Sunday 19 September 2010 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 2

nah, yang ini part 2nya.. rada gaje gitu.. abisan gue sibuk+ilang feelnya.. hwhw.. terpaksa buka konflik, biar konflik lain bisa masuk --"



PART II

Lembar demi lembar sebuah album terbalik seiring dengan penyesalan agni yang semakin mendalam. Andai saja hal itu tak terjadi, pasti dirinya masih bahagia sekarang. Andai saja semua itu tak terjadi, pasti dirinya takkan dirundung rasa iri seperti ini.

Agni menyimpan album tersebut dalam lemari kaca di kamarnya. lemari yang khusus, untuk mengenang orang tersayangnya. pandangannya menyisiri isi lemari. Senyumnya berubah menjadi raut kekecewaan begitu pandangannya berhenti di satu benda.

Sebuah foto. Foto yang slalu saja dapat membangkitkan emosinya. Yang slalu saja ingin membuatnya pergi, ingin membuatnya marah dan kecewa, serta menangis. Benci bila harus melihatnya.

Agni segera keluar dari kamarnya, menuju kamar zevana. Raut yang penuh emosi tadi kini berubah menjadi biasa saja. hal yang biasa dilakukannya, memalsukan semua perasaannya.

Melihat tak ada zevana di dalamnya, agni langsung masuk ke dalamnya. Berbagai piala, medali, dan piagam berjejer rapi dalam lemari kaca yang jauh lebih besar dari miliknya. Ia memperhatikannya satu-satu.

Rasa emosi yang ditutupinya tadi kini kembali mengguncang dirinya. Semua ini, milik zevana, hanya zevana, untuk zevana. Dia sangat paham dengan itu. kembali ia mengubah ekspresinya begitu mendengar derap langkah kaki yang mendekat.

“loh, ag? Lo ada disini?” tanya zevana yang baru masuk ke kamarnya.

Agni mengangguk. “gue mau nanya ze,” jawabnya.

Zevana tidak menanggapi, menunggu kelanjutannya. Ia meletakkan tasnya dan duduk di tepi tempat tidurnya.

“kasih gue petunjuk ze. Gue bener-bener bingung dengan semuanya. Kenapa gue bisa kecelakaan? Kenapa gue bisa diangkat sama keluarga lo? siapa orang yang selalu dateng dalam mimpi gue? apa yang dia mau? Kenapa dia slalu ada saat gue sedih, marah, kecewa? kenapa lo bisa tau masa lalu gue? kenapa lo gak mau balikin semuanya?” agni menghujani zevana dengan banyak pertanyaan.

Zevana menatap agni. dapat ia temukan rasa penasaran yang besar dalam tatapan agni. ia tersenyum, lalu mendekat ke agni, menepuk bahunya. “ag, gue tanya sekali lagi. lo bener-bener yakin pengen tau jawabannya? Gak akan nyesel?” tanyanya.

Agni mengangguk pelan. Sedikit keraguan terpancar dari sorot matanya. “emangnya kenapa sih ze? Dari dulu, setiap gue nanyain, lo pasti jawabnya itu. eamngnya masa lalu gue buruk ya? sampe-sampe gue bakal nyesel sama semuanya?” tanyanya balik.

“bukan. Bukan sama masa lalu lo. tapi sama yang sekarang ini. yakin? Kalo yakin, gue bakal cerita sama lo,” jawab zevana.

Agni mengangguk penuh keyakinan. Meskipun rasa penasaran yang amat besar mengusik hatinya. Zevana dan agni duduk bersila di tempat tidur. Zevana menghela napas berat, bersiap memulai ceritanya. Semoga agni dapat menerima semua ini.
***
Ray menggandeng tangan ify seharian ini. rasa kemenangan begitu menggelegak dalam hatinya. “fy! Makan dulu yuk!” ajaknya semangat. Yang diajak mengangguk saja, mengikuti yang mengajaknya.

Ray melipat kedua tangannya di atas meja, mencondongkan badannya ke arah ify. “fy, besok-besok jalan lagi yuk!” katanya antusias.

Ify tertawa kecil melihat antusiasme ray. bila dihitung, dia sudah jarang sekali jalan dengan ray. bahkan dalam setahun dapat dihitung dengan jari. Padahal dulu sering sekali dia jalan dengan ray.

Popularitasnyalah yang membuat jaraknya dengan ray menjauh. Tak ingin gosip tidak enak melanda dirinya dengan ray, tak ingin membuat itu menambah jauhnya jarak mereka.

Ray tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari ify. rindu akan saat-saat seperti ini. takkan menyia-nyiakannya sedikitpun.

Selesai makan, mereka menonton sebuah film luar. Tak mereka sadari, seseorang telah mengikuti mereka daritadi. Mencela dalam hati setiap melihat gerak-gerik keduanya.

Begitu selesai menonton, mereka dikejutkan dengan kehadiran sejumlah wartawan, cameramen, dan pembawa acara infotainment. Semua langsung mengerubungi mereka, meminta jawaban dan komentar, mengapa keduanya bisa bersama dan nonton bareng padahal ify masih berstatuskan pacar septian.

Tak ada yang memberi sedikitpun komentar baik ify maupun ray. keduanya mencoba menerobos kerumunan. Sia-sia. Tak ada satupun yang memberikan mereka jalan. Sinar kamera menyilaukan mata mereka.

Bagaimana ini? bagaimana harus pergi? Apa yang harus mereka lakukan? Selagi jawaban itu mereka pikirkan, seseorang membantu mereka.

“tolong ya! kasih mereka jalan! Maaf!” kata orang itu sambil menarik kedua tangan ify dan ray keluar dari kerumunan.

Ray dan ify segera berlari mengikuti orang itu. mereka sampai di tempat parkir basement. Keduanya berterimakasih pada orang yang menolong mereka itu.

Orang itu hanya tersenyum. “gue debo. Pencari artis baru,” jawabnya ketika ditanyai oleh ify.

Ify membalas senyumannya. Rasa kagum muncul di hatinya begitu melihat penampilan cowok dihadapannya ini. manis. Kesan yang mendalam darinya.

Seseorang yang menguntit keduanya sedaritadi berdecak kesal. baginya, ray payah sekali. diberi kesempatan, malah menolak. Benar-benar pengecut. Dia jadi kesal sendiri.

“ray, gue udah kasih lo kesempatan buat nunjukkin kedekatan lo berdua ke publik. Tapi lo nyia-nyiainnya. Payah,” katanya kesal.
***
Sivia menyerahkan formulir kelas nathan pada nathan sendiri. Nathan mengambilnya kasar dan melihat isinya. Amarahnya memuncak begitu membaca salah satu kertasnya. Tangannya mencengkram kuat kertas itu dan meremasnya, lalu melemparkannya ke arah sivia.

Sivia terkejut begitu kertas itu terlempar ke arahnya. Ia membalas tatapan nathan yang penuh kebencian padanya. “mau lo apa sih nath! Gue selalu baik sama lo! slalu perhatian sama lo! slalu sayang sama lo! kenapa lo jahat banget sih sama gue?! gue benci sama lo!” teriaknya marah bercampur frustasi.

Nathan menarik tangan sivia keluar dari kamarnya dengan kasar. Ia menunjuk sivia begitu sudah diluar kamar. “gue gak butuh perhatian lo! gue gak butuh sayang lo! gue gak butuh kebaikan lo! gue gak butuh lo! gak butuh shilla! gak butuh siapa-siapa!” balasnya lebih kencang dari sivia dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun.

Nathan membanting pintu kamarnya. “gue gak butuh siapa-siapa! Gue Cuma mau sendiri! Pergi lo semua! Pergi dari hidup gue! gak usah ada yang peduli sama gue! gue gak butuh!” teriaknya dari dalam kamar.

Sivia tercengang dengan perlakuan nathan padanya. Baru kali ini nathan sebegitu hebat mengamuknya. Shilla yang baru pulang langung berlari kearahnya. Ia masih terpaku di tempatnya. Shilla mengguncangkan kedua bahunya.

Sebuah sungai kecil mengalir dari matanya, kemudian menatap shilla yang masih tidak mengerti dengan semua ini. “shil.. nathan.. dia..” kata sivia terputus-putus.

“nathan kenapa?!” tanya shilla panik.

Sivia menghapus air matanya dan mencoba menguatkan dirinya, dan menceritakan yang dialaminya berusan pada shilla.

Shilla melotot. Ia menunjuk sivia dengan penuh kemarahan dan ketidaktegaan. “elo pantes digituin! Elo jahat! Kenapa sih lo berubah siv?! Kenapa lo jadi jahat sama dia? kenapa lo jadi kayak cakka siv! Elo jahat..” shilla memejamkan matanya sedetik, mencoba meredam amarahnya.

“kenapa sih siv, lo terlalu banyak berharap? Kenapa sih, lo jadi bergantung sama hal untung-untungan gini? kenapa sih, lo terlalu maksain dia buat kayak dulu? Kalo dia emang mau berubah, biarin siv.. asalkan dia gak marah, itu udah bagus. Asalkan dia bisa seneng.. gak.. seenggaknya dia bisa senyum, sedikit aja siv, itu udah kemajuan besar. Tapi lo berharap pada sesuatu yang mustahil siv. Jangan biarin diri lo jatuh saat lo liat, kalo apa yang lo harapin gak berhasil. Dia emang udah berubah..” ucap shilla perlahan.

Mustahil. Kata yang barusan dia ucapkan. Bahkan dirinya sendiripun masih berharap pada hal itu. kenapa dia bisa bilang mustahil? Hh.. mungkin karna kondisi sekarang, yang membuatnya semakin ragu pada hal itu. yang membuatnya memaksakan diri mengatakan itu mustahil.

Sivia terdiam mendengar semua ucapan shilla, yang kini terus berdengung di telinganya, seolah mengingatkan dirinya. Apa salah dia berharap? Apa salah dia percaya? Apa salah dia menginginkan nathannya yang dulu?

Sivia mencoba tersenyum, setidaknya akan mengurangi ketakutan shilla. tak ingin shilla jatuh sakit dengan semua masalah ini.

Shilla membalas senyumannya, sedikit lega dengan tidak ada bantahan dari sivia. Ia menempelkan telinganya di pintu kamar nathan. Terdengar samar-samar suara tangisan nathan.

Hati shilla mencelos mendengarnya. Badannya jadi lemas, tak kuat mendengar tangisan nathan. Ia menekan gagang pintu, mengintip sedikit dari celah yang dibukanya.

Nathan menangis diatas kedua tangannya yang dilipat di atas meja belajar. Bertahun-tahun shilla tak pernah mendengar tangisan nathan. Hatinya teriris melihat orang yang paling disayanginya ini terlalu pasrah akan nasib, mengalah pada takdir, dan menyerah akan segala harapan.

Shilla segera menutup pintu nathan, titik-titik air jatuh dari pelupuk matanya. Ia menyambar tasnya dan segera pergi meninggalkan sivia yang baru ingin menghiburnya.

Sivia berjalan gontai ke kamarnya sendiri. Ingin rasanya dia menggantikan posisi nathan sekarang. Namun bila dia jadi nathan, sanggupkah dirinya dengan semua ini? masihkah dia bertahan? Tak mungkin.

Kekagumannya pada nathan lah yang selalu membuatnya untuk tetap kuat. Kekaguman untuk bertahan, meskipun semua orang yang disayanginya membencinya, menuduhnya, memakinya, bahkan mencapnya sebagai seorang yang.. sivia sendiri tak tega tuk ucapkan.

sosok dea duduk di meja nathan dan mendengus kesal. “payah! Lemah!” celanya kencang, cukup membuat nathan refleks menatapnya.

“payah banget sih lo jadi cowok! Lemah! Benci tau gak sih gue ngeliatnya! Harusnya lo tuh kuat nath! Kalo lo lemah gini, mana ada cewek yang mau sama lo! lama-lama gue ngundurin diri deh jadi temen lo!” kata dea lagi.

“jangan! Jangan tinggalin gue! gue Cuma punya lo sama deva! Gue sama siapa kalo lo juga pergi de?” mohon nathan benar-benar.

Dea mengulurkan tangannya ke wajah nathan dan mengusap air mata nathan. Sosok deva menepuk kedua bahu nathan dari belakang. “nath, kita gak akan pernah ninggalin lo kok! Kita bakal selalu sama lo, kapanpun, dimanapun, bagaimanapun kondisi lo,” kata deva mantap.

Dea tersenyum dan mengangguk. Cahaya mata nathan sedikit bersinar. Meskipun dia sudah berkali diperdaya dengan segala harapan, dibohongi dengan segala janji, ditinggalkan oleh semua orang yang dia sayang, ucapan deva barusan cukup menggelitik kebahagiaan di dasar hatinya.
***
Hari ini, cakka berniat mencari orang itu, jangan sampai dia lupa untuk mencarinya lagi. cakka berjalan ke kelas zevana, dia mau menanyakan ciri-cirinya dulu. Namun sepanjang dia berjalan di koridor, dia tidak menemukan satu cewek pun yang mirip dengan orang yang dicarinya.

Lagi-lagi langkah caka terhenti di sebuah ruangan. Cakka sampai heran sendiri dalam hatinya. Please deh, ini sudah kedua kalinya kakinya berjalan sendiri tanpa ia sadari. Aneh banget.

Ia membaca papan nama di pintu tersebut. ‘Musical-Teathre Room’. Cakka menganggukkan kepalanya mengerti, lalu masuk ke dalamnya dengan amat pelan, takut mengganggu.

Di dalam, banyak sekali murid, mungkin sekitar 100an, semuanya sedang sibuk. Cakka memandang sekeliling ruangan, cukup bagus, komentarnya dalam hati. ruangan yang bisa terbilang paling luas, dengan panggung yang cukup besar menyita dinding dihadapannya, bangku-bangku dan anak tangga yang berjejer turun ke bawah layaknya bioskop, belum lagi semua perlengkapan lengkap layaknya teater besar.

Cakka menuruni tangga dengan perlahan. Memperhatikan semuanya sedang sibuk, ada yang bernyanyi-nyanyi berdua atau berkelompok, ada yang sibuk menghafal skenario dan puisi, ada yang sibuk mengatur-ngatur semuanya, ada yang membereskan ini itu, juga ada yang mengobrol dan duduk santai. Sepertinya akan ada acara besar.

Cakka duduk di sebelah orang yang sedang duduk dengan melipat kedua tangannya serta memejamkan matanya dan bernyanyi-nyanyi pelan sambil mendengarkan ipod. Cakka menepuk bahu orang itu, membuat orang itu membuka matanya dan meliriknya.

Orang itu malah kaget setengah mati begitu tahu yang menepuk bahunya tadi adalah seorang cakka! CAKKA! cakka yang sangat dikaguminya, cakka yang sangat diidolakannya. Waw, keajaiban, bagaimana cakka bisa ada disini? ia mengucek-ngucek matanya, memastikan ini nyata atau hanya mimpinya saja.

“cakka?” tanyanya heran. cakka mengangguk ragu. Mata anak itu melebar. “lo beneran cakka? kok bisa ada disini!” ucapnya histeris, masih tidak percaya.

Cakka tersenyum padanya. “gue sekolah disini. aneh, kok ada yang gak tau ya,” katanya heran.

Orang dihadapannya itu jadi salting. Ini benar-benar cakka! “ohya? Gue gak tau. sori deh,” katanya canggung.

“nama lo siapa?” tanya cakka. lucu juga makhluk dihadapannya ini.

“agni,” katanya sambil tersenyum.

Cakka mematung mendengar nama itu. agni? agninyakah? Atau bukan? “agni?” ulang cakka ragu.

Agni mengangguk. “yap. Agni. emang kenapa? nama gue jelek ya?” tanyanya.

Cakka menggeleng pelan. Matanya masih terpaku dengan agni. “elo kenal zevana?” tanyanya memastikan.

Agni mengangguk heran. “iya. Lo kenal sama dia?”

Cakka menggeleng lagi. melihat tidak adanya reaksi apapun dari orang dihadapannya ini, ia jadi ragu. Benarkah ini agni yang dicarinya? Tapi nama agni banyak sekali di indonesia. apa benar ini agni? agninya?

“iyalah! Emang lo gak inget?” balas cakka heran.

“gue gak tau. inget? Maksud lo? emang kita pernah ketemu ya?” agni jadi bingung dengan pertanyaan cakka.

Cakka tersenyum paksa. “gue duluan ya,” katanya buru-buru, menuju kelas zevana. Sepertinya ini bukan agninya. Dia jadi tidak sabar. Kalau bisa dia akan memaksa zevana untuk memberitahunya, daripada harus menebak dan mencari tidak jelas seperti ini.
***
Zevana memperhatikan nathan, shilla, dan sivia yang menurutnya sikapnya agak aneh. Dia jadi penasaran. Kenapa nathan pendiam sekali? kenapa shilla selalu mencuri-curi pandang ke arah nathan setiap kali nathan meliriknya? Kenapa sivia bila bertemu nathan akan tampak sangat khawatir sekali?

“boleh gabung?” tanyanya pada ketiganya. Shilla dan sivia saling berpandangan, lalu melirik nathan sebentar, melihat nathan tidak ada reaksi, mereka mengangguk cepat, dan ini semakin menambah kejanggalan dalam mata zevana.

“lagi ngomongin apa?” tanya zevana lagi.

“gak ngomongin apa-apa kok. Hehe,” balas sivia ramah.

Zevana memperhatikan nathan yang sedang sibuk membaca buku. “nath, lo minus atau silinder? Kok kacamatanya berwarna?” tanyanya iseng. Dia ingin mendengar nathan bicara sedikit lebih panjang. Selama nathan duduk dengannya, belum pernah ada satu katapun yang terlontar dari mulut nathan kepadanya.

Nathan tidak mempedulikannya. shilla menginjak kaki nathan disebelahnya. Nathan menatapnya kesal. “apa sih!” katanya ketus.

shilla melotot padanya, seolah memberi isyarat –jawab!-. “normal,” jawab nathan datar.

“normal kok pake kacamata sih? aneh. Enakkan gak pake kacamata lagi,” balas zevana, sebisa mungkin dia ingin berbicara dengan nathan.

“banyak nanya,” balas nathan jutek.

Suasana tidak enak menaungi mereka. zevana, shilla, dan sivia menatap nathan yang jutek sekali. “rese lo nath,” kata sivia memecah keheningan.

“nath, jutek amat sih. emangnya gue salah apa sama lo,” balas zevana tersinggung.

Nathan menatapnya dingin. Namun pandangannya mencair begitu bayangan seseorang menggantikan posisi zevana dihadapannya. Ia segera menyadarkan dirinya. Gak mungkin..

“suka-suka gue,” balasnya lagi. ia beranjak dari tempatnya dengan membawa bukunya. “lepas kunciran lo. lo lebih cantik kalo digerai,” katanya tiba-tiba.

Zevana terhenyak dengan ucapan nathan barusan. Seperti..

Shilla dan sivia menatap punggung nathan yang semakin menjauh dengan heran campur bingung. “siv! Itu.. tadi nathan ngomong beneran apa kuping gue yang ngawur?” tanya shilla tidak percaya.

“kayaknya bener deh shil.. gue juga denger..” jawab sivia pelan.

Zevana menatap keduanya bergantian. “woy! Ada apa sih? cowok ini kan? wajar kali kalo ngomong gitu,” katanya heran.

Shilla dan sivia hanya tersenyum tipis menanggapinya. Wajar kalo cowok lain, tapi gak buat nathan.
***
“vana! Gue gak mau tau! lo kasihtau gue! jangan bikin gue nebak-nebak gini! kalo gue salah kan tengsin woy!” seru cakka tidak sabaran di ruang audio visual yang sedang sepi.

Zevana berdecak. “cari sendiri!” balasnya kesal. entah kenapa, ada rasa tidak rela dan rasa sakit mendengar cakka begitu tidak sabaran mencari orang itu.

Cakka mencengkram kedua bahu zevana, menatap langsung mata zevana penuh permohonan. “vana, please, gue mohon,” ucapnya perlahan.

Jantung zevana berdetak lebih cepat dari sebelumnya. ia menyadarkan dirinya, tak ingin larut dalam suasana barusan. “lo ke kelas gue. lo bakal nemuin dia disana. Tapi gue mohon, Please, Jangan bilang kalo lo udah kenal dia lama. Lo pura-pura baru kenal aja sama dia,” sarannya.

“maksudnya?” tanya cakka yang tidak paham dengan kata-kata zevana barusan.

Zevana mengalihkan tatapannya dari cakka. “nanti juga lo tau sendiri. Udah, turutin gue aja,” katanya kemudian meninggalkan cakka yang masih bingung sendirian.
***
“maaf,” ucap nathan lirih.

Dua sosok gadis dihadapannya hanya tersenyum menanggapinya. Nathan semakin didera rasa bersalah bila melihat senyuman itu. senyuman yang harusnya masih ada sampai sekarang, malah tiada sejak lama. Semua memang salahnya. Andaikan dua sosok ini tak pernah mengenal dirinya, pasti mereka masih ada sampai sekarang.

“vin,” panggil sosok gadis yang wajahnya imut dan manis.

“gue bukan alvin,” bantah nathan lirih.

Sosok gadis yang satunya-yang tampangnya lebih dewasa-mendekat dan menyetarakan kepalanya dengan kepala nathan yang tertunduk, yang sama sekali tak berani menatap mereka. ia mengangkat wajah nathan lembut dengan kedua tangannya, hingga mau tak mau, nathan harus menatap matanya.

“alvin.. mau lo bilang nama lo nathan sampe jutaan kali juga lo tetep alvin. jangan pasrah gini vin. lo yang kuat dong, yang semangat. Lo inget apa yang gue bilang ke lo? yang ngebuat gue suka sama lo? alvin yang selalu kuat, selalu semangat, gak pernah nyerah, dan selalu tersenyum, mau apapun masalah yang datengin dia,” ucap gadis itu dengan penuh senyum. Mengingat kembali semua memorinya dengan nathan, sebelum.. sebelum malaikat hitam itu.. mencabut nyawanya.

Nathan menatap dua gadis dihadapannya ini bergantian. “ren, cha.. gue bener-bener minta maaf. Kalo aja gue gak minta lo ngehindar ren, kalo aja gue bisa cepet dateng ke rumah lo dan gak minta lo nunggu cha.. lo berdua pasti masih ada sekarang,” ucapnya penuh rasa bersalah.

Kesedihan merayap dalam tubuh nathan. Semuanya berputar kembali dalam kepalanya. Kalau saja dia tidak meminta.. kalau saja mereka tak pernah mengenalnya.. kalau saja dia tidak terlalu sayang.. dan kalau saja dia tidak menjalin hubungan dengan mereka..

Pasti.. pasti mereka masih ada sekarang, masih terus menjalani hari mereka yang pasti akan jauh lebih baik tanpanya, masih bisa menebar senyum pada orang lain, dan pasti.. mereka akan menemukan orang yang benar-benar sayang sama mereka, yang pasti bisa ngelindungin mereka.. yang jelas, bukan seperti dirinya.

Sosok acha-gadis yang bertampang imut tadi-menepuk bahu nathan. “vin, lo gak salah.. semuanya Cuma kecelakaan dan ketidaksengajaaan aja. Jangan salahin diri lo, jangan buat diri lo tersiksa vin,” ucapnya.

Nathan menatap acha. Bukannya lebih baik dia malah semakin merasa bersalah dan tidak berguna. “gue salah! Harusnya gue gak pernah nerima lo berdua! Harusnya gue ngehindar saat lo berdua mulai deket sama gue! gue salah! Gue salah!” tuduhnya pada diri sendiri.

“vin! alvin! dengerin gue! lo sama sekali gak salah! Fine kalo lo mikir lo salah! gue, aren, nandya, silvia, udah maafin lo! sekarang lo semangat lagi ya? jadi alvin! bukan nathan! jadi alvinnya acha, alvinnya aren, alvinnya nandya, alvinnya silvia, ya?” acha mengguncangkan kedua bahu nathan.

Nathan mengerling ke arah aren. Aren mengangguk antusias. Namun ia menggeleng. “gue gak mau jadi alvin. alvin yang dibenci orang, alvin yang gak berguna, alvin yang selalu bawa malapetaka, alvin yang terlalu banyak berharap, alvin yang selalu terlihat seneng padahal enggak, alvin yang selalu ditinggalin sama orang yang dia sayang,” katanya lirih.

“tapi lo tetep alvin! aneh banget sih lo vin! lebih suka jadi orang yang bukan diri lo sendiri!” ucap aren emosi. “lo puas jadi nathan? Nathan yang selalu sendirian? Nathan yang pengecut? Yang gak berani ketemu sama orang baru? Yang gak berani mulai pembicaraan? Yang gak berani natap langsung mata orang?” sindirnya sinis.

Nathan membisu. Semua diluar keinginannya. Dia tahu dan mengerti apa yang sesungguhnya ia inginkan. Dan itu bertolakbelakang dengan nathan sama sekali. “alvin udah mati, dan gak mungkin kembali lagi,” bantahnya halus.

Sosok dea tiba-tiba muncul di kamarnya. “alvin pembunuh!” ucapnya keras, cukup membuat ketiganya menoleh ke arah dea. Dea menatap nathan tajam. “mendingan lo jadi nathan! Seenggaknya lo bakal lebih seneng! Bukannya jadi alvin! yang kerjaannya Cuma bisa buat orang yang disayanginnya pergi! Yang sama sekali gak berguna! Yang Cuma bisa nyusahin orang doang!” serunya tajam.

“dea!” teriak sosok deva yang baru muncul. “mau lo apa sih! kenapa setiap malem lo selalu jatohin mental dia?! arggh! Gue bingung sama lo de!” marah deva.

“jatohin mental dia?” lengking dea, hingga semua sedikit mengernyitkan matanya mendengar lengkingan dea. “lo bilang gue jatohin mental dia?! setelah selama ini gue bantuin dia buat bangkit?! Tega lo dev sama gue!”

Acha, aren, dan nathan hanya dapat menonton keduanya bertengkar. Deva sudah naik darah. Tatapannya pada dea begitu tajam dan penuh amarah. “oh! Jadi lo bilang gue tega? Tegaan siapa dibandingkan sikap lo ke nathan de! Kenapa lo selalu ngebuat dia benci sama alvin! dan kenapa lo selalu motivasi dia buat jadi alvin! lo ngebuat dia bimbang de! Lo ngebuat dia ragu! Lo..” tuduhan deva tersela oleh teriakan nathan.

“STOP! GUE BILANG STOP! SEKARANG LO SEMUA PERGI! PERGI!” usirnya kencang. Semua langsung menghilang dalam sedetik.

Nathan menghela napas berat. semua terlalu mendadak baginya.
***
Ify mengambil dua kaleng minuman soda dari kulkasnya dan memberikannya pada ray yang tengah asik mengobrol dengan kakaknya di kamarnya.

“sampe kapan lo mau nyembunyiin perasaan lo ke ify ray?” tanya kakak ify selagi ify mengambil minuman di dapur.

Ray hanya mengangkat bahu. “gimana gue mau bilang, kalo setiap dia lagi sama gue, pasti dia cerita tentang cowok kak?” balas ray.

Kakak ify tampak berpikir. Hening tercipta diantara mereka sampai ify datang memecah keheningan. “nih!” kata ify, menyodorkan kaleng minumannya ke ray dan kakaknya.

Keduanya membukanya dan meminumnya. “lagi ngomongin apa?” tanya ify.

Ray mengetukkan telunjuknya di karpet ify, sekedar mencari kesibukan. Hening tercipta kembali.

Ify jadi bingung, tak biasanya ray dan kakaknya diam seperti ini. ia menatap ray, yang sedang sibuk mengetukkan jarinya seolah sedang memukul drum. Kemudian ia beralih menatap kakaknya, yang terlihat sedang sibuk berpikir.

“woy! Kok pada diem sih!” serunya memecah keheningan, cukup membuat keduanya menoleh ke arahnya sedetik kemudian kembali dengan kesibukan masing-masing.

“kak rio! ngomong napa!” tegur ify kesal pada kakaknya-kak rio-.

“sibuk. Udah ah, lo sama ray aja! Gue mau ngapel dulu,” pamitnya sambil menaik-turunkan alisnya.

Ify merengut kesal. “kak, kalo gue jadi agni, gue bakal bosen ngeliat lo terus tiap hari,” komentar ify.

Ray menunjuk setuju dan mengangguk. Rio berdecak kesal. “elah! Agninya gak bosen sama gue, napa lo berdua yang repot?” balasnya sambil berdiri.

“gimana gak bosen kak, lo terlalu over sama dia,” gumam ify teramat pelan.

Rio langsung meninggalkan mereka, sepertinya tidak mendengarkan gumaman ify barusan. Ray menatap ify agak aneh. “fy, kata lo tadi mau cerita? Cerita apa? Cowok lagi?” tanyanya muram.

Ify mengangguk antusias. “lo inget cowok yang nolongin kita di mall kemaren?” tanyanya berapi-api. Ray tahu kemana arah pembicaraan ini. ia mengangguk kecil. “menurut lo debo gimana? Dia ganteng ya! manis lagi senyumnya!” pujinya.

Ray hanya manggut-manggut saja mendengarnya. Meski hatinya teriris setiap ify memuji cowok lain. “menurut lo dia cocok gak sama gue?” tanya ify berapi-api.

Ray menatap ify. ini pertama kalinya ify begitu semangat membicarakan cowok. “lo suka sama dia?” tanyanya memastikan.

Ify mengangguk. Raut wajah ray berubah kecewa. “cocok,” jawab ray asal. “tapi septian mau lo kemanain?” tanyanya.

“berita kita jalan berdua kemaren kan pasti besok udah ada di tv! Nah pasti septian marah dan nuduh gue selingkuh! Nah gue putusin aja dia pas itu! bilang kalo dia gak percaya sama gue dan elo! Gimana? Bagus kan ide gue?” bangga ify.

“jahat lo fy. Kalo gue jadi septian gue bakal sakit hati banget. lo Cuma maenin dia doang kalo gitu. Kenapa sih fy, lo gak pernah bosen gonta-ganti cowok? Kenapa sih lo gak pernah ngertiin perasaan cowok? Mereka selalu nyoba ngertiin lo, tapi lo gak pernah sekalipun ngertiin mereka. kasian kan fy?” tutur ray. rasanya itu lebih menggambarkan dirinya.

Ify terdiam. Memang benar yang diucapkan ray, namun itu tidak dapat mempengaruhi hatinya. “gue ngerasa mereka gak cocok sama gue, ray. buat apa gue sama mereka kalo gue bosen? Kalo gue gak srek sama mereka? mendingan gue cari cowok lain kan?” balasnya.

“tapi lo pernah mikir gak? Berapa sakit rasanya dikhianatin gitu? Dimaenin gitu? Mereka tulus sayang sama lo. tapi elonya malah suka sama cowok lain, mikirin cowok lain, gak pernah mikirin perasaan mereka,” ray menghela napas berat.

Ify mengerutkan keningnya. “kok lo pake perasaan amat sih ngomongnya? Jangan-jangan lo suka lagi sama gue!” tebaknya asal.

“gue gak suka cewek kayak lo fy, yang suka maenin perasaan orang,” jawabnya. Terpaksa kebohongan itu terlontar dari mulutnya, daripada ify tahu. Bisa gawat nanti.

Ify membulatkan mulutnya. Entah kenapa, sedikit rasa kecewa timbul di dasar hatinya. “emangnya gue sejahat itu apa ray sampe lo gak suka sama gue,” gumamnya tidak sadar.

Ray menatapnya aneh. Antara gembira dan bingung. “lo bilang apa barusan fy? Lo ngarep gue suka sama lo?” tanyanya sambil nyengir.

“hah? Apa? Gue ngarep lo suka sama gue? idih! Sori deh ya! gak banget! ntar gue digebukin lagi pake stik drum! Ogah!” tolak ify salting.

Ray tertawa melihat ify yang salting. Hatinya sedikit terhibur dengan kata-kata ify tadi.
***
Agni membuka pintu. Dia tahu siapa yang datang. “masuk yo,” katanya malas.

Rio memamerkan senyum manisnya pada cewek yang sudah 3 bulan dipacarinya ini. ia segera mengambil tempat duduk.

Agni hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kejenuhan sudah menghinggapi dirinya. “yo, laen kali lo dateng kalo gue minta aja ya?” sarannya cuek. Ia duduk namun agak jauh dari rio.

Rio menatapnya kesal bercampur marah bercampur kecewa. “lo gak seneng gue dateng ya?” tanyanya kecewa.

“bukan gitu yo. Gue gak enak aja lo dateng kesini hampir setiap hari,” jawabnya tidak enak, meski bukan itu alasannya.

“bohong. Lo bosen kan sama gue? atau lo punya cowok lain yang suka dateng kesini juga?” selidik rio tidak percaya.

“kenapa sih yo, lo gak pernah percaya sama gue?! kalo gue bilang gak usah dateng kesini ya gak usah dateng!” jawab agni yang sebenarnya sudah lama kesal dengan sikap rio yang over.

Rio mengarahkan wajah agni ke arahnya. “oke. Gue gak akan sering-sering dateng kesini. tapi lo jangan marah ni,” katanya.

Agni mengangguk. To the point saja, dia sudah bosan dengan rio. bosan dengan sikapnya yang terlalu over, bosan dengan perhatiannya yang terlalu berlebihan. Ingin sekali dia mengakhiri hubungan ini, namun tak ada alasan untuknya.

“yaudah deh gue pulang aja. Abisan lo marah sih. besok gue gak bisa nganter lo sekolah ni, ada urusan di kampus, sori,” pamitnya lalu berdiri.

“gak usah, sini aja. Ada yang mau gue omongin sama lo,” kata agni serius.

Rio duduk kembali dan menghadap agni, menunggu kelanjutannya. “apa? Serius amat,” celetuknya.

“emm.. yo.. mulai besok, lo gak usah anter jemput gue lagi ya?” katanya ragu.

Rio sudah sampai di ambang batas kemarahannya. Apa maksud agni dengan ini semua? “maksud lo..” rio tak sanggup melanjutkannya.

“bukan! Bukan itu maksud gue!” sahut agni cepat-cepat. “gue Cuma minta kerenggangan dari lo aja. Boleh?” tanyanya tidak enak.

“lo bosen ya ni sama gue?” tanya rio getir. Agni tidak menjawab, mengangguk ataupun menggeleng.

“lo mau putus sama gue?” desak rio.

Agni menatapnya. “kita break dulu ya yo?” pada akhirnya ia mengungkapkannya juga.

Rio sekarang benar-benar marah. “break?! Kenapa sih ni?! Salah aku apa? Kamu udah punya cowok lain ya?” tanyanya tidak terima.

Agni menggeleng. “gue gak punya cowok lain. Lo gak salah. Gue Cuma pengen free dulu aja,” jawabnya datar.

“terserah!” rio segera pergi meninggalkan agni.

Agni menghempaskan badannya dan menghembuskan napas berat. rasa di hatinya terkuras habis. Sepertinya dia menyadari sesuatu.
***
Shilla bingung dengan semua ini. sampai kapan ini akan berakhir? Kapan nathan bisa bahagia? Kapan semuanya akan kembali normal? Ribuan pertanyaan tak terjawab lainnya memenuhi sudut pikirannya.

Ia meneguk minuman di hadapannya. Entah sudah berapa gelas yang ia minum. Dia tidak peduli. Cuma dengan ini, dia bisa meluapkan segalanya.

“alvin..” raungnya sambil menangis.

Dia tidak tahu apa penyebab utama alvin bisa menjadi nathan seperti ini. terakhir kali bertemu alvin, kondisinya sudah seperti ini. bahkan.. jauh lebih parah.

“alvin.. kenapa lo jadi gini sih? gue kangen vin sama lo yang dulu. yang selalu senyum ke gue, yang selalu perhatian sama gue, yang selalu bisa ngehibur gue,” katanya sesenggukan.

“tapi apa vin.. sekarang lo senyum aja enggak.. lo selalu marahin gue sama sivia setiap hari, selalu ngusir kita..”

“padahal gue tau vin, jauh di lubuk hati lo, lo takut kita ninggalin lo kan? lo takut sendirian? Lo Takut gak ada yang peduli lagi sama lo? makanya lo nangis kemaren ini? setelah lo ngebentak sivia dan ngusir dia habis-habisan? Elo sebenernya gak pernah bener-bener begitu kan vin?” shilla terus berbicara sendiri. Seolah ada alvin dihadapannya.

“gue ngerti vin, ngerti banget. udah belasan tahun gue jadi sepupu lo, gue udah ngerti banget perasaan lo. gue tau kalo selama 5 tahun ini lo ketakutan, lo kesepian, lo menderita kan vin? semua nyalahin lo, semua mojokkin lo, semua nuduh lo. gue rela vin, gantiin posisi lo. asal gue bisa liat lo kayak dulu lagi.”

“bukan nathan vin yang gue butuhin. Tapi alvin,” katanya. Shilla menghapus air matanya dan meneguk lagi minumannya.

Cakka yang sedang berkumpul bersama kawan artisnya disana melihat shilla. ia menghampirinya. “shil,” panggilnya.

Shilla tidak menjawab sama sekali. dia setengah sadar. “alvin,” ucapnya sebelum kesadarannya hilang.

Tubuh shilla tidak seimbang, hampir merosot bila cakka tidak menahannya duluan. Cakka langsung membawa shilla pulang.
***
Cakka menghentikan mobilnya di depan rumah nathan. Tak ingin sekali ia menginjakkan kakinya di rumah ini. namun, shilla harus dibawa masuk ke dalam. Ia menggendong shilla dan membawanya ke dalam.

“sivia!” teriak cakka.

Sivia segera menghampiri asal suara. “ya ampun shilla! kesini cak,” sivia segera mengantarkan cakka ke kamar shilla.

Cakka membaringkan tubuh shilla. “dia sering kayak gini siv?” tanyanya, yakin ini bukan pertama kalinya shilla minum.

Sivia mengangguk lemas. “sering. Sering banget. tiap ada masalah, pasti dia minum,” jawabnya.

Cakka melangkah cepat menuju kamar nathan. Ia menjeblak pintunya, membuat nathan yang sedang sibuk di depan laptop menoleh ke arahnya.

“HEH! Mau lo apa sih?! belom puas lo nyakitin orang di sekitar lo?! belom puas lo bikin orang yang gue sayang pergi?! Belom puas lo buat semuanya mati?! Sekarang lo mau ngancurin shilla juga?!” amuknya.

Nathan menatapnya dingin. “harusnya lo bukan disini! harusnya lo mati aja! Jangan pernah balik ke dunia ini! biar gak ada orang yang susah gara-gara lo! lo Cuma bawa malapetaka kalo idup tau gak sih!” cakka meluapkan sedikit amarah yang selama ini terpendam dalam dirinya.

“bisa gak sih lo pergi dari kita?! Pergi yang jauh! Atau kalo perlu, lo mati aja! Gak ada yang butuh lo! lo gak berguna! Cuma bisa nyusahin orang aja!” maki cakka.

“kalo sampe shilla kenapa-napa, gue yang akan turun tangan langsung buat ngabisin nyawa lo!” ancamnya sungguh-sungguh. Ia segera pergi dan pulang ke rumahnya.

Sivia menatap nathan yang dicerca terus daritadi. Ia menutup pintu dengan amat pelan.

nathan memejamkan matanya sebentar selagi mengatur napas. Cercaan seperti itu sudah sering kali ia dengar dari mulut cakka dan orang lain. Dan sudah berkali juga cercaan itu menekan segala perasaan dan emosinya. yang tanpa semua sadari, semuanya menjatuhkan mental dan keberaniannya.

nathan memejamkan matanya. “kalo gue bisa milih boleh hidup di dunia atau gak, gue bakal lebih milih buat gak hidup cak. Dan kalo gue bisa mati sekarang, gue bakal milih mati cak. Gue sadar, gue tau diri, gue emang gak berguna, gue emang nyusahin orang, gue juga udah ngancurin hidup orang di sekitar gue,” ia berhenti sejenak untuk mengambil napas.

“dan kalo emang lo mau gue bener-bener mati cak, gue turutin. Karna udah cukup bagi gue, ngeliat semua yang gue sayang pergi ninggalin gue satu demi satu,” nathan mengambil sebuah silet dari lacinya.

Baru saja ia mau memotong nadinya, deva sudah mengambil silet itu dan melemparnya. “nath! Lo mau ngapain! Lo pikir dengan lo mati, semua masalah bisa slesai? Gak akan!” marah deva yang muncul tiba-tiba.

“seenggaknya semua orang seneng ngeliatnya,” katanya getir.

“udahlah nath! Gue tau isi hati lo! lo takut mati kan? lo takut gak bisa liat shilla sama sivia lagi kan? lo takut orang-orang bakal seneng sama kematian lo kan? lo takut kalo emang gak ada yang peduli sama lo dan nangisin lo disaat lo mati kan? jangan pura-pura nath!”

“lo gak bisa bohongin hati lo nath, kalo lo sebenernya ketakutan,” kata deva pelan.

Nathan terdiam. “dev, gue mau jadi kayak lo aja. Bisa ngilang semau lo, bisa dateng semau lo, bisa ngasih motivasi ke orang lain, bisa bikin orang lain seneng,” katanya iri.

“sayangnya gak mungkin nath,” balas deva.

“kenapa? lo bilang, lo nyata, berarti gue bisa kayak lo dong?” protesnya.

Deva menggeleng pelan. “lo nanya ke gue sama dea, kita nyata atau gak. Gue gak bilang gue nyata, gue bilang, gue nyata kalo lo bilang gue nyata. Sekarang lo harus sadar vin, kalo gue sama dea, Cuma khayalan lo aja, gak lebih,” katanya lirih.

Nathan menggelengkan kepalanya tidak terima. “gak! Lo nyata! Lo temen gue! lo bukan khayalan gue! kenapa semua nganggep lo sama dea khayalan gue sih?! bahkan lo sendiri bilang kalo lo Cuma khayalan! Gimana sih dev! Lo tuh nyata! NYATA! Jangan bikin gue kayak orang sakit jiwa dong!” protesnya lagi.

Deva menghembuskan napas berat. “terserah lo deh vin,” katanya.

“selama lo pikir kita nyata, kita bakal nyata dan selalu ada buat lo. tapi kalo lo udah sadar vin, lo gak akan bisa nemuin kita lagi,” gumamnya amat pelan.
***
di comment ya.. hehe :)

Unpredictable Love Part 1

gue post deh disini ceritanya.. gue harap reader gue bener semua.. kaga ada yang suka ngopas seenaknya --"



PART I

Seorang gadis berumur 16an mengendarai mobilnya menuju rumah. Pandangannya yang tadinya lurus-lurus saja ke arah jalan entah kenapa malah tertarik pada seorang anak laki-laki seumurannya yang sedang berjalan di trotoar sambil membawa beberapa buku di tangannya. Padahal dia tidak mengenal cowok itu, tapi sepertinya ada daya tarik lain yang membuat dirinya selalu menangkap setiap gerak-gerik cowok itu.

Cowok itu terjatuh saat menyebrang jalan, membuat gadis itu refleks mengerem mobilnya. Gadis itu turun dari mobilnya, menghampiri cowok itu. Begitu turun dari mobilnya, dia baru sadar, barusan dia menyerempet cowok itu hingga terjatuh. Dia memaki dirinya dalam hati, betapa bodoh dirinya, memperhatikan sampai-sampai tidak memperhatikan jalan. Hampir saja dia menerbangkan nyawa orang.

“sori! Gue gak tau kalo lo nyebrang. Lo gak kenapa-napa?” tanya gadis itu merasa bersalah.

Cowok itu merintih begitu mencoba berdiri. Tangannya lecet sampai menggores panjang tangannya. Gadis itu langsung memegang tangan cowok itu, “ya ampun, sampe lecet begini. Gue bersihin dulu ya lukanya? Sori banget ya,” katanya tulus meminta maaf.

Cowok itu menepis tangan gadis itu, kemudian duduk menepi di trotoar, membersihkan debu dan pasir yang menempel di sekitar lukanya. “gue gak papa,” katanya tiba-tiba.

Gadis itu menatapnya heran. “tunggu disini dulu ya, gue ambil obat dulu,” katanya sambil mengambil kotak P3K di mobilnya.

Cowok itu menatap gadis itu dengan pandangan yang sangat aneh. Dia merasa sepertinya mengenal cewek ini, tapi siapa?

“nath, pulang yuk,” ajak sosok yang ada bersama cowok itu daritadi. Cowok itu mengangguk dan mengikuti sosok itu.

Gadis itu kembali ke tempat tadi. Tapi, tidak ada seorangpun. Kemana cowok itu? Dia mengedarkan pandangannya mencari-cari. Pandangannya terhenti. Cowok itu sedang berjalan memasuki sebuah cluster perumahan. Gadis itu menatapnya kecewa. Cowok tadi belum memaafkannya.

Gadis itu masuk kembali ke mobilnya. Entah bagaimana bisa sosok cowok tadi malah memenuhi pikirannya. Harus diakui, cowok yang diserempetnya tadi sangat –ehm- ganteng plus keren. Bahkan sampai membuatnya lupa dengan idolanya yang biasanya memenuhi segala sudut pikirannya, Cakka.

Ya, dia teramat mengidolakan cakka, seorang actor muda yang sangat berbakat, dan tak perlu dipungkiri, hal yang membuatnya menjadi paling popular saat ini adalah ketampanannya. Keren, cool, ganteng, manis, ramah, dan no profile itu factor utama penyebab melejitnya popularitasnya. Dia suka, dia suka dengan semua yang ada di diri cakka, meski belum pernah sekalipun bertemu langsung.

Sebenarnya sangat mudah baginya untuk bertemu cakka, bila dia benar-benar menggunakan kesempatan yang terbuka lebar dihadapannya. Tapi dia tidak berani, tidak berani bertemu cakka, takut dirinya akan salah tingkah dihadapan cakka. Hingga cukup baginya untuk mengagumi cakka saja dari tempatnya sekarang.

Dan gadis itu, agni. Agni Tri Nubuwati, berkulit sawo matang, rambutnya lurus sebahu, wajahnya manis, meskipun mungkin sedikit agak ngasal saja penampilannya. Rambut lurusnya dikuncir kuda, beberapa gelang boyish melingkar di tangannya, menunjukkan dia berbeda dengan perempuan lain, tidak feminin. Tak ada hal yang istimewa darinya, bukan seorang kapten olahraga ataupun seorang ahli karate seperti penampilannya. Hanya seorang gadis biasa, yang menjalani kehidupannya dengan standar.

Namun amnesia merenggut semua ingatannya 5 tahun yang lalu. Dia tidak bisa mengingat kembali semuanya tanpa bantuan orang yang bersangkutan dengan ingatannya itu. malangnya, ia tidak dapat mengingat orangtuanya sama sekali. ya, mereka meninggal bersamaan dengan kecelakaan pesawat yang merenggut semua ingatan agni. tak jarang agni menangis ketika memandangi foto orangtuanya. Dia sama sekali tidak bisa mengingatnya, hanya bisa melihatnya dari foto.
***
Seorang gadis yang seumuran dengan agni, kini sedang sibuk memandangi sebuah dus besar, tempatnya menyimpan memori-memori yang ingin dikuburnya. Bukan kenangan yang buruk, melainkan kenangan yang amat teramat manis. Namun, melihat kondisi agni yang seperti ini dia jadi ingin mengubur semuanya dalam-dalam, tidak ingin agni tahu semua yang sebenarnya.

Zevana. Zevana Arga Angesti, kakak angkat agni. kesamaan umur keduanya membuat agni tak perlu memanggulnya zevana kakak. Berbanding terbalik dengan agni, zevana justru cukup menonjol diantara murid yang lain, dengan segudang prestasinya, dengan segala kebaikan dan kerendahan hatinya, dan dengan segala kesederhanaannya membuatnya cukup popular di sekolah. Penampilannya sangat sederhana. berkacamata, dengan bingkai coklat tipis menghiasi wajahnya, rambutnya panjang, hitam, dan kadang akan sedikit berombak, tergerai indah, begitu membuatnya tampak cantik, belum lagi senyum manis yang slalu tergurat di wajah manisnya ini. Kulitnya sawo matang, badannya tinggi, dan bentuk tubuhnya pun ideal, tak jarang teman laki-lakinya selalu berusaha mencuri perhatiannya.

Namun dia tak pernah berani menjalin suatu hubungan, meski sudah banyak sekali yang mengantri ingin menjadi yang istimewa di hatinya. Semua itu hanya karna seseorang. Seseorang yang selalu mengisi hatinya selama hidupnya, meski dalam 7 tahun ini tidak pernah bertemu dengannya, tapi dia tetap merasa bahwa orang itu, yang akan selalu teristimewa di hatinya, yang amat sulit tergeser sedikitpun.

Zevana mengambil dua kotak yang cukup besar, yang satu berwarna gold, yang satu berwarna silver. Dua kenangan yang ia sengaja pisahkan. Ia mengikuti ukiran yang terukir agak dalam di tutupnya. Zevana tersenyum tipis melihatnya. ‘ZEVIN’ dan satu lagi ‘CAVANA’. Dua kotak yang menyimpan kenangan berbeda, yang selalu saja membuatnya tertawa setiap melihat isinya, dan selalu membuatnya menangis ketika menyadari bahwa dia kangen sekali dengan mereka.

Zevana menyimpan dus besar yang diambil dari gudang tadi ke dalam lemarinya. Ia mengunci pintunya rapat-rapat, dia butuh waktu sendiri dulu sekarang, tidak ingin ada yang mengganggunya.

Zevana mengambil kotak yang berwarna gold itu, yang bertuliskan ‘CAVANA’. Ia tersenyum memandangi isinya. Tak berubah sedikitpun. Setetes demi setetes, air matanya menitik, memutar kembali semua kenangan itu, yang kini perlahan terbentuk di depannya, seolah bermain kembali di hadapannya.
***
 Seorang anak laki-laki seusia agni dan zevana memandangi dirinya di cermin. Apakah ada yang kurang dari dirinya? Apakah ada yang buruk dari dirinya? Mengapa gadis yang disayanginya tidak pernah menyadari perhatiannya? Apakah dia tidak memiliki tempat sama sekali di hati gadis itu?

Ia menghela napas, kemudian membanting dirinya di tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya, hanya wajah gadis itu yang terbayang di matanya. Manis, cantik, anggun, baik, perhatian, dan supel, begitu melekat dalam diri gadis itu. namun sayang, satu hal yang tidak disukainya dari gadis itu. terlalu mudah berpindah hati.

Ia memandangi kamarnya, penuh dengan poster-poster dirinya, the best drummer. Dalam seminggu, bisa berapa kali dia muncul di TV, bisa berapa kali dia menunjukkan kehebatannya dalam memukul drum-drum itu? banyak sekali. bahkan dia sering sekali diliput dalam majalah dan koran. Begitu banyak fansnya, begitu banyak wanita yang menginginkannya di luar sana.

Tapi mengapa gadis yang dicintainya, yang satu dunia dengannya, malah tidak menganggapnya lebih? Hanya sekedar sahabat. Sahabat yang selalu mencarinya dikala sedih, dan mungkin sedikit melupakannya dikala senang. Tapi dia tidak pernah mengeluh, dia justru senang, karenanya dia justru merasa setidaknya dirinya sedikit berarti di hati gadis itu, bisa menjadi sandaran di kala susah dan sedih.

Ray. Raynald Prasetya. Dengan rambut gondrong dan wajah imut khasnya, ia mampu menggemparkan panggung musik, tak hanya nasional, namun juga internasional. Sudah bertahun-tahun ia berkecimpung dalam dunia entertain, dan sudah banyak juga gadis yang ditemuinya dalam dunia itu, meski hanya satu gadis yang mampu menaklukan hatinya.

Gadis yang saat pertama kali ditemuinya adalah seorang model biasa, kini sudah menjadi aktris terkenal. Berbagai sinetron, berbagai film, sudah gadis itu bintangi, dan sebanyak itu jugalah ia menjalin hubungan dengan lawan mainnya.

Ray sudah berkali mendengar curhatan gadis itu, dari yang mulai jatuh hati sampai patah hati, dari yang mulai jadian, sampai putus. Dan berkali juga hatinya harus dirajam jarum mendengar semua kisah itu.
***
Seorang gadis yang baru menyelesaikan syutingnya kini tengah berdiri di bawah pohon yang cukup besar. Mengusap lengannya sendiri, kedinginan. Hujan begitu deras mengguyur, seolah tak mengizinkannya pergi dari lokasi syting itu. sudah cukup lama dia menunggu mobilnya menjemputnya, namun tak kunjung datang juga.

Sebuah jaket menutupi tubuhnya. Ia menoleh ke belakang. septian. Pacarnya sekarang, sekaligus lawan mainnya di sinetron yang dibintanginya ini. “aku temenin ya fy,” katanya lembut.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum manis. Septian begitu baik padanya, padahal baru saja kemarin mereka jadian. Semoga dia tidak akan menyakiti hati septian, seperti mantan-mantannya sebelumnya.

Ify. Alyssa Saufika Umari. Gadis yang sedang naik daun ini begitu manis dan cantik. Rambutnya yang hitam panjang lurus tergerai begitu saja. namun sayang, hatinya tidak pernah menetap. Meski berkali sudah ia menjalin hubungan, tak pernah ada satupun cowok yang membekas di hatinya, yang menurutnya cocok dengan dirinya, yang mengerti dirinya.

Sebenarnya dia tidak pernah menetapkan pasangannya harus dari dunia entertain, dari dunia biasa pun boleh-boleh saja, asalkan cocok dengan dirinya. Namun waktunya banyak tersita untuk dunia entertain, membuat dirinya harus hidup dalam pergaulan para entertainer, yang menurutnya tidak terlalu nyaman.

Siapa sih yang mau, hidup penuh sorotan, yang dalam setiap apa yang dilakukannya pasti akan diketahui banyak orang. Apalagi dia sering berganti pasangan, membuat dia dikenal dengan ke-playgirl-annya, tapi sama sekali tidak mengurangi jumlah fansnya.
***
Shilla yang sedang sibuk memasak di dapur cukup dikejutkan dengan seruan kekhawatiran sivia. “nathan! Lo kenapa? kok bisa lecet gini sih?”

Shilla mematikan kompornya, kemudian segera berlari menghampiri sivia di ruang tamu. “ya ampun nathan! Lo kenapa bisa gini sih?” shilla memegangi tangan nathan. Sivia segera berlari mengambil obat lalu mengobati luka-luka nathan. Yang diobati masih diam saja, seolah tak mendengarkan kekhawatiran kedua gadis dihadapannya ini.

Shilla menatap cowok dihadapannya ini, menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah cowok itu. tidak berkedip sama sekali, pandangannya kosong menatap luka itu. “nathan!” katanya menepuk bahu nathan.

“gak. Bukan dia. gak mungkin,” gumam nathan tidak percaya.

Shilla dan sivia berpandangan bingung. Tidak mengerti dengan apa yang diucapkan nathan. “nathan, ‘dia’ siapa?” tanya sivia ingin tahu, namun Nathan tidak menghiraukannya sama sekali.

Nathan menatap ke sebelahnya, kosong, tidak ada apa-apa, namun ada baginya. “dea, gue ngerasa ada yang aneh sama cewek tadi. menurut lo?” tanyanya minta pendapat.

Sosok dea tersenyum padanya. “gak ada apa-apa kok nath. Luka lo masih sakit?” tanyanya perhatian.

Nathan menggeleng. “de, deva mana?” tanyanya celingukan, mencari sosok deva.

Sosok deva tiba-tiba muncul dihadapannya. “gue disini nath,” katanya sambil tersenyum.

“gue mau cerita, tapi di kamar aja. Tungguin gue ya,” katanya. Sosok dea dan deva mengangguk, kemudian segera hilang dari pandangannya.

Shilla dan sivia yang sudah sering sekali melihat nathan berbicara sendiri seperti ini bersikap biasa saja. jujur saja, mereka sungguh kasihan pada nathan, harus mengalami ini semua. Jadi berubah drastis dari dirinya yang dulu. Dan sepanjang keadaannya sekarang, mereka belum pernah melihat nathan tersenyum sedikitpun. Selalu dingin, cuek, dan jutek. Sama sekali tidak tertawa, tidak tersenyum, ataupun mengatakan suatu hal yang membahagiakan.

Nathan langsung ngeloyor ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun begitu sivia selesai mengobati lukanya. Shilla dan sivia berpandangan dan mengangkat bahu. Sudah biasa mereka diperlakukan seperti ini. bicara dengan mereka saja jarang sekali. sepanjang-panjangnya kalau mau ngomong juga Cuma sama shilla.
***
Agni menghampiri zevana yang sedang sarapan dan duduk di sebelahnya, ikut sarapan. “pagi ma, pa, zev,” sapanya. Ketiganya hanya tersenyum dan mengangguk.

“zev, gue mau ngomong sama lo ntar, penting,” kata agni serius.

Zevana menatap agni heran becampur bingung. Tumben agni ngomongnya serius pagi-pagi gini. tapi rasanya dia tau apa yang mau dibicarakan oleh agni.

Selesai makan, zevana dan agni berangkat ke sekolahnya bareng. “mau ngomong apa ag?” tanya zevana.

Agni memejamkan matanya sedetik, kemudian membukanya lagi disertai helaan napas berat. “gue mohon dengan sangat ze, balikin semua ingetan gue yang gue lupain, bantuin gue biar gue inget semuanya. Dia dateng lagi ze dalam mimpi gue. udah beberapa hari ini gue mimpiin dia. dia siapa sih ze?” tanya dan mohonnya.

Zevana tersenyum. Bukan gurat persetujuan yang terpeta di wajahnya, melainkan gurat kesedihan. “lo beneran mau semuanya balik ag? Gue gak mau lo nyesel aja kalo semuanya balik. Gue gak mau liat lo sedih dan bingung,” katanya pelan.

“maksud lo apa sih ze?” tanya agni tidak paham.

Zevana menggeleng pelan. Sepertinya sudah tiba waktunya dia harus memberitahu agni yang sebenarnya. untuk urusan selanjutnya, biarkan agni yang memilihnya sendiri.
***
“break dulu satu jam!” seru seorang sutradara di sebuah lokasi syuting.

Sang pemeran utama laki-laki itu beristirahat dalam mobilnya, merogoh kantong celananya mengambil hape. Banyak sekali panggilan tak terjawab yang diterimanya. Ia bingung begitu melihat yang menghubunginya itu hanya satu nomor dan tak dikenal. Siapa? Tidak mungkin fansnya, dia sudah menyiapkan nomor khusus untuk fans-fansnya. Hanya kalangan entertainer dan orang-orang dalamnya yang tahu nomornya ini.

Hapenya berdering, nomor itu menghubunginya lagi. tanpa ragu-ragu ia langsung menerimanya, penasaran dengan siapa yang meneleponnya. Sepertinya penting sekali, kalau tidak, mana mungkin sampai puluhan kali.

Ia tertegun begitu mendengar penelepon itu berbicara. Kaget sekali dirinya. Selama ini.. orang yang selalu dicarinya. Ia berbicara lama sekali, begitu bersemangat dan senang, masih belum sepenuhnya percaya dengan keberuntungan yang mendatanginya hari ini. 6 tahun dia menunggu..

Selesai menelepon, ia segera berlari kembali ke lokasi syuting, mencari managernya. “ozy!” serunya sambil menepuk bahu ozy dengan terengah-engah.

“napa cak?” tanya ozy heran.

“itu.. gue mau pindah sekolah! Pokoknya lusa gue harus udah sekolah di AS SHS! Lo urus semuanya ya!” katanya terburu-buru lalu meninggalkan ozy yang cengo dengan segera.

Ozy tersadar dari lamunannya. Sudah 7 tahun ini dia menjadi managernya cakka, namun belum pernah dia melihat cakka sesemangat ini, mana ingin pindah sekolah pula. Dia jadi penasaran.

Ozy langsung membuka laptopnya, mencari informasi tentang sekolah itu. matanya melebar begitu melihat dua nama siswi yang terdaftar disana. Dia.. masih hidupkah? Bukankah dia sudah meninggal.. lima tahun lalu? Batinnya tidak percaya.

Artis yang telah 7 tahun ini dimanagerinya, Cakka. Cakka Kawekas Nuraga. Siapa yang tidak tahu cakka? Terlalu terkenal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pribadi cakka yang baik, perhatian, lucu, cool, keren, dan mempesona itu tidak mampu dipungkiri oleh siapapun. Tak pernah terdengar gosip buruk apapun tentang cakka, seolah cakka tidak mempunyai masalah. Namun itu semua salah, cakka justru memiliki masalah yang sangat besar dalam dirinya, sebuah rasa kehilangan dan sebuah rasa benci yang sangat besar.
***
Sivia mencari kesempatan dimana shilla sedang tidak mengawasi nathan atau berada di dekat nathan. Sekarang. Shilla sedang sibuk menghapal skenario dan nathan sedang di kamarnya.

“shil,” panggil sivia. Shilla menoleh padanya, menunggu kelanjutannya. “lo dapet sms dari ozy?” tanyanya. Shilla mengalihkan pandangannya ke naskah yang dipegangnya dan mengangguk penuh keraguan.

“gue udah daftarin nama kita dalam sekolah itu,” kata sivia tegas.

Shilla membelalak kaget dan berdiri menghadap sivia. “lo gila siv! Kalo nathan tau, lo bisa diamuk sama dia!” peringatnya.

Sivia menatap pintu kamar nathan yang berada jauh dari tempatnya berdiri. “udah waktunya dia kembali shil. Gue gak mau liat dia terus-terusan begini,” katanya prihatin.

Shilla mengguncangkan bahu sivia, menatapnya memohon. “tapi itu nyakitin dia siv! Dia bisa kumat kalo lo giniin! Napa sih lo gak pernah bisa ngertiin dia?!” shilla berharap sivia mengerti, kondisinya sekarang tidak memungkinkan.

“orang itu masih hidup shil. Gue tau cakka pasti mau pindah sekolah karna dia. kalo cakka bisa segitu semangatnya, berarti ada hubungannya dengan masa lalu mereka shil! Dan dia pasti bisa balikin nathan shil! Nathan kita yang dulu.. alvin,” kata-kata sivia yang tadinya penuh emosi berangsur menjadi lirihan.

Shilla terpaku di tempatnya. Dia juga sama seperti sivia, merindukan nathan mereka yang dulu, sangat merindukannya. Tapi kesempatan itu terlalu mengandalkan keberuntungan. Nathan bisa kembali seperti dulu, atau mungkin akan lebih hancur dari sekarang.

“GAK! STOP! GUE BUKAN PEMBUNUH! GUE BUKAN PEMBUNUH!” teriak nathan kencang dari kamarnya.

Shilla dan sivia berpandangan lalu berlari ke kamar nathan. Nathan duduk di sudut kamar  dengan kedua lutut ditekuk dan kedua tangannya menutupi telinga, kedua matanya dipejamkan, seolah sedang ada hal buruk yang mengganggunya. Shilla segera mendatangi nathan dan memeluknya, mencoba meredakan ketakutan nathan.

“DEA! STOP! PLEASE! GUE BUKAN PEMBUNUH! BUKAN!” teriaknya ketakutan. Badannya sedikit gemetar.

Nathan membuka matanya, menatap sosok dea yang berdiri dihadapannya. Pandangan dea begitu menuduh, belum lagi senyum sinisnya yang semakin membuat nathan ketakutan. “pembunuh.. kamu udah bunuh dia.. kamu udah bunuh mereka.. kamu nyelakain mereka.. kamu penyebab semuanya pergi.. kamu pembunuh.. pembunuh.. pembunuh..” tuduh dea pada nathan. Tatapan tajamnya membuat nathan jadi merinding, tatapan itu masuk ke dalam matanya, menusuk-nusuk tajam kulitnya dalam setiap detak jantungnya.

“stop de! Jangan liat gue kayak gitu! Stop! Deva! Deva! Please bantuin gue! bawa dea pergi!” mohonnya frustasi.

Sosok deva segera muncul dan berdiri agak jauh dari dea, kemudian menggeleng pelan. “selesaiin masalah lo sama dea nath, gue gak ikut campur,” katanya angkat tangan.

Nathan menatap deva penuh permohonan. Sia-sia, deva tidak mau membantunya sama sekali. ia beralih menatap dea yang masih seperti tadi menatapnya. Ia bergidik ngeri.

Dea tertawa sinis. “pembunuh yang dibunuh.. kamu kan, alvin? alvin udah mati kan? pembunuh yang terbunuh, kasian banget ya nasibnya? Semua ceweknya mati gara-gara dia! Aren! Acha! Nandya! Silvia! Semua mati Cuma karna memenuhi permintaan seorang alvin. dan dia, dia juga mati kan gara-gara lo, alvin?”

Nathan mengepalkan kedua tangannya, emosinya sudah memuncak sekarang. “PERGI! PERGI LO! DEA! PERGI!” bentak nathan keras.

Sosok dea melambaikan jemarinya pelan, pamit, dengan seulas senyum sinis masih tertinggal di wajahnya, kemudian dia menghilang. Sosok deva mendekat ke arah nathan dan berjongkok di depannya. “nath,” panggilnya. Nathan menatapnya. Amarahnya masih membekas dalam tatapannya. Deva tersenyum dan menunjuk dada nathan. “tapi mereka gak bener-bener mati nath. mereka terus hidup dalam hati lo. dan lo bisa hidupin mereka, seperti lo hidupin gue sama dea,” pesannya sambil tersenyum kemudian pergi menghilang.

Nathan terpaku di tempatnya, pandangannya kosong. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan deva tadi. dia bisa menghidupkan mereka? Kalau dia bisa, dia ingin. Dia ingin bisa menghidupkan acha dan aren, serta orang itu, yang sampai sekarang masih belum bisa ia terima kematiannya.

Shilla dan sivia menatap nathan yang diam saja. biasanya nathan akan mengusir mereka setelah mengamuk seperti itu tadi, tapi ini tidak. “nathan,” cek shilla dengan menepuk bahu nathan.

Nathan masih seperti tadi. “bisa hidup lagi?” dia masih bertanya-tanya, masih belum mengerti dengan maksud deva. Nathan beranjak dari tempatnya dan duduk bersandar di kepala tempat tidurnya. Berpikir keras.

Sivia duduk di tepi tempat tidur nathan. “hei nath, lo kenapa? kok diem? Gak ngusir kita?” tanyanya heran. tidak biasa sekali nathan sibuk berpikir seperti ini.

Nathan menatap sivia sinis. Cerewet sekali. “bukan urusan lo,” katanya kesal.

Sivia menatapnya kesal. kenapa sih nathan tidak pernah bersikap baik padanya? Salah dia apa sih? dari dulu sampai sekarang, nathan selalu sinis padanya, padahal dia selalu bersikap manis pada nathan. Kadang dia iri pada shilla, dulu nathan selalu baik sekali pada shilla, selalu menyenangkan shilla. tapi tak pernah sedikitpun padanya. Bahkan sampai sekarang pun nathan masih bersikap sedikit lunak pada shilla.

“lusa lo sekolah. Bareng kita. Gue gak mau tau, pokoknya lo harus sekolah!” katanya kesal lalu segera pergi meninggalkan nathan.

Mata nathan melebar, terkejut dengan apa yang barusan dikatakan sivia. Shilla menatap nathan gembira, untuk pertama kalinya, selama tiga tahun yang panjang ini, dia melihat nathan menunjukkan sedikit ekspresinya.

“gue gak mau!” tolaknya berteriak, agar sivia bisa mendengarnya.

Shilla duduk di tepi tempat tidur nathan. “tapi lo harus sekolah normal nath. Kalo homeschooling terus, lo gak punya temen nath,” katanya halus. Sebisa mungkin ia mengatur kata-kata dan tata bicaranya, agar tidak melukai hati nathan, yang sekarang ini.. sangat sensitif dan mudah terbawa emosi.

Nathan menatapnya heran. kenapa shilla jadi ikut-ikutan sivia? “gue punya temen. Temen gue dea sama deva!” bantahnya.

Shilla berdecak. “nathan! Dea sama deva gak ada! Mereka Cuma khayalan lo aja!  Kapan sih nath lo sadar? Mereka tuh gak ada! GAK ADA!” shilla memberikan penekanan pada kata ‘gak ada’ terakhirnya.

Nathan menatap shilla tajam. “mereka ada! Gue bisa liat mereka! Gue bisa nyentuh mereka! Gue bisa ngobrol sama mereka!” bantahnya lagi.

“tapi itu semua Cuma dalam khayalan lo! lo udah gede nath! Udah 16! Harusnya lo sadar dong! Mereka Cuma temen khayalan lo aja! Yang gak mungkin jadi nyata! Dan gak mungkin ada dalam dunia lo yang sebenernya nath,” shilla mencoba menyadarkan nathan yang selama ini tenggelam dalam dunia khayalnya.

“pergi!” usir nathan kencang. Shilla menghela napas, dan pergi meninggalkan nathan sendirian.
***
AS SHS cukup dihebohkan dengan kedatangan empat murid baru yang tiga diantaranya merupakan kalangan artis. yang mereka herankan, kenapa para artis itu mendaftar menjadi murid pada hari yang sama, masuk dalam hari yang sama, dan yang paling anehnya, ketiganya saling berhubungan. Namun satu diantara empat murid itu, menjadi bahan pembicaraan seisi sekolah. Mengapa bisa datang berbarengan dengan sivia dan shilla? Mungkinkah dia..

Sebagian murid berkumpul di aula, ingin melihat keempat murid baru mereka, sedangkan sebagian berada di kelas masing-masing. meskipun sudah banyak artis yang sekolah di sekolah mereka ini, kedatangan keempatnya paling menarik perhatian. Begitu banyak bisikan yang terdengar, baik itu kekaguman, terkaan, celaan, dan bisik-bisik lain.

Cakka dan nathan, berdiri mengapit shilla dan sivia. Semua murid merasakan aura yang aneh diantara cakka dan nathan. Sepertinya mereka saling mencoba menghindar satu sama lain. Mungkinkah mereka saling mengenal?

“gue cakka. cakka kawekas nuraga. Seneng bisa punya temen kayak lo semua,” kata cakka memperkenalkan diri dan diakhiri dengan senyuman manis, yang langsung membuat cewek-cewek disana melting habis-habisan.

“gue sivia, sivia azizah,” katanya sambil tersenyum. Kali ini, cowok-cowok yang dibuat melayang melihat senyumannya. Cantik sekali.

“seperti yang lo semua tau, gue shilla. ashilla zahrantiara,” kata shilla dengan senyum manis yang biasa dipamerkannya.

“nathan,” kata nathan datar, singkat, dan padat. Tak ada senyuman, tak ada salam, tak ada kata-kata lain yang diucapkannya. Membuat semua mata tertuju padanya dan bisikan-bisikan yang tadi sudah hilang kini timbul lagi, berdengung kencang di aula.

“siapa tuh nathan? Apa mungkin dia..” bisik seorang cewek pada teman sebelahnya.

“gak mungkin, lagipula, beda banget kok tampilannya. Gak ada dia-dianya sama sekali,” kata teman sebelahnya itu.

Nathan diam saja meskipun mendengar semua bisikan itu. dia yakin, tidak akan ada yang tahu akan dirinya yang sesungguhnya, toh dia memakai kacamata biru muda, membuat matanya tak dapat terlihat, lagipula dirinya memang sudah berbeda jauh dari yang dulu.

“alvin jonathan sindunata,” gumam seorang yang lainnya. Semua yang mendengar gumamannya langsung menoleh padanya, menunggu kelanjutannya.

“cakka dan SS, siapa yang gak tau mereka gak hanya bertiga, melainkan berempat? Alvin. satu-satunya personil CASS yang belum gue sebut tadi kan?” lanjutnya. Semua tampak berpikir dan mengingat-ngingat.

“keluarga entertainer kan? gak ada satupun diantara mereka yang bukan entertainer. Coba lo semua liat nathan. Memang jauh berbeda dengan alvin yang kita kenal. Tapi, mana mungkin dia bisa bareng tiga orang yang lain kalau bukan punya hubungan dengan mereka?” semua mengangguk setuju. Mereka memperhatikan nathan yang stay cool saja daritadi, rasanya yang dikatakan anak itu benar, namun...

Nathan yang merasa risih diliatin berbisik pada shilla. shilla mengangguk dan berbicara sebentar pada kepala sekolah. Kemudian mereka diizinkan mengelilingi isi sekolah dan disuruh mencari kelas mereka.

Sebagian murid masih tinggal di aula, masih sibuk menerka-nerka siapakah gerangan sosok nathan yang sebenarnya.

“tapi mana mungkin, alvin bukannya hilang 5 tahun yang lalu dan dinyatakan meninggal? Setelah konsernya di Singapur waktu itu?” tanya seorang yang lain dengan bingung.

“yakin dia hilang? Yakin dia udah mati? Gue gak yakin. Yang tadi kita liat, bener-bener alvin. hanya saja, alvin yang berbeda dari yang kita kenal dulu,” kata anak yang daritadi berkomentar terus tentang nathan. Ia meninggalkan yang lain yang masih kebingungan dengan senyum sinis.

Mereka memandangi orang yang barusan pergi itu dengan tatapan bingung campur heran. “dia gabriel steven kan? anak infotainment?” tanya seorang anak.

Seorang yang lain mengangguk. Pantas saja dia tahu semuanya. Rupanya anak infotainment, tak heran dia mampu menguak semua misteri para selebriti di sekolah. Hampir semua gosip selebriti di sekolah ini berasal darinya.

Cakka dan sivia telah sampai di depan ruang kelas mereka. Keduanya masuk ke dalam. Semua murid sudah kembali di kelas rupanya, pantas saja ramai. Mereka mengambil tempat duduk di belakang ify dan riko.

Shilla dan nathan masuk ke dalam kelas mereka, disambut dengan tatapan canggung para anggota kelasnya. Melihat ada tiga bangku kosong di sana yang terpisah, satu dengan seorang cowok, dua lagi dengan seorang cewek. Shilla segera duduk di sebelah seorang cewek, dengan maksud membiarkan nathan duduk di sebelah cowok itu.

Namun entah karna angin apa nathan malah lebih memilih duduk di sebelah seorang cewek, padahal biasanya dia slalu menghindar dari cewek. Cewek disebelahnya menatapnya, sepertinya dia kenal dengan nathan. Tapi.. siapa ya?

Shilla mengajak bicara teman sebangkunya, “nama lo siapa?” tanyanya ramah.

Cewek sebangkunya tersenyum tipis. “agni. lo SS kan? kok mau masuk sini?” tanyanya. Ia mencoba melepaskan pandangannya yang menyangkut di anak baru itu sejak anak itu masuk ke kelasnya. Bukankah anak ini orang yang kemarin dia tabrak?

Shilla tersenyum kemudian membalas, “emang salah? Ini sekolah bidang entertainment kan? gak salah dong kita masuk sini.”

Agni mengangguk saja. dia agak canggung bila harus berbicara dengan artis tenar seperti shilla ini. takut ia dianggap sok akrab atau apalah seperti murid-murid yang lain yang selalu mendekati artis yang baru sekolah disana. Ia mencoba menatap buku dihadapannya agar tidak terus-terusan memandangi cowok tadi.

Shilla menoel bahu nathan. Nathan berbalik dengan malas. Shilla menunjuk-nunjuk cewek di sebelah nathan. Nathan menggeleng. Dia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. shila mendelik kesal padanya lalu memajukan kepalanya, berbisik.

“heh Nathan! Kalo lo gak berani ya jangan duduk disini lah! napa gak duduk di sebelah cowok aja! Aneh lo!” bisiknya kesal campur heran. shilla mencoba agar dirinya tidak terlalu menarik perhatian murid yang lain.

“gue juga gak tau kenapa gue duduk disini,” bisik nathan cuek.

Shilla mengembalikan posisinya dengan menggerutu kesal. menyebalkan sekali si nathan! Tidak bisakah tidak dengan cuek begitu bicaranya?

Melihat nathan tidak mau memulai pembicaraan, cewek di sebelah nathan yang memulainya duluan. Ia menghadap nathan dan berdeham pelan. “hei, kenalin, gue zevana.. panggil aja gue zeze atau zeva,” katanya lalu tersenyum.

Nathan sedikit kaget mendengar nama itu. apakah mungkin..? dia buru-buru menepisnya. Gak mungkin, nama seperti itu banyak sekali di dunia ini. ia menghadap zevana.

Tak sadar, nathan malah memperhatikan penampilan zevana. Rambutnya dikuncir kuda, memakai kacamata, pakaiannya rapi. pandangannya berhenti di kedua mata zeva. Mata berwarna coklat tua yang bening, serasa begitu tenang melihatnya.

Zevana menjentikkan jarinya di depan wajah nathan, sukses membuyarkan lamunannya. Nathan yang kaget mencoba tetap terlihat tenang. “nathan,” katanya, mengakhirinya dengan senyuman yang amat tipis.

Nathan merasa aneh, sudah berapa tahun dia tidak tersenyum? Kaku sekali rahangnya. Yang menjadi pokok masalahnya, kenapa dia bisa tersenyum kembali untuk pertama kalinya pada cewek yang baru dikenalnya ini?

Shilla yang tadi melihat senyuman tipis nathan sangat kaget campur senang. Sudah lama ia merindukan senyuman nathan, sudah lama ia menunggu senyuman itu. meskipun itu sangat tipis sekali, dia sangat senang sekali, dia akan menceritakannya pada sivia nanti.

Namun sekarang yang mengisi otaknya adalah, mengapa nathan bisa tersenyum pada cewek yang baru dikenalnya? Siapa namanya tadi? ohya.. zevana. Apa nathan mengenal zevana? Besar kemungkinan tidak. nathan selama bertahun-tahun lebih memilih mendekam di rumah ketimbang keluar rumah, dan dia sama sekali tidak punya teman selama itu. bagaimana mungkin dia mengenal zevana. Ahh.. pikirannya jadi penuh dengan segala kemungkinan dan harapan.
***
“cakka,” panggil sivia pelan saat jam istirahat, saat tidak ada seorang murid pun di kelas.

Cakka menoleh ke arahnya. “ya, kenapa siv?” tanyanya yang sedang sibuk dengan agendanya.

“elo masih marah sama alvin?” tanyanya takut-takut.

Cakka menatap sivia penuh amarah. “jangan pernah sebut nama itu depan gue! dia udah mati, jangan sebut depan gue lagi!” katanya dingin, namun tersimpan kemarahan yang amat besar dalam setiap ucapannya.

“cak! Lo gak kasian apa sama alvin? dia sampe terpuruk gitu, lo gak kasian?!” sivia jadi kesal dengan cakka.

Cakka mendengus sinis. “lo pikir, dia doang yang sakit? Dia doang yang kehilangan? Dia doang yang terpuruk? Gue juga siv!” ucapnya penuh emosi.

“tapi lo masih bisa bangkit dari itu semua cak! Kalo alvin.. dia..” kata-kata sivia terputus begitu cakka menyela, “gue gak peduli!”

Sivia menghela napas berat begitu melihat cakka keluar dari kelas. Dia Cuma kasihan.. kasihan dengan alvin yang seperti ini sekarang.. yang begitu terpuruk akan masa lalunya, yang membuatnya semakin jatuh semakin kesininya.

Seseorang yang mendengarkan pembicaraan keduanya dari balik pintu luar tersenyum puas. Setidaknya puzzle keingintahuan di otaknya tersusun satu.
***
Cakka berhenti di depan pintu perpustakaan. Sesuatu seperti mendorongnya masuk kesini. Ya, dia memang suka dengan buku, namun kenapa kakinya melangkah ke dalam sini? Dia sedang tidak ingin bergumul dengan buku-buku dulu.

Cakka membuka pintunya, terlihat beberapa orang sedang sibuk berdiskusi, serius sekali. ia masuk ke dalam, dan menghampiri dua orang yang dikenalnya yang sedang sibuk menulis dan mengetik. Ia berdeham pelan, membuat kedua orang itu menoleh ke arahnya.

“fy, ray, sori ganggu. Gue mau nanya, kok pada serius amat? Lagi ngapain?” tanyanya pelan, takut mengganggu yang lain.

“kelas sastra lagi sibuk nyari tugas cak,” jawab ray, kembali mengetik.

Cakka mengerutkan keningnya. “lo anak sastra? Ray yang hobinya ngegebukin drum ini suka sama buku juga? Gue kirain lo sukanya Cuma ngegebuk-gebuk doang ray,” candanya sambil menggelengkan kepala.

Ray mendesis kesal. “gak usah banyak komen dah lo. lo ngapain kesini?” tanyanya sinis.

“tau deh. jalan-jalan aja,” kata cakka. “gue balik ya,” pamitnya pada keduanya.

“tunggu cak!” seru ify pelan. Cakka berbalik dan menunggunya melanjutkan. “lo mau ikut kelas sastra? Kalo lo berminat, kasih formulir kelas lo ke gue ya,” lanjutnya.

Cakka tersenyum dan mengangguk.
***
Berminat dengan kelas sastra membuat cakka kembali ke kelasnya dengan segera, ingin mengisi formulir dan memberikannya pada ify, serta ingin mencari seseorang. tapi sebelum ia melangkah masuk dalam kelasnya, ia berhenti begitu melihat isi kelasnya. Tidak kaget dengan apa yang dilihatnya, banyak cewek-cewek yang sedang mengerumuni sivia dan shilla disana, yang ia tahu pasti, bahwa sebenarnya cewek-cewek itu menunggunya.

Cakka segera berbalik, ingin menghindar dari mereka. Bukannya dia tidak suka dikejar-kejar fansnya, hanya saja, dia sedang ingin mencari seseorang dulu. Percuma. Ada salah seorang yang berteriak memanggilnya dan menunjuknya.

Cakka sama sekali tidak lari menghindar, karna sudah dicegat duluan di sekitarnya. Semua histeris begitu melihat cakka dari dekat. Cakka hanya tersenyum paksa saja menanggapinya.

“CAKKA!” panggil seseorang kencang beberapa meter darinya.

Cakka yang mengenali suara itu langsung mencari sumber suara dan menerobos kerumunan fansnya dengan semangat. Dan dia kini sudah berhadapan dengan orang yang memanggilnya tadi. tentu saja dia mengenali orang ini, dengan rambut yang dikuncir kuda dengan ikat rambut emas.

“lo vana?” tanyanya sambil menunjuk orang itu. orang itu-zevana-mengangguk sambil tersenyum manis.

Cakka mengguncangkan kedua bahu zevana dengan senangnya. “ya ampun vana! Gue kangen banget sama lo! gue mau cerita banyaakk banget sama lo! ntar pulang sama gue ya?” tanyanya semangat.

Semua fansnya melongo heran campur bingung campur shock. Zevana? Bagaimana bisa dia kenal dekat dengan cakka? baru kali ini mereka melihat cakka sebegitu semangatnya? Bisa tersenyum dengan lepasnya? Bisa sepanjang itu bicaranya?

Zevana menggeleng. “sori cak, gue gak bisa. Sibuk. Banyak les,” katanya kecewa.

“yaudah deh. laen kali harus bisa ya! janji!” kata cakka berharap. zevana mengangguk.

Bel masuk mengakhiri pertemuan singkat keduanya, sementara semua orang yang melihat kejadian tadi masih bertanya-tanya hubungan apa diantara zevana dan cakka.

“gabriel!” seru zevana pada seseorang yang juga tidak mengerti dengan yang terjadi barusan.

Gabriel tersadar dari lamunannya. “kenapa ze?” tanyanya.

“gak papa! Lo jangan terpengaruh sama yang lain ya buat bikin gosip barusan! Awas aja lo!” ancamnya bercanda.

Gabriel tertawa kecil, kemudian merangkul zevana sambil berjalan ke kelasnya. “ya enggaklah ze! Tenang aja! Hehe,” katanya cengengesan. Dia memang cukup akrab dengan zevana, secara satu kelas, mana pintar pula si zevana, senang sekali dia punya teman yang selevel dengannya.

Zevana hanya tersenyum kecil menanggapinya. Gabriel. Meskipun dia anak infotainment, dia tidak pernah memunculkan gosip yang tidak-tidak, yang diumbarnya selalu yang nyata dan mempunyai fakta. Hingga ia bahkan sudah direkrut di sebuah production house ternama untuk mencari gosip di sekolah mereka ini, padahal lulus sma saja belum. Zevana hanya tidak mau gabriel mengungkapkan hal ini, karna dia belum siap, bila harus digosipkan dengan cakka dimana-mana.
***
“fy! Pulang bareng gak?” seru ray dari pintu kelas ify disaat tinggal ify sendiri di kelasnya.

Ify mendatanginya. “gue kan dijemput sama septian ray,” jawab ify.

Tampak sedikit raut kekecewaan dari wajah ray, namun ia segera menepuk keningnya dan tersenyum. “oh iya! Lupa! Lagian lo abis putus langsung jadian lagi sih! kapan gue pulang bareng sama lo lagi ifyku sayaangg,” sindir ray sambil mengacak rambut ify.

Ify tertawa kecil dan merapikan rambutnya. Dia suka dipanggil seperti itu oleh ray, entah mengapa. “hehe, besok gue minta dia gak usah jemput deh! biar gue pulang sama lo! tapi jangan langsung pulang, kita jalan dulu! Gimana?” usul ify.

Wajah ray kembali cerah, kemudian mengacungkan jempolnya di depan wajah ify. “sip! Kemanapun lo mau pergi, gue anter!” balasnya semangat.

“jadi supir gue aja ray sekalian,” goda ify.

“boleh kalo lo mau. Eh, emangnya besok lo kagak ada syuting atau wawancara atau acara apa gitu?” tanyanya heran. bukankah biasanya ify sibuk sekali?

Ify menggeleng cepat. “gak ada! Makanya, kesempatan buat lo nih buat jalan sama artis terkenal, ALYSSA,” kata ify dengan penekanan kebangaan di namanya.

Ray mengangkat sebelah alisnya. “idih.. bagus apanya? perannya antagonis mulu! Gitu aja bangga! Mendingan gue dong, the best drummer! Banyak noh yang ngefans sama gue! beruntung lo bisa temenan ama gue, jalan ama gue lagi!” bangga ray.

Ify terkekeh. “udah ah! Septian kayaknya udah jemput gue tuh! Dadah rayku sayang,” candanya sambil melambaikan tangannya lalu berlari ke parkiran. Ray membalas lambaiannya dengan tersenyum kecil.
***
Ozy duduk di depan setir, menyalakan mobil, dan mulai melajukannya. Ia melirik ke sebelahnya. Cakka. sedang senyam-senyum gak jelas. Dia jadi penasaran. “cak,” panggilnya.

Cakka menoleh ke arahnya. “apa?” tanyanya.

“seneng amat lo. baru sehari sekolah juga,” kata ozy penasaran.

Cakka tersenyum kecil. “gak papa, kayaknya gue bakal betah sekolah disana,” katanya senang.

Ozy tersenyum kecil mendengarnya. Sudah lama tidak melihat cakka yang seperti ini, yang seperti dulu. “udah ketemu sama dia cak?” tanyanya.

“dia? zeva? Udah,” jawab cakka. sepertinya ada yang kelupaan, apa ya?

Cakka menepuk keningnya. Bodoh sekali dirinya, kenapa jadi lupa tujuan awalnya pindah kesana? Dia kan mau bertemu orang itu, kenapa tadi bisa kelupaan sih? hufft..

Cakka terus-terusan mengingatkan dirinya bahwa besok dia harus mencari orang itu secepatnya. Bakal susah deh, mana vana tidak mau membantunya lagi. bakal susah deh, udah 7 tahun gak bertemu, masih sama gak ya kayak dulu?   
***