Sunday 19 September 2010 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 2

nah, yang ini part 2nya.. rada gaje gitu.. abisan gue sibuk+ilang feelnya.. hwhw.. terpaksa buka konflik, biar konflik lain bisa masuk --"



PART II

Lembar demi lembar sebuah album terbalik seiring dengan penyesalan agni yang semakin mendalam. Andai saja hal itu tak terjadi, pasti dirinya masih bahagia sekarang. Andai saja semua itu tak terjadi, pasti dirinya takkan dirundung rasa iri seperti ini.

Agni menyimpan album tersebut dalam lemari kaca di kamarnya. lemari yang khusus, untuk mengenang orang tersayangnya. pandangannya menyisiri isi lemari. Senyumnya berubah menjadi raut kekecewaan begitu pandangannya berhenti di satu benda.

Sebuah foto. Foto yang slalu saja dapat membangkitkan emosinya. Yang slalu saja ingin membuatnya pergi, ingin membuatnya marah dan kecewa, serta menangis. Benci bila harus melihatnya.

Agni segera keluar dari kamarnya, menuju kamar zevana. Raut yang penuh emosi tadi kini berubah menjadi biasa saja. hal yang biasa dilakukannya, memalsukan semua perasaannya.

Melihat tak ada zevana di dalamnya, agni langsung masuk ke dalamnya. Berbagai piala, medali, dan piagam berjejer rapi dalam lemari kaca yang jauh lebih besar dari miliknya. Ia memperhatikannya satu-satu.

Rasa emosi yang ditutupinya tadi kini kembali mengguncang dirinya. Semua ini, milik zevana, hanya zevana, untuk zevana. Dia sangat paham dengan itu. kembali ia mengubah ekspresinya begitu mendengar derap langkah kaki yang mendekat.

“loh, ag? Lo ada disini?” tanya zevana yang baru masuk ke kamarnya.

Agni mengangguk. “gue mau nanya ze,” jawabnya.

Zevana tidak menanggapi, menunggu kelanjutannya. Ia meletakkan tasnya dan duduk di tepi tempat tidurnya.

“kasih gue petunjuk ze. Gue bener-bener bingung dengan semuanya. Kenapa gue bisa kecelakaan? Kenapa gue bisa diangkat sama keluarga lo? siapa orang yang selalu dateng dalam mimpi gue? apa yang dia mau? Kenapa dia slalu ada saat gue sedih, marah, kecewa? kenapa lo bisa tau masa lalu gue? kenapa lo gak mau balikin semuanya?” agni menghujani zevana dengan banyak pertanyaan.

Zevana menatap agni. dapat ia temukan rasa penasaran yang besar dalam tatapan agni. ia tersenyum, lalu mendekat ke agni, menepuk bahunya. “ag, gue tanya sekali lagi. lo bener-bener yakin pengen tau jawabannya? Gak akan nyesel?” tanyanya.

Agni mengangguk pelan. Sedikit keraguan terpancar dari sorot matanya. “emangnya kenapa sih ze? Dari dulu, setiap gue nanyain, lo pasti jawabnya itu. eamngnya masa lalu gue buruk ya? sampe-sampe gue bakal nyesel sama semuanya?” tanyanya balik.

“bukan. Bukan sama masa lalu lo. tapi sama yang sekarang ini. yakin? Kalo yakin, gue bakal cerita sama lo,” jawab zevana.

Agni mengangguk penuh keyakinan. Meskipun rasa penasaran yang amat besar mengusik hatinya. Zevana dan agni duduk bersila di tempat tidur. Zevana menghela napas berat, bersiap memulai ceritanya. Semoga agni dapat menerima semua ini.
***
Ray menggandeng tangan ify seharian ini. rasa kemenangan begitu menggelegak dalam hatinya. “fy! Makan dulu yuk!” ajaknya semangat. Yang diajak mengangguk saja, mengikuti yang mengajaknya.

Ray melipat kedua tangannya di atas meja, mencondongkan badannya ke arah ify. “fy, besok-besok jalan lagi yuk!” katanya antusias.

Ify tertawa kecil melihat antusiasme ray. bila dihitung, dia sudah jarang sekali jalan dengan ray. bahkan dalam setahun dapat dihitung dengan jari. Padahal dulu sering sekali dia jalan dengan ray.

Popularitasnyalah yang membuat jaraknya dengan ray menjauh. Tak ingin gosip tidak enak melanda dirinya dengan ray, tak ingin membuat itu menambah jauhnya jarak mereka.

Ray tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari ify. rindu akan saat-saat seperti ini. takkan menyia-nyiakannya sedikitpun.

Selesai makan, mereka menonton sebuah film luar. Tak mereka sadari, seseorang telah mengikuti mereka daritadi. Mencela dalam hati setiap melihat gerak-gerik keduanya.

Begitu selesai menonton, mereka dikejutkan dengan kehadiran sejumlah wartawan, cameramen, dan pembawa acara infotainment. Semua langsung mengerubungi mereka, meminta jawaban dan komentar, mengapa keduanya bisa bersama dan nonton bareng padahal ify masih berstatuskan pacar septian.

Tak ada yang memberi sedikitpun komentar baik ify maupun ray. keduanya mencoba menerobos kerumunan. Sia-sia. Tak ada satupun yang memberikan mereka jalan. Sinar kamera menyilaukan mata mereka.

Bagaimana ini? bagaimana harus pergi? Apa yang harus mereka lakukan? Selagi jawaban itu mereka pikirkan, seseorang membantu mereka.

“tolong ya! kasih mereka jalan! Maaf!” kata orang itu sambil menarik kedua tangan ify dan ray keluar dari kerumunan.

Ray dan ify segera berlari mengikuti orang itu. mereka sampai di tempat parkir basement. Keduanya berterimakasih pada orang yang menolong mereka itu.

Orang itu hanya tersenyum. “gue debo. Pencari artis baru,” jawabnya ketika ditanyai oleh ify.

Ify membalas senyumannya. Rasa kagum muncul di hatinya begitu melihat penampilan cowok dihadapannya ini. manis. Kesan yang mendalam darinya.

Seseorang yang menguntit keduanya sedaritadi berdecak kesal. baginya, ray payah sekali. diberi kesempatan, malah menolak. Benar-benar pengecut. Dia jadi kesal sendiri.

“ray, gue udah kasih lo kesempatan buat nunjukkin kedekatan lo berdua ke publik. Tapi lo nyia-nyiainnya. Payah,” katanya kesal.
***
Sivia menyerahkan formulir kelas nathan pada nathan sendiri. Nathan mengambilnya kasar dan melihat isinya. Amarahnya memuncak begitu membaca salah satu kertasnya. Tangannya mencengkram kuat kertas itu dan meremasnya, lalu melemparkannya ke arah sivia.

Sivia terkejut begitu kertas itu terlempar ke arahnya. Ia membalas tatapan nathan yang penuh kebencian padanya. “mau lo apa sih nath! Gue selalu baik sama lo! slalu perhatian sama lo! slalu sayang sama lo! kenapa lo jahat banget sih sama gue?! gue benci sama lo!” teriaknya marah bercampur frustasi.

Nathan menarik tangan sivia keluar dari kamarnya dengan kasar. Ia menunjuk sivia begitu sudah diluar kamar. “gue gak butuh perhatian lo! gue gak butuh sayang lo! gue gak butuh kebaikan lo! gue gak butuh lo! gak butuh shilla! gak butuh siapa-siapa!” balasnya lebih kencang dari sivia dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun.

Nathan membanting pintu kamarnya. “gue gak butuh siapa-siapa! Gue Cuma mau sendiri! Pergi lo semua! Pergi dari hidup gue! gak usah ada yang peduli sama gue! gue gak butuh!” teriaknya dari dalam kamar.

Sivia tercengang dengan perlakuan nathan padanya. Baru kali ini nathan sebegitu hebat mengamuknya. Shilla yang baru pulang langung berlari kearahnya. Ia masih terpaku di tempatnya. Shilla mengguncangkan kedua bahunya.

Sebuah sungai kecil mengalir dari matanya, kemudian menatap shilla yang masih tidak mengerti dengan semua ini. “shil.. nathan.. dia..” kata sivia terputus-putus.

“nathan kenapa?!” tanya shilla panik.

Sivia menghapus air matanya dan mencoba menguatkan dirinya, dan menceritakan yang dialaminya berusan pada shilla.

Shilla melotot. Ia menunjuk sivia dengan penuh kemarahan dan ketidaktegaan. “elo pantes digituin! Elo jahat! Kenapa sih lo berubah siv?! Kenapa lo jadi jahat sama dia? kenapa lo jadi kayak cakka siv! Elo jahat..” shilla memejamkan matanya sedetik, mencoba meredam amarahnya.

“kenapa sih siv, lo terlalu banyak berharap? Kenapa sih, lo jadi bergantung sama hal untung-untungan gini? kenapa sih, lo terlalu maksain dia buat kayak dulu? Kalo dia emang mau berubah, biarin siv.. asalkan dia gak marah, itu udah bagus. Asalkan dia bisa seneng.. gak.. seenggaknya dia bisa senyum, sedikit aja siv, itu udah kemajuan besar. Tapi lo berharap pada sesuatu yang mustahil siv. Jangan biarin diri lo jatuh saat lo liat, kalo apa yang lo harapin gak berhasil. Dia emang udah berubah..” ucap shilla perlahan.

Mustahil. Kata yang barusan dia ucapkan. Bahkan dirinya sendiripun masih berharap pada hal itu. kenapa dia bisa bilang mustahil? Hh.. mungkin karna kondisi sekarang, yang membuatnya semakin ragu pada hal itu. yang membuatnya memaksakan diri mengatakan itu mustahil.

Sivia terdiam mendengar semua ucapan shilla, yang kini terus berdengung di telinganya, seolah mengingatkan dirinya. Apa salah dia berharap? Apa salah dia percaya? Apa salah dia menginginkan nathannya yang dulu?

Sivia mencoba tersenyum, setidaknya akan mengurangi ketakutan shilla. tak ingin shilla jatuh sakit dengan semua masalah ini.

Shilla membalas senyumannya, sedikit lega dengan tidak ada bantahan dari sivia. Ia menempelkan telinganya di pintu kamar nathan. Terdengar samar-samar suara tangisan nathan.

Hati shilla mencelos mendengarnya. Badannya jadi lemas, tak kuat mendengar tangisan nathan. Ia menekan gagang pintu, mengintip sedikit dari celah yang dibukanya.

Nathan menangis diatas kedua tangannya yang dilipat di atas meja belajar. Bertahun-tahun shilla tak pernah mendengar tangisan nathan. Hatinya teriris melihat orang yang paling disayanginya ini terlalu pasrah akan nasib, mengalah pada takdir, dan menyerah akan segala harapan.

Shilla segera menutup pintu nathan, titik-titik air jatuh dari pelupuk matanya. Ia menyambar tasnya dan segera pergi meninggalkan sivia yang baru ingin menghiburnya.

Sivia berjalan gontai ke kamarnya sendiri. Ingin rasanya dia menggantikan posisi nathan sekarang. Namun bila dia jadi nathan, sanggupkah dirinya dengan semua ini? masihkah dia bertahan? Tak mungkin.

Kekagumannya pada nathan lah yang selalu membuatnya untuk tetap kuat. Kekaguman untuk bertahan, meskipun semua orang yang disayanginya membencinya, menuduhnya, memakinya, bahkan mencapnya sebagai seorang yang.. sivia sendiri tak tega tuk ucapkan.

sosok dea duduk di meja nathan dan mendengus kesal. “payah! Lemah!” celanya kencang, cukup membuat nathan refleks menatapnya.

“payah banget sih lo jadi cowok! Lemah! Benci tau gak sih gue ngeliatnya! Harusnya lo tuh kuat nath! Kalo lo lemah gini, mana ada cewek yang mau sama lo! lama-lama gue ngundurin diri deh jadi temen lo!” kata dea lagi.

“jangan! Jangan tinggalin gue! gue Cuma punya lo sama deva! Gue sama siapa kalo lo juga pergi de?” mohon nathan benar-benar.

Dea mengulurkan tangannya ke wajah nathan dan mengusap air mata nathan. Sosok deva menepuk kedua bahu nathan dari belakang. “nath, kita gak akan pernah ninggalin lo kok! Kita bakal selalu sama lo, kapanpun, dimanapun, bagaimanapun kondisi lo,” kata deva mantap.

Dea tersenyum dan mengangguk. Cahaya mata nathan sedikit bersinar. Meskipun dia sudah berkali diperdaya dengan segala harapan, dibohongi dengan segala janji, ditinggalkan oleh semua orang yang dia sayang, ucapan deva barusan cukup menggelitik kebahagiaan di dasar hatinya.
***
Hari ini, cakka berniat mencari orang itu, jangan sampai dia lupa untuk mencarinya lagi. cakka berjalan ke kelas zevana, dia mau menanyakan ciri-cirinya dulu. Namun sepanjang dia berjalan di koridor, dia tidak menemukan satu cewek pun yang mirip dengan orang yang dicarinya.

Lagi-lagi langkah caka terhenti di sebuah ruangan. Cakka sampai heran sendiri dalam hatinya. Please deh, ini sudah kedua kalinya kakinya berjalan sendiri tanpa ia sadari. Aneh banget.

Ia membaca papan nama di pintu tersebut. ‘Musical-Teathre Room’. Cakka menganggukkan kepalanya mengerti, lalu masuk ke dalamnya dengan amat pelan, takut mengganggu.

Di dalam, banyak sekali murid, mungkin sekitar 100an, semuanya sedang sibuk. Cakka memandang sekeliling ruangan, cukup bagus, komentarnya dalam hati. ruangan yang bisa terbilang paling luas, dengan panggung yang cukup besar menyita dinding dihadapannya, bangku-bangku dan anak tangga yang berjejer turun ke bawah layaknya bioskop, belum lagi semua perlengkapan lengkap layaknya teater besar.

Cakka menuruni tangga dengan perlahan. Memperhatikan semuanya sedang sibuk, ada yang bernyanyi-nyanyi berdua atau berkelompok, ada yang sibuk menghafal skenario dan puisi, ada yang sibuk mengatur-ngatur semuanya, ada yang membereskan ini itu, juga ada yang mengobrol dan duduk santai. Sepertinya akan ada acara besar.

Cakka duduk di sebelah orang yang sedang duduk dengan melipat kedua tangannya serta memejamkan matanya dan bernyanyi-nyanyi pelan sambil mendengarkan ipod. Cakka menepuk bahu orang itu, membuat orang itu membuka matanya dan meliriknya.

Orang itu malah kaget setengah mati begitu tahu yang menepuk bahunya tadi adalah seorang cakka! CAKKA! cakka yang sangat dikaguminya, cakka yang sangat diidolakannya. Waw, keajaiban, bagaimana cakka bisa ada disini? ia mengucek-ngucek matanya, memastikan ini nyata atau hanya mimpinya saja.

“cakka?” tanyanya heran. cakka mengangguk ragu. Mata anak itu melebar. “lo beneran cakka? kok bisa ada disini!” ucapnya histeris, masih tidak percaya.

Cakka tersenyum padanya. “gue sekolah disini. aneh, kok ada yang gak tau ya,” katanya heran.

Orang dihadapannya itu jadi salting. Ini benar-benar cakka! “ohya? Gue gak tau. sori deh,” katanya canggung.

“nama lo siapa?” tanya cakka. lucu juga makhluk dihadapannya ini.

“agni,” katanya sambil tersenyum.

Cakka mematung mendengar nama itu. agni? agninyakah? Atau bukan? “agni?” ulang cakka ragu.

Agni mengangguk. “yap. Agni. emang kenapa? nama gue jelek ya?” tanyanya.

Cakka menggeleng pelan. Matanya masih terpaku dengan agni. “elo kenal zevana?” tanyanya memastikan.

Agni mengangguk heran. “iya. Lo kenal sama dia?”

Cakka menggeleng lagi. melihat tidak adanya reaksi apapun dari orang dihadapannya ini, ia jadi ragu. Benarkah ini agni yang dicarinya? Tapi nama agni banyak sekali di indonesia. apa benar ini agni? agninya?

“iyalah! Emang lo gak inget?” balas cakka heran.

“gue gak tau. inget? Maksud lo? emang kita pernah ketemu ya?” agni jadi bingung dengan pertanyaan cakka.

Cakka tersenyum paksa. “gue duluan ya,” katanya buru-buru, menuju kelas zevana. Sepertinya ini bukan agninya. Dia jadi tidak sabar. Kalau bisa dia akan memaksa zevana untuk memberitahunya, daripada harus menebak dan mencari tidak jelas seperti ini.
***
Zevana memperhatikan nathan, shilla, dan sivia yang menurutnya sikapnya agak aneh. Dia jadi penasaran. Kenapa nathan pendiam sekali? kenapa shilla selalu mencuri-curi pandang ke arah nathan setiap kali nathan meliriknya? Kenapa sivia bila bertemu nathan akan tampak sangat khawatir sekali?

“boleh gabung?” tanyanya pada ketiganya. Shilla dan sivia saling berpandangan, lalu melirik nathan sebentar, melihat nathan tidak ada reaksi, mereka mengangguk cepat, dan ini semakin menambah kejanggalan dalam mata zevana.

“lagi ngomongin apa?” tanya zevana lagi.

“gak ngomongin apa-apa kok. Hehe,” balas sivia ramah.

Zevana memperhatikan nathan yang sedang sibuk membaca buku. “nath, lo minus atau silinder? Kok kacamatanya berwarna?” tanyanya iseng. Dia ingin mendengar nathan bicara sedikit lebih panjang. Selama nathan duduk dengannya, belum pernah ada satu katapun yang terlontar dari mulut nathan kepadanya.

Nathan tidak mempedulikannya. shilla menginjak kaki nathan disebelahnya. Nathan menatapnya kesal. “apa sih!” katanya ketus.

shilla melotot padanya, seolah memberi isyarat –jawab!-. “normal,” jawab nathan datar.

“normal kok pake kacamata sih? aneh. Enakkan gak pake kacamata lagi,” balas zevana, sebisa mungkin dia ingin berbicara dengan nathan.

“banyak nanya,” balas nathan jutek.

Suasana tidak enak menaungi mereka. zevana, shilla, dan sivia menatap nathan yang jutek sekali. “rese lo nath,” kata sivia memecah keheningan.

“nath, jutek amat sih. emangnya gue salah apa sama lo,” balas zevana tersinggung.

Nathan menatapnya dingin. Namun pandangannya mencair begitu bayangan seseorang menggantikan posisi zevana dihadapannya. Ia segera menyadarkan dirinya. Gak mungkin..

“suka-suka gue,” balasnya lagi. ia beranjak dari tempatnya dengan membawa bukunya. “lepas kunciran lo. lo lebih cantik kalo digerai,” katanya tiba-tiba.

Zevana terhenyak dengan ucapan nathan barusan. Seperti..

Shilla dan sivia menatap punggung nathan yang semakin menjauh dengan heran campur bingung. “siv! Itu.. tadi nathan ngomong beneran apa kuping gue yang ngawur?” tanya shilla tidak percaya.

“kayaknya bener deh shil.. gue juga denger..” jawab sivia pelan.

Zevana menatap keduanya bergantian. “woy! Ada apa sih? cowok ini kan? wajar kali kalo ngomong gitu,” katanya heran.

Shilla dan sivia hanya tersenyum tipis menanggapinya. Wajar kalo cowok lain, tapi gak buat nathan.
***
“vana! Gue gak mau tau! lo kasihtau gue! jangan bikin gue nebak-nebak gini! kalo gue salah kan tengsin woy!” seru cakka tidak sabaran di ruang audio visual yang sedang sepi.

Zevana berdecak. “cari sendiri!” balasnya kesal. entah kenapa, ada rasa tidak rela dan rasa sakit mendengar cakka begitu tidak sabaran mencari orang itu.

Cakka mencengkram kedua bahu zevana, menatap langsung mata zevana penuh permohonan. “vana, please, gue mohon,” ucapnya perlahan.

Jantung zevana berdetak lebih cepat dari sebelumnya. ia menyadarkan dirinya, tak ingin larut dalam suasana barusan. “lo ke kelas gue. lo bakal nemuin dia disana. Tapi gue mohon, Please, Jangan bilang kalo lo udah kenal dia lama. Lo pura-pura baru kenal aja sama dia,” sarannya.

“maksudnya?” tanya cakka yang tidak paham dengan kata-kata zevana barusan.

Zevana mengalihkan tatapannya dari cakka. “nanti juga lo tau sendiri. Udah, turutin gue aja,” katanya kemudian meninggalkan cakka yang masih bingung sendirian.
***
“maaf,” ucap nathan lirih.

Dua sosok gadis dihadapannya hanya tersenyum menanggapinya. Nathan semakin didera rasa bersalah bila melihat senyuman itu. senyuman yang harusnya masih ada sampai sekarang, malah tiada sejak lama. Semua memang salahnya. Andaikan dua sosok ini tak pernah mengenal dirinya, pasti mereka masih ada sampai sekarang.

“vin,” panggil sosok gadis yang wajahnya imut dan manis.

“gue bukan alvin,” bantah nathan lirih.

Sosok gadis yang satunya-yang tampangnya lebih dewasa-mendekat dan menyetarakan kepalanya dengan kepala nathan yang tertunduk, yang sama sekali tak berani menatap mereka. ia mengangkat wajah nathan lembut dengan kedua tangannya, hingga mau tak mau, nathan harus menatap matanya.

“alvin.. mau lo bilang nama lo nathan sampe jutaan kali juga lo tetep alvin. jangan pasrah gini vin. lo yang kuat dong, yang semangat. Lo inget apa yang gue bilang ke lo? yang ngebuat gue suka sama lo? alvin yang selalu kuat, selalu semangat, gak pernah nyerah, dan selalu tersenyum, mau apapun masalah yang datengin dia,” ucap gadis itu dengan penuh senyum. Mengingat kembali semua memorinya dengan nathan, sebelum.. sebelum malaikat hitam itu.. mencabut nyawanya.

Nathan menatap dua gadis dihadapannya ini bergantian. “ren, cha.. gue bener-bener minta maaf. Kalo aja gue gak minta lo ngehindar ren, kalo aja gue bisa cepet dateng ke rumah lo dan gak minta lo nunggu cha.. lo berdua pasti masih ada sekarang,” ucapnya penuh rasa bersalah.

Kesedihan merayap dalam tubuh nathan. Semuanya berputar kembali dalam kepalanya. Kalau saja dia tidak meminta.. kalau saja mereka tak pernah mengenalnya.. kalau saja dia tidak terlalu sayang.. dan kalau saja dia tidak menjalin hubungan dengan mereka..

Pasti.. pasti mereka masih ada sekarang, masih terus menjalani hari mereka yang pasti akan jauh lebih baik tanpanya, masih bisa menebar senyum pada orang lain, dan pasti.. mereka akan menemukan orang yang benar-benar sayang sama mereka, yang pasti bisa ngelindungin mereka.. yang jelas, bukan seperti dirinya.

Sosok acha-gadis yang bertampang imut tadi-menepuk bahu nathan. “vin, lo gak salah.. semuanya Cuma kecelakaan dan ketidaksengajaaan aja. Jangan salahin diri lo, jangan buat diri lo tersiksa vin,” ucapnya.

Nathan menatap acha. Bukannya lebih baik dia malah semakin merasa bersalah dan tidak berguna. “gue salah! Harusnya gue gak pernah nerima lo berdua! Harusnya gue ngehindar saat lo berdua mulai deket sama gue! gue salah! Gue salah!” tuduhnya pada diri sendiri.

“vin! alvin! dengerin gue! lo sama sekali gak salah! Fine kalo lo mikir lo salah! gue, aren, nandya, silvia, udah maafin lo! sekarang lo semangat lagi ya? jadi alvin! bukan nathan! jadi alvinnya acha, alvinnya aren, alvinnya nandya, alvinnya silvia, ya?” acha mengguncangkan kedua bahu nathan.

Nathan mengerling ke arah aren. Aren mengangguk antusias. Namun ia menggeleng. “gue gak mau jadi alvin. alvin yang dibenci orang, alvin yang gak berguna, alvin yang selalu bawa malapetaka, alvin yang terlalu banyak berharap, alvin yang selalu terlihat seneng padahal enggak, alvin yang selalu ditinggalin sama orang yang dia sayang,” katanya lirih.

“tapi lo tetep alvin! aneh banget sih lo vin! lebih suka jadi orang yang bukan diri lo sendiri!” ucap aren emosi. “lo puas jadi nathan? Nathan yang selalu sendirian? Nathan yang pengecut? Yang gak berani ketemu sama orang baru? Yang gak berani mulai pembicaraan? Yang gak berani natap langsung mata orang?” sindirnya sinis.

Nathan membisu. Semua diluar keinginannya. Dia tahu dan mengerti apa yang sesungguhnya ia inginkan. Dan itu bertolakbelakang dengan nathan sama sekali. “alvin udah mati, dan gak mungkin kembali lagi,” bantahnya halus.

Sosok dea tiba-tiba muncul di kamarnya. “alvin pembunuh!” ucapnya keras, cukup membuat ketiganya menoleh ke arah dea. Dea menatap nathan tajam. “mendingan lo jadi nathan! Seenggaknya lo bakal lebih seneng! Bukannya jadi alvin! yang kerjaannya Cuma bisa buat orang yang disayanginnya pergi! Yang sama sekali gak berguna! Yang Cuma bisa nyusahin orang doang!” serunya tajam.

“dea!” teriak sosok deva yang baru muncul. “mau lo apa sih! kenapa setiap malem lo selalu jatohin mental dia?! arggh! Gue bingung sama lo de!” marah deva.

“jatohin mental dia?” lengking dea, hingga semua sedikit mengernyitkan matanya mendengar lengkingan dea. “lo bilang gue jatohin mental dia?! setelah selama ini gue bantuin dia buat bangkit?! Tega lo dev sama gue!”

Acha, aren, dan nathan hanya dapat menonton keduanya bertengkar. Deva sudah naik darah. Tatapannya pada dea begitu tajam dan penuh amarah. “oh! Jadi lo bilang gue tega? Tegaan siapa dibandingkan sikap lo ke nathan de! Kenapa lo selalu ngebuat dia benci sama alvin! dan kenapa lo selalu motivasi dia buat jadi alvin! lo ngebuat dia bimbang de! Lo ngebuat dia ragu! Lo..” tuduhan deva tersela oleh teriakan nathan.

“STOP! GUE BILANG STOP! SEKARANG LO SEMUA PERGI! PERGI!” usirnya kencang. Semua langsung menghilang dalam sedetik.

Nathan menghela napas berat. semua terlalu mendadak baginya.
***
Ify mengambil dua kaleng minuman soda dari kulkasnya dan memberikannya pada ray yang tengah asik mengobrol dengan kakaknya di kamarnya.

“sampe kapan lo mau nyembunyiin perasaan lo ke ify ray?” tanya kakak ify selagi ify mengambil minuman di dapur.

Ray hanya mengangkat bahu. “gimana gue mau bilang, kalo setiap dia lagi sama gue, pasti dia cerita tentang cowok kak?” balas ray.

Kakak ify tampak berpikir. Hening tercipta diantara mereka sampai ify datang memecah keheningan. “nih!” kata ify, menyodorkan kaleng minumannya ke ray dan kakaknya.

Keduanya membukanya dan meminumnya. “lagi ngomongin apa?” tanya ify.

Ray mengetukkan telunjuknya di karpet ify, sekedar mencari kesibukan. Hening tercipta kembali.

Ify jadi bingung, tak biasanya ray dan kakaknya diam seperti ini. ia menatap ray, yang sedang sibuk mengetukkan jarinya seolah sedang memukul drum. Kemudian ia beralih menatap kakaknya, yang terlihat sedang sibuk berpikir.

“woy! Kok pada diem sih!” serunya memecah keheningan, cukup membuat keduanya menoleh ke arahnya sedetik kemudian kembali dengan kesibukan masing-masing.

“kak rio! ngomong napa!” tegur ify kesal pada kakaknya-kak rio-.

“sibuk. Udah ah, lo sama ray aja! Gue mau ngapel dulu,” pamitnya sambil menaik-turunkan alisnya.

Ify merengut kesal. “kak, kalo gue jadi agni, gue bakal bosen ngeliat lo terus tiap hari,” komentar ify.

Ray menunjuk setuju dan mengangguk. Rio berdecak kesal. “elah! Agninya gak bosen sama gue, napa lo berdua yang repot?” balasnya sambil berdiri.

“gimana gak bosen kak, lo terlalu over sama dia,” gumam ify teramat pelan.

Rio langsung meninggalkan mereka, sepertinya tidak mendengarkan gumaman ify barusan. Ray menatap ify agak aneh. “fy, kata lo tadi mau cerita? Cerita apa? Cowok lagi?” tanyanya muram.

Ify mengangguk antusias. “lo inget cowok yang nolongin kita di mall kemaren?” tanyanya berapi-api. Ray tahu kemana arah pembicaraan ini. ia mengangguk kecil. “menurut lo debo gimana? Dia ganteng ya! manis lagi senyumnya!” pujinya.

Ray hanya manggut-manggut saja mendengarnya. Meski hatinya teriris setiap ify memuji cowok lain. “menurut lo dia cocok gak sama gue?” tanya ify berapi-api.

Ray menatap ify. ini pertama kalinya ify begitu semangat membicarakan cowok. “lo suka sama dia?” tanyanya memastikan.

Ify mengangguk. Raut wajah ray berubah kecewa. “cocok,” jawab ray asal. “tapi septian mau lo kemanain?” tanyanya.

“berita kita jalan berdua kemaren kan pasti besok udah ada di tv! Nah pasti septian marah dan nuduh gue selingkuh! Nah gue putusin aja dia pas itu! bilang kalo dia gak percaya sama gue dan elo! Gimana? Bagus kan ide gue?” bangga ify.

“jahat lo fy. Kalo gue jadi septian gue bakal sakit hati banget. lo Cuma maenin dia doang kalo gitu. Kenapa sih fy, lo gak pernah bosen gonta-ganti cowok? Kenapa sih lo gak pernah ngertiin perasaan cowok? Mereka selalu nyoba ngertiin lo, tapi lo gak pernah sekalipun ngertiin mereka. kasian kan fy?” tutur ray. rasanya itu lebih menggambarkan dirinya.

Ify terdiam. Memang benar yang diucapkan ray, namun itu tidak dapat mempengaruhi hatinya. “gue ngerasa mereka gak cocok sama gue, ray. buat apa gue sama mereka kalo gue bosen? Kalo gue gak srek sama mereka? mendingan gue cari cowok lain kan?” balasnya.

“tapi lo pernah mikir gak? Berapa sakit rasanya dikhianatin gitu? Dimaenin gitu? Mereka tulus sayang sama lo. tapi elonya malah suka sama cowok lain, mikirin cowok lain, gak pernah mikirin perasaan mereka,” ray menghela napas berat.

Ify mengerutkan keningnya. “kok lo pake perasaan amat sih ngomongnya? Jangan-jangan lo suka lagi sama gue!” tebaknya asal.

“gue gak suka cewek kayak lo fy, yang suka maenin perasaan orang,” jawabnya. Terpaksa kebohongan itu terlontar dari mulutnya, daripada ify tahu. Bisa gawat nanti.

Ify membulatkan mulutnya. Entah kenapa, sedikit rasa kecewa timbul di dasar hatinya. “emangnya gue sejahat itu apa ray sampe lo gak suka sama gue,” gumamnya tidak sadar.

Ray menatapnya aneh. Antara gembira dan bingung. “lo bilang apa barusan fy? Lo ngarep gue suka sama lo?” tanyanya sambil nyengir.

“hah? Apa? Gue ngarep lo suka sama gue? idih! Sori deh ya! gak banget! ntar gue digebukin lagi pake stik drum! Ogah!” tolak ify salting.

Ray tertawa melihat ify yang salting. Hatinya sedikit terhibur dengan kata-kata ify tadi.
***
Agni membuka pintu. Dia tahu siapa yang datang. “masuk yo,” katanya malas.

Rio memamerkan senyum manisnya pada cewek yang sudah 3 bulan dipacarinya ini. ia segera mengambil tempat duduk.

Agni hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kejenuhan sudah menghinggapi dirinya. “yo, laen kali lo dateng kalo gue minta aja ya?” sarannya cuek. Ia duduk namun agak jauh dari rio.

Rio menatapnya kesal bercampur marah bercampur kecewa. “lo gak seneng gue dateng ya?” tanyanya kecewa.

“bukan gitu yo. Gue gak enak aja lo dateng kesini hampir setiap hari,” jawabnya tidak enak, meski bukan itu alasannya.

“bohong. Lo bosen kan sama gue? atau lo punya cowok lain yang suka dateng kesini juga?” selidik rio tidak percaya.

“kenapa sih yo, lo gak pernah percaya sama gue?! kalo gue bilang gak usah dateng kesini ya gak usah dateng!” jawab agni yang sebenarnya sudah lama kesal dengan sikap rio yang over.

Rio mengarahkan wajah agni ke arahnya. “oke. Gue gak akan sering-sering dateng kesini. tapi lo jangan marah ni,” katanya.

Agni mengangguk. To the point saja, dia sudah bosan dengan rio. bosan dengan sikapnya yang terlalu over, bosan dengan perhatiannya yang terlalu berlebihan. Ingin sekali dia mengakhiri hubungan ini, namun tak ada alasan untuknya.

“yaudah deh gue pulang aja. Abisan lo marah sih. besok gue gak bisa nganter lo sekolah ni, ada urusan di kampus, sori,” pamitnya lalu berdiri.

“gak usah, sini aja. Ada yang mau gue omongin sama lo,” kata agni serius.

Rio duduk kembali dan menghadap agni, menunggu kelanjutannya. “apa? Serius amat,” celetuknya.

“emm.. yo.. mulai besok, lo gak usah anter jemput gue lagi ya?” katanya ragu.

Rio sudah sampai di ambang batas kemarahannya. Apa maksud agni dengan ini semua? “maksud lo..” rio tak sanggup melanjutkannya.

“bukan! Bukan itu maksud gue!” sahut agni cepat-cepat. “gue Cuma minta kerenggangan dari lo aja. Boleh?” tanyanya tidak enak.

“lo bosen ya ni sama gue?” tanya rio getir. Agni tidak menjawab, mengangguk ataupun menggeleng.

“lo mau putus sama gue?” desak rio.

Agni menatapnya. “kita break dulu ya yo?” pada akhirnya ia mengungkapkannya juga.

Rio sekarang benar-benar marah. “break?! Kenapa sih ni?! Salah aku apa? Kamu udah punya cowok lain ya?” tanyanya tidak terima.

Agni menggeleng. “gue gak punya cowok lain. Lo gak salah. Gue Cuma pengen free dulu aja,” jawabnya datar.

“terserah!” rio segera pergi meninggalkan agni.

Agni menghempaskan badannya dan menghembuskan napas berat. rasa di hatinya terkuras habis. Sepertinya dia menyadari sesuatu.
***
Shilla bingung dengan semua ini. sampai kapan ini akan berakhir? Kapan nathan bisa bahagia? Kapan semuanya akan kembali normal? Ribuan pertanyaan tak terjawab lainnya memenuhi sudut pikirannya.

Ia meneguk minuman di hadapannya. Entah sudah berapa gelas yang ia minum. Dia tidak peduli. Cuma dengan ini, dia bisa meluapkan segalanya.

“alvin..” raungnya sambil menangis.

Dia tidak tahu apa penyebab utama alvin bisa menjadi nathan seperti ini. terakhir kali bertemu alvin, kondisinya sudah seperti ini. bahkan.. jauh lebih parah.

“alvin.. kenapa lo jadi gini sih? gue kangen vin sama lo yang dulu. yang selalu senyum ke gue, yang selalu perhatian sama gue, yang selalu bisa ngehibur gue,” katanya sesenggukan.

“tapi apa vin.. sekarang lo senyum aja enggak.. lo selalu marahin gue sama sivia setiap hari, selalu ngusir kita..”

“padahal gue tau vin, jauh di lubuk hati lo, lo takut kita ninggalin lo kan? lo takut sendirian? Lo Takut gak ada yang peduli lagi sama lo? makanya lo nangis kemaren ini? setelah lo ngebentak sivia dan ngusir dia habis-habisan? Elo sebenernya gak pernah bener-bener begitu kan vin?” shilla terus berbicara sendiri. Seolah ada alvin dihadapannya.

“gue ngerti vin, ngerti banget. udah belasan tahun gue jadi sepupu lo, gue udah ngerti banget perasaan lo. gue tau kalo selama 5 tahun ini lo ketakutan, lo kesepian, lo menderita kan vin? semua nyalahin lo, semua mojokkin lo, semua nuduh lo. gue rela vin, gantiin posisi lo. asal gue bisa liat lo kayak dulu lagi.”

“bukan nathan vin yang gue butuhin. Tapi alvin,” katanya. Shilla menghapus air matanya dan meneguk lagi minumannya.

Cakka yang sedang berkumpul bersama kawan artisnya disana melihat shilla. ia menghampirinya. “shil,” panggilnya.

Shilla tidak menjawab sama sekali. dia setengah sadar. “alvin,” ucapnya sebelum kesadarannya hilang.

Tubuh shilla tidak seimbang, hampir merosot bila cakka tidak menahannya duluan. Cakka langsung membawa shilla pulang.
***
Cakka menghentikan mobilnya di depan rumah nathan. Tak ingin sekali ia menginjakkan kakinya di rumah ini. namun, shilla harus dibawa masuk ke dalam. Ia menggendong shilla dan membawanya ke dalam.

“sivia!” teriak cakka.

Sivia segera menghampiri asal suara. “ya ampun shilla! kesini cak,” sivia segera mengantarkan cakka ke kamar shilla.

Cakka membaringkan tubuh shilla. “dia sering kayak gini siv?” tanyanya, yakin ini bukan pertama kalinya shilla minum.

Sivia mengangguk lemas. “sering. Sering banget. tiap ada masalah, pasti dia minum,” jawabnya.

Cakka melangkah cepat menuju kamar nathan. Ia menjeblak pintunya, membuat nathan yang sedang sibuk di depan laptop menoleh ke arahnya.

“HEH! Mau lo apa sih?! belom puas lo nyakitin orang di sekitar lo?! belom puas lo bikin orang yang gue sayang pergi?! Belom puas lo buat semuanya mati?! Sekarang lo mau ngancurin shilla juga?!” amuknya.

Nathan menatapnya dingin. “harusnya lo bukan disini! harusnya lo mati aja! Jangan pernah balik ke dunia ini! biar gak ada orang yang susah gara-gara lo! lo Cuma bawa malapetaka kalo idup tau gak sih!” cakka meluapkan sedikit amarah yang selama ini terpendam dalam dirinya.

“bisa gak sih lo pergi dari kita?! Pergi yang jauh! Atau kalo perlu, lo mati aja! Gak ada yang butuh lo! lo gak berguna! Cuma bisa nyusahin orang aja!” maki cakka.

“kalo sampe shilla kenapa-napa, gue yang akan turun tangan langsung buat ngabisin nyawa lo!” ancamnya sungguh-sungguh. Ia segera pergi dan pulang ke rumahnya.

Sivia menatap nathan yang dicerca terus daritadi. Ia menutup pintu dengan amat pelan.

nathan memejamkan matanya sebentar selagi mengatur napas. Cercaan seperti itu sudah sering kali ia dengar dari mulut cakka dan orang lain. Dan sudah berkali juga cercaan itu menekan segala perasaan dan emosinya. yang tanpa semua sadari, semuanya menjatuhkan mental dan keberaniannya.

nathan memejamkan matanya. “kalo gue bisa milih boleh hidup di dunia atau gak, gue bakal lebih milih buat gak hidup cak. Dan kalo gue bisa mati sekarang, gue bakal milih mati cak. Gue sadar, gue tau diri, gue emang gak berguna, gue emang nyusahin orang, gue juga udah ngancurin hidup orang di sekitar gue,” ia berhenti sejenak untuk mengambil napas.

“dan kalo emang lo mau gue bener-bener mati cak, gue turutin. Karna udah cukup bagi gue, ngeliat semua yang gue sayang pergi ninggalin gue satu demi satu,” nathan mengambil sebuah silet dari lacinya.

Baru saja ia mau memotong nadinya, deva sudah mengambil silet itu dan melemparnya. “nath! Lo mau ngapain! Lo pikir dengan lo mati, semua masalah bisa slesai? Gak akan!” marah deva yang muncul tiba-tiba.

“seenggaknya semua orang seneng ngeliatnya,” katanya getir.

“udahlah nath! Gue tau isi hati lo! lo takut mati kan? lo takut gak bisa liat shilla sama sivia lagi kan? lo takut orang-orang bakal seneng sama kematian lo kan? lo takut kalo emang gak ada yang peduli sama lo dan nangisin lo disaat lo mati kan? jangan pura-pura nath!”

“lo gak bisa bohongin hati lo nath, kalo lo sebenernya ketakutan,” kata deva pelan.

Nathan terdiam. “dev, gue mau jadi kayak lo aja. Bisa ngilang semau lo, bisa dateng semau lo, bisa ngasih motivasi ke orang lain, bisa bikin orang lain seneng,” katanya iri.

“sayangnya gak mungkin nath,” balas deva.

“kenapa? lo bilang, lo nyata, berarti gue bisa kayak lo dong?” protesnya.

Deva menggeleng pelan. “lo nanya ke gue sama dea, kita nyata atau gak. Gue gak bilang gue nyata, gue bilang, gue nyata kalo lo bilang gue nyata. Sekarang lo harus sadar vin, kalo gue sama dea, Cuma khayalan lo aja, gak lebih,” katanya lirih.

Nathan menggelengkan kepalanya tidak terima. “gak! Lo nyata! Lo temen gue! lo bukan khayalan gue! kenapa semua nganggep lo sama dea khayalan gue sih?! bahkan lo sendiri bilang kalo lo Cuma khayalan! Gimana sih dev! Lo tuh nyata! NYATA! Jangan bikin gue kayak orang sakit jiwa dong!” protesnya lagi.

Deva menghembuskan napas berat. “terserah lo deh vin,” katanya.

“selama lo pikir kita nyata, kita bakal nyata dan selalu ada buat lo. tapi kalo lo udah sadar vin, lo gak akan bisa nemuin kita lagi,” gumamnya amat pelan.
***
di comment ya.. hehe :)

0 comments:

Post a Comment