Attention: Ini cuma sepuluh lembar, setengah dari yang biasanya, seperti yang gue bilang di part 9, hehehe.. *kabur*
Selamat membaca :D
PART X
#
“Alvin, nanti kalo
udah besar mau jadi apa?” tanya Excel pada anak yang hampir tertidur di
pelukannya.
Anak itu—yang dipanggil Alvin—, menggeliat pelan lalu
menjawab, “Jadi anak kesayangan papa.” Ia menguap dan menggeliat sekali lagi,
menyamankan posisinya, kemudian memejamkan mata.
Excel tertawa kecil mendengarnya. Tangannya mengusap pelan
rambut Alvin, sengaja mengusik tidur putra kecilnya itu. “Gak mau jadi artis?”
“Mau,” Jawab Alvin setengah sadar. Ia sangat mengantuk,
mau tidur. Tapi kenapa papa memintanya terus bangun?
“Yang?”
“Terkenal.”
“Supaya?”
“Disayang semuanya,” jawab Alvin lagi. Kini matanya sudah
terpejam, dan karena sang papa tidak bertanya lagi, ia membiarkan dirinya
terlelap, jatuh ke alam bawah sadarnya.
“Bagus,” puji Excel dalam tidur anaknya. Ia menepuk-nepuk
pelan kepala Alvin, memaklumi dengkuran halus yang terdengar olehnya.
Alvin—yang berumur tiga tahun—baru saja menuntaskan pelajaran bahasa Jermannya,
dan Excel yakin anak ini butuh istirahat yang cukup.
“Kamu akan sangat dicintai. Percayalah.”
#
***
Gabriel
mengacak-acak rambutnya. Invalid. Invalid. Invalid. Ia menggeram kesal. “Lo
kenapa sih, Yel?” tanya Olivia, membawa setoples snack untuk mereka berdua.
“Ini!” Gabriel
menunjuk layar laptopnya. “Dari tadi gue nyari nama Nathan tapi gak ketemu!
Padahal gue mau ngasih bukti kuat kalo dia beneran Alvin Jonathan!” serunya
frustasi.
“Wah, lo ngecrack
sistem sekolah ya?” kata Oliv, melihat daftar nama satu angkatan Gabriel
terpampang di sana.
Gabriel mengangguk.
“Gue bingung. Yang tersisa cuma nama Alexander Marvin. Itu pun gak ada tanggal
kapan terdaftarnya,” ia melihat empat lembar kertas di tangannya. Ashilla
Zahrantiara, Sivia Azizah, Cakka Nuraga, Nathan. Hanya nama terakhir yang tidak
ia temukan.
“Gue udah nanya
seluruh kelas. Gak ada yang namanya Alexander Marvin. Dan anehnya, nama Nathan
ada di absensi kelas, tapi gak ada di arsip sekolah. Gak frustasi cuman gue!”
Oliv mendengarkan
dengan seksama. Alexander Marvin. Alexander. Marvin. Al. Vin. Alvin?! “Yel,
kayaknya Alexander Marvin itu Nathan deh. Dengan asumsi Al dari Alexander, dan
Vin dari Marvin. Mungkin banget kan?”
Pikiran Gabriel menjadi
terbuka. “Tapi aneh. Dulu gue pernah nyari di sekolah lamanya. Namanya tetep
Alvin Jonathan kok, gak ada nama lain.”
“Iya sih. Dulu waktu
student exchange di Singapur, gue sering ngabsenin murid, dan namanya tetep
Alvin Jonathan. Terus menurut lo sekolah kita nyembunyiin identitasnya?”
Gabriel mengangguk,
menatap Oliv. “Kayaknya gue harus ngecrack data MPM. Gue butuh bantuan lo.”
“Lo kenapa
penasaran banget sih sama Alvin?” tanya Oliv heran.
Gabriel menghela
napas. Menguak rahasia yang disembunyikannya. “Dulu gue fans berat Alvin. Dia
motivasi gue bisa kayak sekarang ini. Gue gak percaya sama berita kematian dia
dulu. Gue sampe nyari-nyari informasi tapi semua situs tentang dia udah
ditutup. Gak rela aja liat idola gue harus nutupin keberadaannya.”
“Terus lo pikir
dengan nguak identitasnya dia bakal bahagia?”
Gabriel mengangkat
bahu. “Gue cuma mau dia ngaku kalo dia itu Alvin, Liv.”
***
Alvin menyapukan
jemarinya pada gitar dengan asal. Pandangannya kosong, menerawang ke depan.
Zevana menghubunginya semalam, menangis terisak, menyalahkannya yang kurang
cepat mendapatkan Agni. Sekarang gadis itu sudah menjadi milik Cakka.
Rasanya ia ingin
muntah. Sejak mendengar berita itu ia selalu mual. Pusing. Kepala dan hatinya
sakit. Ia benar-benar tidak percaya. Secepat inikah kebahagiaannya direnggut
kembali? Tangan Alvin bergerak ke sampingnya, mengambil sebuah kaplet dan botol
minum di sisi satunya.
“Ini udah yang
kesepuluh dalam dua jam ini. minum satu lagi dan gue bakal telpon ambulans,”
gerutu seseorang kesal. Ia memang tidak tahu dan bahkan tidak mau tahu masalah
Alvin, tapi sebagai seorang partner kerja, ia tidak bisa membiarkan Alvin mati
begitu saja.
Alvin menoleh
sebentar, kemudian kembali lagi dalam lamunannya. “Udahlah Pris, mending gue
mati aja sekalian,” ucapnya putus asa.
Prissy meletakkan
kedua tangannya di pundak Alvin, memaksa Alvin menatapnya. “Matinya dipending
dulu yah, sampe project kita sukses. Ayolah,” mohon Prissy, mengatupkan kedua
tangannya di dada.
Alvin menatap
Prissy tidak percaya. Ia kira gadis ini akan mendukungnya untuk hidup, seperti
yang dilakukan Shilla dan Sivia. Tapi ternyata bukan. Menyebalkan juga. Alvin
melengos. “Katanya jenius, ngeliat partnernya depresi malah mikirin kerjaan.
Great banget yah,” sindirnya.
Prissy memajukan bibirnya kesal. “Justru karna
gue jenius, makanya gue minta daripada lo stress ngadepin masalah lo yang entah
apa gue juga gak peduli, mendingan lo fokus ama kerjaan kita. Kan pasti lupa lama-lama.
Hebat kan gue?” cengirnya.
Alvin mengacak-acak
rambut Prissy. “Dasar,” ucapnya sambil tersenyum.
***
“Love me, love me,
say that you love me~”
“Fool me, fool me,
go on and fool me~”
“Love me, love me,
pretend that you love me~”
“Leave me, leave
me, just say that you need me~”
Agni mengernyitkan
keningnya. Dari sekolah sampe lokasi syuting Cakka, semua menyenandungkan lagu
yang sama. Ada apa sih? kayaknya dia ketinggalan berita deh.
“Eh, maaf Mas mau
nanya. Itu lagu ngehits lagi ya? Kok semuanya pada nyanyiin sih?” tanya Agni
pada seorang kru yang lewat.
“Yah Mbak gimana
sih. Booming banget tau. Coba deh cek youtube.”
Setelah mengucapkan
terima kasih, Agni segera mengambil laptop Cakka—selalu dibawa pemuda itu
setiap hari—, mengecek situs yang sepertinya sedang ramai hari ini. Ah! Di
bagian Recommended, Youtube Trends, dan Most Popular, berjejer video yang sama:
Lovefool – The
Cardigans (Alvin & Prissy cover)
876,395 likes, 134
dislikes
By XEntertainmentOfficial
1,063,725 views
Uploaded 15 hours
ago
Agni memicingkan
matanya. Itu Alvin?! Alvin yang beberapa hari lalu datang ke rumahnya?!
Ternyata dia benar-benar Alvin Jonathan?! Wah! Keren! Agni menurunkan
pandangannya, shock dengan jumlah likers dan viewersnya. Diupload tepat tengah
malam dan sudah sebanyak ini?! Agni berdecak kagum. Jadi penasaran.
Cakka yang baru
selesai take beberapa adegan jadi buyar konsentrasinya melihat Agni menganga
memandangi layar laptopnya. Liat apaan sih? seingatnya dia gak pernah nyimpen
yang macem-macem di laptop.
Cakka menghampiri
Agni yang mulai mengetikkan sesuatu dengan senyum lebar. Ia menatap layar
laptopnya. Seketika langsung pucat melihat nama–mantan–sepupunya. Cakka segera
mematikannya.
“Apaan sih Cak?!”
protes Agni kesal. Ia sedang mengetikkan komentar heboh tapi laptop langsung
dimatikan Cakka. Mengganggu!
Cakka menatapnya
dingin. “Lo boleh deket sama cowok mana aja, bahkan mantan-mantan lo sekalipun,
asal jangan dia. Gue gak suka,” ucap Cakka.
Agni menelan ludah.
Cakka marah. Ia tahu itu, ekspresi ini sering dilihatnya di sinetron Cakka.
“Maksud lo Alvin?” tanyanya pelan, sangat pelan malah.
“Jangan sebut
namanya!” bentak Cakka gusar. Lumayan kencang hingga menarik perhatian beberapa
kru.
Agni tersentak. Ini
pertama kalinya ia dibentak oleh cowok. Bahkan Rio pun tidak berani
melakukannya. Cakka jahat, pikirnya sedih. “Gue pulang,” ucap Agni kecewa.
“Zy, anter Agni
pulang,” suruhnya datar. Dia masih kesal. Bahkan setelah Agni resmi
dipacarinya, gadis itu masih tertarik pada Alvin. Tak punya tempatkah ia di
hati Agni?
***
“Yang sabar aja deh
Ag. Cakka emang gitu. Dia sensitif banget sama Alvin. Hubungan mereka dari dulu
gak pernah baik,” terang Ozy.
Agni masih setia
menatap ke luar jendela. “Gue gak suka cara dia. Kenapa harus ngebentak? Emang
gak bisa baik-baik apa?”
Ozy menatap Agni.
Gadis ini tidak boleh mengecewakan Cakka. Artisnya itu bisa drop kalau Agni
menaruh perhatian lebih pada Alvin. “Ag,” panggilnya. Agni menoleh, melempar
pandang bertanya.
“Lo jangan
ngecewain Cakka ya. Dia udah terlalu banyak dikecewain, bahkan dari keluarganya
sendiri. Perhatian mereka makin berkurang, seiring kesuksesan Cakka. Mereka
pikir, Cakka udah dewasa, udah mandiri. Apalagi setelah Cakka mampu beli
apartemen sendiri, mereka jadi makin cuek sama Cakka, makin sulit dihubungi,”
Agni menunduk, tidak tega mendengar keadaan kekasihnya. Ia tidak menyangka
Cakka yang seatraktif dan sehebat itu ternyata menyimpan kisah sedih juga. Lain
kali ia harus lebih pengertian, tekad Agni dalam hati.
Ozy tersenyum
tipis, kemudian berubah tidak suka. “Beda sama Alvin. dari lahir dia udah jadi
pusat perhatian. Sampai umur segini pun, perhatian buat dia melimpah ruah.
Mentang-mentang dia lahir tanpa ibu—”
“Lo gak boleh
ngomong gitu!” potong Agni tersinggung. Nada benci yang dilontarkan Ozy membuat
hatinya bergemuruh dan—entah kenapa—sakit. Kenapa harus menggunakan hal
sesensitif itu sebagai alasan?! Siapapun tidak ingin lahir tanpa ibu, apalagi
Alvin! Jangan menyudutkan Alvin seperti itu lagi! benar-benar pemikiran
rendahan!
Ozy berdecak. “Tuh
kan, bahkan lo aja marah,” remeh Ozy.
Agni menatap Ozy
tajam. “Gue yakin Cakka gak berpikiran seperti lo! Cakka gak akan ngegunain
alasan Alvin-lahir-tanpa-ibu atas semua perhatian yang melimpah ke Alvin!
Biarpun gue baru deket sama Cakka, gue tau dia gak punya pemikiran setega dan
sepicik itu!”
Ozy terdiam. Ya,
itu memang bukan pandangan Cakka, tapi pandangan dirinya semenjak resmi menjadi
manajer Cakka. Tapi, ahh.. sudahlah! Ia selalu terbawa emosi kalau membicarakan
Alvin.
***
“Yel, kayaknya lo
gak perlu lagi ngungkap identitas Alvin deh, dia udah muncul sendiri,” ujar
Oliv, menyalakan TVnya. Sore ini, semua berita dan infotainment menyiarkan hal
yang sama: video Alvin dan Prissy.
Gabriel
menganggukkan kepalanya. “Gue gak nyangka dia bakal muncul dengan cara gini.
Bener-bener kejutan.”
Oliv mengambil
duduk di sebelah Gabriel. “Coverannya top banget. Jadi mewah gitu lagunya. Dan
yang keren, mereka cuma duduk, gitaran, dan nyanyi. Sederhana, tapi semua yang
ngeliat juga bakal iri. Suara mereka jernih banget. Suara Alvin mendadak seksi
gitu terus Prissynya whisper. Udah deh, kombinasi klop banget,” kagumnya.
“Sayang aja gue gak
bisa nyanyi. Kalo bisa, Alvin doang mah lewat,” canda Gabriel.
Oliv menoyor kepala
Gabriel. “Cih! Napas aja fals, gegayaan pake nyanyi segala!”
Gabriel
mengerucutkan bibirnya tidak terima. “Kan kita bisa cover lagu berdua juga
gitu,” gumamnya pelan.
“Halah udah fokus
aja ama kegiatan lo. Trus sekarang lo bakal ngapain? Toh Nathan udah ngakuin ke
dunia kalo dia Alvin?”
Gabriel mengangkat
bahu. “Kembali ngepoin hubungan Ray-Ify mungkin?”
Ray? Ify? “Emang
mereka ada hubungan apa?” tanya Oliv penasaran.
“Ada deh, kepo lo
mau tau aja,” ledek Gabriel. Sepertinya Oliv menyukai Ray. Ahh, kenapa hatinya
jadi panas begini?
***
“Hmm..”
Alvin meremas
jemarinya tidak sabar. Gugup, cemas, dan penasaran campur jadi satu. Ia dan
Prissy sedang menunggu respon papanya terhadap video yang diunggah kemarin
malam. Semua pemberitaan memang memberikan respon positif, tapi entahlah dengan
papanya.
“Siapa yang buat
aransemennya?” tanya Excel.
“Alvin!” jawab
Alvin cepat, tidak sabar. Prissy mengangkat alis, partnernya ini tegang sekali?
Padahal yang akan berkomentar papanya sendiri. aneh.
Excel melepaskan
headsetnya. “Lumayan. Kalian sudah bisa mengerjakan project selanjutnya.
Pricilla, lagu apa?” komentarnya tanpa menatap Alvin. Alvin menghembuskan napas
lega. Biarpun dikomentari lumayan, itu jauh lebih baik daripada dibilang buruk.
“Just Give Me A
Reason. Berarti udah boleh pake stand mic kan?” jawab Prissy senang. Excel
mengangguk. Prissy tersenyum lebar. Projectnya memang top! Dari coveran
sederhana, stand mic, proses editing, sampai pembuatan music video! Ini semua
hanya demi promo single mereka. Damnly good!
***
Alvin menyalakan
alarm mobilnya, kemudian menatap lapangan voli. Ramai. Baguslah ia tidak
terlambat. Hari ini ia sengaja menyempatkan waktunya demi menonton permainan
Agni. Sekolah mereka sedang melakukan babak penyisihan untuk kejuaraan voli
seprovinsi. Dan pertandingan yang bisa disaksikan semua orang ini
menguntungkannya, ia tidak perlu menyamar, karna tidak akan ada yang peduli.
Semua sibuk menonton. Hehe, baguslah.
Agni mencuri
pandang ke sekitarnya. Penuh, semua menyemangati tim mereka, tapi mana Cakka?
Kemarin bilang mau dateng, tapi apa? Sampai sekarang belum kelihatan batang
hidungnya. Beneran sayang gak sih sama dia?
“Agni!” seru salah
satu teman setimnya, mengoper bola ke arah Agni.
Refleks, Agni
langsung meloncat, melakukan smash yang lagi-lagi mencetak poin. “Aww,” ringis
Agni. Tumitnya terkilir. Sebagian sisi kakinya juga lecet. Sakit sekali.
Gara-gara absennya Cakka, ia jadi tidak fokus, dan melompat tanpa persiapan.
Akhirnya malah jatuh begini. Sial banget.
Alvin yang tadi
melihat ketidaksiapan Agni dalam melompat, langsung menyeruak ke barisan paling
depan. Dan benar saja, gadis yang dicintainya itu jatuh. Alvin segera
berjongkok di sebelah Agni, membubarkan niat para penolong yang semuanya
perempuan. “Ag, lo masih bisa jalan?” tanyanya pelan, namun penuh kekhawatiran.
Agni menggeleng.
Masih sibuk membersihkan tangannya yang kotor, belum menyadari kehadiran Alvin.
“Gue gendong ya?” tawar Alvin, mengusap puncak kepala Agni, memaksa Agni
melihatnya.
“Eh?”
“Naik ya,” ucapan lembut
Alvin seakan memerintah anggota tubuh Agni. Buktinya sekarang ia sudah berada
di atas punggung yang ditawarkan Alvin, tanpa pertanyaan, tanpa protes. Ia
masih terkejut dengan kehadiran Alvin yang tiba-tiba.
Alvin tersenyum,
beranjak dengan hati yang berbunga-bunga. Tidak peduli dengan komentar dan
bisikan negatif di sekitarnya. Tidak peduli dengan status Agni yang merupakan
pacar sepupunya. Ia tidak peduli, sungguh.
“Ag, meski gak ada
lo, tim kita pasti bisa menang kok. Jangan khawatir ya,” ucap teman setim Agni,
melihat raut bingung Agni.
“Eh, iya,” ucap
Agni linglung. Kenapa ia mau-mau saja digendong pemuda yang belum lama
dikenalnya ini? dan kenapa ia merasa.. nyaman?
***
“Agni,” panggil
Alvin, memecah keheningan di koridor sekolah. Semua murid tumpah ruah di
lapangan, tidak ada seorang pun kecuali mereka berdua di sini.
“Agni,” panggil
Alvin sekali lagi.
‘Agni.’ Agni terpaku,
menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan dengan cepat. Ia mendengar suara anak
kecil memanggilnya. Tapi dimana?
“Ag, gue gak bisa
napas,” kata Alvin tercekat. Tiba-tiba saja Agni mengeratkan pelukan di
lehernya.
“Sori,” Agni segera
melonggarkan pelukannya. Ia memegang kepalanya. Sakit.
“Gak papa. Masih sakit?” tanya Alvin.
‘Masih sakit?’ Agni
menggelengkan kepalanya. Suara anak kecil itu lagi. Suara siapa itu? Napas Agni
terengah. Sepertinya ingatan pentingnya akan kembali.
Alvin yang
menyadari keanehan Agni langsung berhenti dan menurunkannya. Badan Agni lemas.
Ia mengerang, memegangi kepalanya. “Agni! Lo kenapa?!” tanya Alvin panik. Apa
yang harus ia lakukan?
“Agni!!” teriaknya.
Gadis itu pingsan.
#
“Agni,” panggil
Alvin pelan.
“Iya,” sahut gadis
kecil yang digendongnya.
“Masih sakit?”
Agni mengangguk
kecil, menahan ringisannya.
“Makanya jangan
sepedaan malem-malem. Kan jalanan gak keliatan. Jatoh kan,” nasehat Alvin.
Agni mengangguk
pelan. “Iya. Agni gak akan sepedaan malem-malem lagi. Gelap. Takut,” ia
mengeratkan pelukannya di leher Alvin.
“Terus sepedanya
gimana?” tanya gadis kecil berusia 7 tahun itu.
“Udah Alvin
sembunyiin. Gak akan ada yang ambil.”
Agni tersenyum.
Anak laki-laki ini sangat pintar. Tahu saja dia kabur ke taman. Kalau tidak
ditemukan oleh Alvin, pasti ia tidak bisa pulang. Lututnya kan terluka.
“Agni,” panggil
Alvin lagi.
“Apa?” Alvin
menggeleng.
“Agni.”
“Apa?”
“Agni. Agni. Agni.
Agni. Agni. Alvin suka aja manggil nama Agni. Rasanya enak. Indah. Agni. Agni.
Agni,” Alvin menyenandungkan nama Agni.
Agni tersipu,
menundukkan kepalanya dalam. Belum pernah ada yang memuji namanya seperti ini,
bahkan Cakka sekalipun. Alvin tersenyum. Ia mengangkat Agni yang mulai merosot.
Dukk!
Aduh, kepalanya
berbenturan dengan Agni. Ia segera mengangkat satu tangannya, mengusap kepala
Agni lembut. “Gak sengaja,” ucapnya pelan. Dirasakannya Agni mengangguk pelan.
“Alvin sayang
Agni,” aku Alvin lugas, tanpa keraguan sedikitpun. Hatinya yang memilih Agni.
Kepolosan dan kelembutan gadis inilah yang menyentuhnya, menyentuh titik terdalam
di hatinya. Hanya bersama Agni rasa kesepian itu hilang.
“Agni juga sayang
Alvin,” balas Agni tak kalah pelan. Ia sudah jatuh hati dari pertama kali
melihat Alvin. pemuda ini sudah memikat hatinya dengan segala sikapnya yang
tidak terduga. Kadang dingin, kadang lembut, tapi kadang biasa saja. Aneh, tapi
menarik.
“Kalo gitu Agni mau
jadi pacar Alvin?”
Agni mengernyitkan
keningnya. “Pacar itu apa?”
“Dua orang yang
saling sayang. Kalo kita pacaran, kita bisa bareng-bareng terus. Kita bisa
saling ngejagain. Tapi Agni gak boleh deket-deket cowok lain, Alvin juga gak
boleh deket-deket cewek lain,” jelas Alvin.
Agni
mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. “Ooh. Hoammh,” nguapnya. Ia selalu
begini setiap Alvin menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar. Suara Alvin
seperti pengantar tidur untuknya. Damai sekali.
“Agni ngantuk,”
mencari posisi ternyamannya untuk membaringkan kepala.
Alvin menolehkan
kepalanya, memandang Agni yang hampir memejamkan matanya. “Agni belum jawab
pertanyaan Alvin. Agni mau gak jadi pacar Alvin?”
“Mau. Yang penting
bisa sama Alvin,” jawab Agni setengah sadar.
“Beneran?”
“Iya Alviinnn. Kok
kita gak sampe-sampe sih?”
“Ini udah sampe.
Makanya Agni buka matanya dong.”
#
***
Cakka merutuki
dirinya kesal. Karna kesiangan, ia jadi ketinggalan pertandingan Agni. Padahal
ia sudah berjanji akan menontonnya. Cakka berlari di sela keramaian, mencari
kekasihnya. “Agni mana?”
“Di UKS. Jatoh
tadi.”
Cakka semakin memaki
dirinya. Ini semua salahnya! Habislah ia! Bagaimana kalau Agni minta putus?
Baru juga kemarin berbaikan. Ia melangkah cepat ke ruang UKS, mengabaikan
dering ponselnya yang terus berbunyi. Pasti dari Ozy. Cakka melirik jam
tangannya. Sejam lagi syutingnya dimulai. Ia harus segera menemui Agni.
“Vana, Agni
gimana?” tanyanya begitu melihat Agni terbaring lemah dengan kaki yang dibalut
perban. Zevana menggeleng, menandakan tidak apa-apa. Cakka menghela napas lega.
Ia menggenggam
tangan Agni, memberi sedikit kehangatan, sekaligus menyampaikan ketenangan,
bahwa ia sudah datang. “Alvin,” panggil Agni tidak sadar. Cakka dan Zevana
bertatapan.
“Agni!” Cakka
mengguncang pelan tubuh Agni. Tidak terima dengan apa yang barusan didengarnya.
Ia pasti salah dengar. Yang barusan haruslah namanya. Tidak boleh yang lain.
Agni mengerjapkan
matanya pelan. “Cakka?” Tatapan kaget Agni berubah sayu. “Kenapa baru dateng
sekarang?” Nada kecewa yang dilontarkan Agni mengingatkan Cakka akan
kecerobohannya. Lagipula Agni yang memanggil Alvin tadi pasti salah dengar.
“Maaf. Semalem
syutingnya sampe jam 3 pagi. Jadi—”
Agni mengangguk
pelan. Entah mengerti atau kecewa. Cakka menyesal. Ini peringatan pertama
untuknya. Ia harus mengutamakan Agni lain kali. Harus. Ia tidak ingin melihat
raut kecewa lagi dari Agni.
Dering ponsel Cakka
memecah suasana. Cakka mengabaikannya lagi. ia ingin bersama Agni, menebus
ingkar janjinya tadi pagi. Tidak peduli harus dimarahi sutradara dan para kru.
Tangan Cakka
terulur mengelus kepala Agni. “Agni,” Agni menoleh kepadanya. “Jangan tinggalin
gue ya. Jangan pernah. Jangan liat siapapun, cukup gue. Bisa kan Ag?”
Zevana membuang
mukanya. Perih melihat mereka berduaan, apalagi dengan status yang mereka
sandang. Ia baru akan pergi, namun Cakka mengucapkan kata-kata yang membuatnya
semakin sedih. Ia tidak bisa melihat Cakka rapuh seperti ini. Tidak bisa.
Cakka, kalau Agni
hanya bisa melihat Alvin, di sini selalu ada Vana, yang akan melihatmu. Hanya
kamu. Tidakkah kau lihat dia juga?
***
“Eh, cowok pirang
yang kemarin bawa Agni ke UKS gosipnya pacarnya Agni loh.”
“Bukannya Cakka
cowoknya Agni?”
“Kayaknya bukan.
Buktinya kemarin Agni mau aja digendong sama dia. Gak mungkin lah bukan
pacarnya.”
“Tapi yang kemarin
bukannya Alvin? Yang di youtube itu loh.”
“That’s right!
Kabarnya dia itu Alvin Jonathan kan? Sepupunya Cakka? Berarti mereka saingan
ya? Ckck..”
“Hmm.. kita tunggu
aja sampe artikel Gabriel dimuat. Pasti dia ngebahas itu di majalah sekolah.
Gabriel gitu loh, gak ada aktivitas artis yang luput dari mata dia.”
Tangan Cakka terkepal kuat. Begitu marah
dengan bisik-bisik yang baru didengarnya. Jadi kemarin Alvin menggendong Agni
ke UKS?! Berani-beraninya pemuda itu menyentuh gadisnya! Akan ia beri pelajaran
nanti!
Dan tadi apa?
Mereka bilang ia dan Alvin bersaing? Eh sori ya! Dia udah resmi jadi pacar
Agni! Si sialan itu saja yang mengganggu hubungannya dengan kekasihnya
tercinta. Well, Alvin, gue gak akan
biarin lo lolos kali ini!
***
oke ditunggu kritik dan sarannya :DD
next partnya entah kapan hohoho