Sunday 19 September 2010 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 1

gue post deh disini ceritanya.. gue harap reader gue bener semua.. kaga ada yang suka ngopas seenaknya --"



PART I

Seorang gadis berumur 16an mengendarai mobilnya menuju rumah. Pandangannya yang tadinya lurus-lurus saja ke arah jalan entah kenapa malah tertarik pada seorang anak laki-laki seumurannya yang sedang berjalan di trotoar sambil membawa beberapa buku di tangannya. Padahal dia tidak mengenal cowok itu, tapi sepertinya ada daya tarik lain yang membuat dirinya selalu menangkap setiap gerak-gerik cowok itu.

Cowok itu terjatuh saat menyebrang jalan, membuat gadis itu refleks mengerem mobilnya. Gadis itu turun dari mobilnya, menghampiri cowok itu. Begitu turun dari mobilnya, dia baru sadar, barusan dia menyerempet cowok itu hingga terjatuh. Dia memaki dirinya dalam hati, betapa bodoh dirinya, memperhatikan sampai-sampai tidak memperhatikan jalan. Hampir saja dia menerbangkan nyawa orang.

“sori! Gue gak tau kalo lo nyebrang. Lo gak kenapa-napa?” tanya gadis itu merasa bersalah.

Cowok itu merintih begitu mencoba berdiri. Tangannya lecet sampai menggores panjang tangannya. Gadis itu langsung memegang tangan cowok itu, “ya ampun, sampe lecet begini. Gue bersihin dulu ya lukanya? Sori banget ya,” katanya tulus meminta maaf.

Cowok itu menepis tangan gadis itu, kemudian duduk menepi di trotoar, membersihkan debu dan pasir yang menempel di sekitar lukanya. “gue gak papa,” katanya tiba-tiba.

Gadis itu menatapnya heran. “tunggu disini dulu ya, gue ambil obat dulu,” katanya sambil mengambil kotak P3K di mobilnya.

Cowok itu menatap gadis itu dengan pandangan yang sangat aneh. Dia merasa sepertinya mengenal cewek ini, tapi siapa?

“nath, pulang yuk,” ajak sosok yang ada bersama cowok itu daritadi. Cowok itu mengangguk dan mengikuti sosok itu.

Gadis itu kembali ke tempat tadi. Tapi, tidak ada seorangpun. Kemana cowok itu? Dia mengedarkan pandangannya mencari-cari. Pandangannya terhenti. Cowok itu sedang berjalan memasuki sebuah cluster perumahan. Gadis itu menatapnya kecewa. Cowok tadi belum memaafkannya.

Gadis itu masuk kembali ke mobilnya. Entah bagaimana bisa sosok cowok tadi malah memenuhi pikirannya. Harus diakui, cowok yang diserempetnya tadi sangat –ehm- ganteng plus keren. Bahkan sampai membuatnya lupa dengan idolanya yang biasanya memenuhi segala sudut pikirannya, Cakka.

Ya, dia teramat mengidolakan cakka, seorang actor muda yang sangat berbakat, dan tak perlu dipungkiri, hal yang membuatnya menjadi paling popular saat ini adalah ketampanannya. Keren, cool, ganteng, manis, ramah, dan no profile itu factor utama penyebab melejitnya popularitasnya. Dia suka, dia suka dengan semua yang ada di diri cakka, meski belum pernah sekalipun bertemu langsung.

Sebenarnya sangat mudah baginya untuk bertemu cakka, bila dia benar-benar menggunakan kesempatan yang terbuka lebar dihadapannya. Tapi dia tidak berani, tidak berani bertemu cakka, takut dirinya akan salah tingkah dihadapan cakka. Hingga cukup baginya untuk mengagumi cakka saja dari tempatnya sekarang.

Dan gadis itu, agni. Agni Tri Nubuwati, berkulit sawo matang, rambutnya lurus sebahu, wajahnya manis, meskipun mungkin sedikit agak ngasal saja penampilannya. Rambut lurusnya dikuncir kuda, beberapa gelang boyish melingkar di tangannya, menunjukkan dia berbeda dengan perempuan lain, tidak feminin. Tak ada hal yang istimewa darinya, bukan seorang kapten olahraga ataupun seorang ahli karate seperti penampilannya. Hanya seorang gadis biasa, yang menjalani kehidupannya dengan standar.

Namun amnesia merenggut semua ingatannya 5 tahun yang lalu. Dia tidak bisa mengingat kembali semuanya tanpa bantuan orang yang bersangkutan dengan ingatannya itu. malangnya, ia tidak dapat mengingat orangtuanya sama sekali. ya, mereka meninggal bersamaan dengan kecelakaan pesawat yang merenggut semua ingatan agni. tak jarang agni menangis ketika memandangi foto orangtuanya. Dia sama sekali tidak bisa mengingatnya, hanya bisa melihatnya dari foto.
***
Seorang gadis yang seumuran dengan agni, kini sedang sibuk memandangi sebuah dus besar, tempatnya menyimpan memori-memori yang ingin dikuburnya. Bukan kenangan yang buruk, melainkan kenangan yang amat teramat manis. Namun, melihat kondisi agni yang seperti ini dia jadi ingin mengubur semuanya dalam-dalam, tidak ingin agni tahu semua yang sebenarnya.

Zevana. Zevana Arga Angesti, kakak angkat agni. kesamaan umur keduanya membuat agni tak perlu memanggulnya zevana kakak. Berbanding terbalik dengan agni, zevana justru cukup menonjol diantara murid yang lain, dengan segudang prestasinya, dengan segala kebaikan dan kerendahan hatinya, dan dengan segala kesederhanaannya membuatnya cukup popular di sekolah. Penampilannya sangat sederhana. berkacamata, dengan bingkai coklat tipis menghiasi wajahnya, rambutnya panjang, hitam, dan kadang akan sedikit berombak, tergerai indah, begitu membuatnya tampak cantik, belum lagi senyum manis yang slalu tergurat di wajah manisnya ini. Kulitnya sawo matang, badannya tinggi, dan bentuk tubuhnya pun ideal, tak jarang teman laki-lakinya selalu berusaha mencuri perhatiannya.

Namun dia tak pernah berani menjalin suatu hubungan, meski sudah banyak sekali yang mengantri ingin menjadi yang istimewa di hatinya. Semua itu hanya karna seseorang. Seseorang yang selalu mengisi hatinya selama hidupnya, meski dalam 7 tahun ini tidak pernah bertemu dengannya, tapi dia tetap merasa bahwa orang itu, yang akan selalu teristimewa di hatinya, yang amat sulit tergeser sedikitpun.

Zevana mengambil dua kotak yang cukup besar, yang satu berwarna gold, yang satu berwarna silver. Dua kenangan yang ia sengaja pisahkan. Ia mengikuti ukiran yang terukir agak dalam di tutupnya. Zevana tersenyum tipis melihatnya. ‘ZEVIN’ dan satu lagi ‘CAVANA’. Dua kotak yang menyimpan kenangan berbeda, yang selalu saja membuatnya tertawa setiap melihat isinya, dan selalu membuatnya menangis ketika menyadari bahwa dia kangen sekali dengan mereka.

Zevana menyimpan dus besar yang diambil dari gudang tadi ke dalam lemarinya. Ia mengunci pintunya rapat-rapat, dia butuh waktu sendiri dulu sekarang, tidak ingin ada yang mengganggunya.

Zevana mengambil kotak yang berwarna gold itu, yang bertuliskan ‘CAVANA’. Ia tersenyum memandangi isinya. Tak berubah sedikitpun. Setetes demi setetes, air matanya menitik, memutar kembali semua kenangan itu, yang kini perlahan terbentuk di depannya, seolah bermain kembali di hadapannya.
***
 Seorang anak laki-laki seusia agni dan zevana memandangi dirinya di cermin. Apakah ada yang kurang dari dirinya? Apakah ada yang buruk dari dirinya? Mengapa gadis yang disayanginya tidak pernah menyadari perhatiannya? Apakah dia tidak memiliki tempat sama sekali di hati gadis itu?

Ia menghela napas, kemudian membanting dirinya di tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya, hanya wajah gadis itu yang terbayang di matanya. Manis, cantik, anggun, baik, perhatian, dan supel, begitu melekat dalam diri gadis itu. namun sayang, satu hal yang tidak disukainya dari gadis itu. terlalu mudah berpindah hati.

Ia memandangi kamarnya, penuh dengan poster-poster dirinya, the best drummer. Dalam seminggu, bisa berapa kali dia muncul di TV, bisa berapa kali dia menunjukkan kehebatannya dalam memukul drum-drum itu? banyak sekali. bahkan dia sering sekali diliput dalam majalah dan koran. Begitu banyak fansnya, begitu banyak wanita yang menginginkannya di luar sana.

Tapi mengapa gadis yang dicintainya, yang satu dunia dengannya, malah tidak menganggapnya lebih? Hanya sekedar sahabat. Sahabat yang selalu mencarinya dikala sedih, dan mungkin sedikit melupakannya dikala senang. Tapi dia tidak pernah mengeluh, dia justru senang, karenanya dia justru merasa setidaknya dirinya sedikit berarti di hati gadis itu, bisa menjadi sandaran di kala susah dan sedih.

Ray. Raynald Prasetya. Dengan rambut gondrong dan wajah imut khasnya, ia mampu menggemparkan panggung musik, tak hanya nasional, namun juga internasional. Sudah bertahun-tahun ia berkecimpung dalam dunia entertain, dan sudah banyak juga gadis yang ditemuinya dalam dunia itu, meski hanya satu gadis yang mampu menaklukan hatinya.

Gadis yang saat pertama kali ditemuinya adalah seorang model biasa, kini sudah menjadi aktris terkenal. Berbagai sinetron, berbagai film, sudah gadis itu bintangi, dan sebanyak itu jugalah ia menjalin hubungan dengan lawan mainnya.

Ray sudah berkali mendengar curhatan gadis itu, dari yang mulai jatuh hati sampai patah hati, dari yang mulai jadian, sampai putus. Dan berkali juga hatinya harus dirajam jarum mendengar semua kisah itu.
***
Seorang gadis yang baru menyelesaikan syutingnya kini tengah berdiri di bawah pohon yang cukup besar. Mengusap lengannya sendiri, kedinginan. Hujan begitu deras mengguyur, seolah tak mengizinkannya pergi dari lokasi syting itu. sudah cukup lama dia menunggu mobilnya menjemputnya, namun tak kunjung datang juga.

Sebuah jaket menutupi tubuhnya. Ia menoleh ke belakang. septian. Pacarnya sekarang, sekaligus lawan mainnya di sinetron yang dibintanginya ini. “aku temenin ya fy,” katanya lembut.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum manis. Septian begitu baik padanya, padahal baru saja kemarin mereka jadian. Semoga dia tidak akan menyakiti hati septian, seperti mantan-mantannya sebelumnya.

Ify. Alyssa Saufika Umari. Gadis yang sedang naik daun ini begitu manis dan cantik. Rambutnya yang hitam panjang lurus tergerai begitu saja. namun sayang, hatinya tidak pernah menetap. Meski berkali sudah ia menjalin hubungan, tak pernah ada satupun cowok yang membekas di hatinya, yang menurutnya cocok dengan dirinya, yang mengerti dirinya.

Sebenarnya dia tidak pernah menetapkan pasangannya harus dari dunia entertain, dari dunia biasa pun boleh-boleh saja, asalkan cocok dengan dirinya. Namun waktunya banyak tersita untuk dunia entertain, membuat dirinya harus hidup dalam pergaulan para entertainer, yang menurutnya tidak terlalu nyaman.

Siapa sih yang mau, hidup penuh sorotan, yang dalam setiap apa yang dilakukannya pasti akan diketahui banyak orang. Apalagi dia sering berganti pasangan, membuat dia dikenal dengan ke-playgirl-annya, tapi sama sekali tidak mengurangi jumlah fansnya.
***
Shilla yang sedang sibuk memasak di dapur cukup dikejutkan dengan seruan kekhawatiran sivia. “nathan! Lo kenapa? kok bisa lecet gini sih?”

Shilla mematikan kompornya, kemudian segera berlari menghampiri sivia di ruang tamu. “ya ampun nathan! Lo kenapa bisa gini sih?” shilla memegangi tangan nathan. Sivia segera berlari mengambil obat lalu mengobati luka-luka nathan. Yang diobati masih diam saja, seolah tak mendengarkan kekhawatiran kedua gadis dihadapannya ini.

Shilla menatap cowok dihadapannya ini, menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah cowok itu. tidak berkedip sama sekali, pandangannya kosong menatap luka itu. “nathan!” katanya menepuk bahu nathan.

“gak. Bukan dia. gak mungkin,” gumam nathan tidak percaya.

Shilla dan sivia berpandangan bingung. Tidak mengerti dengan apa yang diucapkan nathan. “nathan, ‘dia’ siapa?” tanya sivia ingin tahu, namun Nathan tidak menghiraukannya sama sekali.

Nathan menatap ke sebelahnya, kosong, tidak ada apa-apa, namun ada baginya. “dea, gue ngerasa ada yang aneh sama cewek tadi. menurut lo?” tanyanya minta pendapat.

Sosok dea tersenyum padanya. “gak ada apa-apa kok nath. Luka lo masih sakit?” tanyanya perhatian.

Nathan menggeleng. “de, deva mana?” tanyanya celingukan, mencari sosok deva.

Sosok deva tiba-tiba muncul dihadapannya. “gue disini nath,” katanya sambil tersenyum.

“gue mau cerita, tapi di kamar aja. Tungguin gue ya,” katanya. Sosok dea dan deva mengangguk, kemudian segera hilang dari pandangannya.

Shilla dan sivia yang sudah sering sekali melihat nathan berbicara sendiri seperti ini bersikap biasa saja. jujur saja, mereka sungguh kasihan pada nathan, harus mengalami ini semua. Jadi berubah drastis dari dirinya yang dulu. Dan sepanjang keadaannya sekarang, mereka belum pernah melihat nathan tersenyum sedikitpun. Selalu dingin, cuek, dan jutek. Sama sekali tidak tertawa, tidak tersenyum, ataupun mengatakan suatu hal yang membahagiakan.

Nathan langsung ngeloyor ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun begitu sivia selesai mengobati lukanya. Shilla dan sivia berpandangan dan mengangkat bahu. Sudah biasa mereka diperlakukan seperti ini. bicara dengan mereka saja jarang sekali. sepanjang-panjangnya kalau mau ngomong juga Cuma sama shilla.
***
Agni menghampiri zevana yang sedang sarapan dan duduk di sebelahnya, ikut sarapan. “pagi ma, pa, zev,” sapanya. Ketiganya hanya tersenyum dan mengangguk.

“zev, gue mau ngomong sama lo ntar, penting,” kata agni serius.

Zevana menatap agni heran becampur bingung. Tumben agni ngomongnya serius pagi-pagi gini. tapi rasanya dia tau apa yang mau dibicarakan oleh agni.

Selesai makan, zevana dan agni berangkat ke sekolahnya bareng. “mau ngomong apa ag?” tanya zevana.

Agni memejamkan matanya sedetik, kemudian membukanya lagi disertai helaan napas berat. “gue mohon dengan sangat ze, balikin semua ingetan gue yang gue lupain, bantuin gue biar gue inget semuanya. Dia dateng lagi ze dalam mimpi gue. udah beberapa hari ini gue mimpiin dia. dia siapa sih ze?” tanya dan mohonnya.

Zevana tersenyum. Bukan gurat persetujuan yang terpeta di wajahnya, melainkan gurat kesedihan. “lo beneran mau semuanya balik ag? Gue gak mau lo nyesel aja kalo semuanya balik. Gue gak mau liat lo sedih dan bingung,” katanya pelan.

“maksud lo apa sih ze?” tanya agni tidak paham.

Zevana menggeleng pelan. Sepertinya sudah tiba waktunya dia harus memberitahu agni yang sebenarnya. untuk urusan selanjutnya, biarkan agni yang memilihnya sendiri.
***
“break dulu satu jam!” seru seorang sutradara di sebuah lokasi syuting.

Sang pemeran utama laki-laki itu beristirahat dalam mobilnya, merogoh kantong celananya mengambil hape. Banyak sekali panggilan tak terjawab yang diterimanya. Ia bingung begitu melihat yang menghubunginya itu hanya satu nomor dan tak dikenal. Siapa? Tidak mungkin fansnya, dia sudah menyiapkan nomor khusus untuk fans-fansnya. Hanya kalangan entertainer dan orang-orang dalamnya yang tahu nomornya ini.

Hapenya berdering, nomor itu menghubunginya lagi. tanpa ragu-ragu ia langsung menerimanya, penasaran dengan siapa yang meneleponnya. Sepertinya penting sekali, kalau tidak, mana mungkin sampai puluhan kali.

Ia tertegun begitu mendengar penelepon itu berbicara. Kaget sekali dirinya. Selama ini.. orang yang selalu dicarinya. Ia berbicara lama sekali, begitu bersemangat dan senang, masih belum sepenuhnya percaya dengan keberuntungan yang mendatanginya hari ini. 6 tahun dia menunggu..

Selesai menelepon, ia segera berlari kembali ke lokasi syuting, mencari managernya. “ozy!” serunya sambil menepuk bahu ozy dengan terengah-engah.

“napa cak?” tanya ozy heran.

“itu.. gue mau pindah sekolah! Pokoknya lusa gue harus udah sekolah di AS SHS! Lo urus semuanya ya!” katanya terburu-buru lalu meninggalkan ozy yang cengo dengan segera.

Ozy tersadar dari lamunannya. Sudah 7 tahun ini dia menjadi managernya cakka, namun belum pernah dia melihat cakka sesemangat ini, mana ingin pindah sekolah pula. Dia jadi penasaran.

Ozy langsung membuka laptopnya, mencari informasi tentang sekolah itu. matanya melebar begitu melihat dua nama siswi yang terdaftar disana. Dia.. masih hidupkah? Bukankah dia sudah meninggal.. lima tahun lalu? Batinnya tidak percaya.

Artis yang telah 7 tahun ini dimanagerinya, Cakka. Cakka Kawekas Nuraga. Siapa yang tidak tahu cakka? Terlalu terkenal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pribadi cakka yang baik, perhatian, lucu, cool, keren, dan mempesona itu tidak mampu dipungkiri oleh siapapun. Tak pernah terdengar gosip buruk apapun tentang cakka, seolah cakka tidak mempunyai masalah. Namun itu semua salah, cakka justru memiliki masalah yang sangat besar dalam dirinya, sebuah rasa kehilangan dan sebuah rasa benci yang sangat besar.
***
Sivia mencari kesempatan dimana shilla sedang tidak mengawasi nathan atau berada di dekat nathan. Sekarang. Shilla sedang sibuk menghapal skenario dan nathan sedang di kamarnya.

“shil,” panggil sivia. Shilla menoleh padanya, menunggu kelanjutannya. “lo dapet sms dari ozy?” tanyanya. Shilla mengalihkan pandangannya ke naskah yang dipegangnya dan mengangguk penuh keraguan.

“gue udah daftarin nama kita dalam sekolah itu,” kata sivia tegas.

Shilla membelalak kaget dan berdiri menghadap sivia. “lo gila siv! Kalo nathan tau, lo bisa diamuk sama dia!” peringatnya.

Sivia menatap pintu kamar nathan yang berada jauh dari tempatnya berdiri. “udah waktunya dia kembali shil. Gue gak mau liat dia terus-terusan begini,” katanya prihatin.

Shilla mengguncangkan bahu sivia, menatapnya memohon. “tapi itu nyakitin dia siv! Dia bisa kumat kalo lo giniin! Napa sih lo gak pernah bisa ngertiin dia?!” shilla berharap sivia mengerti, kondisinya sekarang tidak memungkinkan.

“orang itu masih hidup shil. Gue tau cakka pasti mau pindah sekolah karna dia. kalo cakka bisa segitu semangatnya, berarti ada hubungannya dengan masa lalu mereka shil! Dan dia pasti bisa balikin nathan shil! Nathan kita yang dulu.. alvin,” kata-kata sivia yang tadinya penuh emosi berangsur menjadi lirihan.

Shilla terpaku di tempatnya. Dia juga sama seperti sivia, merindukan nathan mereka yang dulu, sangat merindukannya. Tapi kesempatan itu terlalu mengandalkan keberuntungan. Nathan bisa kembali seperti dulu, atau mungkin akan lebih hancur dari sekarang.

“GAK! STOP! GUE BUKAN PEMBUNUH! GUE BUKAN PEMBUNUH!” teriak nathan kencang dari kamarnya.

Shilla dan sivia berpandangan lalu berlari ke kamar nathan. Nathan duduk di sudut kamar  dengan kedua lutut ditekuk dan kedua tangannya menutupi telinga, kedua matanya dipejamkan, seolah sedang ada hal buruk yang mengganggunya. Shilla segera mendatangi nathan dan memeluknya, mencoba meredakan ketakutan nathan.

“DEA! STOP! PLEASE! GUE BUKAN PEMBUNUH! BUKAN!” teriaknya ketakutan. Badannya sedikit gemetar.

Nathan membuka matanya, menatap sosok dea yang berdiri dihadapannya. Pandangan dea begitu menuduh, belum lagi senyum sinisnya yang semakin membuat nathan ketakutan. “pembunuh.. kamu udah bunuh dia.. kamu udah bunuh mereka.. kamu nyelakain mereka.. kamu penyebab semuanya pergi.. kamu pembunuh.. pembunuh.. pembunuh..” tuduh dea pada nathan. Tatapan tajamnya membuat nathan jadi merinding, tatapan itu masuk ke dalam matanya, menusuk-nusuk tajam kulitnya dalam setiap detak jantungnya.

“stop de! Jangan liat gue kayak gitu! Stop! Deva! Deva! Please bantuin gue! bawa dea pergi!” mohonnya frustasi.

Sosok deva segera muncul dan berdiri agak jauh dari dea, kemudian menggeleng pelan. “selesaiin masalah lo sama dea nath, gue gak ikut campur,” katanya angkat tangan.

Nathan menatap deva penuh permohonan. Sia-sia, deva tidak mau membantunya sama sekali. ia beralih menatap dea yang masih seperti tadi menatapnya. Ia bergidik ngeri.

Dea tertawa sinis. “pembunuh yang dibunuh.. kamu kan, alvin? alvin udah mati kan? pembunuh yang terbunuh, kasian banget ya nasibnya? Semua ceweknya mati gara-gara dia! Aren! Acha! Nandya! Silvia! Semua mati Cuma karna memenuhi permintaan seorang alvin. dan dia, dia juga mati kan gara-gara lo, alvin?”

Nathan mengepalkan kedua tangannya, emosinya sudah memuncak sekarang. “PERGI! PERGI LO! DEA! PERGI!” bentak nathan keras.

Sosok dea melambaikan jemarinya pelan, pamit, dengan seulas senyum sinis masih tertinggal di wajahnya, kemudian dia menghilang. Sosok deva mendekat ke arah nathan dan berjongkok di depannya. “nath,” panggilnya. Nathan menatapnya. Amarahnya masih membekas dalam tatapannya. Deva tersenyum dan menunjuk dada nathan. “tapi mereka gak bener-bener mati nath. mereka terus hidup dalam hati lo. dan lo bisa hidupin mereka, seperti lo hidupin gue sama dea,” pesannya sambil tersenyum kemudian pergi menghilang.

Nathan terpaku di tempatnya, pandangannya kosong. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan deva tadi. dia bisa menghidupkan mereka? Kalau dia bisa, dia ingin. Dia ingin bisa menghidupkan acha dan aren, serta orang itu, yang sampai sekarang masih belum bisa ia terima kematiannya.

Shilla dan sivia menatap nathan yang diam saja. biasanya nathan akan mengusir mereka setelah mengamuk seperti itu tadi, tapi ini tidak. “nathan,” cek shilla dengan menepuk bahu nathan.

Nathan masih seperti tadi. “bisa hidup lagi?” dia masih bertanya-tanya, masih belum mengerti dengan maksud deva. Nathan beranjak dari tempatnya dan duduk bersandar di kepala tempat tidurnya. Berpikir keras.

Sivia duduk di tepi tempat tidur nathan. “hei nath, lo kenapa? kok diem? Gak ngusir kita?” tanyanya heran. tidak biasa sekali nathan sibuk berpikir seperti ini.

Nathan menatap sivia sinis. Cerewet sekali. “bukan urusan lo,” katanya kesal.

Sivia menatapnya kesal. kenapa sih nathan tidak pernah bersikap baik padanya? Salah dia apa sih? dari dulu sampai sekarang, nathan selalu sinis padanya, padahal dia selalu bersikap manis pada nathan. Kadang dia iri pada shilla, dulu nathan selalu baik sekali pada shilla, selalu menyenangkan shilla. tapi tak pernah sedikitpun padanya. Bahkan sampai sekarang pun nathan masih bersikap sedikit lunak pada shilla.

“lusa lo sekolah. Bareng kita. Gue gak mau tau, pokoknya lo harus sekolah!” katanya kesal lalu segera pergi meninggalkan nathan.

Mata nathan melebar, terkejut dengan apa yang barusan dikatakan sivia. Shilla menatap nathan gembira, untuk pertama kalinya, selama tiga tahun yang panjang ini, dia melihat nathan menunjukkan sedikit ekspresinya.

“gue gak mau!” tolaknya berteriak, agar sivia bisa mendengarnya.

Shilla duduk di tepi tempat tidur nathan. “tapi lo harus sekolah normal nath. Kalo homeschooling terus, lo gak punya temen nath,” katanya halus. Sebisa mungkin ia mengatur kata-kata dan tata bicaranya, agar tidak melukai hati nathan, yang sekarang ini.. sangat sensitif dan mudah terbawa emosi.

Nathan menatapnya heran. kenapa shilla jadi ikut-ikutan sivia? “gue punya temen. Temen gue dea sama deva!” bantahnya.

Shilla berdecak. “nathan! Dea sama deva gak ada! Mereka Cuma khayalan lo aja!  Kapan sih nath lo sadar? Mereka tuh gak ada! GAK ADA!” shilla memberikan penekanan pada kata ‘gak ada’ terakhirnya.

Nathan menatap shilla tajam. “mereka ada! Gue bisa liat mereka! Gue bisa nyentuh mereka! Gue bisa ngobrol sama mereka!” bantahnya lagi.

“tapi itu semua Cuma dalam khayalan lo! lo udah gede nath! Udah 16! Harusnya lo sadar dong! Mereka Cuma temen khayalan lo aja! Yang gak mungkin jadi nyata! Dan gak mungkin ada dalam dunia lo yang sebenernya nath,” shilla mencoba menyadarkan nathan yang selama ini tenggelam dalam dunia khayalnya.

“pergi!” usir nathan kencang. Shilla menghela napas, dan pergi meninggalkan nathan sendirian.
***
AS SHS cukup dihebohkan dengan kedatangan empat murid baru yang tiga diantaranya merupakan kalangan artis. yang mereka herankan, kenapa para artis itu mendaftar menjadi murid pada hari yang sama, masuk dalam hari yang sama, dan yang paling anehnya, ketiganya saling berhubungan. Namun satu diantara empat murid itu, menjadi bahan pembicaraan seisi sekolah. Mengapa bisa datang berbarengan dengan sivia dan shilla? Mungkinkah dia..

Sebagian murid berkumpul di aula, ingin melihat keempat murid baru mereka, sedangkan sebagian berada di kelas masing-masing. meskipun sudah banyak artis yang sekolah di sekolah mereka ini, kedatangan keempatnya paling menarik perhatian. Begitu banyak bisikan yang terdengar, baik itu kekaguman, terkaan, celaan, dan bisik-bisik lain.

Cakka dan nathan, berdiri mengapit shilla dan sivia. Semua murid merasakan aura yang aneh diantara cakka dan nathan. Sepertinya mereka saling mencoba menghindar satu sama lain. Mungkinkah mereka saling mengenal?

“gue cakka. cakka kawekas nuraga. Seneng bisa punya temen kayak lo semua,” kata cakka memperkenalkan diri dan diakhiri dengan senyuman manis, yang langsung membuat cewek-cewek disana melting habis-habisan.

“gue sivia, sivia azizah,” katanya sambil tersenyum. Kali ini, cowok-cowok yang dibuat melayang melihat senyumannya. Cantik sekali.

“seperti yang lo semua tau, gue shilla. ashilla zahrantiara,” kata shilla dengan senyum manis yang biasa dipamerkannya.

“nathan,” kata nathan datar, singkat, dan padat. Tak ada senyuman, tak ada salam, tak ada kata-kata lain yang diucapkannya. Membuat semua mata tertuju padanya dan bisikan-bisikan yang tadi sudah hilang kini timbul lagi, berdengung kencang di aula.

“siapa tuh nathan? Apa mungkin dia..” bisik seorang cewek pada teman sebelahnya.

“gak mungkin, lagipula, beda banget kok tampilannya. Gak ada dia-dianya sama sekali,” kata teman sebelahnya itu.

Nathan diam saja meskipun mendengar semua bisikan itu. dia yakin, tidak akan ada yang tahu akan dirinya yang sesungguhnya, toh dia memakai kacamata biru muda, membuat matanya tak dapat terlihat, lagipula dirinya memang sudah berbeda jauh dari yang dulu.

“alvin jonathan sindunata,” gumam seorang yang lainnya. Semua yang mendengar gumamannya langsung menoleh padanya, menunggu kelanjutannya.

“cakka dan SS, siapa yang gak tau mereka gak hanya bertiga, melainkan berempat? Alvin. satu-satunya personil CASS yang belum gue sebut tadi kan?” lanjutnya. Semua tampak berpikir dan mengingat-ngingat.

“keluarga entertainer kan? gak ada satupun diantara mereka yang bukan entertainer. Coba lo semua liat nathan. Memang jauh berbeda dengan alvin yang kita kenal. Tapi, mana mungkin dia bisa bareng tiga orang yang lain kalau bukan punya hubungan dengan mereka?” semua mengangguk setuju. Mereka memperhatikan nathan yang stay cool saja daritadi, rasanya yang dikatakan anak itu benar, namun...

Nathan yang merasa risih diliatin berbisik pada shilla. shilla mengangguk dan berbicara sebentar pada kepala sekolah. Kemudian mereka diizinkan mengelilingi isi sekolah dan disuruh mencari kelas mereka.

Sebagian murid masih tinggal di aula, masih sibuk menerka-nerka siapakah gerangan sosok nathan yang sebenarnya.

“tapi mana mungkin, alvin bukannya hilang 5 tahun yang lalu dan dinyatakan meninggal? Setelah konsernya di Singapur waktu itu?” tanya seorang yang lain dengan bingung.

“yakin dia hilang? Yakin dia udah mati? Gue gak yakin. Yang tadi kita liat, bener-bener alvin. hanya saja, alvin yang berbeda dari yang kita kenal dulu,” kata anak yang daritadi berkomentar terus tentang nathan. Ia meninggalkan yang lain yang masih kebingungan dengan senyum sinis.

Mereka memandangi orang yang barusan pergi itu dengan tatapan bingung campur heran. “dia gabriel steven kan? anak infotainment?” tanya seorang anak.

Seorang yang lain mengangguk. Pantas saja dia tahu semuanya. Rupanya anak infotainment, tak heran dia mampu menguak semua misteri para selebriti di sekolah. Hampir semua gosip selebriti di sekolah ini berasal darinya.

Cakka dan sivia telah sampai di depan ruang kelas mereka. Keduanya masuk ke dalam. Semua murid sudah kembali di kelas rupanya, pantas saja ramai. Mereka mengambil tempat duduk di belakang ify dan riko.

Shilla dan nathan masuk ke dalam kelas mereka, disambut dengan tatapan canggung para anggota kelasnya. Melihat ada tiga bangku kosong di sana yang terpisah, satu dengan seorang cowok, dua lagi dengan seorang cewek. Shilla segera duduk di sebelah seorang cewek, dengan maksud membiarkan nathan duduk di sebelah cowok itu.

Namun entah karna angin apa nathan malah lebih memilih duduk di sebelah seorang cewek, padahal biasanya dia slalu menghindar dari cewek. Cewek disebelahnya menatapnya, sepertinya dia kenal dengan nathan. Tapi.. siapa ya?

Shilla mengajak bicara teman sebangkunya, “nama lo siapa?” tanyanya ramah.

Cewek sebangkunya tersenyum tipis. “agni. lo SS kan? kok mau masuk sini?” tanyanya. Ia mencoba melepaskan pandangannya yang menyangkut di anak baru itu sejak anak itu masuk ke kelasnya. Bukankah anak ini orang yang kemarin dia tabrak?

Shilla tersenyum kemudian membalas, “emang salah? Ini sekolah bidang entertainment kan? gak salah dong kita masuk sini.”

Agni mengangguk saja. dia agak canggung bila harus berbicara dengan artis tenar seperti shilla ini. takut ia dianggap sok akrab atau apalah seperti murid-murid yang lain yang selalu mendekati artis yang baru sekolah disana. Ia mencoba menatap buku dihadapannya agar tidak terus-terusan memandangi cowok tadi.

Shilla menoel bahu nathan. Nathan berbalik dengan malas. Shilla menunjuk-nunjuk cewek di sebelah nathan. Nathan menggeleng. Dia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. shila mendelik kesal padanya lalu memajukan kepalanya, berbisik.

“heh Nathan! Kalo lo gak berani ya jangan duduk disini lah! napa gak duduk di sebelah cowok aja! Aneh lo!” bisiknya kesal campur heran. shilla mencoba agar dirinya tidak terlalu menarik perhatian murid yang lain.

“gue juga gak tau kenapa gue duduk disini,” bisik nathan cuek.

Shilla mengembalikan posisinya dengan menggerutu kesal. menyebalkan sekali si nathan! Tidak bisakah tidak dengan cuek begitu bicaranya?

Melihat nathan tidak mau memulai pembicaraan, cewek di sebelah nathan yang memulainya duluan. Ia menghadap nathan dan berdeham pelan. “hei, kenalin, gue zevana.. panggil aja gue zeze atau zeva,” katanya lalu tersenyum.

Nathan sedikit kaget mendengar nama itu. apakah mungkin..? dia buru-buru menepisnya. Gak mungkin, nama seperti itu banyak sekali di dunia ini. ia menghadap zevana.

Tak sadar, nathan malah memperhatikan penampilan zevana. Rambutnya dikuncir kuda, memakai kacamata, pakaiannya rapi. pandangannya berhenti di kedua mata zeva. Mata berwarna coklat tua yang bening, serasa begitu tenang melihatnya.

Zevana menjentikkan jarinya di depan wajah nathan, sukses membuyarkan lamunannya. Nathan yang kaget mencoba tetap terlihat tenang. “nathan,” katanya, mengakhirinya dengan senyuman yang amat tipis.

Nathan merasa aneh, sudah berapa tahun dia tidak tersenyum? Kaku sekali rahangnya. Yang menjadi pokok masalahnya, kenapa dia bisa tersenyum kembali untuk pertama kalinya pada cewek yang baru dikenalnya ini?

Shilla yang tadi melihat senyuman tipis nathan sangat kaget campur senang. Sudah lama ia merindukan senyuman nathan, sudah lama ia menunggu senyuman itu. meskipun itu sangat tipis sekali, dia sangat senang sekali, dia akan menceritakannya pada sivia nanti.

Namun sekarang yang mengisi otaknya adalah, mengapa nathan bisa tersenyum pada cewek yang baru dikenalnya? Siapa namanya tadi? ohya.. zevana. Apa nathan mengenal zevana? Besar kemungkinan tidak. nathan selama bertahun-tahun lebih memilih mendekam di rumah ketimbang keluar rumah, dan dia sama sekali tidak punya teman selama itu. bagaimana mungkin dia mengenal zevana. Ahh.. pikirannya jadi penuh dengan segala kemungkinan dan harapan.
***
“cakka,” panggil sivia pelan saat jam istirahat, saat tidak ada seorang murid pun di kelas.

Cakka menoleh ke arahnya. “ya, kenapa siv?” tanyanya yang sedang sibuk dengan agendanya.

“elo masih marah sama alvin?” tanyanya takut-takut.

Cakka menatap sivia penuh amarah. “jangan pernah sebut nama itu depan gue! dia udah mati, jangan sebut depan gue lagi!” katanya dingin, namun tersimpan kemarahan yang amat besar dalam setiap ucapannya.

“cak! Lo gak kasian apa sama alvin? dia sampe terpuruk gitu, lo gak kasian?!” sivia jadi kesal dengan cakka.

Cakka mendengus sinis. “lo pikir, dia doang yang sakit? Dia doang yang kehilangan? Dia doang yang terpuruk? Gue juga siv!” ucapnya penuh emosi.

“tapi lo masih bisa bangkit dari itu semua cak! Kalo alvin.. dia..” kata-kata sivia terputus begitu cakka menyela, “gue gak peduli!”

Sivia menghela napas berat begitu melihat cakka keluar dari kelas. Dia Cuma kasihan.. kasihan dengan alvin yang seperti ini sekarang.. yang begitu terpuruk akan masa lalunya, yang membuatnya semakin jatuh semakin kesininya.

Seseorang yang mendengarkan pembicaraan keduanya dari balik pintu luar tersenyum puas. Setidaknya puzzle keingintahuan di otaknya tersusun satu.
***
Cakka berhenti di depan pintu perpustakaan. Sesuatu seperti mendorongnya masuk kesini. Ya, dia memang suka dengan buku, namun kenapa kakinya melangkah ke dalam sini? Dia sedang tidak ingin bergumul dengan buku-buku dulu.

Cakka membuka pintunya, terlihat beberapa orang sedang sibuk berdiskusi, serius sekali. ia masuk ke dalam, dan menghampiri dua orang yang dikenalnya yang sedang sibuk menulis dan mengetik. Ia berdeham pelan, membuat kedua orang itu menoleh ke arahnya.

“fy, ray, sori ganggu. Gue mau nanya, kok pada serius amat? Lagi ngapain?” tanyanya pelan, takut mengganggu yang lain.

“kelas sastra lagi sibuk nyari tugas cak,” jawab ray, kembali mengetik.

Cakka mengerutkan keningnya. “lo anak sastra? Ray yang hobinya ngegebukin drum ini suka sama buku juga? Gue kirain lo sukanya Cuma ngegebuk-gebuk doang ray,” candanya sambil menggelengkan kepala.

Ray mendesis kesal. “gak usah banyak komen dah lo. lo ngapain kesini?” tanyanya sinis.

“tau deh. jalan-jalan aja,” kata cakka. “gue balik ya,” pamitnya pada keduanya.

“tunggu cak!” seru ify pelan. Cakka berbalik dan menunggunya melanjutkan. “lo mau ikut kelas sastra? Kalo lo berminat, kasih formulir kelas lo ke gue ya,” lanjutnya.

Cakka tersenyum dan mengangguk.
***
Berminat dengan kelas sastra membuat cakka kembali ke kelasnya dengan segera, ingin mengisi formulir dan memberikannya pada ify, serta ingin mencari seseorang. tapi sebelum ia melangkah masuk dalam kelasnya, ia berhenti begitu melihat isi kelasnya. Tidak kaget dengan apa yang dilihatnya, banyak cewek-cewek yang sedang mengerumuni sivia dan shilla disana, yang ia tahu pasti, bahwa sebenarnya cewek-cewek itu menunggunya.

Cakka segera berbalik, ingin menghindar dari mereka. Bukannya dia tidak suka dikejar-kejar fansnya, hanya saja, dia sedang ingin mencari seseorang dulu. Percuma. Ada salah seorang yang berteriak memanggilnya dan menunjuknya.

Cakka sama sekali tidak lari menghindar, karna sudah dicegat duluan di sekitarnya. Semua histeris begitu melihat cakka dari dekat. Cakka hanya tersenyum paksa saja menanggapinya.

“CAKKA!” panggil seseorang kencang beberapa meter darinya.

Cakka yang mengenali suara itu langsung mencari sumber suara dan menerobos kerumunan fansnya dengan semangat. Dan dia kini sudah berhadapan dengan orang yang memanggilnya tadi. tentu saja dia mengenali orang ini, dengan rambut yang dikuncir kuda dengan ikat rambut emas.

“lo vana?” tanyanya sambil menunjuk orang itu. orang itu-zevana-mengangguk sambil tersenyum manis.

Cakka mengguncangkan kedua bahu zevana dengan senangnya. “ya ampun vana! Gue kangen banget sama lo! gue mau cerita banyaakk banget sama lo! ntar pulang sama gue ya?” tanyanya semangat.

Semua fansnya melongo heran campur bingung campur shock. Zevana? Bagaimana bisa dia kenal dekat dengan cakka? baru kali ini mereka melihat cakka sebegitu semangatnya? Bisa tersenyum dengan lepasnya? Bisa sepanjang itu bicaranya?

Zevana menggeleng. “sori cak, gue gak bisa. Sibuk. Banyak les,” katanya kecewa.

“yaudah deh. laen kali harus bisa ya! janji!” kata cakka berharap. zevana mengangguk.

Bel masuk mengakhiri pertemuan singkat keduanya, sementara semua orang yang melihat kejadian tadi masih bertanya-tanya hubungan apa diantara zevana dan cakka.

“gabriel!” seru zevana pada seseorang yang juga tidak mengerti dengan yang terjadi barusan.

Gabriel tersadar dari lamunannya. “kenapa ze?” tanyanya.

“gak papa! Lo jangan terpengaruh sama yang lain ya buat bikin gosip barusan! Awas aja lo!” ancamnya bercanda.

Gabriel tertawa kecil, kemudian merangkul zevana sambil berjalan ke kelasnya. “ya enggaklah ze! Tenang aja! Hehe,” katanya cengengesan. Dia memang cukup akrab dengan zevana, secara satu kelas, mana pintar pula si zevana, senang sekali dia punya teman yang selevel dengannya.

Zevana hanya tersenyum kecil menanggapinya. Gabriel. Meskipun dia anak infotainment, dia tidak pernah memunculkan gosip yang tidak-tidak, yang diumbarnya selalu yang nyata dan mempunyai fakta. Hingga ia bahkan sudah direkrut di sebuah production house ternama untuk mencari gosip di sekolah mereka ini, padahal lulus sma saja belum. Zevana hanya tidak mau gabriel mengungkapkan hal ini, karna dia belum siap, bila harus digosipkan dengan cakka dimana-mana.
***
“fy! Pulang bareng gak?” seru ray dari pintu kelas ify disaat tinggal ify sendiri di kelasnya.

Ify mendatanginya. “gue kan dijemput sama septian ray,” jawab ify.

Tampak sedikit raut kekecewaan dari wajah ray, namun ia segera menepuk keningnya dan tersenyum. “oh iya! Lupa! Lagian lo abis putus langsung jadian lagi sih! kapan gue pulang bareng sama lo lagi ifyku sayaangg,” sindir ray sambil mengacak rambut ify.

Ify tertawa kecil dan merapikan rambutnya. Dia suka dipanggil seperti itu oleh ray, entah mengapa. “hehe, besok gue minta dia gak usah jemput deh! biar gue pulang sama lo! tapi jangan langsung pulang, kita jalan dulu! Gimana?” usul ify.

Wajah ray kembali cerah, kemudian mengacungkan jempolnya di depan wajah ify. “sip! Kemanapun lo mau pergi, gue anter!” balasnya semangat.

“jadi supir gue aja ray sekalian,” goda ify.

“boleh kalo lo mau. Eh, emangnya besok lo kagak ada syuting atau wawancara atau acara apa gitu?” tanyanya heran. bukankah biasanya ify sibuk sekali?

Ify menggeleng cepat. “gak ada! Makanya, kesempatan buat lo nih buat jalan sama artis terkenal, ALYSSA,” kata ify dengan penekanan kebangaan di namanya.

Ray mengangkat sebelah alisnya. “idih.. bagus apanya? perannya antagonis mulu! Gitu aja bangga! Mendingan gue dong, the best drummer! Banyak noh yang ngefans sama gue! beruntung lo bisa temenan ama gue, jalan ama gue lagi!” bangga ray.

Ify terkekeh. “udah ah! Septian kayaknya udah jemput gue tuh! Dadah rayku sayang,” candanya sambil melambaikan tangannya lalu berlari ke parkiran. Ray membalas lambaiannya dengan tersenyum kecil.
***
Ozy duduk di depan setir, menyalakan mobil, dan mulai melajukannya. Ia melirik ke sebelahnya. Cakka. sedang senyam-senyum gak jelas. Dia jadi penasaran. “cak,” panggilnya.

Cakka menoleh ke arahnya. “apa?” tanyanya.

“seneng amat lo. baru sehari sekolah juga,” kata ozy penasaran.

Cakka tersenyum kecil. “gak papa, kayaknya gue bakal betah sekolah disana,” katanya senang.

Ozy tersenyum kecil mendengarnya. Sudah lama tidak melihat cakka yang seperti ini, yang seperti dulu. “udah ketemu sama dia cak?” tanyanya.

“dia? zeva? Udah,” jawab cakka. sepertinya ada yang kelupaan, apa ya?

Cakka menepuk keningnya. Bodoh sekali dirinya, kenapa jadi lupa tujuan awalnya pindah kesana? Dia kan mau bertemu orang itu, kenapa tadi bisa kelupaan sih? hufft..

Cakka terus-terusan mengingatkan dirinya bahwa besok dia harus mencari orang itu secepatnya. Bakal susah deh, mana vana tidak mau membantunya lagi. bakal susah deh, udah 7 tahun gak bertemu, masih sama gak ya kayak dulu?   
***

0 comments:

Post a Comment