lo nyanyi sambil main gitar, gue main drum!” putus Nathan begitu saja, malas menunggu Zevana berpikir.

“Tapi di daftarnya gue udah tulis duet gitar! Lagian lo harus nyanyi! Masa gue doang?” protes Zevana tidak setuju.

Nathan berdecak. Berdebat selalu membuat segala hal jadi runyam dan lama. “Kalo lo setuju sama gue, kita latihan sekarang. Kalo gak, gue pulang!” terpaksa Zevana setuju. Daripada ia nanti kalah dengan Cakka dan Agni. Nathan kan jaminan ia akan menang. Hehe..

Nathan segera mengambil duduk di belakang drum. Rasanya sudah lama sekali tidak bermain alat musik. Sudah dua tahun. Dan ini semua karna dia terbiasa membuat lagu dengan program yang sudah ditanam di laptopnya.

Ia tersenyum tipis. Drum adalah keahlian papanya. Dan alat musik pertama yang diajarkan beliau adalah benda ini. Drum. Mereka terbiasa ngejam bareng dan ia sangat merindukan saat-saat itu. Dulu mereka rutin melakukannya. Namun sekarang? Mustahil sepertinya.

“Alvin?” panggil Zevana, yang langsung dibalas anggukan oleh Nathan.
***
Audisi tahun ini berhasil menyedot hampir seluruh siswi. Dan ini membuat kursi terisi penuh dan sebagian menonton sambil berdiri. Bagaimana tidak? Dengan partisipasi Cakka di audisi ini, membuat seluruh fansnya ingin mendengarnya bernyanyi lagi, setelah sekian tahun vakum dari dunia musik.

Dan setelah menunggu beberapa penampil, tiba giliran Cakka dan Agni. Keduanya bermain gitar dengan menyenandungkan lagu Saat Bahagia setelah histeria gadis-gadis di sana mereda.

Saat bahagiaku duduk berdua denganmu
Hanyalah bersamamu
Mungkin aku terlanjur
Tak sanggup jauh dari dirimu
Ku ingin engkau selalu

Tuk jadi milikku
Ku ingin engkau mampu
Ku ingin engkau selalu bisa
Temani diriku sampai akhir hayatmu
Meskipun itu hanya terucap
Dari mulutmu
Dari dirimu yang terlanjur mampu
Bahagiakan aku hingga ujung waktuku
Selalu
Nathan terhenyak. Juga tercekat. Ia kenal sorot mata Agni. Ia hafal semua gerak-gerik gadisnya itu. Dan bagaimana bisa sorot yang dulu biasa ditujukan untuknya itu sekarang beralih ke Cakka? Kenapa suara indah Agni harus beradu dengan Cakka? Bukan dengannya?

Seribu jalanpun ku nanti
Bila berdua dengan dirimu
Melangkah bersamamu
Ku yakin tak ada satupun
Yang mampu merubah rasaku untukmu
Ku ingin engkau selalu

Rio tampak gerah mendengar keduanya bernyanyi. Awalnya ia datang ke sini untuk mendengar suara Agni. Tapi ia tidak tahu kalau Agni akan berduet dengan seorang Cakka, idola yang selalu dipuji-puji Agni bahkan saat gadis itu sedang bersamanya.

Mungkin aku terlanjur
Tak sanggup jauh dari dirimu
Ku ingin engkau selalu

Tuk jadi milikku
Ku ingin engkau mampu
Ku ingin engkau selalu bisa
Temani diriku sampai akhir hayatmu
Meskipun itu hanya terucap
Dari mulutmu
Dari dirimu yang terlanjur mampu
Bahagiakan aku hingga ujung waktuku
Selalu

Penampilan yang terbilang sangat memukau. Semua bertepuk riuh setelah mendengar suara mereka. Suara Cakka lebih tepatnya. Meski napas Cakka sudah tak sepanjang dulu karna jarang berlatih, tapi kualitas vokalnya yang di atas rata-rata cukup memuaskan para fansnya.

“Suara lo masih sebagus dulu Cak,” puji Zevana di belakang panggung.

Cakka tersenyum, “Thanks ya. Tapi rasanya aneh, udah bertahun-tahun gak nyanyi,” balasnya, sekaligus melirik sinis Nathan yang menatap mereka.

Hh. Nathan membuang mukanya. Ia tahu Cakka menyalahkannya. Kalau bukan karna masalah kecelakaan Agni, pasti CASS masih berjaya sampai sekarang. Ia tahu jelas ia salah besar waktu itu. Tapi hanya dengan menyembunyikan dirinya seperti ini keluarganya takkan malu karna ia sempat nyaris apatis waktu itu.

Tiba giliran Nathan dan Zevana. Posisi Nathan yang berada di belakang drum membuat semua bertanya-tanya. Apakah Nathan akan bernyanyi sambil bermain drum? Atau ia akan bermain drum sebagai intro lalu berduet dengan Zevana? Semua masih menebak-nebak.

Dan keduanya memulai aksi mereka. Dengan intro gitar dan drum, Sparks Fly dari Taylor Swift melantun dari kedua bibir Zevana.

The way you move is like a full on rainstorm
And I'm a house of cards
You're the kind of reckless
That should send me runnin'
But I kinda know that I won't get far

And you stood there in front of me Just close enough to touch
Close enough to hope you couldn't see
What I was thinking of

Drop everything now
Meet me in the pouring rain
Kiss me on the sidewalk Take away the pain
'cause I see sparks fly whenever you smile

Tabuhan drum Nathan membuat nyaris seluruh penonton berdiri dan bersorak. Ray sendiri sampai tercengang mendengarnya. Ini permainan drum yang sangat spektakuler, bahkan lebih hebat jauh dari pada dirinya. Ify bahkan harus menyikutnya agar ia sadar.

Get me with those green eyes, baby, as the lights go
down
Give me something that'll haunt me when you're not around
'cause I see sparks fly whenever you smile

“Wah kayaknya lo bakal tersaingi nih kalo dia menang audisi,” ucap Ify agak keras, melawan suara gaduh di ruangan ini.

Ray kembali melipat tangannya, menatap Nathan dengan alis bertaut. Melihat kelincahan Nathan memainkan stik drum ia jadi déjà vu. Tak berhasil mengingatnya, perhatiannya terbagi ke arah Shilla dan Sivia yang berada di barisan paling depan penonton yang turun sampai ke depan panggung, bergoyang mengikuti irama.

My mind forgets to remind me
You're a bad idea
You touch me once and it's really something,
You find I'm even better than you imagined I would be

I'm on my guard for the rest of the world
But with you I know it's no good
And I could wait patiently but I really wish you would

Shilla. Sivia. Cakka. Alvin! Ya, Alvin! Ray ingat pernah menyaksikan konser CASS di Jakarta—yang tiketnya susah payah ia dapatkan—dan Alvin menabuh drum dengan santai seperti ini! Tapi.. bukankah Alvin sudah lama mati? Sejak konsernya di Singapura dan ia hilang saat mobil yang membawanya mengalami kecelakaan? Masa iya, ada orang yang sangat mirip dengan anak berbakat itu?

Drop everything now
Meet me in the pouring rain
Kiss me on the sidewalk
Take away the pain
'cause I see sparks fly whenever you smile

Get me with those green eyes, baby, as the lights go
down
Give me something that'll haunt me when you're not around
'cause I see sparks fly whenever you smile
I run my fingers through your hair and watch the
lights go wild.

Just keep on keeping your eyes on me
it's just wrong enough to make it feel right
Lead me up the staircase
Won't you whisper soft and slow?
I'm captivated by you, baby, like a firework show.

Drop everything now,
Meet me in the pouring rain,
Kiss me on the sidewalk, Take away the pain
'cause I see sparks fly whenever you smile.

“Wow! The Amazing Alvin!” sorak dan tepuk tangan turut diberikan oleh Gabriel. Meski hubungannya dengan Nathan kurang baik, tapi permainan drum yang barusan disuguhkan benar-benar luar biasa!

Oliv menggelengkan kepalanya dan berdecak kagum. Pemuda yang bersembunyi di balik drum set itu tidak bisa lagi menyembunyikan identitasnya. Mungkin, semua entertainer di ruangan ini sudah mengenali Alvin. Hanya seorang Alvin Jonathan yang bisa menabuh drum dengan santai, tanpa terbawa emosi, meski dengan ritme yang sulit.

“Ini bakal jadi berita paling hot!” Seru Gabriel senang, memamerkan rekaman video yang berhasil diambilnya tadi pada Oliv. Begitu ia mengupload video ini dan meliputnya ke majalah, namanya akan semakin melambung di dunia jurnalistik.

Siapa yang tak mau mendengar berita tentang keluarga Mahaputra? Keluarga dengan peran paling besar dalam dunia hiburan Asia. Dengan label MP Management yang dipimpin oleh seorang Nyonya Lani Mahaputri dan ketiga anak yang turut membantu manajemen mereka—meski si bungsu Excel memilih keluar dan membentuk manajemen sendiri—sukses membuat setiap artis yang diorbitkannya menjadi terkenal.

Dan salah satunya Alvin. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Alvin kebanggaan MP Management. Dengan jadwal super padat dan tawaran-tawaran yang membanjir bahkan di setiap detik yang berlalu, Alvin berhasil menyaingi ketiga personil CASS lainnya dan semua artis di bawah manajemen tersebut.

Tidak mungkin berita ini tidak heboh. Lihat saja besok. Dan tunggu beberapa saat lagi sampai ia mengumpulkan semua bukti dan mengungkap kebenarannya. Ia tidak akan membiarkan kesempatan emas untuknya berkembang ini begitu saja.
***
Agni mengguncang kedua bahu Zevana dan berseru, “Keren banget Ze! Sampe semuanya ikut nyanyi-nyanyi gitu di bawah panggung. Kayak konser aja lo!”

Zevana hanya tertawa. Ia senang dengan respon penontonnya. Tapi ia tahu jelas bahwa mereka ikut bernyanyi bukan karenanya, tapi karna Nathan. Ia melirik Nathan yang berjalan dengan santai di belakangnya. Nathan yang melihatnya langsung membalas dengan isyarat untuk tidak membicarakannya lagi.

Kini Agni menghampiri Nathan. Ia memukul lengan pemuda ini, mengungkapkan kekagumannya dengan permainan drum tadi. “Diem-diem lo jago juga main drumnya! Lo tau gak? Itu permainan drum terkeren yang pernah gue liat! Seakan-akan ngehipnotis gue buat ikutin irama lo! Lo keren banget!”

Nathan ingin menyembunyikan senyumnya, tapi sulit. Pujian Agni sukses membuat wajahnya memanas dan memunculkan ide-ide gila dalam kepalanya. Ia bisa benar-benar gila kalau tidak melakukannya.

“Sebentar. Lo duduk di sana,” Nathan menunjuk kursi yang ada di dekat Agni, kemudian mencari gitar dan menarik kursi hingga duduk berhadapan dengan gadisnya.

Kedua alis Zevana dan yang lain terangkat. Kalau sudah begini mereka paham. Apalagi kalau bukan menyanyi untuk Agni? Tapi.. ini dilakukan seorang Nathan! Yang pendiam, dingin, dan sombong. Nyatakah ini?

Nathan tersenyum bahagia, tidak sabar dengan hal gila yang akan dilakukannya. Menyanyi untuk Agni di hadapan publik? Hahh, bisa diledeki dia beberapa hari ke depan. Tapi kali ini ia tidak peduli dengan imagenya. Tidak melakukan hal ini akan membuatnya menyesal seumur hidup. Karna ia yakin, tak lama lagi Agni akan jatuh dalam pelukan Cakka, benar-benar menjauh dari dirinya.

Tangan Nathan terlipat di atas gitar. “Lagu ini gue ciptain sendiri. Kalo lo gak percaya lo bisa browsing dan cari apa lagu ini pernah ada. Gue dedikasiin lagu ini buat cewek yang paling berarti buat hidup gue. Thanks buat pujian lo tadi, dan gue mau kasih penampilan ekstra buat lo. Semoga lagu ini cukup enak untuk didengar,” ucapnya panjang lebar, dengan antusias.

Ia lupa kesedihannya, lupa akan betapa menderitanya dia, dan lupa betapa tertekan dirinya. Pujian Agni tadi sudah memberikan dampak yang sangat besar untuknya, memberi rasa bahagia tak terkira. Lama tak memeluk kebahagiaan, kali ini, disentuh oleh bahagia itu sendiri sudah membuatnya ‘gila’.

L is for the way you look at me
O is for the only one I see
V is very very extraordinary
E is even more than anyone that you adore

Love is all that I can give to you
Love is more than just a game for two
Two in love can make it
Take my heart and please don’t break it
Love was made for me and you

Dan bagaimana suara merdu Nathan itu mengalun, seisi backstage terdiam dengan mulut terbuka, kagum. Irama jazz yang kental dengan lirik sederhana namun menggugah hati, bahkan mampu membungkam mereka-mereka yang ingin protes—tidak setuju dengan adegan pacaran ala sinetron di sini—.   

Sekali lagi Nathan mengulang liriknya dengan petikan-petikan ringan pada gitar yang dipinjamnya. Sesekali ia melirik Agni yang tersenyum malu-malu. Ini yang dia inginkan. Senyum Agni. Bahagia Agni. Dan kebersamaan mereka. Sukses untuk kali ini.
***
Video Nathan yang bermain drum, gitaran dengan lagu ciptaannya, dan berita yang tersiar bahwa ia adalah Alvin Jonathan, berhasil membuat MP Management (MPM) dan papanya kelimpungan. Telepon, email, surat, serta wartawan datang secara mendadak sehari setelah video itu terupload di jejaring sosial.

Shilla, Sivia, dan Cakka bahkan harus mendapat pengawalan ketat, menghindari sikap memaksa para wartawan yang terus menanyakan kebenaran berita tersebut. Shilla dan Sivia mendapat perintah untuk bungkam. Dan Cakka, bahkan tidak disuruh pun ia akan melakukan. Sepupu yang paling ia benci itu mengkhianatinya lagi.

Menyanyi untuk Agni?! Seandainya Cakka sedang tidak mengurus jadwal syutingnya bersama Ozy kemarin, pasti ia sudah mencegah hal itu terjadi. Kalau seperti ini terus, kapan ia mendapatkan Agni? Ia kira si sumber malapetaka itu sudah menyerah. Ternyata? Malah makin gencar dan berani mendekati Agni.

Secepatnya, ia akan menyatakan cintanya pada Agni. Urusan Agni yang lupa akan masa lalu mereka, nanti saja. Yang penting, mengamankan gadisnya itu dari si pembawa sial. Ya, ia harus mencegah setiap pertemuan Nathan dengan Agni, entah bagaimana caranya.
***
Excel yang ingin memarahi anaknya malah tidak tega begitu melihat Nathan senyum-senyum sendiri dan menuliskan sesuatu di atas buku musiknya. Anak itu sedang asyik menulis lagu. Ia tahu, karna gelagat itu sudah sering dilihatnya dulu.

Pendiri sekaligus CEO (Chief Executive Officer) XEnt (read: eksen) ini melepaskan jabatannya sebagai Presiden Direktur di manajemen yang dibentuk mamanya—MPM—dan memilih membentuk sendiri dari awal manajemennya, Excel Entertainment atau lebih sering disebut XEnt.

Dulu ia membenci anak itu, sangat membencinya. Bahkan ia pernah menyesal karna membiarkan anak itu tumbuh besar, bukan membunuhnya. Bersyukurlah Nathan, kalau bukan karna Excel ingat betapa ia dan istrinya begitu menginginkan kelahiran anak ini, pasti Nathan sudah mati entah sejak kapan.

Awalnya anak ini tidak membawa kesulitan yang berarti baginya. Justru membuatnya bangga dengan memiliki anak jenius yang music-talented. Tapi saat kematian istri keduanya, rasanya semua cerita bahagia itu musnah dan bergantikan rasa marah, kecewa, dan benci yang begitu dalam. Nyaris waktu itu Excel mencekik Nathan dengan kedua tangannya sendiri, tapi langsung dihalangi kakak-kakaknya.

Ia masih ingat perasaan itu. Perasaan yang terpatri di hatinya, yang sering kali muncul saat berhadapan dengan Nathan. Ia sudah mencoba bersikap lebih ramah kepada putranya, justru ia ingin berbaik hati. Tapi begitulah, setiap berdekatan dengan anak itu, yang timbul malah rasa ingin membalas dendam dan membunuh.

Nathan tercekat. Ia melihat papanya berdiri bersandar di ambang pintu. Menatap ke arahnya tanpa berkedip, memikirkan sesuatu, tidak sadar. Bulu kuduknya langsung berdiri. Jangan pandangan itu. Jangan lagi.

Ia sudah pernah melihatnya sekali, dan ia pernah bersumpah untuk tidak ingin melihatnya lagi. Waktu kematian mama tirinya, sang papa menatapnya buas, seakan ia mangsa satu-satunya, ingin membunuhnya. Dulu ia hanya bisa bertanya mengapa, dan sekarang ia takkan mengulanginya. Setelah semua tahun yang dijalaninya tanpa figur seorang ayah, ia paham betul papanya membencinya.

Nathan sudah membuka mulutnya, namun tak ada satu kata pun yang keluar. Ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha berbicara lagi. “Pa,” panggilnya susah payah.

Excel tersadar dari rekaman masa lalunya dan pandangan mereka bertemu sejenak, kemudian ia berbalik dan kembali ke ruangannya. Ia melihat sirat permohonan dari putra semata wayangnya. Meski sejenak, ia juga bisa melihat bagaimana perjalanan hidup penuh luka yang dialami Nathan.

 Mendengar derap langkah yang mengikutinya, ia berbalik. “Kalau kau ingin bersembunyi, sembunyilah dengan tenang. Jangan menyusahkan kami seperti ini. Masih banyak artis berbakat yang harus diurus. Waktu kami bukan untukmu saja,” ucap Excel, sengaja menghindari apa yang akan dikatakan anaknya.

“Alvin.. Alvin mau jadi artis lagi.” Lagi, kenapa keputusan nekat keluar terus dari mulutnya? Nathan merutuki dirinya sendiri. Barusan terlontar saja tanpa ia pikir matang-matang. Sebegitu ingin diperhatikan papanyakah ia?

“Kasih Alvin kesempatan dan Alvin akan buat papa bangga. Alvin janji. Kalau Alvin berhasil, papa buka hati papa buat Alvin ya? Jujur aja, mental Alvin gak kuat kalo harus ngeliat pandangan tadi lagi. Alvin takut,” ucapnya pelan.

Benar, takut. Badannya sempat gemetar tadi dan segera menelan obat antidepresannya. Ia putus asa. Kalau cara ini pun tak mampu meluluhkan hati papanya, sebaiknya ia cepat-cepat bunuh diri. Apa enaknya, hidup bersama papa yang ingin membunuhmu dengan tangannya sendiri? Bukankah lebih baik mati duluan, hingga tak perlu melihat tatapan itu?

“Baiklah. Urus surat pengunduran dirimu dengan Oma. Dan bersiaplah untuk jadwal yang padat. Bulan depan. Berdoalah semoga kau punya waktu istirahat. Dan jangan lupa berikan jadwal kuliahmu pada saya,” putus Excel. Semoga saja anaknya ini berhasil dan hubungan mereka membaik. Semoga.
***
Semenjak tersiarnya kabar bahwa Nathan adalah Alvin, seisi sekolah menjadi geger. Ditambah dengan absennya Nathan, Shilla, Sivia, dan Cakka secara bersamaan, pada hari yang sama saat video Nathan terupload dan langsung menjadi pembicaraan hangat, Agni jadi sering merenung di kamarnya.

Harusnya pemberitaan itu tak merisaukannya, tapi sudah dua hari ini ia memikirkan Nathan terus. Apakah Nathan ini Alvinnya? Alvin yang kata Zevana adalah pacarnya? Yang selalu menjadi sosok berbayang dalam mimpinya?

Agni sendiri ragu. Ada begitu banyak Alvin di dunia ini dan sebegitu berjodohnyakah mereka hingga bertemu lagi? Tapi.. kenapa ia terkesan begitu menginginkan Nathan menjadi Alvinnya? Sukakah ia pada Nathan? Bukannya ia sangat menyukai Cakka?

Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa tiba-tiba ia teringat peristiwa kemarin? Saat Nathan bermain gitar di depannya? Apakah Nathan menyukainya? Kalau tidak, kenapa harus lagu romantis seperti itu?

 Ah. Ia ingat. Lagu itu didedikasikan untuk gadis yang sangat dicintai Nathan. Tapi.. harusnya kan lagu itu dinyanyikan di depan gadis itu. Tapi ini di depannya!

Tanpa sadar senyum lebar Agni mengembang. Terlepas dari kebimbangannya, ia senang dengan fakta tadi. Anggap saja Nathan menyukainya. Dan kenapa ia harus sesenang ini? Agni tertawa sendiri. Sepertinya ia mulai tertarik pada pemuda itu.
***
Agni yang bosan menunggu mulai memainkan kakinya. Ia bosaaannn.. Alvin lama sekali dipanggil kepala sekolah. Bibirnya mengerucut, pertanda bosan akut. Kalau begini, lebih baik dia pulang sendiri saja, tidak usah menunggu. Katanya sebentar, tapi kok lama?

Dengan baju putih merahnya, Agni berjalan ke luar area sekolah, menyebrang untuk mendapat angkutan umum yang melewati komplek rumahnya. Begitu sampai di seberang, Agni celingukan, keningnya berkerut dan alisnya bertaut.

Mobil yang mana? Ada begitu banyak angkutan umum yang berhenti sejenak di depannya, namun ia tak tahu yang mana. Biru? Kuning? Atau putih? Ia tak pernah memperhatikannya. Biasanya ia mengikuti Alvin naik ke dalam.

Jadilah Agni menendang-nendang kerikil di trotoar. Sama saja. Ia tak kunjung pulang juga. Setelah beberapa menit, ia memberanikan dirinya untuk memilih angkutan umum yang lewat. Mungkin yang berwarna putih, pikirnya.

Baru Agni berjalan ke arah mobil berwarna putih di depannya, teriakan Alvin menghentikannya. Alvin segera berlari menyebrang begitu melihat jalanan mulai sepi.

“Maaf bang,” katanya pada supir angkutan umum itu. Mobil itu kemudian melaju meninggalkan mereka.

Alvin segera meraih dan menggenggam jemari mungil Agni. “Alvin kan udah bilang, tungguin Alvin. kenapa ditinggal sih? Capek tau lari-lari nyariin Agni,” protesnya.

Agni melipat tangannya. “Abis Alvin lama. Agni bosen nunggunya,” ambek Agni.

Ingin terus menggenggam tangan Agni, ia meraih tangan Agni lagi. “Ya udah Alvin minta maaf. Agni maafin ya, sekarang kita pulang,” kata Alvin tulus. Ia tidak mau mengecewakan orang yang paling disayanginya.

“Agni harus inget, yang warnanya biru. Nanti kalo Agni naik mobil warna lain, nyasar, terus diculik gimana? Nanti Alvin sedih kalo gak ketemu Agni. Agni gak mau liat Alvin sedih kan?”

Anggukan Agni yang disertai senyuman membuatnya tenang. Dan semoga saja senyuman itu akan selalu menghiasi harinya.

Agni tersenyum saat terbangun. Mimpi yang indah. Ia semakin merindukan sosok Alvin. Kenapa Tuhan bisa menciptakan sosok yang begitu lembut dan peduli padanya? Andaikan sosok Alvin masih ada di sisinya, ia yakin, mereka sudah menjadi pasangan kekasih yang paling bahagia.

Nathan. Semoga dia Alvin. Semoga. Kali ini Agni berdoa untuk itu. Suara lembut Nathan seakan berdengung terus di telinganya, setiap ia mengingat akan Alvin. Ya Tuhan, kali ini, kabulkan permintaannya.
***
“Dev, keputusan gue bener gak sih?” tanya Nathan ragu.

Deva muncul di hadapannya dan tersenyum. “Bener kok. Udah waktunya lo bangkit. Gak mungkin kan lo hidup dalam kesedihan terus-menerus? Siapa tau lo bakal dapetin kasih sayang papa lo lagi, seperti yang lo mau?”

“Terus gimana kalo papa lo tau lo punya gangguan mental? Pasti papa lo bakal malu Nath. Lo gak mikirin image dia? Mau ditaro di mana mukanya kalo publik tau lo seorang Schizophren? Lo bisa dibawa ke Asylum!” peringat Dea, yang muncul dengan sendirinya.

Deva menghela napas. “Kenapa sih dia muncul terus? Lo bisa gak berpikir positif aja? Dia cuma menghalangi kesempatan lo aja,” kata Deva putus asa. Pikiran-pikiran negatif Nathan selalu memunculkan Dea. Menyebalkan.

“Gue cuma ngasihtau kenyataannya aja! Emang lo pernah bilang ke papa lo dan dia bilang dia terima keadaan lo yang sakit jiwa? Enggak kan? Yaudah!” Dea menghilang sesegera mungkin, menghindari perdebatan dengan Deva.

“Dea bener Dev. Papa gak tau kondisi gue. Dia bisa langsung masukkin gue ke Asylum, tanpa perlu nunggu publik tau. Kenapa jadi begini sih?!” Nathan mengacak-acak rambutnya. Keraguannya muncul lagi.

Ia berjalan ke mejanya, menelan beberapa butir obat penenang, mengurangi kefrustasiannya. Sudah biasa seperti ini. Saat ada masalah, ia hanya bisa menelan obat-obatnya, mencari ketenangan yang tak pernah ia dapatkan.

Deva memandang kegiatan rutin itu dengan prihatin. “Lo harus berhenti minum obat Nath. Lo gak boleh lemah begini. Lo harus berpikir positif! Begini aja. Lo sekarang ngaku ke papa lo, dan gue yakin dia akan nerima lo apa adanya. Dia papa lo! Gak mungkin setega itu masukkin lo ke Asylum!”

“Besok papa ulang tahun. Gak mungkin gue ngerusak momen ini dengan penyakit gue. Lo bilang dia gak mungkin tega?” Nathan mendengus kesal. “Dia ngebuang gue! Ninggalin gue tanpa ada kabar apa-apa! Dan masukkin gue ke Asylum itu masalah gampang buat dia! Dia gak akan sedih atau apa! Gue gak punya tempat bahkan di hati papa gue sendiri! Puas lo?!” teriaknya.

Napas Nathan terengah-engah. Teriakan itu bukan hanya menguras tenaganya, tapi juga perasaannya. Ia sengaja keluar, ingin mencari udara segar. Dan tepat saat ia membuka gagang pintunya, tampak wujud papanya. Nathan menelan ludah. Jangan bilang kalau teriakannya tadi didengar.

“Jadi.. kamu sakit apa?” tanya Excel dingin. Menatap tepat di manik coklat gelap mata Nathan.

“Alvin.. Alvin..” Nathan gelagapan. Ia tak mau mengakuinya. Tapi pasti kata ‘Asylum’ terdengar jelas di telinga papanya.

Excel mengatuk-ngatukkan sebuah undangan hitam yang akan diberikan pada Nathan. Awalnya. “Lusa kita bicarakan. Dan besok, jangan muncul di hadapan saya! Kalau kamu berani menampakkan wajahmu di hadapan saya, lebih baik kita batalkan semua kontrak. Memalukan sekali bisa punya keturunan sepertimu,” ancamnya tanpa perasaan.

Nathan membanting pintu kamarnya. Masuk kembali ke dalam. Sudah tidak ada Deva di sana. Ia berteriak, menjerit sekencang-kencangnya. Kalimat terakhir papanya menambah luka baru untuknya. Sakit. Sakit sekali. Seakan ada pisau yang menerobos masuk ke dalam dada, dan mengoyak-ngoyak seluruh perasaan bahagia yang pernah ada hingga tak bersisa.

Memalukan sekali bisa punya keturunan sepertimu. Memalukan. Memalukan.

“KAPAN PAPA MAU PEDULI SAMA ALVIN?! KAPAN?!” Alvin memukul kuat-kuat cermin yang memantulkan bayangannya.

“ALVIN ANAK KANDUNG PAPA! ALVIN ANAK KANDUNG..” Alvin merosot. Tak sanggup lagi berteriak. Ia menangis. Bukan karna tangannya mulai lebam dan berdarah, tapi karna luka yang sudah tak sanggup lagi ia simpan.

Alvin memeluk lututnya. “Perlakukan Alvin dengan layak. Alvin bukan anak yang papa pungut dari jalan dan bisa papa perlakuin seenaknya. Alvin juga mau sembuh.. Tapi gak bisa. Alvin gak cukup stabil untuk sembuh. Alvin gak bisa jaga emosi. Alvin butuh papa. Jangan bilang papa nyesel punya anak kayak Alvin. Alvin anak kandung papa, punya darah dan daging yang sama dengan papa.”

Badannya bergetar, ketakutan. Sesaat setelah kemarahannya yang menjadi-jadi, ia malah merasa takut luar biasa. Ia memandang setiap sudut kamarnya dengan napas terengah-engah, mulai kehabisan napasnya. Rentetan peristiwa kematian itu bermain tanpa henti, memaksanya untuk mengingat semua kesalahannya.

Kepalanya memberat. Semua sumpah serapah yang pernah ia dengar kini berdengung lagi di telinganya. Bagaimana orang-orang itu membentaknya, mengusirnya, memandangnya hina, dan ingin membunuhnya, ia masih ingat. Dengan kaki yang lemas, ia mencoba berdiri, ingin meminum obat penenangnya. Tidak mau melihat dan mendengarnya lagi. Ia lelah.

Nathan nyaris kehilangan keseimbangannya. Ia berjalan dengan oleng. Ia tak tahu bagaimana caranya menghentikan suara-suara yang semakin menyakiti hatinya ini selain dengan segera meminum obat tidur. Kenapa, hatinya sama sekali tidak bisa tenang?
***
Excel menyambut semua tamunya dengan senang. Hari ini ia sangat murah senyum, tidak seperti biasanya. Ia melirik tumpukkan rapi hadiah dari para undangannya. Bukan dibungkus dengan kertas kado lucu tentunya, melainkan dengan kertas kado elegan, yang sudah mencerminkan betapa mahal isinya.

Ia tersenyum begitu melihat sebuah kotak berwarna coklat yang diberikan Shilla padanya. Ia sudah bisa menebak isinya. Sebuah jam tangan. Pemberian Nathan. Shilla memang tidak bilang, tapi dua hadiah yang dibawa Shilla sudah menunjukkannya.

Sebenarnya ia dengan senang hati akan mengundang Nathan ke hari jadinya ini. Tapi setelah insiden kemarin dan catatan kesehatan yang ia baca, Excel mengurungkan niatnya. Kalau sampai Nathan kumat di tempat ini, bisa-bisa anak itu menjadi sasaran infotainment dan merusak seluruh reputasi keluarga besar mereka. Siapa yang tidak malu punya anggota keluarga pengidap Schizophrenia?

Schizophrenia adalah gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional, dan tingkah laku. Gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Seringkali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah), dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).

Kurang lebih seperti itu, yang ditemukannya di internet kemarin. Nathan sudah mengidapnya sejak 3 tahun yang lalu, dan dirinya sebagai ayah sama sekali tidak tahu, dan tidak pernah peduli dengan kabar anaknya. Anak itu terus-terusan mengonsumsi obat penenang dengan dosis yang terus ditambah seiring bertambah kritis penyakitnya.

“Oom!” panggilan Cakka menyadarkannya dari lamunan. Keponakannya ini bersama dengan seorang gadis. “Happy birthday ya Oom! Cakka doain yang terbaik buat Oom! Hehe..”

Excel tersenyum dan memeluk Cakka. “Makasih yah. Ini pacar kamu?” tanyanya, menatap gadis tadi dengan tertarik.

“Belom sih Oom. Tapi akan,” bisiknya dengan tangan menutup mulutnya, tidak membiarkan gadis ini mendengar. “Ohya, kenalin Oom. Ini Agni.”

Agni tersenyum manis. Ia canggung dengan situasi seperti ini. Ia belum pernah datang ke pesta ulang tahun berkelas seperti ini. Ditambah yang berulang tahun adalah pengusaha ternama, yang namanya seakan terhapal mati oleh para calon artis. Tidak tahu Excel Mangare? Lupakan saja impian menjadi artis papan atas!

“Dia gak dateng Oom?” tanya Cakka, tersungging senyum kemenangan di bibirnya. Pasti anak itu sedang meringkuk di sudut kamarnya, sendirian, dan berharap ikut dalam pesta ini. haha.. pasti akan sangat menyenangkan sekali melihat betapa melasnya muka sepupu-yang-tak-pernah-dianggap-nya itu.

Excel tersenyum masam. Ia tahu gelagat Cakka yang ingin mengejek anaknya. Meski Excel masih belum begitu sayang lagi pada Nathan seperti dulu, tetap saja ia tidak bisa terima anak itu diejek. “Tidak. Ada hal yang lebih penting untuk diurus olehnya. Kamu tidak mau duduk? Masih banyak tamu yang harus Oom sambut,” usirnya halus.

Cakka menggandeng Agni dan melangkah ke meja-meja yang disiapkan. Agni hanya tersenyum melihat Sivia dan Shilla yang sudah menyambutnya ramah. “Nathan.. dia gak ikut?” terlontar begitu saja ketika melihat mereka hanya berdua. Rasanya ganjil tidak melihat sosok Nathan di tengah-tengah mereka.

Shilla melirik Cakka yang ekspresinya menunjukkan ketidaksenangan. Benar-benar. Ia ingin sekali menghentikan sikap Cakka yang terlalu sensitif dan selalu kontra dengan Nathan. Cakka terlalu menganggap Nathan saingannya, padahal Nathan tak pernah sekalipun menganggapnya seperti itu. Kasihan Nathan.

 “Nathan atau siapalah itu, dia kan bukan bagian dari keluarga kami. Gak mungkin lah diundang,” jawab Cakka, agak sinis.

“Bukannya infotainment bilang dia Alvin Jonathan ya? Bukannya Alvin itu anaknya Excel, oom lo yang lagi ulang tahun sekarang kan?” tanya Agni penasaran. Ia menangkap banyak hal ganjil sehubungan dengan Nathan, Alvin, atau siapapun namanya itu. Rasanya banyak hal yang disembunyikan ketiga sepupu ini, seperti yang sedang diungkap pemberitaan saat ini.

Sivia berdeham. “Emang kenapa juga kalo dia Alvin? Emang lo ngefans sama dia? Bukannya lo ngefansnya sama Cakka?” selidik Sivia, sekaligus mengalihkan pembicaraan.

“Gue cuma penasaran aja kok. Kalo bukan Alvin, kenapa lo berempat gak masuk sekolah lagi?” kilah Agni.

Rahang Cakka mengeras. Ia tahu Agni berbohong. Kenyataan bahwa waktu kecil hubungan mereka sangat dekat, Cakka hapal jelas bagaimana cara gadis itu menyembunyikan perasaannya. Dan inilah yang selalu dilakukan. Berkilah dengan wajah tanpa ekspresi. Sudah jelas menyatakan bahwa Agni menyukai mantan sepupunya itu.

Sial. Sepertinya ia harus membuat perhitungan dengan manusia pembawa sial itu. Tapi situasi kali ini tidak memungkinkan. Anak itu akan selalu berada di bawah pengawasan Oomnya. Dan meski Cakka tahu komunikasi keduanya sedang buruk, tapi ia yakin Oom Excel takkan membiarkan Nathan disentuh olehnya, apalagi menyingkirkan anak itu dari muka bumi ini!
***
Nathan mengurut-ngurut keningnya. Ia sedang melihat tayangan langsung ulang tahun papanya. Meski acara ini dibuat sesederhana mungkin, mustahil kalau tidak ada satu atau dua reporter yang diundang. Dan sekarang dadanya semakin sesak.

Papanya bahagia. Tanpa dirinya. Tanpa putranya. Tanpa Alvin. Tanpa seorang anak yang hanya menjadi aib keluarga. Kalau dia sebuah bom, Nathan sudah meledak dari kapan tahu. Ia marah. Kecewa. Sedih. Tapi ia juga tahu itu semua kesalahannya. Semua memang salahnya, bukan?

Lalu kamera secara tidak sengaja menyorot ke arah sepupu-sepupunya. Ada Agni di sana. Tertawa bahagia, bersama Cakka. Tanpanya, dan bukan karenanya. Berulang kali ia mencoba mengikhlaskan Agni. Tapi sulit. Sangat sulit.

Ia sayang Agni, sangat mencintai gadis itu hingga tak mampu melupakannya. Sangat menginginkan hingga tak mampu melepaskan. Tapi ia tak berdaya. Kalau Agni tahu ia adalah Alvinnya, pasti gadis itu akan marah besar. Bagaimana bisa seseorang yang sudah menyebabkannya lupa ingatan dan bertanggungjawab atas kematian orang tuanya malah kekeuh ingin bersamanya?

Nathan berteriak. Mengamuk tidak jelas. Ia menjambak rambutnya, menendang-nendang segala hal yang ada di depan kakinya. Sebagian jiwanya ingin bebas, dan sebagian lagi terus menahan. Ia terjebak dalam kondisi ini. Ingin melepaskan semua belenggunya, namun takut menjadi gila.

Bayangkan seperti ada dua jiwa di dalam tubuhmu. Yang satu berusaha sebisa mungkin untuk menjadi liar, dan yang satu berusaha keras menolak dan terus memendamnya. Bahkan kau bisa mengikat tanganmu sendiri karna ia terlalu nakal dan ingin membunuh siapapun yang melarang keinginanmu.

Nathan pernah mengalaminya. Waktu itu shilla dan sivia sampai takut padanya. Hingga mereka akhirnya setuju untuk mengurungnya di kamar selama beberapa hari, mencegah tindakan bodoh yang akan dilakukannya.

Tak ada bagian tubuhnya yang pernah sakit selain hatinya. Emosinya dipermainkan setiap hari, bahkan oleh dirinya sendiri. Papanya, Shilla, Sivia, dan Agni lah yang selama ini menjadi penyokongnya. Tak peduli bagaimana keempatnya memandang dirinya, kehadiran mereka di sisinya jauh lebih berarti. Sangat berarti. Dan Nathan bersyukur Tuhan tak memangkas habis harapannya.

Hh.. hh.. Napasnya terengah, capek. Akhirnya kegilaannya berhenti. Setidaknya untuk saat ini. Ia menyandarkan kepalanya, turut memejamkan matanya. Beristirahat sejenak.

Handphonenya bordering, dan tanpa melihat nama si pemanggil, Nathan mengangkatnya. “Ya.. Gue gak papa kok,” jawabnya.

“Tenang aja Shill. Gue masih mampu jaga diri sendiri,” katanya, menenangkan Shilla yang begitu mengkhawatirkannya.

Nathan menutup teleponnya. Tersenyum atas kekhawatiran Shilla. Gadis yang sudah menggantikan peran ibu baginya itu tahu kalau yang diucapkannya hanya omong kosong. Ia tak pernah bisa menjaga dirinya sendiri, semenjak penyakit jiwa itu menghantuinya.

Ia mengedarkan pandangannya, memandang sekeliling. Semuanya berantakan. Rasanya ia harus berbenah, sebelum semuanya pulang. Istilahnya, meninggalkan jejak. Ia harus menyembunyikan bukti bahwa ia kumat bukan? Akan terlalu menyedihkan bila semua orang mengasihaninya.
***

Oke.. part yang sangat labil, gaje, ancur, jelek, dan segala macamnya. Mohon kritik dan sarannya :D
Udah bersyukur ada yang mau baca~
Part selanjutnya? kayaknya setelah baca part ini juga gak bakal mau part selanjutnya --"
N.B: 
L.O.V.E - Olivia Ong

0 comments:

Post a Comment