Saturday 25 December 2010 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 5

PART V


Ray tak tahu mengapa ia hanya bisa diam seperti ini di tempatnya. Sebagian dari dirinya ingin menyusul ify, tapi sebagian lagi menahannya untuk tetap di sini. Tapi untuk apa?

Ia melirik kepada gadis di sebelahnya yang sudah kembali menonton dan bersikap seolah tidak terjadi sesuatu barusan. Apa mungkin ia masih di tempatnya karna janjinya dengan oliv? Atau..

Buru-buru ray menghilangkan pikirannya barusan. Tak habis pikir mengapa bisa ia berpikir seperti itu. ia segera berdiri dan mengambil kunci motor. Tak mungkin ia menyusul ify yang sudah duluan dengan mobil. Bisa terlambat dia. dan mungkin ify akan semakin marah padanya.

“gue pergi dulu! urusan penting!” teriaknya pada oliv yang masih di kamar sementara ia sudah berada di depan pintu rumah.

“janji lo ray!” peringat oliv kencang.

Ray berdecak kemudian balas berteriak, “satu jam! Nanti gue balik lagi! gue gak pernah ingkar janji kan sebelumnya?”

Oliv tak menjawab lagi. segera ray menyalakan motornya dan melesat menuju rumah ify.
***
Ify melempar tasnya ke sofa, mengambil kaleng minuman dingin di dapur, kemudian membukanya dan meneguknya sampai habis. Kakaknya, rio, yang daritadi sudah berkutat dengan laptopnya mengerjakan tugas-tugas, tertarik dengan adiknya yang bertingkah tidak seperti biasanya.

“tumben jam segini udah pulang fy, biasanya malem,” kata rio basa-basi.

Ify menghempaskan badannya ke sofa dan memutar-mutar kaleng minumannya yang baru. “gak usah basa-basi deh kak! mau lo apa?” tanyanya super jutek.

Rio mendorong tangannya ke meja, membuatnya kursi yang didudukinya terhempas ke sofa. Ia melipat kedua tangannya di kepala sofa, tepat di belakang adiknya ini. “lo ada masalah?” tanyanya langsung.

“tumben lo peduli sama gue, biasanya agni terus yang ada di pikiran lo!” kata ify tanpa mengindahkan pertanyaan kakaknya barusan.

Air muka rio sedikit berubah mendengar nama itu. tapi ia lekas mengganti suasana barusan. “ray mana? Bukannya kalo lo ada masalah selalu cerita ke dia?” tanya rio melembut.

“justru masalahnya sama dia!” jawab ify penuh kekesalan. Ia melipat kedua tangannya dengan wajah ditekuk.

Rio menatap adiknya ini, ia baru sadar, kalau selama ini ify tak pernah membagi masalah dengan dirinya, yang ada, dia terus yang membagi masalah dengan ify. tangannya mengusap lembut kepala ify, seraya berkata, “cerita ke gue,” katanya singkat, tapi menyerupai perintah.

“gak usah! Cerita sama lo gak guna!” kata ify lalu beranjak ke kamarnya di lantai dua, meninggalkan rio yang terpaku oleh kata-katanya, yang baru sadar bahwa ia tisak berguna sama sekali menjadi kakak.

Rio kembali ke tempatnya, masih terpikir dengan kata-kata ify tadi. penolakan singkat, tapi cukup telak di hatinya. Sementara rio terus terpikirkan hal itu, deru motor yang dikenalnya berhenti tepat di depan rumahnya.

“kak rio! ify kenapa sih?” tanya ray buru-buru masuk ke rumah. Rio hanya mengangkat bahu.

“yang ada juga mustinya gue yang nanya elo kali! Lo apain adek gue, hah!”

“mana gue tau!” balas ray, beranjak ke kamar ify.

Ray mengetuk pintu kamar ify. “fy,” panggilnya. “buka dong. Lo napa marah-marah sih?” tanya ray bingung.

“masuk! Gak dikonci!” seru ify dari dalam.

Ray masuk perlahan dan melihat ke sekeliling kamar. Ify kenapa sih? kalau marah biasanya semua barangnya sudah berhamburan di lantai, tapi ini tidak. ray menjulurkan lehernya, melihat sedikit raut wajah ify yang membelakanginya. Normal kok, biasa saja. tadi tuh anak kenapa? kesambet?

“apa liat-liat?!” ketus ify.

Ray berjalan melewati ify, dan duduk di atas meja. “lo napa sih fy? Gaje banget tadi,” tanya ray heran.

Ify mengangkat bahu. Ia sendiri heran kenapa ia bisa bersikap diluar kesadaran seperti tadi. “kok gue gak pernah liat tuh cewek sebelumnya? baru kenal apa udah lama?” tanya ify cuek, sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Ray tersenyum dan mengambil bantal kecil di sebelahnya lalu melemparnya ke ify. “napa? Jealous?” godanya.

Ify mendengus kesal dan balas melempar ke arah ray. “gak! Cuma nanya! Napa? Dia beneran cewek lo?” tanya ify kembali.

Ray menghindar dan terus melemparkan bantal-bantal yang ada ke ify. “bukan kok! tenang aja, gue masih single and available! Oliv itu temen gue dari kecil, rumahnya aja sebelahan! Terus mama gue tuh temen mamanya, jadinya kita ikutan akrab gitu deh!” cerita ray.

Ify hanya manggut-manggut dan membulatkan mulutnya, tak lupa membalas serangan bantal dari ray.

“oliv itu sekolahnya beda sama kita. Dia sekolah di sekolah biasa, bukan kayak kita. Terus, dua bulan yang lalu tuh dia student exchange ke aussie,” lanjut ray lagi.

“tapi kita kenal udah beberapa tahun ray, aneh deh, masa sekalipun gue belom pernah liat dia?” tanya ify heran.

Ray cengengesan. “rahasia dong, hehe.”

Ify mengangkat alisnya. “tapi dia Cuma temen lo kan?” tanya ify memastikan.

Ray mengangguk dan berkata, “dia Cuma temen gue, dan gak lebih. Udahlah fy, kalo jealous bilang aja,” goda ray kembali.

Ify hanya manyun mendengarnya, sementara ray malah mengacak-acak rambutnya. “tadi lo ke rumah gue mau ngapain?” tanya ray kemudian.

Ify mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu, mencoba mengingat-ngingat. “lupa, hehe,” katanya cengengesan.

“jah!” ledek ray. ia melihat jam tangannya, kemudian menepuk keningnya. “mati gue fy! Gue balik dulu ya! udah terlanjur janji sama oliv sejam aja. Nanti hukuman gue nambah sama dia! dah!” katanya buru-buru lalu bergegas pergi.

Ify menatap kepergian ray dengan sebal. Sudah bagus moodnya kembali, tapi malah balik jadi buruk lagi. menyebalkan!
***
Ray menelan ludah melihat oliv sudah berdiri di teras rumahnya sambil terus melirik ke arah jam. Satu yang ada di pikiran ray, oliv sudah sepertinya istrinya saja yang nungguin dia pulang kemaleman! My god!

“satu jam, tiga belas menit, dua puluh tujuh detik! Lo telat tiga belas menit lebih! Mana yang tepatnya?!” omel oliv begitu melihat ray berhenti di depannya.

“yaelah liv, Cuma tiga belas menit aja lo repot deh. yaudah deh, gue tambahin permintaan lo satu lagi. mau apa neng geulis?” kata ray.

Oliv tampak berpikir, kemudian beberapa detik kemudian ia berseru dengan telunjuk teracung, “gue mau ikutin keseharian lo. anggep aja gue asisten lo! yah?”

Ray cengo. Hah? Jadi asistennya? Tidak salah? Ray meletakkan tangannya di kening oliv yang langsung ditepis oleh oliv sendiri. “wah, lo kesambet apaan liv di aussie?” tanyanya heran.

“apa sih?! udahlah, gue Cuma pengen tau aja keseharian lo. objek penelitian gue kali ini, hehe..” jawab oliv.

Ray tersenyum kecut. Jadi dia hanya objek penelitian? Menyebalkan!! “penelitian apa lagi liv? Perasaan penelitian mulu. Jangan kepinteran ah jadi orang,” kata ray, masuk ke dalam rumahnya dan oliv mengikuti.

“penelitian tentang keseharian artis muda, kesibukannya, sama pergaulannya. Tema yang gue usung sendiri tuh! soalnya gampang nyari objeknya! Kan ada elo ray, hehe..”

“he he he! Jadi lo manfaatin gue gitu? Buat berapa lama neng?” kata ray dengan tawa memaksa.

“emm.. mungkin tiga bulanan lah. lo tau kan kalo bikin makalah itu lama. Udahlah jangan banyak tanya! Pokoknya harus mau!” tegas oliv.

Ray memutar bola matanya. “terserah elo deh. gue ngantuk. Mau tidur. Balik sana ke rumah lo!” kata ray setelah menguap. Ia melompat ke tempat tidurnya dan memeluk guling.

Oliv menggerutu, tapi sedetik kemudian ia sudah ada di pinggir tempat tidur ray sambil menepuk-nepuk pipi ray. “yaudah. Night,” pamitnya dengan senyum manis.

Ray menunggu hingga oliv pergi kemudian berpikir. Oliv kenapa? aneh banget. kayaknya beneran kesambet pas di aussie deh. harus dibawa ke psikolog tuh. gak biasa-biasanya oliv jadi manis banget. hoammh. Ray menguap lagi, dan tak butuh waktu lama, ia sudah terlelap dalam mimpinya.
***
Zevana senyam-senyum sendiri melihat tingkah laki-laki di sebelahnya. Lucu sekali, sebentar-sebentar melirik ke belakang. “ada apa vin di belakang?” tanyanya berbisik, pura-pura tidak tahu.

“nothing,” jawab nathan cuek.

Haha. Tapi sepertinya kata ‘nothing’ itu sudah tak berlaku karna beberapa detik setelahnya ia kembali melirik ke belakang. “udahlah vin, gue bilang juga apa. Lo tinggal ngaku ke dia dan semuanya selesai! Gampang kan?”

Nathan tidak menanggapi. Ia sendiri bahkan sudah rindu sekali dengan gadis yang diliriknya terus daritadi. Ia menghela napas panjang, entah kapan ia baru bisa dekat dengan gadisnya itu.

“vin, lo jangan liatin dia terus napa. Usaha dong! Payah banget sih,” cela zevana.

Ya, untuk itu nathan benar-benar mengakuinya. Ia memang payah, pengecut, pecundang, dan sebagainya. Bukannya ia tidak mau usaha, tapi dia sama sekali tak punya nyali, ragu kalau kisahnya kali ini akan berakhir baik.

Karna setelah kematian aren ia sudah benar-benar takut untuk kembali menjalin sebuah hubungan. Trauma dengan pesakitan cinta yang dialaminya. Takut bila agni nanti lebih memilih cakka dibanding dirinya, takut bila semua yang ditakutkannya terjadi, bila sudah tak ada orang lagi yang mencintainya, dan semua rasa percayanya hancur berantakan.

“gak usah sok peduli sama gue! jangan ikut campur!” marah nathan, namun dengan suara pelan, karna masih ada guru di kelasnya dan ia tidak mau dipanggil hanya karna hal bodoh seperti ini.

Zevana terdiam. Ia tidak tahu mengapa nathan jadi kembali dingin padanya. Tempramen yang selalu berubah-ubah. Aneh. “yaudah sih vin, biasa aja. Gak usah marah gitu kali,” katanya kesal

Hening kembali tercipta di antara keduanya. Hanya ada suara lembaran halaman buku yang dibalik dan pulpen yang menari di atasnya. Zevana yang tidak betah diam-diaman sekaligus penasaran dengan nathan memberanikan diri bertanya, dengan suara yang amat pelan, “vin, emm.. lo rada aneh ya?”

“apanya?” tanya nathan. Walaupun terlihat tenang, tapi hatinya gelisah sekarang, khawatir bila yang ditanyakan berhubungan dengan kesehatan jiwanya.

“emm, itu, elo kan dingin banget awalnya, terus kemarin udah baek, udah mau senyum, tapi kok sekarang dingin lagi? terus, gue pernah denger lo ngomong sendiri di kelas. Lo gak ada gangguan jiwa kan vin?” tanya zeva takut-takut.

Nathan menggebrak mejanya dan menunjuk zevana tepat di wajahnya. “jaga mulut lo! jangan bicara sembarangan!” marahnya.

Semua pasang mata menatap nathan dengan pandangan bercampur, antara heran, bingung, takut, dan yang lainnya. Zevana sendiri sangat terkejut dengan reaksi nathan. Menakutkan. Nathan tampak tersinggung, apa benar yang ia duga?

“nathan! Berani-beraninya kamu berteriak saat pelajaran saya! Kamu tidak dengar saya mengajar ya?!” marah bu maria, yang sedang mengajar saat itu.

Nathan sudah kembali diam seperti tadi. pikirannya penuh dengan kecurigaan zevana. Jangan sampai semua orang curiga dengannya.

“nathan! Kamu dengar saya tidak?!” bu maria rupanya sudah mengomeli nathan sejak tadi tapi tak dianggap sama sekali. “sekarang kamu jawab pertanyaan ibu! Kalau kamu tidak bisa, jangan ikut pelajaran saya sampai semester berikutnya!” ancam bu maria.

Nathan mau tak mau mendengarkan guru itu bicara dan memberikan pertanyaan. Mulai dari pelajaran anak SMA sampai pertanyaan-pertanyaan luar biasa sulit, dan sampai pertanyaan musik. Dan sayangnya, semua pertanyaan dijawab benar oleh nathan, terutama tentang nada-nada musik, mau tak mau semua mendengarkannya menyenandungkan nada-nada tersebut.

Agni merasa familiar dengan suara nathan, serak basah dan sedikit berat, sangat khas anak laki-laki yang mengalami masa puber. Dan rasanya, ia pernah mendengarnya, bahkan sering sepertinya. Tapi siapa?

Agni menatap nathan yang memejamkan matanya dan masih menyenandungkan setiap nada yang disebutkan bu maria. Ia melirik sivia. tampak sivia begitu berbinar mendengarnya, dan kemudian ia teringat. “nada sempurna,” gumamnya pelan.

Ya, nada sempurna, salah satu khas keluarga CASS, menyebabkan mereka tak bisa jauh dengan dunia musik, atau lebih tepatnya, memang itu tempat mereka. tapi agni masih belum menyadari, siapa nathan sebenarnya, ia hanya merasa, kalau nathan salah satu anggota keluarga CASS.
***
Gabriel tak menyia-nyiakan waktunya begitu mendengar cerita sebagian temannya mengenai kejeniusan Nathan. Belum lagi dengan nada sempurna yang dimilikinya. Benar bukan dugaannya? Bahwa Nathan adalah Alvin?

Melihat orang yang dicarinya masih ada di kelas itu, ia langsung menghampiri dan bertamya tanpa berbasa-basi, “Nathan, lo.. Alvin kan?”

Nathan menoleh pada Gabriel yang tiba-tiba ada di depannya itu, bertanya tanpa sopan santun, dan ia mencelanya dalam hati. “Alvin? Siapa?” tanyanya balik.

“lo! Lo Alvin kan? Alvin jonathan? Salah satu anggota CASS, si jenius dengan nada sempurna? Harusnya lo sekarang kuliah kan? Bukan SMA lagi?” cerca Gabriel langsung.

Sivia yang baru kembali dari kelas lain segera membantah pernyataan Gabriel barusan yang didengarnya, “dia bukan Alvin. Alvin udah gak ada, dan jangan sebut-sebut nama dia lagi.”

Gabriel melirik sivia sinis. Tidak menyangka sivia dan shilla sama-sama bodoh dalam menanggapinya. Ia tidak akan pernah percaya bila seorang artis terkenal tiba-tiba menghilang tanpa jejak disaat ia baru naik daun dan dinyatakan meninggal begitu saja.

“kalo alvin udah gak ada dan meninggal, gue mau Tanya sama lo. Kenapa lo berempat bisa masuk sekolah ini bareng, di hari yang sama? Kenapa lo sama ashilla slalu bareng sama anak ini, kalo dia bukan siapa-siapa kalian? Terus kenapa dia punya nada sempurna dan bisa jawab semua pertanyaan bu maria? Padahal bu maria selalu ngasih soal tersulit, yang bahkan gak cocok untuk anak SMA? Lo bisa kasih penjelasan?” serbu Gabriel.

Sivia terdiam sejenak, dia butuh berpikir untuk menjawabnya. Memang, itu semua terlalu membuktikan bahwa Nathan adalah Alvin. Dan ia sekarang tidak tahu harus menjawab apa.

“gue Cuma beruntung punya nada sempurna. Dan kalo lo banyak baca, pasti lo bisa jawab semua pertanyaannya,” jawab Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang sedang dibacanya.

Gabriel mengangkat alis. “ohya? Tapi lo belum jawab pertanyaan gue tentang kedekatan lo berempat,” kata Gabriel, menyudutkan nathan.

“dia temen gue sama shilla,” jawab sivia, agak ragu.

“udahlah siv! Gak usah banyak ngeles deh lo! Mau lo gunain segala cara buat nutupin rahasianya, pasti akan kebongkar! Dan gue, yang akan mempublikasikan itu setelah gue ngumpulin semua bukti itu!” kata Gabriel tajam. Baginya, semua alasan yang dilontarkan sivia dan shilla sama sekali none sense baginya!

“terserah,” balas Nathan tidak peduli. Ia benar-benar tidak peduli kalau Gabriel mencoba membongkarnya. Toh selama ia berhati-hati pasti tidak akan ketahuan bukan?
***
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Nathan. “masuk,” kata Nathan. Tapi bukannya masuk, orang itu malah mengetuk pintu kamarnya terus. Dengan malas ia membukanya.

Belum ia melihat siapa orang itu, tiba-tiba ada yang memeluknya, “Alvin oppa! Dangsin I geuliwo keke (kak Alvin! Keke kangen kakak),” kata gadis itu yang rupanya bernama keke.

Nathan terkejut dengan gadis yang memeluknya ini. Setengah percaya kalau ini keke, adiknya, atau lebih tepat, adik tirinya.

“jo neun keke imnida, ne yodongsaeng(aku keke, adik kakak) ,” kata keke yang seakan mengerti jalan pikiran kakak tirinya.

Seketika wajah Nathan berubah cerah. “keke ssi? Nan ttohan dangsin I geuliwoyo, jal ji nae? (keke? Kakak juga kangen kamu, bagaimana kabarmu?)” tanyanya, melepas pelukan adiknya dan menatap adiknya.

“joheun, oppa eottae? (baik, kakak sendiri?)” jawab keke riang.

Baru Nathan akan menjawabnya, sebuah suara sudah berseru, menghentikan pembicaraan mereka, “keke ssi! Dangsin ui indonesi eoreul sayonghayeo! Yeogie Indonesia, hanguk eseo animnida! (keke! Gunakan bahasa indonesiamu! Ini Indonesia, bukan korea!)”

Keke cemberut dan mengangguk. Sementara Nathan terpaku dengan suara tersebut. Suara yang sudah sebelas tahun ini dirindukannya kini terdengar kembali. Tak mau menyia-nyiakan waktu, ia segera berlari ke ruang tamu, mencari si sumber suara.

Senyumnya mengembang begitu melihat seorang laki-laki tegap yang lebih tinggi darinya sedang menenteng koper masuk ke dalam. Untuk beberapa waktu Nathan hanya diam, memperhatikan sosok itu lekat-lekat, menunggu untuk dipanggil dan dipeluk,.

Sivia dan shilla yang menyambut laki-laki itu terlebih dahulu langsung mendapatkan pelukan hangat. “om excel! Kita kangen banget sama om! Udah lama banget gak ketemu!” seru shilla. Sivia mengangguk.

“papa,” panggilnya dengan senyum yang masih setia menunggu di wajahnya.

Sayangnya orang yang dipanggil papa itu tidak menyahut ataupun menoleh, malah memanggil keke. “pa,” panggil nathan kembali dan mendekat.

“pa, ini Alvin. Papa inget kan sama Alvin?” Tanya Nathan miris. Sebenarnya ia tidak mau bertanya seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Papanya sama sekali tidak bereaksi padanya, seperti menganggapnya tidak ada.

Pak excel sama sekali tidak menghiraukan Nathan, yang dengan sabar menunggu dan menantikannya selama sebelas tahun untuk dijemput kembali olehnya. “keke, papa istirahat dulu ya, capek. Kamu juga istirahat aja dulu,” katanya pada keke lalu beranjak pergi naik ke atas dengan keke yang mengikuti dari belakang.

“kak, ntar kita lanjutin ya. Papa gak suka dibantah. Nanti keke malah dimarahin lagi. Dah kakak,” bisik keke lalu melambaikan tangannya.

Sivia yang memperhatikan Nathan daritadi tersenyum pahit. Padahal tadi ia sudah nyaris menemukan kembali alvinnya, yang auranya selalu bersinar dan penuh dengan energi positif, kini sudah redup kembali, menjadi Nathan, yang auranya banyak negatif dan redup, gelap.

“om excel lagi perlu istirahat aja kok nath, entar juga dia ngomong sama lo kok,” kata shilla memberi semangat. Nathan tidak menanggapi dan malah kembali ke kamarnya dengan tatapan kosong. Ia terus terpikirkan dengan sikap papanya tadi, tidak menganggapnya.

Nathan mengunci pintu kamarnya dan merosot di baliknya. Awalnya ia sudah sangat senang sekali dengan papanya yang datang kembali untuknya, ia kira papanya akan memeluknya, merindukannya, menanyakan kabarnya, memintanya bercerita selama ditinggal sebelas tahun, dan segala macam hal, layaknya seorang ayah ke anaknya.

Tapi apa yang ia dapat? Ia malah tidak diacuhkan, tidak disapa, bahkan dilirik saja tidak. Apa salahnya? Apa papanya masih marah dengan dirinya? Bukankah semua itu kecelakaan? Dia yang masih berumur kurang dari lima tahun, dan tak tahu apa-apa? Tak mengerti dengan akibat dari perbuatannya? Masihkah papanya menyalahkannya?

“nath, sekarang kan lo udah ketemu papa lo lagi, jangan gini dong. Laki-laki kan harus kuat, masa lo dicuekkin dikit aja udah redup gini sih?” kata deva menyemangati, hadir tepat disaat Nathan berharap seseorang menyemangatinya.

“tapi papa udah beneran gak peduli sama gue. Dia gak pernah ngehubungin gue lagi sejak saat itu! Bahkan gue aja mau ngehubungin dia gak bisa! Dan tadi, dia sama sekali gak nganggep gue ada!” katanya frustasi.

“hei, lo gak mikir, kenapa dia bisa ada disini sekarang? Kalo dia gak peduli sama lo, ngapain dia balik ke rumah ini?”

Nathan terdiam. Ia tahu maksud deva. “dia masih peduli sama gue kan? Dia pasti balik kesini buat nebus waktu kita yang terbuang. Iya kan?” tanyanya semangat.

Deva tersenyum dan menepuk bahu Nathan. “gitu dong! Ohya, keke adek lo?” Tanya deva.

Nathan berdiri dan mengangguk. “adik tiri gue. Kenapa? Naksir?” godanya.

deva tersenyum malu-malu. “cantik. Manis juga. Coba aja gue bisa kenalan sama dia,” katanya.

“kenalan aja! Perlu gue panggilin?” tawar Nathan.

“nath, dia kan gak bisa liat gue,” kata deva menyadarkan Nathan. Nathan mendelik kesal pada deva. Selalu saja mengeluarkan pernyataan-pernyataan bahwa deva dan dea hanya khayalannya belaka.

“tapi tenang aja! Gue pasti akan kenalan sama dia. Suatu saat,” kata deva misterius. Nathan jadi bingung sendiri. Katanya khayalan, kok kenalan?
***
Nathan mencoba bersabar dengan sikap papanya yang masih tidak peduli padanya. Bahkan ini sudah malam, tapi papanya belum menyebut namanya sekali, bahkan selalu menganggapnya tidak ada di antara mereka, tidak mengajaknya berbicara.

Dan ia jadi iri dengan keke. Papanya peduli sekali dengan keke, ceritanya selalu tentang keke, bangga sekali dengan keke. “nanti om sama keke akan tinggal lagi di sini. Keke nanti sekolah bareng kalian ya, titip keke ya,” kata pak excel.

“Alvin pasti jagain keke kok pa,” kata nathan mencari perhatian.

Pak excel sama sekali tidak menggubrisnya, ia kembali melanjutkan ceritanya tentang prestasi-prestasi keke selama di korea. Sivia dan shilla yang daritadi terus diajak bicara oleh om mereka merasa tidak enak pada Nathan. Padahal mereka juga sudah berusaha mengajak Nathan ikut bicara, tapi tidak ada yang ditanggapi oleh pak excel.

“pa, Alvin ke kamar dulu ya,” pamit Nathan sambil berdiri. Tidak ditanggapi, ia langsung masuk ke kamarnya.

Keke yang menyadari atmosfir aneh yang berada di antara papa dan kakaknya itu memutuskan untuk menyusul kakaknya. “kak,” panggil keke pelan sembari mengetuk pintu kamar kakaknya.

Terdengar suara teriakan-teriakan frustasi dari dalam kamar itu, penuh dengan bentakan dan kepedihan. Keke mundur perlahan dari kamar Nathan. Apa ia tidak salah dengar? Kakaknya terdengar sedang membentak seseorang, tapi siapa? Apa ada orang lain lagi selain mereka?

“udahlah deV! Gak usah sok ngasih gue harapan! Percuma! Gak ada yang pernah nganggep gue! Gak usah ngasih gue harapan yang mustahil! Gue gak mau disakitin lagi untuk kesekian kalinya!” teriakan Nathan membuat keke bergetar ketakutan, seluruh bulu kuduknya merinding mendengar teriakan itu.

“dan lo de! Gue tau gue penyebab mama gue meninggal! tapi itu bukan salah gue! Waktu itu gue Cuma anak lima tahun yang gak ngerti apa-apa! Please, jangan salahin gue terus.. gue capek disalahin terus.. gue capek disudutin, jangan salahin gue,” teriak Nathan yang berangsur menjadi permohonan.

Keke semakin takut mendengar ucapan kakaknya itu, begitu menyedihkan.. dan penuh keputusasaan. Apa yang sebenarnya terjadi pada kakak yang sudah tiga tahun tidak dijumpainya ini?

Keke mendekatkan telinganya ke pintu, mencoba mencari suara kakaknya yang tiba-tiba hilang tak berbekas. Ia merosot, duduk menyender di pintu yang terkunci itu, setelah mendengar suara tangis kakaknya. Tangis yang berusaha diredam sebisa mungkin, tapi malah terdengar cukup kencang, atau setidaknya keke masih bisa mendengarnya.

Ia tak tahu dengan keadaan kakaknya. tiga tahun ia tidak diijinkan oleh sivia dan shilla untuk datang menemui kakaknya, tidak diberi kabar sama sekali. Ia tidak mengerti dengan kakaknya, semuanya berubah. Awalnya ia mengira ini hanya sedikit perubahan kakaknya, tapi salah, semuanya berubah, bahkan sivia dan shilla memanggil kakaknya dengan sebutan Nathan, padahal kan kakaknya jelas-jelas bernama alvin. ada apa sebenarnya?

Shilla yang berniat mengecek keadaan Nathan mengurungkan niatnya begitu melihat keke terduduk di lantai. “keke? Kamu ngapain disini?” tanyanya, membantu keke berdiri.

“kak alvin kenapa kak? Tadi kak alvin teriak-teriak, terus sekarang nangis. Sebenernya kak alvin kenapa kak? Kenapa kakak sama kak via manggil kak alvin Nathan?” tanya keke.

Shilla menghela napas pelan. “kamu tanya kak via aja ya, kak shilla mau bicara sama kak alvin dulu,” kata shilla.

Keke mengangguk dan berjalan kembali ke ruang keluarga, mencari sivia, mencari jawaban atas seluruh pertanyaan di kepalanya. Shilla yang melihat keke sudah hilang dari pandangan segera mengetuk pintu kamar Nathan.

“nath, buka. Kita harus diskusiin hal ini,” kata shilla.

Nathan membukanya, dan shilla langsung masuk ke dalam, tak lupa mengunci pintunya kembali. “gue ngerti sama keadaan lo, tapi keke sama papa lo? lo mau mereka tau?” tanya shilla to the point. Nathan hanya menggeleng.

“kalo gitu jangan tunjukkin di depan mereka dong. Tadi keke denger lo kumat lagi. Gue nemuin dia udah ketakutan. Gue tau ini semua berat banget buat lo, tapi lo bisa kan, nahan semua itu? seenggaknya jangan sampai mereka tau? Itu kan mau lo?” kata shilla lembut.

Nathan menjawab dengan anggukan. Tatapannya kembali kosong, seperti yang sering ditemui shilla sebelumnya. Shilla mengulurkan tangannya, mengusap bahu Nathan, dalam hati terus berdoa dan berharap, semuanya akan kembali seperti sedia kala. Ia tak tega melihat Nathan terus-terusan seperti ini.

Shilla segera meninggalkan Nathan sendirian begitu mendengar om excel memanggilnya.
***
Nathan mencoba mempertahankan senyumnya di hadapan papa dan adiknya. “pagi pa,” sapanya. Seperti yang sebelumnya, tidak ditanggapi. Segera Nathan menghapus raut kecewanya.

Nathan tidak dapat melepaskan pandangannya dari papanya. Ia ingin merasakan kehangatan seorang ayah lagi, seperti dulu, bukannya didinginkan seperti ini. Haruskah ia bilang pada papanya akan penderitaannya selama lima tahun terakhir? Tidak, tidak mungkin. Ia tidak mau dianggap lemah oleh papanya sendiri, meski kenyataannya seperti itu.

Jadilah selama beberapa hari ini ia hanya bisa melihat keakraban papanya dan keke. Iri? Jelas, Tapi ia selalu menepisnya. Tawa lepas papanya yang sudah lama ia tak dengar mengalir begitu saja bila sedang bersama keke, bercanda dan tampak begitu bahagia, tanpa dirinya..

Sering ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar tidak diharapkan? Apakah waktu itu papanya memang membuangnya? Dan apakah benar dugaannya, selama dia di sini, di Indonesia, papanya sama sekali tidak pernah menanyakan kabarnya? Atau paling tidak memikirkannya? Sepertinya memang iya.

Nathan terus-terusan menatap iri kedekatan papanya dengan keke, dan saat itu ia mulai berandai-andai. Andaikan dia yang ada di posisi keke, pasti dia akan senang sekali, andaikan dia bukan penyebab kematian mama dan mama tirinya, pasti ia akan hidup bahagia sekarang, dengan kasih sayang lengkap dari kedua orangtuanya. Dan andaikan.. andaikan mamanya masih ada, pasti setidaknya ia masih punya sedikit pengharapan, punya sedikit motivasi, untuk membuatnya tetap kuat dan tegar, bukannya lemah dan tak berdaya seperti ini.

Tapi Nathan kembali disadarkan dengan kenyataan. Itu semua hanya pengandaian, sesuatu yang sudah terlambat dan tak akan mungkin terjadi. Yang dulu selalu membuatnya percaya pada setitik harapan, namun akhirnya harus terjatuh pada lubang yang sama. Sesuatu yang tak akan mampu ia perbaiki, dan yang harus ia kubur dalam-dalam. Karna pengandaian hanya akan membuatnya semakin terpuruk, dan menjatuhkannya pada setiap lubang yang ada.

“pa, alvin mau ngasih ini ke papa. Di dalamnya semua murni buatan alvin. alvin belum pernah publikasiinnya, sampai papa tahu dan denger semuanya,” kata Nathan, menyerahkan sebuah flashdisk biru ke papanya yang sedang bercanda dengan shilla, sivia, dan keke.

Semua langsung menatap Nathan, terkecuali pak excel. Dia sama sekali tidak peduli dengan Nathan, terserah mau berbuat apa, asal tidak merusak kehidupannya lagi.

Nathan tersenyum tipis, meski setitik air bening tersembunyi di balik pelupuk matanya, menunggu untuk ditumpahkan, dan ditahan untuk beberapa saat. Ia meletakkan flashdisknya di atas meja. “alvin Cuma mau papa dengerin isinya. Kalo papa gak suka papa boleh buang. Tapi please, papa denger dulu. Setelah itu terserah papa,” kata nathan, yang lebih menyerupai permohonan. Nathan segera beranjak ke kamarnya, melihat tidak ada reaksi yang berarti dari papanya.

Miris sekali. Masa ia harus memohon dulu pada papanya? Benarkah hubungan antara ayah dengan anak seperti ini? Detik selanjutnya Nathan langsung menyadari nasibnya. Bahkan pada papa kandungnya saja ia sampai mengemis perhatian. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk menderita. Ya, untuk menderita.
***
Nathan menatap kosong novel yang sedang dipegangnya. Rasanya tak konsen untuk membaca. Pikirannya penuh dengan masalah ia dan papanya. Sampai ia tak menyadari, kalau ada seseorang yang duduk di sebelahnya.

“jangan ngelamun, nanti kesambet,” nasehat orang itu.

Nathan tersadar dan melihat orang itu, agni rupanya. Ia kembali mengalihkan pandangannya. Tak bisa ia memikirkan hal lain-termasuk agni-selama masalahnya dengan papanya belum membaik.

“lo pendiem banget sih? Suka menyendiri ya?” tanya agni, setelah beberapa hari ini melihat Nathan selalu sendirian di bangku taman belakang sekolah.

“lo kayaknya banyak pikiran ya? Ngelamun terus sih,” kata agni lagi, tidak mempedulikan diamnya yang diajak bicara.

“kalo ada masalah lo bisa cerita ke gue. Emang sih kita baru kenal, gak pernah kenalan langsung malah, ngomong juga Cuma sekali doang, tapi lo bisa percaya kok sama gue, gue gak akan ceritain ke orang lain,” kata agni lagi.

Nathan menatap agni. perkataan yang mirip dengan awal kedekatannya dengan agni dulu. ‘alvin pendiem ya? Kata zeze, kalo pendiem berarti banyak masalah. Alvin cerita aja ke agni. biarpun baru kenal, alvin bisa percaya sama agni kok. Agni janji gak akan cerita ke orang lain, termasuk zeze dan cakka. Jadi rahasia kita berdua aja, gimana? Agni gak mau ngeliat alvin banyak masalah.’

Senyum terulas di bibirnya. Bahkan setiap detik yang dilaluinya bersama gadis ini selalu diingatnya dan terukir manis dalam hatinya. Nathan mengalihkan pandangannya, sebenarnya ia ingin berlama-lama menatap gadis ini, tapi itu akan membuat orang lain yang melihatnya curiga.

“bukannya gue mau ikut campur ya nath, tapi gue gak suka aja ngeliat orang lain nyimpen banyak masalah. Terutama..” ucapan agni terputus. Ia berpikir keras, terutama siapa? Mulutnya ingin menyebutkan sebuah nama, tapi siapa? Kata itu terputus begitu saja.

“terutama siapa?” tanya Nathan, menunggu.

Siapa? Siapa? Siapa? Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya. Ia berusaha memanggil kembali memori-memorinya, tapi nihil, tidak bisa.

“cakka?” tanya Nathan kembali. Agni menggeleng. Bukan, bukan cakka. Dia ingat dengan seseorang, tapi lupa. “dia pasti orang yang beruntung ya? Diperhatiin sama lo,” kata nathan kemudian, pelan.

Agni menatap Nathan aneh. Entahlah, ada sesuatu yang semakin menariknya pada laki-laki ini. Ada yang berbeda. Sesuatu yang lain daripada yang lain, membuatnya semakin penasaran dengan sosok Nathan, yang temperamental.

“lo siapa sebenernya?” tanya agni tidak sadar. “lo bukan Nathan. Lo siapa?” tanyanya kembali.

Mata Nathan melebar, kemudian menatap agni tepat di manik matanya. “maksud lo?” padahal hatinya sudah kacau balau dengan pertanyaan barusan, mengaduk semua perasaannya.

“apa?” tanya agni setelah sadar sepenuhnya.

Nathan mengalihkan pandangannya lagi dan berkata, “nothing.” Sepertinya pendengarannya tadi sedikit salah. Benar, salah. Mana mungkin agni yang lupa ingatan tiba-tiba ingat dengan alvin? rasanya tidak mungkin kalau belum ada yang mengungkitnya.

Agni heran sendiri. “tadi gue ngomong apa sih?” tanyanya lagi.

Nathan mengangkat bahu, kemudian beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan agni yang masih bingung sendirian.
***
Nathan masuk ke kamar papanya. Ia ingin bicara dengan papanya, mengutarakan pertanyaan dan pernyataan yang selama beberapa lama ini bersemayam di kepalanya.

“pa,” panggil Nathan pada papanya yang tampak sibuk membaca sesuatu. “pa, alvin kangen sama papa. Papa gak kangen sama alvin?” tanyanya, terus menatap lekat papanya dengan harapan papanya akan sadar.

“pa, kenapa papa ninggalin alvin sebelas tahun yang lalu? Kenapa papa gak jemput alvin lagi? Dulu papa bilang kalo alvin baik-baik aja papa akan jemput alvin lagi. Alvin gak nakal kok, tapi kenapa papa gak jemput alvin?”

“alvin terus nungguin papa, alvin selalu jaga sikap, selalu berprestasi, buat buktiin ke papa kalo alvin bisa dibanggain dan baik-baik aja. Sampe akhirnya kemaren alvin sadar.. pa, papa gak ngebuang alvin kan?” ungkap alvin miris.

Pak excel diam saja, masih bergeming dengan tatapan terfokus pada buku bacaannya, meski aslinya ia sulit untuk menahan diri membalas perkataan anaknya ini.

 Nathan tetap setia menunggu balasan papanya. Akan ia tunggu. Dia ingin dianggap, ingin diaku, apa itu salah? Apa itu tidak boleh? Masih tidak sukakah papanya padanya? Bukan, bukan tidak suka, tapi benci. Ya, benci, masih bencikah papanya padanya?

“pa, alvin tau alvin penyebab mama meninggal. Tapi alvin masih kecil pa waktu itu. alvin belum tau dan belum ngerti. Alvin minta maaf, kalo papa emang masih nyalahin alvin. tapi alvin mohon pa, jangan benci alvin. alvin kan anak papa, papa pasti maafin alvin kan?”

Pak excel membanting bukunya dan menatap Nathan tajam, penuh rasa benci dan tidak suka. Nathan terkejut, ditambah dengan tatapan benci papanya. Ia takut, bahkan papanya sendiri benci padanya. Dirinya yang darah daging papanya, yang harusnya disayang malah dibenci seperti ini, dia harus kemana agar tak melihat orang-orang yang membencinya?

Pak excel menunjuk tepat di wajah alvin dengan perkataan menuduh dan menyangkal, “kamu bukan anak saya! Kamu Nathan! Dan anak saya alvin! alvin udah gak ada! Dia udah meninggal bersama dengan kematian istri saya! Jadi saya harap kamu tidak memanggil saya dengan sebutan papa! Saya tidak mau punya anak seperti kamu! Kamu pembunuh! Kamu udah buat istri saya meninggal! Keluar dari kamar saya!” bentaknya.

Nathan mundur beberapa langkah. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia tidak diaku anak? Bahkan dirinya dianggap sudah meninggal? Ia tidak boleh memanggil papanya dengan sebutan papa? Jahat!

Nathan melangkah cepat ke kamarnya, meninggalkan pak excel yang memandang kepergiannya dari sudut mata, sepenuh hati menyesal mengatakannya.
***
Nathan membanting dan mengunci pintu kamarnya, menahan air mata yang sudah tergenang di pelupuk matanya. Ucapan papanya masih terngiang di telinganya, begitu menyesakkan dan menyakitinya.

Padahal selama sebelas tahun ini dia sudah menunggu dengan sabar, berharap papanya akan kembali dan baik lagi padanya. Tapi apa yang ia dapat? Semua penantiannya berujung kesakitan. Bukan hanya penolakan, tapi ia dianggap orang lain, dan dirinya yang sebenarnya malah dianggap sudah meninggal.

Padahal nama Nathan itu tidak berlaku untuk papa dan adiknya, karna ia ingin tetap menjadi alvin, bagian dari keluarga mereka, yang tentunya masih hidup dan selalu menanti kebersamaan dari keluarga.

Sekarang ia harus bagaimana? Papanya saja bahkan tak mau dipanggil papa olehnya, tak mau mengakuinya. Sepertinya papanya berpendapat sama dengan yang lain, ia hanya pembawa sial, tidak berguna, dan tidak penting. Apa papanya takut ia melukai salah satu dari mereka, hingga ia dianggap sudah mati?

Kenapa papanya tega berkata seperti itu? apa papanya tidak merasakan luka sepertinya? Ditambah dengan bentakan dan tatapan benci itu, ia sungguh takut. Tak dapat ia temukan lagi sosok papanya, yang baik, yang sayang padanya. Menyedihkan.
***
Kini, setiap Nathan berpapasan dengan papanya, atau berada di ruangan yang sama dengan papanya ia hanya diam. Menghindar untuk dibentak lagi, meski rasanya ia tidak tahan untuk memeluk papanya. Apa papanya tidak tahu kalau ia sangat sangat merindukannya? Haruskah ia kembali menahan rasa rindunya ini? Padahal orang yang dirindukannya jelas-jelas ada di depan matanya?

Belum lagi ia terus-terusan mendapat pemandangan yang membuatnya iri setengah mati, sikap hangat ayahnya kepada keke, yang tak didapatkannya sama sekali. Padahal sewaktu papanya datang, ia sudah membayangkan akan mendapatkan kehangatan seorang ayah, bisa berbagi masalahnya, mencari solusi bersama, dan kembali menjadi alvin. papanya akan menyemangatinya, memotivasinya, mendukungnya, mengajarinya untuk tegar, dan perlakuan-perlakuan lain, layaknya seorang papa ke anak laki-lakunya.

“keke seneng gak di sekolah?” tanya papanya, kedua tangannya melingkar di leher keke, di halaman belakang.

Keke mengangguk. “seneng kok. Ohya pa, keke denger dari kakak-kakak kelas, katanya kak alvin pinter banget loh. Keke bangga deh punya kakak kayak kak alvin. papa juga kan?” tanyanya sambil tersenyum, bangga sekali tampaknya dengan kakaknya.

Pak excel diam, tak menjawab, padahal Nathan sangat berharap papanya itu tersenyum atau setidaknya mengangguk. “ke, nanti keke gak usah panggil kak alvin lagi ya? Panggil kak Nathan aja,” kata pak excel.

Keke melepas tangan papanya dan berbalik menatapnya, sedikit marah. “kok papa sama sih kayak yang lain?! Pokoknya keke gak mau! Dia kakak keke, kak alvin! keke gak punya kakak yang namanya Nathan! Keke punyanya kak alvin!” teriaknya marah.

“keke! Kamu jangan sebut nama alvin lagi di depan papa! Alvin udah gak ada! Dia yang nyebabin mama meninggal ke! Pokoknya kalo papa denger kamu manggil dia alvin lagi, papa gak mau peduli lagi sama kamu!” ancam pak excel.

Baik keke maupun Nathan terkesiap. Berarti papanya memang masih menyalahkan kakaknya, alvin, sebagai penyebab kematian mamanya. Padahal ia saja sudah memaafkan alvin dan menganggapnya sebagai kecelakaan.

“pa! kenapa sih papa masih dendam sama kak alvin?! keke aja udah rela kalo mama ninggalin keke! Kenapa papa enggak sih?! Papa kan papanya kak alvin! harusnya papa bisa maafin kak alvin dong! Keke kecewa sama papa!” setelah membela kakaknya, keke berlari masuk ke rumahnya.

Tiba-tiba tangan keke tertahan saat melewati pintu belakang. “minta maaf sama papa. Kamu gak boleh nentang papa, papa sayang banget sama kamu. Jangan bikin papa kecewa. Ayo minta maaf,” bujuk Nathan.

Keke menggeleng. Apa sih yang dipikirkan kakaknya ini? Sudah bagus dibela juga! “kak, keke gak ngerti, kenapa papa segitu dendamnya sih sama kakak? Keke aja udah maafin kakak, tapi kenapa papa enggak? Pokoknya keke gak mau manggil kak alvin dengan sebutan Nathan! Keke Cuma mau kak alvin!”

“masalah kami biar kami yang selesaiin, kamu gak usah ikut campur. Kakak Cuma pesen, kamu nurutin maunya papa, karna papa gak punya siapa-siapa lagi selain kamu,” kata Nathan lalu berlalu ke kamarnya.

Keke diam tak mengerti. Apa maksud kakaknya dengan kalimat terakhirnya? Papanya punya kakaknya! kak alvin! kenapa juga tidak memiliki siapa-siapa? Rumit sekali masalah antara papa dan kakaknya.
***
“kenapa kak?” tanya keke begitu ia masuk ke kamar kakaknya. tumben sekali kakaknya memanggilnya.

“kakak mau denger cerita kamu tentang papa selama tiga tahun terakhir ini,” kata Nathan.

Keke duduk di hadapan kakaknya, kemudian dengan semangatnya bercerita tentang papanya. Semuanya.

Tuh kan. Dugaan Nathan tepat. Pasti papanya tak pernah menanyakannya, tak mengkhawatirkannya, juga tak menganggapnya masih hidup. Buktinya dalam cerita keke-yang begitu lengkap dan detail-ia tak menemukan cerita papanya yang mengkhawatirkannya.

“papa pernah nanyain kakak?” tanya Nathan akhirnya. Keke menggeleng pelan. Ia baru tahu maksud kakaknya menyuruhnya bercerita. Nathan kembali merenung, seperti biasanya.

“kak, kakak kok aneh sih? Diem banget? Gak senyum-senyum lagi? Kakak ada masalah? Pasti masalah kakak sama papa ya? Nanti keke bujuk papa deh ya,” kata keke khawatir.

Nathan masih diam, kemudian tiba-tiba ia berkata, “gue capek dev, kalo kayak gini sama aja bunuh gue pelan-pelan,” yang cukup membuat keke merinding.

“kak, kakak ngomong sama siapa?” tanya keke takut.

“kalo gue emang pembawa sial, kenapa gue gak mati aja? Kenapa gak ada yang nyoba bunuh gue? Kenapa mereka nyiksa gue begini? Gue gak kuat, gue terlalu lemah buat ngadepin ini semua,” ungkapnya, memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya. Sepertinya tak sadar dan lupa bahwa keke bersamanya.

“kak alvin!” seru keke sambil mengguncangkan bahu alvin.

Alvin tetap bergeming. “kenapa harus gue yang ngerasain ini semua? Kenapa gak yang lain aja? Udah cukup gue gak dianggep sama orang luar, kenapa papa juga nganggep gue udah mati? Apa salah gue? Kenapa gue menderita banget?” lirihnya.

Keke keluar dari kamarnya dan mencari shilla atau sivia. Siapa saja, terserah! Yang penting ada yang bisa menyadarkan kakaknya. begitu melihat sivia sedang menuruni tangga, keke langsung menariknya ke kamar alvin.

Sivia buru-buru menyuruh keke keluar. “kamu keluar ya ke, biar kakak yang ambil alih,” setelah itu sivia langsung berkata, “nathan! Sadar nath! Ada keke disini! Nathan!”

Seruan sivia membuat Nathan mengangkat kepalanya, namun tatapannya masih kosong. “pergi lo semua! Jangan ganggu gue!” usirnya pada sivia dan keke, dengan pikiran yang tak ada pada tempatnya.

Sivia segera mengajak keke keluar dan menutup pintunya. “kak, kak alvin kenapa? kak alvin gak gila kan?” tanya keke khawatir bercampur takut.

“hush! Gak boleh ngomong gitu! Dia gak papa, Cuma..” kata-kata sivia terputus.

“Cuma apa kak?” tanya keke penasaran.

Sivia mengulas senyum. “Cuma ada sedikit masalah aja,” katanya yang dibalas dengan anggukan pengertian keke.

Tidak mungkin ia memberitahukan keadaan Nathan yang sebenarnya. Bisa shock nanti keke. Mending bila shock, tapi kalau sampai ketakutan pada kakaknya sendiri bagaimana? Kalau Nathan dijauhi oleh adiknya sendiri bagaimana? Bisa semakin parah nanti sakitnya Nathan.

Penjelasan bisa nanti. Yang penting keke harus dijauhkan saat Nathan kumat! Karna gak menutup kemungkinan, kalau keke jadi korban amukkan Nathan, seperti dirinya dan shilla.
Monday 6 December 2010 | By: Vina Arisandra

My POV 1


sebenernya ini cerpen.. cuma kepanjangan. jadinya cerpen bersambung (?) palingan cuma 2 atau 3 part.. maklum ya kalo jelek.. baru pertama kali bikin yang singkat-singkat gini.. selamat membaca ^^

My P.O.V

“ALVINN!!”

Ah, lagi-lagi aku mendengar teriakan nama itu. Pasti alvin sedang menjahilinya lagi. Entah apa yang telah dilakukan alvin kali ini.

“kenapa lagi ag?” tanyaku. Pertanyaan yang persis sama dan kulontarkan setiap hari.

“itu! Dia ngambil kertas tugas gue! Padahal kan abis ini mau dikumpulin!” serunya kesal.

Aku hanya menggelengkan kepalaku melihat tingkah sepupuku itu, alvin. Ia selalu saja menjahili agni dengan ide kekanak-kanakkannya, dan itu sudah berlangsung sejak kami kelas 4 SD. Kami memang satu sekolah sejak SD. Dan asal kalian tahu saja, alvinlah yang selalu mengikuti diriku dan agni sejak SD sampai sekarang ini, SMA.

Dan yang kutahu, dan seisi sekolah ini tahu, alvin memiliki sifat asli yang nyaris selalu ditutupinya di hadapan orang lain. Dan beruntungnya, hanya kepada satu perempuanlah sifat aslinya itu mulai muncul. Dan itu agni.

Ya, agni. Agni yang selalu dijahili alvin setiap hari, yang selalu menjadi pusat perhatian semua orang saat bersama alvin, dan yang selalu tampil dengan kesederhanaan serta ketulusannya. Gadis cantik dengan pemikiran yang kadang kubilang polos itu hebatnya bisa meluluhkan si pangeran es. Kalau dilihat sekilas, aku sama seperti yang lain, tak tau mengapa alvin bisa luluh pada agni.

Dia hanya gadis biasa. Mungkin tergolong pintar, karna selama ini dia sekolah dengan bermodal beasiswa dan tekad belajar. Kuakui, senyumnya manis. Ia pun baik dan lugu. Yang jelas aku senang bisa berteman baik dengannya. Tapi tetap saja aku penasaran.

Kadang keluguan dan kepolosannya itu yang membuatku gemas. Masa ia tak tahu kalau alvin menyukainya? Atau bisa kubilang, alvin jelas terang-terangan menunjukkan kalau ia menyukai agni. Tapi bukan agni namanya kalau ia tahu. Padahal aku sudah sering menggodanya dan bilang padanya kalau alvin suka padanya, tapi ia tetap saja tidak percaya dan menganggap itu sebuah candaan biasa. Oh mai..

Sekarang kulihat agni sedang mencoba mengambil kertas tugasnya yang dijauhkan oleh tangan alvin. Dan agni sedang berusaha menggapai-gapai dengan tangannya. Tentu saja tidak sampai. Alvin jauh lebih tinggi darinya. Bahkan tinggi agni hanya sampai sedagu alvin. Bagaimana ia bisa mengambilnya coba?

Kulihat alvin tersenyum senang. Aku tahu alvin sangat menikmati saat-saat seperti ini. Saat-saat dia bersama dengan agni. Saat-saat agni kesal padanya, menganggapnya menyebalkan, pengganggu, dan semacamnya. Karna pada saat itulah, agni akan memanggil namanya, meneriakkan namanya, dan ingat akan dirinya.

Aku jadi teringat saat aku menyadari sikap alvin yang mulai menunjukkan rasa sayangnya pada agni. Saat itu..

>>Flashback on<<

Hari ini pemakaman ayah agni. Ayah yang meninggal karena kecelakaan pesawat itu masih tidak dapat diterima agni. Ia masih terus saja menangis. Sampai sekarang. Saat semua kerabat beranjak pulang, ia mulai menangis.

Aku tidak dapat berbuat apapun untuk menghentikan tangisnya. Karna ku tahu itu pasti sangat berat untuk agni. Lagipula, biarkanlah agni meluapkan semua kesedihannya, agar esok hari ia tidak sedih lagi.

Namun lain dengan alvin. Ia merogoh kantong bajunya, lalu mengambil sehelai sapu tangan yang kemudian ia berikan pada agni. Alvin mengulurkan tangannya dengan berkata, “agni, lo boleh nangis karna sedih. Tapi jangan terus-terusan, kasihan sama diri lo sendiri. Kalo lo jatuh sakit, nanti siapa yang ngejagain mama lo sama adek lo?”

Aku tersenyum mendengarnya. Dan kulihat agnipun begitu. Agni mengambil sapu tangan alvin dan segera mengusap wajahnya yang basah karena menangis dan menggantinya dengan seulas senyum manis. Kurasa agni tersadar dengan kata-kata alvin tadi.

“lo masih mau disini atau mau pulang?” tanya alvin lembut. Sontak aku melihat kearah alvin, mungkin dengan mulut sedikit menganga. Kemudian aku tutup kembali mulutku. Apa aku tidak salah dengar? Baru kali ini aku mendengar alvin bicara dengan lembut, bahkan dengan tatapan penuh perhatian. Apa jangan-jangan.. hmm.. pasti. Tidak salah lagi.

Sepertinya agni tidak menyadarinya. Ia malah menatap nisan ayahnya kemudian kembali menatap alvin yang sedang menunggu jawabannya. Dasar polos. Ia hanya mengangguk tanpa bereaksi apapun lagi.

“lo mau bareng gak?” akhirnya alvin mengajakku bicara juga. Kukira mereka tidak menyadari kalau aku masih ada di sini.

Aku menggeleng. “gak. Lo anterin agni aja. Gue pulang sendiri,” jawabku. Tentu aku tidak mau mengganggu mereka. Lagipula, kalau aku ada pun mereka tidak sadar.

“gue duluan ya,” pamitku pada mereka. Keduanya hanya mengangguk. Kemudian aku berlalu meninggalkan mereka.

Namun tidak secepat itu aku benar-benar pergi. Aku memperhatikan keduanya dari balik sebuah pohon. Keduanya berjalan meninggalkan makam itu. Seiring dengan langkah mereka, kulihat bibir alvin bergerak-gerak dan kulihat agni tersenyum. Sepertinya alvin sedang mencoba menghibur agni.

Yang menarik perhatianku saat alvin meletakkan sebelah tangannya di bahu agni dan mengusap-usapnya. Ckckck.. rupanya sepupuku satu-satunya ini sedang falling in love. Buktinya, hari ini dia benar-benar bersikap lembut pada agni. Tapi, bagaimana bisa dia menyukai gadis itu?

>>Flashback off<<

Lamunanku terbuyar begitu mendengar teriakan kesal plus kecewa agni. “Alvin! Gara-gara lo kertas tugas gue jadi robek kan! Waktunya udah gak cukup buat nyalin lagi! Nyebelin banget sih lo!” suara agni terdengar seperti hampir menangis.

Agni memandangi secarik kertas yang ada di genggamannya. Ia pasti kesal sekali. Sudah capek-capek buat, malah robek gara-gara alvin. Akhirnya ia berdecak kemudian mengambil kertas lagi dan sebuah pulpen, berniat menyalin kembali tugasnya yang telah dihancurkan alvin itu.

Baru saja agni menuliskan namanya, alvin sudah merebut kertasnya kembali. Agni sudah siap marah pada alvin, tapi begitu melihat apa yag dilakukan alvin, keningnya berkerut. Terang saja, alvin malah menggantikannya menyalin tugasnya itu.

“gue yang kerjain. Sebagai permintaan maaf gue karna tugas lo robek,” kata alvin santai, seolah-olah ia sudah terbiasa berlaku seperti itu pada orang lain.

Agni mengangkat sebelah alisnya. “gak perlu! Nanti kalo gurunya tau gimana? Lagian tulisan lo jelek! Gue gak mau nilai-nilai gue ternoda sama tulisan lo!” serunya kencang.

Hening. Semua mata sudah tertuju kepada keduanya. Alvin masih tenang-tenang saja, tidak menghiraukan seruan agni yang lebih tepat dibilang mengusirnya itu. Aku melihat perubahan rona wajah agni. Tampaknya ia sudah sangat kesal dengan perlakuan sepupuku itu yang sudah sangat seenaknya.

Tapi apa yang bisa dilakukan agni? Kalau ia marah-marah pun alvin tak akan menanggapinya. Kalau ia merebut kembali kertasnya, sudah pasti alvin tidak akan membiarkannya. Jadi yang bisa ia lakukan hanya diam. Begitupun denganku. Lagipula, aku tidak mau merusak adegan-adegan yang terurai manis di depanku ini. Hihi..

“ini,” alvin menyodorkan kertas yang sudah tersalin di depan agni. Agni mengambilnya kasar, kemudian bergegas menyimpannya dan duduk di bangkunya dengan menelungkupkan kepalanya di atas meja.

“catet, tulisan gue lebih bagus dari lo. Kalo gurunya nanya, bilang aja karna gue. Gak usah khawatir lo bakal dimarahin,” kata alvin sedikit lembut.

Mataku beralih pada cewek-cewek yang tadinya sedang bergosip di tempat duduk paling belakang. Mereka terus menatap alvin dan agni dengan pandangan putus asa dan kecewa. Dalam hati aku tertawa puas, melihat mereka yang sudah putus asa dalam menarik perhatian alvin, sebab alvin terus-terusan perhatian pada agni dan dingin pada gadis-gadis lain. How poor, girls!

“udahlah ag, kalo bawa-bawa nama alvin, gue jamin deh gak kenapa-napa,” kataku meyakinkan agni.

agni diam saja. kurasa ia masih kesal dengan perlakuan alvin tadi. Kemudian kutatap alvin. Ia mengerti maksudku. Kemudian alvin berlutut di depan meja agni agar tingginya setara dengan kepala agni. Tangan kirinya ia jadikan tumpuan untuk dagunya, sedangkan tangan kanannya malah sudah berada tepat 2 centi di atas kepala agni.

Aku memilih menonton dari tempat dudukku saja. wow. Sepertinya hari ini alvin akan mulai lebih terang-terangan lagi pada agni. Kuperhatikan sekitarku. Mereka juga sama. Tidak ada yang melepaskan sedikitpun dari titik alvin berada. Semuanya diam, dengan napas tertahan.

Dan yang kutunggu-tunggu pun akhirnya terjadi. Senyum mengembang terulas di wajahku. Dan sekarang, lebih baik aku menikmati pemandangan langka yang sepertinya akan menuju menjadi kebiasaan mulai dari detik ini.

Alvin mengusap kepala agni lembut. Tidak ada reaksi apapun dari agni. Aku jadi bingung. Mana mungkin agni tidak bereaksi? Wait.. jangan-jangan dia tidur? Ah! Tidak tepat waktu banget sih!

“alvin,” kataku. Alvin kemudian menoleh ke arahku dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Aku mengerti. Alvin sepertinya sudah menyadari kalau agni tidur.

Ya, tidur karena kecapekan bekerja pastinya. Agni yang semenjak ditinggal ayahnya harus membantu ibunya bekerja. Walaupun hanya sebagai pelayan restoran sih. Tapi setidaknya ia punya niat baik untuk membantu keuangan keluarganya. Dan oleh karena itu ia jadi belajar sampai tengah malam, dan subuh ia harus bangun untuk mengulang pelajaran yang semalam. Benar-benar anak rajin. Aku salut padanya.

Tapi akibatnya, ia sering tidur atau ketiduran saat di sekolah. Apalagi setelah lelah dikerjai alvin, pasti ia bisa langsung tidur saja. aneh.

Alvin terus-terusan memandangi agni. Memandangi gadis pujaan hatinya itu. Kalau dilihat-lihat, mereka cocok juga. Cocok sekali malah! Sangat serasi! Yang satu dingin, yang satu ramah. Satunya keren, satunya biasa saja. yang satu kaya, yang satu sederhana. Dan satu persamaan di antara mereka, sama-sama memiliki kecerdasan intelektual yang berlebih! Baik alvin maupun agni, keduanya selalu mengambil tempat di posisi rangking pertama di angkatan masing-masing. Keren!

“gue sayang sama lo ag,” ucap alvin sangat pelan. Aku bisa mendengarnya. Tapi sepertinya yang lain tidak. Aku terkesima. Pernyataan cinta dari alvin rupanya.

Alvin kemudian mengecup kepala agni. Dan baru ku sadari kalau tatapan alvin pada agni menjadi sangat lembut. Oh god! Kalau aku berada di posisi agni, aku pasti akan sangat sangat senang. Bagaimana tidak? Alvin itu sudah layaknya pangeran! Perhatian pula pada agni. Arrghh! aku benar-benar iri! Aku juga ingin mendapat perlakuan seperti itu! Ah, you’re so lucky, agni!

Bibirku bergerak memanggil nama alvin tanpa bersuara. Alvin kemudian menoleh ke arahku. Aku menunjuk jam yang melingkar di tanganku. 5 menit lagi. Isyaratku dengan tangan.

Alvin mengangguk dan berdiri. “gue balik dulu ya. Gak usah cerita ke dia,” bisiknya padaku. Aku mengangguk menanggapinya.

Aku berjalan ke arah agni dan menggoyangkan bahunya. “agni, udah mau masuk,” kataku.

Agni kemudian mengerjapkan matanya dan mengangkat kepalanya. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih padaku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.

Bel berbunyi. Aku kembali ke tempat dudukku. Namun kulihat agni dulu sebelumnya. Dia hanya diam saja. raut wajahnya tak terdefinisikan. Begitu pula dengan senyumnya tadi. Sepertinya ada sesuatu yang janggal..
***
Keesokan harinya, agni sudah tampak seperti semula. Heuh.. baguslah. Kukira kemarin dia sakit atau apa. Membuatku khawatir saja.

Seperti biasa kalau pagi-pagi alvin akan menyapa kami. “hai,” katanya dengan mengulas sebuah senyum manis. Aku membalasya dengan anggukan. Sementara agni.. wait! Dia dimana? Bukankah tadi dia ada di sebelahku?

Aku menoleh ke belakang. Dia terus berjalan seperti tidak mendengarkan alvin. Sebelah alisku terangkat. Tumben sekali. Bukankah biasanya dia selalu membalas sapaan alvin?

“dia kenapa?” tanya alvin padaku. Aku mengangkat bahu, tidak tahu.

Setelah alvin pergi, aku menyusul agni ke kelas. Ia sudah duduk dengan manis di tempatnya. aku melangkah cepat ke arahnya. “tumben tadi gak bales sapaan alvin,” kataku, sedikit penasaran.

“males,” jawabnya singkat.

“oh. Kirain mau ngejauhin alvin,” kataku asal bicara.

Agni menatapku sepersekian detik, kemudian mengeluarkan beberapa buku pelajaran pertama. Dia tidak membalasnya. Tapi aku curiga kalau agni memang seperti apa yang aku bilang.

“jangan bilang lo emang lagi ngejauhin alvin?” selidikku. Ia terpaku pada tatapan tajamku padanya. Dan kutemukan satu kata yang menggambarkan sorotan matanya. Iya.

“kenapa?” tanyaku, berusaha tidak terdengar mencurigakan.

Agni hanya mengedikkan bahunya. Sepertinya ia sedang malas bicara. Ya sudahlah, nanti saja aku tanyakan lagi.

Aku meletakkan tasku dan segera duduk. Entah kenapa aku jadi kepikiran. Apa jadinya alvin kalau agni menjauhinya? Apa yang akan alvin perbuat? Apa alvin akan menyatakan cintanya? Atau alvin akan kembali mendekati agni? Apa alvin akan bersikap lembut pada agni akhirnya?

Sekarang isi kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan berawalan apa. Dan sementara benakku dipenuhi dengan tanggapan-tanggapan yang akan alvin lakukan, batinku dipenuhi dengan alasan-alasan agni menjauhi alvin.
***
Aku terus melirik jam tanganku selang beberapa detik. Lama sekali. Bukankah  biasanya satu menit setelah bel pun alvin sudah datang ke kelasku?

Bukannya aku kangen dengan alvin atau apalah. Tapi agni sepertinya benar-benar ingin menjauhi alvin karna setiap aku menyebut nama alvin, pasti ia langsung diam atau menghindar. Kenapa sih sebenarnya?

Akhirnya alvin datang juga. Aku buru-buru menarik tangannya ke sudut, jauh dari agni. Ia menatapku heran. “heh! Lo apain si agni? Lo pasti bikin dia marah ya!” tuduhku padanya dengan suara agak pelan.

“apaan! Enak aja! Orang gak gue apa-apain sih! Emangnya dia kenapa?” tanyanya, dengan raut wajah agak khawatir.

Aku mulai menceritakan apa yang terjadi. Aku lihat alvin menelan ludah. Pasti dia juga heran. Selesai aku bercerita, ia langsung meloyor pergi ke arah agni. Alvin! Please, not now! Batinku.

Alvin meletakkan kedua tangannya di atas meja agni. Kemudian mengambil kartu pass agni yang selalu agni selipkan di kostak. “kalo mau pulang, ke kelas gue dulu ya. Gue tunggu sampe istirahat kedua,” kata alvin dengan menggoyang-goyangkan kartu pass agni tepat di depan wajah anak itu.

Agni diam saja. bahkan seperti menganggap alvin angin lalu. Padahal biasanya agni sudah akan merebut barang-barangnya yang diambil oleh alvin. Tapi ini lain. Anak itu malah berkata, “pergi sana. Bawa aja kartu pass gue. Gue mendingan buat lagi daripada harus ketemu lo. Pergi!”

Seketika semua mata menatap agni heran. Alvinpun diam untuk sekian detik dengan tatapan yang tak teralihkan dari agni. Ia kemudian mengembalikan kartu pass agni dan melembutkan tatapannya. “lo ngusir gue?” tanyanya.

“ya! Sekarang lo pergi! Gue bosen ngeliat muka lo setiap hari! Pokoknya mulai hari ini gue mau lo pergi! Pergi dari kehidupan gue! Jangan pernah gangguin gue lagi! Gue gak suka lo deket-deket sama gue!” kata agni berapi-api.

Aku menelan ludah. Biarpun agni tidak mengucapkannya dengan berteriak, tapi tetap saja, itu sangat menyetrum kami-kami yang mendengarnya. Apalagi dengan alvin, pasti dia sangat kecewa dengan penyataan agni barusan.

“tapi kenapa ag?” aku buka suara. Aku benar-benar penasaran dengan alasan agni.

Agni menatapku kesal kemudian beralih kembali pada alvin. Ia menatapnya tepat di manik mata alvin. “karna gue bosen dikerjain terus sama dia! Gue gak suka ada orang aneh yang ngikutin gue! Gue benci dia! Dia cuma nambah-nambahin kesusahan gue aja! Udah muak gue sama dia!” sekarang suara agni sudah semakin melengking.

Setelah agni mengucapkannya, ia langsung pergi meninggalkan kami semua yang masih mematung. Aku tahu dia kemana. Itu bisa diurus nanti. Yang harus kutenangkan sekarang adalah alvin, yang daritadi tangannya sudah terkepal erat.

Aku berjalan mendekati alvin perlahan. Semakin dekat dengannya, semakin aku merasakan kemarahannya. Kuletakkan tanganku di bahunya. “alvin,” panggilku. Bahkan suaraku ikut menjadi parau meski hanya menonton saja.

BUGGH! Semua tersentak, begitupun denganku. Refleks aku melangkah mundur. Alvin memukul meja dengan kepalan tangannya. Hanya satu kata yang menggambarkannya sekarang, mengerikan. Aku jadi takut dengannya.

“alvin,” panggilku lagi, terdengar lebih takut mungkin. Jelas, tadi dia benar-benar menakutkan. Belum pernah aku melihatnya marah seperti ini.

Tanpa berkata apa-apa, alvin langsung pergi, yang kuyakin bukan untuk menyusul agni, karna jalan yang dilaluinya berlawanan dengan arah agni tadi. Aku menghela napas. Aku berjalan keluar kelas, sebaiknya aku mencari agni.

Sepanjang perjalananku di koridor, aku terus memikirkan kejadian tadi. Kenapa tiba-tiba agni berubah jadi kasar begitu sih terhadap alvin? Hh. Aku jadi kasihan pada alvin. Pasti sekarang ia sedang menenangkan dirinya dengan susah payah.

Hei, satu yang kuherankan. Kalau kalian melihat pertengkaran mereka secara langsung begitu pun kalian akan menyadarinya. Mereka itu sudah seperti orang pacaran. Padahal gak sama sekali. Aneh.

Tiba juga di tempat ini. Tempat agni lebih banyak menghabiskan waktu, perpustakaan. Kuhampiri agni yang sedang menelungkupkan kepalanya seperti biasa di bilik meja terakhir. Pasti dia sedang tidur. Kebiasaan deh, setiap ada masalah pasti dia lebih memilih untuk tidur.

Aku duduk di sebelahnya. “ag, lo tidur?” tanyaku mengetesnya.

Ia menggeleng, menunjukkan bahwa ia tidak tidur. “lo kenapa sih ngusir alvin begitu?” tanyaku kembali.

Ia mengangkat kepalanya, “gue gak pernah suka ada dia di deket kita. Gak tau kenapa. gak suka aja,” jawabnya pelan tanpa menatapku.

“tapi kok dari dulu lo gak pernah protes? Kenapa baru sekarang?” tanyaku kembali.

Agni menoleh ke arahku dan raut wajahnya berubah serius. Mau tidak mau aku pun mendengarkannya dengan serius. “bukannya dari dulu gue gak protes, gue udah sering banget minta dia buat jauh-jauh dari kita. Okelah gue tau dia sepupu lo, tapi gak berarti dia harus deket-deket lo terus kan? Jujur gue udah bosen dijailin dia, bosen kalo harus ngeliat muka dia setiap hari. Coba deh lo inget-inget, gue udah sering kan ngusir dia? Tapi lo berdua aja yang nganggep gue Cuma bercanda,” katanya perlahan.

Aku jadi merasa bersalah. Kukira selama ini dia mengusir alvin hanya sekedar candaan biasa, ternyata dia serius. Oh my god. Aku benar-benar merasa tidak enak pada agni dan alvin. Selama ini aku sudah berusaha mendekatkan mereka berdua. Tapi ternyata agni malah tidak menyukainya.
***
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan kebisuan alvin dan agni. agni yang tidak mau menyebut nama alvin, menyapa, ataupun menganggapnya ada. Sedangkan alvin, ia semakin dingin dan tidak peduli terhadap sekitarnya. Dan aku paling keki kalau alvin dan agni berada di tempat yang sama, pasti mereka akan berdiam-diaman layaknya orang tak saling kenal.

Lihat saja, alvin yang sedang mempresentasikan sesuatu bersama temannya di depan kelasku tidak melirik ke arah agni sama sekali. entahlah, tapi feelingku mengatakan walaupun seperti itu, alvin terus memperhatikan agni.

Aku tak tahu apa yang dipresentasikan alvin dan apa yang mereka semua katakan. Daritadi aku sibuk memperhatikan alvin dan agni. sebentar-sebentar pandanganku beralih ke satu diantara mereka.

Memang kalau dipikir-pikir aku ini terlalu ikut campur pada masalah mereka, tapi itu semua kulakukan karna aku ingin melihat mereka bersama. Terutama aku ingin sepupuku itu bahagia. Aku jadi ingat dengan kata-kata mamaku bertahun-tahun lalu, saat alvin pindah ke sekolahku..

>>Flashback on<<

“ma, alvin itu sepupuku ya?” tanyaku setelah anak itu-alvin-pamit dari rumahku.

Mama mengangguk. “tapi kok mama gak pernah cerita aku punya sepupu?” tanyaku lagi.

“karna mama juga baru lihat dia kali ini. mama gak nyangka, dia mirip banget sama mamanya, adik mama yang meninggal setelah melahirkan dia,” kata mama.

Aku membulatkan mulutku dan mengangguk-angguk. “tapi dia pendiam banget ma. Emangnya dulu tante juga pendiam ya?” tanyaku polos.

Mama tertawa dan membelai rambutku, kemudian mimik wajahnya berubah serius. “sayang, mama pesen sama kamu ya, jagain alvin. buat dia bahagia, bantuin dia,” pesan mama.

Aku menatapnya tak mengerti. “tapi dia kan laki-laki ma, harusnya dia yang jagain aku dong?”

Mama tersenyum, matanya menerawang jauh. “nanti, kamu juga akan tahu kenapa mama pesan ini ke kamu. Kamu akan tahu bagaimana kehidupan alvin yang sebenarnya,” katanya misterius.

>>Flashback off<<

Dan sekarang aku sudah tahu kenapa. setelah aku tahu itu, aku semakin ingin membuat alvin bahagia. aku jadi lebih mementingkan alvin dibandingkan diriku sendiri. Ya, yang penting alvin bahagia. itu saja.
***
“besok dateng ya! jangan lupa!” kata agni padaku. Aku mengangguk. Turut senang dengan berita yang dia sampaikan sebelumnya. ibunya berhasil membangun sebuah usaha catering, sehingga agni tak perlu lagi repot-repot bekerja. Akhirnya, agni.

“alvin boleh ikut?” akhirnya pertanyaan yang sempat kuragukan terlontar juga.

Agni tak bereaksi, kuulangi pertanyaanku. “terserah lo. tapi inget, gue ngundang lo, bukan ngundang dia. jangan salahin kalo gue ngusir dia karna dia udah ngerusak mood gue,” katanya.

Aku tersenyum dan mengangguk. Setelah menyampaikan rasa terima kasihku, langsung kurain hapeku dan kuketikkan sms untuk alvin. aku tersenyum kembali membaca balasannya. Alvin, gue pasti ngelakuin sesuatu supaya lo bisa dapetin agni, tekadku.
***
Acara syukuran baru saja selesai, sementara agni sedang sibuk dengan para tamu yang masih tinggal, aku berbicara dengan alvin di sudut.

“dia masih benci sama gue ya?” tanyanya getir. Sorot ketakutan begitu terpancar dari matanya. Pada kesempatan-kesempatan seperti inilah aku dapat menemukan alvin yang sesungguhnya, tanpa harus ada kebohongan yang menopenginya.

“begitulah. tapi gue akan bantuin lo kok biar lo bisa deket lagi sama dia. atau tepatnya, biar lo bisa dapetin dia,” janjiku padanya.

Alvin menunduk, dan berkata lirih, “gue gak tau caranya. Gak ada yang ngasihtau gue, gak ada yang ngajarin gue, gimana gue bisa ngerti?”

Aku sangat mengerti dengan apa yang dikatakan alvin. dan yang bisa kulakukan hanya mengusap punggung alvin dan berkata, “lakuin sesuai kata hati lo. pikir, apa yang bisa narik perhatian agni? perlakuan apa yang disukain cewek? Ayolah alvin, gue tau lo pinter. Pasti lo tau apa yang harus lo lakuin kan?”

Tampaknya alvin sedang berpikir keras. Keningnya berkerut dan ia mengusap-usap dagunya dengan jarinya. Oke, biarkan dia berpikir dulu. aku ingin lihat apa yang akan ia lakukan besok?
***
Pagi-pagi agni dikejutkan dengan alvin yang sudah duduk di mejanya dan langsung berdiri begitu ia menghampirinya. Aku yang sudah datang duluan hanya menonton saja dari mejaku.

“ngapain lo?!” tanya agni jutek. Ia menaruh tasnya dan duduk tanpa melihat alvin sama sekali.

Namun alvin membalasnya dengan senyum yang sangat manis, dengan menarik bangku ke samping agni. agni refleks menjauh karna jarakanya yang menjadi begitu dekat dengan alvin. wow, sepertinya akan seru. Alvin sudah berubah ternyata.

Alvin meraih pergelangan tangan agni dan berkata, “duduk aja lagi. gak gue apa-apain sih,” katanya lembut.

Agni menarik tangannya dari alvin dan menatapnya mencela. “jangan pegang-pegang! Pergi sana! Ngapain sih kesini?!” usirnya.

“mau ketemu sama lo aja. Pengen ngobrol. Udah lama banget gue gak ngomong sama lo,” jawab alvin.

“gue gak mau ngobrol ataupun ngomong sama lo! gue benci sama lo! pergi sana!” usir agni lebih tajam lagi.

Sekilas aku melihat sorot kecewa alvin yang langsung berubah kembali. “kenapa sih lo benci banget sama gue? jangan bilang benci terus, kalo nanti lo cinta sama gue gimana tuh?” goda alvin.

Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Oh god. Bisa tidak dia tidak usah terlalu terang-terangan?

“cih! Lo mau tau kenapa gue benci sama lo? karna gue gak suka ada lo di deket-deket gue! carper banget! kalo lo suka sama gue, bilang aja! Atau sekarang gue jawab aja ya, gue gak mau sama lo! gak akan mau! Karna lo bukan tipe gue! gue gak suka cowok yang gak punya temen kayak lo! kerjaannya Cuma ngikutin sepupunya terus!” tolak agni mentah-mentah.

Aku tertegun, kemudian menelan ludah. Harus kuakui, kadang kata-kata yang dilontarkan agni memang sangat tajam dan kejam. Seperti ini. padahal alvin tak menyatakan cinta padanya, tapi sudah ditolak mentah-mentah. Jahat sekali.

Dan sekali lagi kulihat tangan alvin sudah terkepal. Bakan urat-urat di tangannya itu menonjol keluar dan mewarnai kulit putihnya. Pasti ia sangat marah dan sakit hati, juga kecewa. ya, apalagi kalau bukan itu?

Tapi raut wajah alvin, sama sekali tak menunjukkan reaksi yang sama dengan kepalan tangannya itu. “makasih buat penolakan lo. tapi gue gak nembak lo kan? tadiannya gue kesini buat bicara baik-baik sama lo. tapi ternyata lo malah marah-marah. Yaudah deh, lain kali aja,” katanya beranjak pergi.

Agni menghempaskan dirinya ke kursi. Aku tak habis pikir dengan sikap agni tadi.”lo keterlaluan ag,” kataku.

Agni diam saja, tidak mempedulikan ucapanku. “gue gak nyangka lo bisa sejahat itu sama alvin,” tambahku. Dia masih diam saja.
***
Alvin POV

Aku benar-benar terpukul dengan kata-kata agni tadi. aku tak bisa menerimanya. Terlalu jahat untukku. Aku sangat sangat kecewa dan sakit hati mendengarnya. Kamu jahat agni!

Apa kesalahan yang aku perbuat? Mengapa tidak ada yang menginginkan kehadiranku? Kenapa semua menolakku? Memintaku menjauh?

Mungkin ini bukan pertama kalinya aku mengalami penolakan terhadap kehadiranku, tapi aku tetap tak bisa menerimanya. karna ini penolakan seorang gadis yang amat kucintai, gadis pertamaku malah, yang kuanggap akan menjadi yang terakhir pula. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan seperti sebelumnya, penolakan-penolakan ini hanya akan melukai hatiku dan mengguncang jiwaku.  Sangat menyakitkan asal kau tahu. 

Padahal aku sangat-sangat menginginkannya. Aku menginginkan agni, perhatiannya, tutur dan sikap lembutnya, kasih sayangnya, aku mau semuanya. Dia yang terbaik, dan selamanya akan terus seperti itu.
***
My POV

Sudah 4 hari alvin tidak masuk sekolah. Semenjak kejadian itu. pasti dia sangat terpukul. Aku tak heran bila dia tidak masuk seperti ini. tapi kalau sampai 4 hari ya kelewatan juga lah.

“ag, ntar temenin gue ke rumahnya alvin yuk. Kayaknya dia sakit. Udah 4 hari dia gak masuk, gak ada kabar juga,” ajakku pada agni.

Agni meresponnya setengah hati. “gak ah,” tolaknya.

“ya elah ag, Cuma nemenin gue doang kok. emangnya lo gak khawatir sedikit apa sama dia? sedikit aja?”

“enggak,” jawabnya.

“kok lo gitu banget sih ag?” aku mulai kesal dengan sikapnya yang tidak peduli itu.

“apanya yang gitu banget? udahlah, biarin aja. Mungkin dia butuh waktu sendiri,” katanya santai.

Cukup. aku sangat geram mendengar kalimat terakhir agni. “agni! please! Gue mohon! Sekali aja lo gak bersikap cuek sama alvin!”

Agni menatapku aneh. “lo kenapa sih?” katanya bingung.

aku mencengkram kedua bahunya. “ag, gue rasa lo perlu tau sesuatu tentang alvin. dia sama sekali gak butuh waktu sendiri ag, sepanjang hidupnya dia Cuma sendirian. Dan dia gak butuh waktu lebih lama lagi untuk itu,” kataku dengan nada permohonan.

“lo tau ag kenapa gue peduli banget sama dia? gue kasian ag sama dia. lo gak tau kan kenapa dia gak punya temen? Kenapa dia gak bisa berbuat baik? kenapa dia gak bisa bersosialisasi? Itu semua karna gak ada yang ngajarin dia ag,” aku menarik napas sebentar. Kulihat agni masih menunggu kelanjutanku.

“ibunya meninggal setelah ngelahirin dia, dan ayahnya, gak mau ngurus dia. bahkan dia ngeliat ayahnya secara langsung aja belum pernah ag. Ayahnya Cuma ngasih dia uang dan uang, tanpa peduli dengan keadaan alvin. ayahnya lebih milih keluarga barunya yang ada di amerika. Alvin sama sekali gak tau gimana rasanya disayang, diperhatiin, bahkan diajarin sama orangtuanya. Gak kayak kita ag. Kita beruntung.”

Untuk sementara aku diam, menunggu reaksi agni. “terus selama ini dia hidup gimana?” tanyanya ingin tahu.

“ya sama asisten pribadinya, yang disuruh ayahnya buat ngurus dia. tapi jangan lo kira asisten itu mau peduli dengan urusan alvin. gak sama sekali! kayaknya kalo alvin mati dia juga gak peduli. Sekarang lo tau kan kenapa gue sayang banget sama alvin? lo mau kan temenin gue ke rumahnya? Sekedar sedikit peduli padanya?”

Aku berharap agni tergugah dengan ceritaku barusan. Alvin pasti sangat membutuhkan agni sekarang.

“tapi kenapa harus gue?” tanyanya enggan.

Ya ampun. Bahkan setelah aku bercerita panjang lebar seperti itu dia masih tidak tersentuh? Awalnya kukira dia sangat peduli terhadap orang lain. Tapi ternyata salah.

“karna dia suka sama lo ag. Dia sayang sama lo. dia cinta sama lo,” jawabku langsung.

Seketika raut wajah agni berubah dingin kembali. “kalo gitu sori, gue gak mau,” katanya.

Aku menghela napas. “ayolah ag. Demi gue kalo gitu,” bujukku kembali.

Agni tampak berpikir, lalu berkata, “yaudah. Tapi gue gak mau lama-lama.”

Aku mengangguk dan tersenyum. “ayo,” kataku.
***
Sekarang kami berada tepat di depan pintu rumah alvin. menunggu seseorang membukanya. Beberapa saat setelah aku mengetuk pintunya, seseorang bertanya, “cari siapa?”

“alvin,” jawabku. Dan setelah itu kami dipersilahkan masuk ke dalam. Aku dan agni duduk menunggu alvin turun dari kamarnya.

“hai, ada apa?” tanya alvin dengan seulas senyum.

“lo kenapa gak masuk? Sakit?” tanyaku khawatir.

Ia hanya menggeleng. “lagi males aja,” jawabnya yang kutahu itu bohong. Belum pernah alvin absen kecuali ia benar-benar sakit. Ia benci rumahnya yang jelas. Rumah yang tidak seperti rumah. Tidak ada ibu, tidak ada ayah.

“oh. Kirain sakit hati,” sindirku yang langsung membuat agni mengangkat sebelah alisnya padaku dan alvin hanya diam saja dengan tersenyum.

“ag, lo kok ikut ke sini?” tanya alvin pada agni yang lebih banyak diam dan mengamati isi rumah ini.

“dipaksa sama dia,” jawabnya jujur, yang sontak membuatku menyangkalnya. Alvin hanya tertawa melihatku yang gelagapan.

Agni menatap alvin dengan tatapan yang sulit dimengerti. Ia berjalan ke arah alvin dan meletakkan tangannya di atas kening alvin. “badan lo anget vin. istirahat dulu gih. Biar gue bisa cepet pulang,” kata agni enteng.

“maksud dia bukan gitu kok vin. ya kan ag?” sanggahku cepat-cepat. hei, sebegitu tidak pedulinyakah dia pada alvin?

Agni hanya diam dan kembali duduk di sebelahku. Sementara alvin sepertinya sudah terlanjur kecewa. ia terus menatapku dengan pandangan tajam.

“kalo lo gak niat buat dateng ya gak usah dateng ag,” kata alvin kesal.

Agni menatap alvin dengan malas. “kan tadi gue udah bilang. Gue dipaksa sama sepupu lo ini! kalo dia gak maksa juga gue gak akan mau dateng,” jawabnya.

Aduh. Aku semakin merasa bersalah pada mereka. memangnya salah ya kalau aku ingin sepupuku ini senang? Agni benar-benar berubah! Dia bukan lagi agni yang peduli dan ramah. Agni, tidak bisakah kamu sedikit berbaik hati dan bermanis-manis di depan alvin?

“yaudah kalo lo mau pulang. Gue anterin ya?” tawar alvin.

Aku menggelengkan kepalaku. Sudah dijahati seperti itu alvin masih tetap baik pada agni?! beruntung kau agni! alvin masih tetap baik dan sayang padamu meski sudah kau tolak habis-habisan! Lihat saja! suatu saat kau pasti akan menyesal karna telah menyia-nyiakan alvin seperti ini!

“gak usah. Gue bisa pulang sendiri,” tolak agni, mengambil tasnya dan menatapku.

“apa?” tanyaku tidak mengerti.

“lo mau pulang bareng gue atau gak?” tanyanya. Jelas sekali daritadi bahwa ia ingin cepat-cepat menyingkir dari rumah ini.

Aku menatap alvin yang pasrah saja karna agni terus menolaknya. “bareng lo. tapi dianter alvin aja ya?” bujukku.

Agni mendelik kesal padaku, tapi aku pura-pura tak melihatnya. Aku malah menatap alvin, “tawaran lo masih berlaku kan vin? anterin kita ya!” seruku. Kulihat alvin mengangguk dan tersenyum. Baguslah.

“gue gak mau! Lagian dia sakit. Udah sih, biarin dia istirahat aja. Nanti kalo di jalan kenapa-napa gimana coba?” tolak agni yang cukup membuatku senang. Dan kurasa alvinpun begitu. Ternyata agni peduli dengan alvin. hanya saja ia tak menunjukkannya terang-terangan seperti alvin.

“oh, jadi sekarang peduli nih sama alvin?” godaku sambil menyenggol lengannya. Dia diam saja, tapi kulihat wajahnya sedikit memerah. Aku benar-benar puas melihatnya. Andai kalian bisa mendengar hatiku, pasti kalian akan mendengar tawaku yang amat puas.

“kalo gitu sori deh vin. ada yang takut lo kenapa-napa. Gue gak mau dia sedih tuh nanti kalo terjadi sesuatu sama lo. yaudah, gue sama agni pulang ya! Bye!” aku segera kabur begitu selesai menggoda agni. Kudengar agni menyerukan namaku dengan kesal. aku tertawa, puas sekali melihatnya.
***
Ternyata manjur juga aku membawa agni kemarin, buktinya sekarang alvin sudah masuk sekolah kembali dan tampaknya ia sehat-sehat saja. baguslah.

“ag, lo ntar malem ada acara gak?” tanya alvin ketika agni sedang sibuk mengerjakan soal.

“ada,” jawab agni singkat.

“kalo besok?” tanya alvin lagi.

“ada,” jawab agni lagi.

“kalo besoknya lagi?” tanya alvin, kali ini benar-benar mengharap.

Agni berhenti menulis kemudian menatap alvin kesal. “gue gak ada waktu! Apalagi buat lo! makasih atas tawaran lo mau ngajak gue jalan. Tapi gue sama sekali gak berminat!” ketusnya.

“emm.. kalo gue besok pagi jemput lo boleh?” alvin tetap mencoba agar bisa lebih dekat dengan agni rupanya. Bagus alvin! berusahalah!

Agni menutup bukunya kasar dan berdiri. “lo ngerti bahasa indonesia gak sih?! gue gak mau lo ada di deket gue! pergi sana! Masih banyak cewek lain! Gak usah gue! gue gak mau! Pergi!” usirnya kembali.

“gak mau. Gue maunya elo,” kata alvin tenang. Kedua tangannya sudah terlipat di dadanya.

agni menunjuk alvin. “lo! gue bener-bener benci sama lo! kenapa lo gak sakit lagi aja sih?! mati kalo perlu! Asal lo tau ya! gue tuh gak pernah berharap pernah kenal sama orang kayak lo! please! Jauhin gue! pergi sejauh mungkin! Atau gue yang harus pergi?”

aku tak pernah menyangka kalau agni akan berkata seperti itu. dia berharap alvin mati? Oh tidak! awas saja kau agni kalau sepupu semata wayangku ini kenapa-napa!

“lo mau gue mati?” ulang alvin getir.

Agni sepertinya baru menyadari kalau ia salah ucap. “bukan gitu maksud gue,” katanya gelagapan.

“gue serius! Lo mau gue mati?!” desak alvin. ia mengguncangkan kedua bahu agni.

“gu.. gue salah ngomong vin. bukan gitu maksudnya,” sepertinya agni mulai ketakutan.

There’s nothing that i can do. Aku tidak mau ikut campur terlalu banyak pada urusan mereka berdua, walaupun sebenarnya iya.

Tatapan alvin pada agni semakin tajam. Perlahan tangannya mengendur dan ia berbalik. “gue gak habis pikir sama lo. salah gue apa sama lo sampe lo segitu bencinya sama gue?” gumamnya pelan sambil berjalan keluar.

Agni berjalan cepat dan menahan lengan alvin. “sori vin. gue gak bermaksud ngomong kayak gitu tadi,” katanya sungguh-sungguh.

Alvin menggeleng, kemudian melanjutkan berjalan kembali. Aku berdiri dan berjalan ke arah agni, kutepuk bahunya. “sama ag. Gue gak ngerti sama lo. lo tiba-tiba berubah jadi benci setengah mati sama alvin. dan tadi, lo malah minta dia mati. Jahat banget elo ag,” kataku.

Agni terperangah dan menatapku. “kalo sampe alvin nurutin permintaan lo itu, gue gak akan pernah maafin lo,” kataku lagi lalu berjalan keluar menyusul alvin. aku takut kalau alvin menuruti agni.
***
Alvin POV

Tak ada yang tahu bukan kalau aku benar-benar hancur begitu agni berharap seperti itu? aku bukannya kecewa atau sakit hati lagi. aku jadi ingin benar-benar mati saat dia bilang seperti itu.

Ya, mati. Toh hidupku juga tidak pernah diharapkan. Heuh. Kalian tidak tahu juga bukan kalau aku sangat menderita? Seumur hidupku aku tidak pernah mendapatkan yang namanya kasih sayang tulus. Semua memanfaatkanku. Apalagi teman-temanku dulu. mereka semua hanya memanfaatkan kekayaanku ini. tak pernah tulus berteman denganku karna aku memang tidak bisa bersosialisasi.

Dan orangtua. Jangankan pernah berbicara dengan mereka, melihat saja aku belum pernah. Dan aku benci sekali dengan ayahku. Ia tak pernah menganggapku ada. Bahkan menelepon atau datang kesini saja tidak pernah. Kalian mungkin tidak bisa melihat, kalau aku selalu menghindari tempat-tempat rekreasi keluarga, atau tempat manapun, selama aku melihat ada keluarga. Aku benci itu semua.

Padahal aku sudah terlanjur berharap banyak pada agni. tapi apa? Berteman dengannya saja aku tidak bisa. Apalagi mendapatkannya? Sepertinya mustahil. Aku sudah mencoba bersabar dan menahan emosiku. Aku terus meyakinkan hatiku kalau ia tidak pernah bermaksud begitu.

Tapi percuma. Ketahanan hatiku akhirnya harus runtuh juga mendengar semua perkataannya tadi. dia benar-benar mengharapkan aku hilang dari muka bumi ini. yang aku tak mengerti, apa kesalahanku? Kalau aku punya salah padanya, tinggal bilang saja. aku pasti akan merubah kelakuanku dan berusaha memperbaikinya.

Aku menghela napas. Aku akan mencoba sekali lagi. kalau ia benar-benar tidak mengaharapkanku, aku akan menurutinya, pergi sejauh mungkin dari kehidupannya.
***
Agni POV

Aku jadi merasa bersalah. Bukan maksudku berkata seperti itu. aku hanya keceplosan. Ya, keceplosan. Tapi bukan berarti aku memang menginginkannya.

Baiklah, jujur saja. hampir seluruh hatiku menginginkan dia pergi. Tapi aku masih punya hati nurani. Tidak mungkin aku tega seperti itu. tapi, bagaimana bisa aku keceplosan kalau aku tidak benar-benar menginginkannya?

Entahlah. Aku bingung. Aku tidak tahu kenapa aku benar-benar benci pada alvin. dan aku semakin benci padanya bila ada yang mengatakan bahwa alvin menyukaiku. Apalagi sepupu alvin yang notabene sahabatku itu. sudah bertahun-tahun aku mendengar kalimat itu. nyaris setiap hari malah. Dan jangan salahkan aku bila kebencianku semakin besar.

Yang kusadari, kebencianku itu tak beralasan. Kau tahu? aku sangat bosan melihat wajah alvin setiap hari. Ia selalu menjahili aku. Aku tahu itu semua karena dia tidak punya teman lain. Payah sekali laki-laki sepertinya. Aku tidak suka. Masa punya teman saja tidak?

Rasa bersalahku semakin menjadi-jadi ketika temanku itu mengancam diriku. Aku ingin minta maaf pada alvin. tapi gengsiku cukup menahanku. Nanti sajalah, aku pikirkan cara terbaik yang bisa kulakukan untuk minta maaf padanya. Sekarang aku mau menanyakan kabarnya dulu. aku takut kalau ia malah bunuh diri. Dan aku disalahkan karenanya? Oh no! Semoga tidak seperti itu!
***
hehe..
bagaimana? judul gak nyambung sama cerita ya? hehe..
ohya, yang mau jadi "aku"nya terserah.. hehe..
yang jadi "aku"nya terserah.. hehe
commentnya ya.. saran dan kritiknya juga..
makasih :D