Saturday 19 March 2011 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 7


PART VII

Dua anak kecil berusia tujuh tahunan duduk di ayunan gantung. Hanya menduduki, belum memainkannya. Yang satu, seorang gadis kecil sedang memejamkan matanya, menikmati suara semilir angin yang menemani keheningan mereka, dengan kedua tangan memegang tali ayunannya. Sementara yang satunya, seorang laki-laki kecil malah diam, menatap lekat wajah gadis kecil di sebelahnya.

“Agni,” panggil sang anak laki-laki tadi, memecah keheningan yang sudah berlangsung hampir lima belas menit itu.

Sang gadis kecil membuka matanya perlahan, kemudian menjawab, “ya?”

“kok Agni diem aja?”

Agni tersenyum, dan mulai mengayunkan ayunannya pelan-pelan. “emangnya kenapa? gak boleh?” sahutnya.

Kening anak laki-laki di sebelahnya mengerut kecil. Tapi kemudian mengikuti Agni, memainkan ayunannya perlahan, baru bertanya kembali, “Agni kok jawabnya gitu?”

“gitu gimana?”

“ya gitu, jawabnya malah balik nanya.”

Agni tak membalas ucapan anak tadi. Ia malah diam, dan kembali menjadi hening. “Agni mau sama Alvin terus,” kata Agni pelan.

Alvin menoleh pada Agni yang pandangannya masih lurus ke depan, “Alvin juga mau sama Agni terus,” balasnya dengan senyuman.

Agni menghentikan ayunannya dan menatap Alvin. “kata Cakka, nanti kalo Alvin udah umur 9 tahun, Alvin sama Cakka bakal dibawa pergi ya?” tanyanya, dengan gurat kecewa yang jelas di wajahnya.

Alvin mengangguk kecil, pelan. “kata oma, nanti Alvin sama sepupu Alvin bakal dibawa ke jepang, ke rumah oma,” jawabnya sangat pelan.

Agni merengut. “kalo gitu Alvin bakal ninggalin Agni dong? Alvin gak sayang ya sama Agni?”

Alvin menangkap jelas ketidaksukaan gadis di sampingnya ini terhadap kepergiannya. Ia beranjak dari ayunannya, dan berlutut di depan Agni. “Alvin sayang sama Agni, tapi Alvin harus pergi nanti, soalnya papa Alvin dulu juga begitu. Alvin pasti balik kesini lagi kok,” katanya.

Agni cemberut. “pasti Alvin bakal lupa sama Agni nanti. Terus Alvin gak akan balik lagi, ninggalin Agni disini. Nanti kalo Agni kangen banget sama Alvin gimana? Alvin gak ada lagi buat Agni, Agni gak mau sendirian,” terdengar suara Agni yang berusaha menahan tangisnya. Namun, sepertinya usaha Agni menahan tangisnya itu sia-sia, karna begitu membayangkan Alvin akan meninggalkannya, tangisnya langsung pecah.

Kedua tangan Agni sudah mencoba menghentikan laju air matanya, mengusap aliran air yang mengalir dari matanya, meski sama sekali tak dapat menghentikannya. Agni takut kehilangan Alvin, yang sudah dua tahun ini mengisi hari-harinya, dari yang sangat dingin dan susah didekati, sampai berubah menjadi pribadi yang ramah dan sangat lembut padanya.

Alvin mendekap Agni dalam pelukannya. Jemarinya yang mungil mengelus kepala Agni, membiarkan gadis itu menangis dan tenang sendiri dalam pelukannya, seperti yang sudah-sudah.

“Alvin akan selalu ada buat Agni. apapun yang terjadi. Alvin juga gak akan lupain Agni. kita bisa telponan, smsan, atau emaillan. Lagian, itu masih lama Agni, masih 2 tahun lagi. Kenapa nangis sekarang sih?” kata dan tanya Alvin heran.

“biarin. Agni Cuma gak gak bisa bayangin aja kalo gak ada Alvin sama Cakka. Nanti siapa yang jagain Agni?” tanya Agni, sudah menghentikan tangisnya, dan malah memeluk Alvin lebih erat. Benar-benar takut ditinggal oleh Alvin.

“kan ada zeva,” jawab Alvin, masih mengelus kepala Agni dengan lembut, mencoba menenangkannya kembali.

Agni memanyunkan bibirnya, “Agni kan maunya Alvin atau Cakka,” jawabnya mulai kesal.

Alvin menguraikan pelukannya, kemudian menatap Agni menyelidik, “sebenernya Agni takut ditinggalin Alvin atau Cakka sih? Daritadi kayaknya nyebut nama Cakka terus,” guraunya.

Agni menggembungkan pipinya, kemudian memukul kedua bahu Alvin tanpa berkata apapun, pernyataan bahwa dirinya sedang ngambek. Alvin tertawa kecil melihat aksi ngambek Agni, lucu sekali.

Agni menghentikan aksi ngambeknya karna Alvin menertawakannya dan tidak menahan tangannya. “emangnya gak sakit?” tanyanya heran. Rasanya ia sudah memukul dengan kencang, tapi kok tidak ada reaksi kesakitan dari Alvin?

Alvin mencubit hidung Agni, “ya sakitlah Agnii..” jawab Alvin gemas.

“tapi kok gak ditahan?” tanya Agni kembali, bingung.

Alvin tersenyum manis. “kan biar Agni puas. Jadinya Agni gak nangis sama marah lagi,” jawabnya.

Agni tersenyum. Kemudian sebuah ide melintas di pikirannya. “Alvin, Alvin mau janji gak sama Agni?”

“janji apa?”

Agni mengulurkan kelingkingnya. “janji kalo Alvin akan terus setia sama Agni, Alvin gak akan mau sama yang lain selain sama Agni. dan kalo Alvin ngingkarin, Alvin gak akan pernah bisa punya cewek lagi. Jadi Cuma Agni ceweknya Alvin. gimana?” tawar Agni.

Alvin mengerutkan keningnya. “kok gitu? Gak bisa punya cewek lagi?” tanyanya heran.

“iya! Biar Alvin Cuma sama Agni! kenapa? gak mau? Ya udah! Berarti Alvin gak sayang sama Agni!” langsung saja Agni melipat kedua tangannya di dada.

“iya iya, Alvin kan Cuma nanya, kok kesel lagi sih? Alvin mau kok,” bujuk Alvin, agar Agni tidak kesal lagi.

Agni kembali mengulurkan kelingkingnya, menunggu Alvin berjanji padanya. “tapi Alvin mau Agni janji juga sama Alvin,” kata Alvin sebelum menyetujui janjinya.

“apa?” tanya Agni.

“Agni gak boleh ngelupain Alvin, apapun yang terjadi. Kalo Agni sampe lupa sama Alvin, atau coba-coba ngelupain Alvin, Agni bakal terus dihantuin sama kenangan kita. Gimana?”

Agni berpikir sejenak, kemudian mengangguk. “Agni mau!” dan setelah itu, Alvin langsung mengaitkan kelingkingnya dengan Agni.

Janji yang awalnya hanya setengah bercanda, pada akhirnya malah menjerumuskan mereka ke dalam masalah yang bertubi-tubi, terikat dengan janji kesetiaan itu. hanya ada satu cara yang pasti bisa menyelesaikannya. Alvin, Agni, kembali bersama. Karna sesuai dengan janji setia keduanya, Alvin hanya milik Agni, dan Agni hanya milik Alvin.
***
Nathan menghentikan jemarinya yang melompat indah di atas tuts-tuts keyboard di hadapannya, menghela napas berat begitu sebuah tanda titik mengakhiri sepotong kenangannya. Kenangan yang ia coba tulis ulang, menjadi sebuah cerita fiksi, yang sudah mencapai ratusan halaman, namun sama sekali belum mencapai akhir.

Nathan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang ditumpukan ke meja. Agni. nama itu terus berputar-putar di kepalanya, membangkitkan kembali seluruh kenangannya, menuntutnya untuk kembali bersama gadis itu.. secepatnya.

Setiap kenangannya berhenti berputar, Nathan tak henti-hentinya berujar pada diri sendiri kalau ia takkan bisa mendapatkan Agni kembali dan harus melupakan Agni selamanya.

Tapi itu sangat berat. Menyuruhnya melupakan Agni sama saja membunuh karakter Alvin dalam dirinya sendiri-yang walaupun sudah berubah menjadi Nathan, ia tetap lebih menyukai karakter Alvin-yang sangat sangat sulit ia lakukan.

“lo masih sayang kan nath sama dia?” Nathan mengangkat kepalanya, dan mendapati dea sedang bersandar di mejanya.

Nathan melipat kedua tangannya di dada dan menghempaskan badan ke kursi. “selalu dan selamanya, de..” ujarnya lirih.

“deketin dia kalo gitu,” saran dea enteng. Nathan meliriknya dengan tatapan putus asa yang sangat dimengerti oleh dea. “sebagai Nathan maksud gue,” tambahnya buru-buru.

Nathan mengangkat alis. “sebagai Nathan?” tanyanya setengah tidak mengerti.

Dea mengangguk. Matanya nenatap lurus mata sipit Nathan. “kalo lo gak bisa balik sama dia sebagai Alvin, deketin dia sebagai Nathan,” jelasnya.

Otak Nathan langsung bekerja dengan sangat cepat, hingga dalam detik berikutnya, sudah ada daftar kemungkinan akibat dari cara itu, baik dan buruknya di dalam kepalanya.

“terserah lo deh vin mau gimana. Intinya kalo lo mau pertahanin dia, lo harus deketin dia. Kecuali kalo lo mau Cakka yang ngebahagiain dia. Dan lo harus siap-siap semakin menderita dengan sakit hati lo kalo gitu,” kata dea, tahu apa yang sudah ada dalam benak Alvin.

Nathan tahu itu. semakin dia mengulur waktu, semakin besar kans Cakka untuk mendapatkan Agni, dan semakin kecil juga kesempatannya untuk mengembalikan hubungannya dengan Agni.

Nathan menghela napas. Sanggupkah ia menerima siksaan cinta lagi? Tahukah Agni, bahwa setiap hari dia sudah bersabar, untuk tidak bertengkar atau berantem dengan Cakka yang setiap hari selalu bersama Agni? tentu tidak tahu, dan tidak akan tahu.

Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya, apakah benar Agni menunggu dirinya? Apakah Agni mengingatnya sedikit saja? apakah janjinya dengan Agni juga berlaku pada Agni, seperti dirinya? Apakah Agni pernah merindukannya? Apakah Agni, apakah Agni, dan apakah-apakah Agni yang lain bermunculan tanpa henti.
***
 Zevana menyodorkan gitar pada Nathan, yang diterima tanpa dikomentari. “kita duet gitar. Dan lo harus nyanyi,” perintah Zevana, tanpa mau diganggu gugat. Nathan yang sedang asik melamun langsung menoleh, dan memberikan sebuah gelengan singkat, sementara matanya masih memandang kosong apapun.

“tapi gue udah bilang gitu ke Agni. dan udah dicatet! Jadi lo gak bisa protes,” ujar Zevana dengan senyum kemenangan.

Nathan memejamkan matanya, ujung jari-jarinya meraba senar gitar yang dipangkunya itu. tak berniat memainkannya. Namun tiba-tiba ia berkata, “gak bisa gitar. Cari pasangan lain. Jangan ganggu gue,” katanya singkat-singkat. Terdengar begitu datar dan  mengusir.

“jangan boong deh vin. Kalo gitar doang gue yakin lo bisa. Lagian lo kenapa lagi sih?” Zevana ikut duduk di sebelah Nathan sambil membolak-balik lembaran-lembaran kertas yang dibawanya.

Nathan meletakkan gitar hitam itu di bangku kosong sebelahnya. “arah jam 2,” ucapnya, pelan. Ia pejamkan matanya, mencoba menghapus ingatannya tentang apa yang tertangkap oleh matanya daritadi, menganggap hal itu hanya halusinasinya saja.

Zevana langsung mengarahkan kepalanya ke arah jam dua. Mulutnya membulat dan segera mengatup. “cemburu?” tanyanya enteng.

“gak,” kilah Nathan, yang berarti ‘iya’ bagi Zevana.

Zevana menopang dagunya dengan kepalan tangannya, menatap Nathan yang memejamkan mata. “vin, lo pernah denger dongeng Sleeping Beauty kan?” tanyanya.

Nathan membuka matanya, mengubah posisinya mengarah pada Zevana, hingga jarak mereka sangat dekat, hanya beberapa centi. Sleeping Beauty?

Zevana yakin Nathan tahu apa yang akan ia singgung tentang Sleeping Beauty, dan ini tidak sama sekali out of topic. Dengan mantap ia menatap tepat di kedua manik mata Nathan, tegas, namun lembut, seraya berujar, “sampe kapan lo mau buat sang putri nunggu? Sampe ada pangeran lain yang bangunin dia? Lo mau? Ayolah, gue tau cuma lo yang dia tunggu. Jangan sampe lo terlambat, karna mungkin dia udah gak mau kenal atau tau lo lagi.”

Zevana berhenti sejenak, membiarkan Nathan mencerna ucapannya. “percaya sama gue. Dia Cuma butuh satu orang, dan itu elo, pangeran Alvin. bangunin sang putri dari tidur lelapnya ya,” katanya sambil menepuk bahu Nathan, kemudian meninggalkan Nathan sendirian.
***
“Agni, makan dong, nanti gak sembuh-sembuh,” bujuk Cakka. Daritadi Agni terus menolak untuk makan padahal sedang sakit.

“gak mau! Agni gak mau Cakka yang suapin! Agni maunya Alvin!” ngotot Agni dengan tangan yang sudah menyilang di dada dan kening berkerut serta memanyunkan bibirnya.

Cakka yang sudah bosan mendengarnya tak bisa lagi menahan rasa marahnya. “tuh kan! Agni berubah! Agni jadi sombong sama Cakka! Gak mau sama Cakka lagi! Maunya sama Alvin terus!” ucap Cakka kesal.

“Agni gak sombong sama Cakka kok!” bantah Agni tidak terima.

“iya! Buktinya Agni gak mau main sama Cakka lagi! Sekarang Agni jadi nyebelin!”

Agni mendelik kesal pada Cakka, kemudian merengek kembali, “pokoknya Agni cuma mau makan kalo disuapin Alvin!

“terserah!” kata cakka kesal lalu keluar dari kamar agni. mungkin sudah sangat marah dengan sikap agni yang jadi menghindarinya dan malah terlalu dekat dengan alvin.

Agni tak membuang waktu untuk menghubungi alvin dan memintanya datang. Entahlah, dia senang dengan kehadiran alvin, yang walaupun tak begitu baik bersikap padanya. Tapi dia suka.

Alvin masuk ke kamar agni kemudian menutup pintunya. “alvin, sini!” panggil agni semangat. Dan bagi alvin, agni sama sekali tak terlihat sakit. Jangan-jangan dia kembali ditipu oleh anak ini?

Perlahan alvin mendekat dan duduk di samping tempat tidur agni yang sebelumnya ditempati cakka. “apa?” tanyanya heran.

Agni tersenyum dan menyodorkan mangkuk buburnya pada alvin. “suapin,” pintanya.

Alvin memicingkan matanya, tidak yakin agni benar-benar sakit. Masih tampak bersemangat seperti biasanya. Meskipun setelah diamati agni tampak lebih pucat dan lemas. Tanpa basa-basi atau berucap apapun, alvin langsung menyuapi agni.

Agni terus-terusan tersenyum selama alvin menyuapinya. Yang jelas ia rasakan sekarang, ada benda yang meledak-ledak dalam dadanya, begitu senang dengan kehadiran alvin disisinya.

Awalnya alvin sama sekali tidak peduli dengan agni yang terus-terusan tersenyum, tapi lama-lama risih juga melihatnya. “apa yang lucu?”

Agni hanya menggeleng. “udah ah. agni kenyang. Main aja yuk,” ajak agni.

Gantian alvin yang menggeleng. “gak ah. agni tidur aja. Alvin harus cepet balik, kalo gak nanti cakka marah,” tolak alvin.

Agni mengerutkan keningnya dan memajukan sedikit bibirnya. “udah agni bilang kan, kalo berdua sama agni, alvin gak usah sebut-sebut nama cakka! Lagian cakka juga gak marah kalo agni belain alvin! tenang aja,” kata agni sedikit kacau penyusunan kalimatnya. Sepertinya ia mulai ngantuk.

Agni menguap dan mengucek matanya. “ngantuk,” katanya manja.

Alvin membantu agni berbaring dan menaikkan selimutnya. Sebelum ia dapat beranjak dari tempatnya, agni sudah menahan tangannya, dan berkata, “temenin.”

Alvin duduk kembali di tempatnya, dan melipat kedua tangannya di atas sisi tempat tidur. Tangannya terulur begitu saja ke atas kepala agni, dan mengelusnya pelan. Bergerak secara naluriah, dan nampaknya keduanya cukup menikmatinya.

Waktu bergerak lamban, seakan mengizinkan alvin dan agni untuk berdua lebih lama, menyadarkan alvin bahwa gadis kecil di hadapannya ini sudah membuang cukup banyak waktu untuk merubah sikapnya yang dingin, dan tanpa alvin sadari, ia sudah terbiasa dan mulai bisa menerima kehadiran agni di sisinya.

Agni tak mampu berkata-kata. Baru kali ini ia melihat alvin mengukir senyum. Dan jujur saja, alvin terlihat begitu lembut dan manis. Sama sekali tidak seperti alvin yang dikenalnya selama ini.

“alvin,” panggil agni, menyadarkan alvin.

Alvin segera tersadar dan pipinya merona sedikit. Tak sadar dengan apa yang dilakukannya tadi. Dia terpesona dengan agni? aneh. “hmm,” jawabnya, sudah kembali ke sifat semula.

Diam-diam agni kecewa dengan alvin yang sudah berubah kembali. “dongengin. Alvin udah bisa baca kan?” tanya agni sambil mengulurkan sebuah buku dongeng kesukaannya.

Alvin membaca judulnya. Dia sudah lancar membaca dari umur 3 tahun, tak heran sekarang dia sudah bisa membacanya. Tak seperti agni, cakka, dan zevana yang masih belum bisa membaca lancar di usia mereka yang baru 6 tahun. “sleeping beauty?” bacanya.

Agni mengangguk kecil dan mencari posisi nyaman untuk tidur. “kenapa sleeping beauty?” tanya alvin ingin tahu. Ada begitu banyak dongeng, dan biasanya anak gadis kecil lebih suka didongengi Cinderella atau Snow White, seperti adiknya, keke. Meskipun wajar, tetap saja alvin kecil yang sangat ingin tahu akan bertanya bila diluar kebiasaan yang dilihatnya.

“suatu saat agni pengen jadi kayak sleeping beauty, dibangunin sama pangerannya. Pangeran yang emang ditakdirkan untuk putri. Pangeran yang bisa milikin putri, walaupun banyak pangeran lain yang nyoba milikin putri tapi gak bisa,” jelas agni dengan mata terpejam.

Alvin terdiam. Mencerna pengertian sebuah dongeng dari gadis kecil seperti agni. tanpa berniat menanggapi, ia segera membacakan dongeng itu untuk agni, yang diakhiri dengan tidur lelapnya.

Alvin tersenyum menatap agni yang sedang tidur. Sangat polos dan manis. “alvin mau jadi pangerannya agni,” ucapnya sangat pelan. “semoga alvin bisa jadi pangerannya agni. dan kita hidup bahagia selama-lamanya..” ujarnya kembali, berharap sekaligus berdoa.
***
Nathan tersenyum mengingat semua itu. agni sangat manis waktu kecil. Ingin sekali ia memutar kembali waktu, ke masa itu, mengelus kepala agni, menemaninya saat sakit, dan hanya dialah satu-satunya yang diharapkan agni untuk menemani.

Senyumnya perlahan memudar dan digantikan oleh rahangnya yang mengeras. Berpikir keras. Ia kembali teringat kata-kata zevana tadi. Maju-mundur-maju-mundur? Mana yang harus ia pilih? Maju atau mundur? Maju untuk merebut kembali semua kebahagiaannya, atau mundur demi tidak mendengar penolakan dari agni, walaupun ia tidak tahu agni akan menolaknya atau tidak?

“gak akan selesai kalo lo kelamaan mikir nath,” kata deva yang baru muncul beserta dea, aren, dan acha dan disertai anggukan oleh ketiga gadis yang tak tampak itu.

Nathan menoleh ke arahnya dengan kebimbangan yang masih saja mendominasi dirinya. “terus?”

“maju, deketin dia, buat dia inget kalo selama ini dia Cuma nungguin alvin,” kata acha.

“sadarin dia kalo ada pangeran alvin yang selalu sayang sama dia melebihi apapun,” lanjut aren dengan melemparkan senyum menggoda pada Nathan.

Pipi Nathan sedikit merona disebut-sebut seperti itu terus. Sudah seperti apa aja deh. Konyol, namun dia suka. Ckck..

Dea menahan tawa melihat pipi nathan yang merona. Baru kali ini ia melihatnya. Lucu. Sekaligus menunjukkan bahwa tak lama lagi alvin akan kembali. “so? Siap jadi alvin lagi?” tanyanya meminta kepastian.

Nathan mulai kembali diam dan berpikir lagi. Deva memutar bola matanya. “kelamaan! Iyain aja repot amat!” sambarnya. Lagi-lagi yang lain mengangguk setuju.

Namun Nathan menggeleng. “jangan sekarang. Gue belum siap. Lagian papa masih gak bisa nerima gue. Kalo papa udah bisa nerima gue, gue baru mau jadi alvin lagi,” inginnya.

Nathan memain-mainkan jemarinya di udara, mengamatinya sambil berbaring di tempat tidurnya. “lagian,” ucapnya kembali setelah hening beberapa saat. “gue gak suka jadi alvin. Cuma buat gue sial aja. Dimaki, dicela, disudutin, dikucilin, bahkan dianggep udah mati sama orang-orang, termasuk papa gue sendiri. Apa bagusnya sih jadi alvin?”

“mendingan gue jadi Nathan, punya lo berempat yang nemenin gue. Seenggaknya Nathan gak ngebuat ceweknya meninggal,” nathan mengerling pedih ke arah acha dan aren.

Deva tersenyum tipis dan membalas perkataan Nathan. “bagusnya lo punya agni, status yang jelas pula. Lo juga bisa jadi musisi, seperti yang lo cita-citain dari dulu. Punya banyak fans, banyak temen. Hebat kan?”

Nathan tersenyum miring. “ya, punya banyak fans. Fansnya jadi cewek gue, abis itu meninggal sia-sia. Apanya yang hebat? Bawa sial iya. Kalo agni, entahlah, gue bingung. Apa lebih baik gue relain dia buat cakka aja ya? Gue yakin cakka bisa ngejaga dan ngelindungin agni seumur hidupnya.”

“yayaya, ngejagain agni, tapi gak bisa milikin hatinya agni. agninya juga gak bisa ngasih hatinya ke cakka. Sama aja lo nyiksa mereka berdua kalo gitu. Belom lagi dengan perasaannya zevana. Tega lo kalo begitu. Yang jelas lo ditakdirin buat agni. dan semua masalah ini, mungkin dikasih buat nguji kesetiaan lo,” ucap deva kembali, mulai bosan dengan keraguan Nathan.

Hening. Alvin tak membalasnya, dan tak ada yang berkata lagi. Hingga sebuah bunyi pintu yang terbuka mengalihkan perhatian mereka semua.

“kak, lagi sibuk gak?” tanya keke dengan kepala yang terjulur di antara celah pintu. Nathan menggeleng kecil. “kalo gitu anterin keke sama papa ke gedung pertemuan dong. Papa gak tau jalan dan gak biasa nyetir di kanan,” ajak keke.

“di mana?” tanya Nathan. Masalahnya kalau jauh-jauh pun ia belum tentu tahu.

Keke mengangkat bahunya. “ayo kak, nanti papa marah loh kelamaan nunggu,” kata keke.

Nathan tak membalas lagi, dan langsung mengikuti keke yang sudah berjalan keluar, meninggalkan keempat teman bicaranya tadi, yang perlahan memudar dan menghilang, bersamaan dengan kembalinya kesadarannya ke alam nyata.

Nathan dan keke sampai di ruang tengah, dimana papa mereka sedang menutup panggilan di hapenya. Pak excel berbalik, dan mendapati kedua anaknya sedang menatapnya. “kamu siap-siap ya ke, papa udah panggil supir ke sini,” suruhnya.

Kening keke berkerut. “gak usah. Keke udah minta kak Nathan anterin kita, kak Nathan mau kok,” kata keke, berusaha tidak keterlepasan bicara menyebut kakaknya ‘kak alvin’ di depan papanya, sekaligus menetralisir atmosfir aneh di antara papa dan kakaknya ini.

“papa gak butuh orang gak berguna macam dia. Lagian papa gak yakin dia tau jalan, dia kan ngurung diri terus kerjaannya,” tolak pak excel.

Keke melingkarkan kedua tangannya di lengan Nathan, menahannya beranjak pergi. Pandangan mata keke masih tetap pada papanya, tak mau kalah berargumen. “tapi keke mau jalan sama kak Nathan juga. Kasihan kan kak Nathan di rumah terus. Jadinya kan kita jalan sekeluarga.”

Pak excel menatap keke tajam. “kita gak sekeluarga,” bantah pak excel, penuh penekanan di setiap kata yang diucapkannya. “dan kalau kamu mau jalan sama orang di sebelah kamu itu, jangan pernah panggil papa lagi,” ancamnya, memaksa keke untuk memilihnya.

Cukup. Nathan sudah sangat kecewa dengan pernyataan papanya barusan. Menyesakkan sekali mendengarnya. Ia tak mau dengar lagi. Sudah cukup.

Nathan melepas tangan keke dan beranjak meninggalkannya, tanpa mengetahui, bahwa sekilas sorot mata pak excel tampak sangat menyesal menatap punggungnya yang kian menjauh.

Nathan menutup pintu kamarnya, dengan tangan yang mengepal erat, hingga di punggung tangannya itu muncul garis-garis tebal biru dan merah. Samar-samar ia mendengar keke yang membelanya. Ia sangat berterimakasih untuk itu. Namun sayang, semuanya tak akan pernah berubah kembali seperti dulu. Papanya tak akan pernah menganggap dirinya, dan tak akan pernah peduli, bila ia nantinya benar-benar mati karena siksaan batin yang dialaminya ini.

Sungguh miris. Seseorang yang ditunggunya sebelas tahun lamanya malah membuangnya seperti ini. Nathan merasa benar-benar tak berguna dan tak pantas hidup lebih lama lagi. “jangan pernah anggep alvin gak ada, kalau alvin masih hidup. Karna papa anggep alvin udah gak ada, berarti alvin harus mati,” gumamnya pelan.

Nathan terus mengulangnya, bahkan ketika mulutnya sudah kaku untuk mengucap, ia mengulang dalam hati. Hanya berharap dengan semakin seringnya ia mengulang, perasaan sayangnya pada papanya akan berubah, sama seperti perasaan papanya kepadanya.
***
 Seorang gadis kecil dengan sabarnya menunggu seorang anak laki-laki-yang sama sekali tak mengacuhkannya- di bawah sebuah pohon besar. Berkali-kali ia mengajak bicara, namun tak ada satupun yang ditanggapi. Benar-benar kacang mahal.

Agni sudah mengoceh begitu panjang, bercerita tentang persahabatannya dengan zevana dan cakka. Tapi walaupun tak ditanggapi, ia tahu pasti, alvin pasti mendengarkannya dalam diam.

Alvin masih sibuk membaca bukunya. Tak berminat menanggapi ocehan gadis di sebelahnya ini. Kalau ditanggapi, bisa semakin cerewet. Lebih baik dia diam saja. toh nanti lama-lama anak ini juga akan bosan.

Agni mengulurkan tangannya, memastikan rintik gerimis yang dilihatnya tadi benar atau tidak. Tetes air jatuh di telapak tangan mungilnya. Ternyata memang gerimis. “alvin, balik yuk, ujan,” bujuknya.

“balik aja sendiri,” tanggap alvin ketus.

“tapi maunya sama alvin, kan agni udah nemenin alvin, alvin nemenin agni juga dong di dalem,” rayu agni.

Alvin menatap kesal agni yang memunggunginya. “emangnya aku minta ditemenin? Enggak kan? Yaudah sana balik aja! Siapa suruh ngikutin aku terus!” usirnya.

Agni berbalik dengan kening berkerut dan wajah cemberut, menghampiri alvin dengan langkah terhentak. “alvin mah gitu! Kan agni bosen sendirian di dalem! Cakka sama zeze kan lagi pergi! Jahat!” ucapnya hampir menangis.

Alvin berdecak, kemudian melihat gerimis yang sudah berubah menjadi hujan deras. “udah ujan, mau gimana lagi?” tanyanya, lalu kembali sibuk dengan bacaannya.

Beruntung, dataran tempat pohon ini berakar cukup tinggi, hingga rumput yang mereka duduki tak ikut basah oleh rembesan air.

Agni mendumel kesal, dan duduk agak jauh dari alvin, memeluk kedua lututnya. Dingin. Ia tak tahan dingin. Agni semakin mengeratkan pelukannya, menelungkupkan kepalanya, berusaha agar lebih hangat.

“pakai ini,” ujar alvin, seraya mengulurkan sebuah jaket abu-abu pada agni.

Agni mengangkat wajahnya dan melirik jaket itu dan alvin bergantian. “punya siapa?” tanyanya.

“punyaku. Udah pake aja,” suruh alvin kembali. Agni mengangguk dan segera memakainya. “makasih,” katanya. Alvin hanya mengangguk dan kembali pada bukunya.

Agni berpindah duduk tepat di sebelah alvin dan melingkarkan kedua tangannya memeluk lengan alvin dan menyandarkan kepalanya. Refleks. “dingin,” ucapnya sedikit bergetar.

Alvin menoleh memandang agni. ia tahu dari zeva, kalau agni anak tunggal dan menyebabkannya menjadi manja dan sangat suka memeluk orang—entah untuk bermanja-manja, ketakutan, atau mencari perlindungan. Terutama cakka. dan alvin sudah melihat kemanjaan agni terhadap cakka. jadi, tak mungkin sekarang ia usir agni kan? Kalau anak ini sakit hati gimana?

Alvin meletakkan bukunya di sebelahnya, kemudian menyandarkan badannya ke pohon, dan menarik lengannya, sehingga agni beralih menjadi menyandarkan kepala di badan alvin. Alvin meraih kedua tangan agni, kemudian mengusap-usapnya, menciptakan hawa hangat sekaligus rona merah muda di pipi agni.

Agni tersenyum. Dia senang dengan alvin yang baik seperti ini, yang tak mengusirnya. Setelah alvin berhenti mengusap kedua tangannya, agni langsung melingkarkan kedua tangannya di badan alvin, memeluknya. Alvin hanya diam, dia sendiri tak percaya dengan apa yang barusan dan sedang dia lakukan saat ini. Ya sudahlah, biar anak ini tidak sakit, pikirnya.

Alvin mengusap kepala agni yang bersandar di bahunya dan membaca bukunya kembali. Kedua alis agni bertaut begitu melihat tulisan di bukunya. Ia langsung menunjuk buku yang sedang dibaca alvin dan menatap sang empunya, “kok gak ada tulisannya? Kok malah gambar-gambar kecil sih? Kotak-kotak, garis-garis, sama bulet-bulet?” tanyanya heran.

Jelas agni heran. Isi buku itu hanya garis, kotak, dan lingkaran kecil, yang menyambung, menjadi satu kesatuan. Tentu tampak seperti gambar oleh agni, wajar, dia baru 5 tahun, tidak mengerti itu apa.

Alvin menjelaskan, dengan menunjuk satu kesatuan ketiga gambar itu. “ini Hangeul, tulisannya orang Korea. Isinya emang cuma garis, kotak, sama lingkaran. Kamu kalo mau bisa bacanya harus belajar dulu.”

Agni hanya membulatkan mulutnya, meski ia tak begitu mengerti dengan apa yang dijelaskan alvin. hoammh.. sepertinya dia mengantuk. Hujan selalu membuatnya jadi malas dan mengantuk. Ia kembali menyandarkan kepalanya di bahu alvin, membiarkan matanya terpejam dengan sendirinya, seiring dengan usapan lembut alvin di kepalanya.

Waktu berlalu beberapa menit, namun hujan tak kunjung reda juga. Alvin menguap, ia mulai mengantuk. Tangannya yang mengusap rambut agni sudah berhenti sejak tadi. Dengan posisi agni yang masih memeluknya, ia membiarkan dirinya tertidur, mungkin hingga ada yang membangunkannya kala hujan reda nanti.
***
Agni tersentak bangun. Siapa itu? yang hadir dalam tidurnya barusan? Aneh. Ia tidak bisa mendengar percakapan itu, tidak bisa melihat wajah anak lelaki di samping gadis kecil tadi.

Ya ampun. Bahkan usapan yang dilihatnya itu dapat dia rasakan dengan sempurna. Seolah benar menyentuh dirinya. Usapan itu sudah membuatnya tenang.. dan damai. Agni berani bersumpah kalau dia ingin merasakan usapan itu lagi. Lembut, dan penuh sayang.

Agni masih memikirkan hal itu sampai suara Zevana terdengar memanggilnya. Ah! ini dia. Ia harus tanya pada Zevana. Tidak mungkin kalau Zevana tidak tahu.

Agni bergegas keluar dari kamarnya, menjumpai Zevana yang sedang naik ke atas tangga. “ze! Lo harus kasihtau gue! Gue gak mau lo nyembunyiin hal ini dari gue lagi! Siapa anak lelaki kecil yang sering sama gue dulu? Kenapa lo nyembunyiin ini terus? Apa jangan-jangan dia udah gak ada?” buru agni.

Kedua alis zevana menaut. Butuh sedetik untuk membuatnya sadar akan apa yang agni ucapkan. Oh, itu. sepertinya sekarang memang waktu yang tepat untuk membongkarnya. Ia tersenyum dan duduk di anak tangga. Pandangannya menerawang ke depan, ia jadi ingat masa kecil mereka berempat. “ag, lo percaya gak, kalo anak itu dulu pacar lo?”

agni mengangkat sebelah alisnya. “ya enggaklah! Masih kecil kok udah pacar-pacaran sih?”

“tapi nyatanya lo pacaran sama dia. Backstreet pula. Hanya karna alasan gak mau bikin  persahabatan kita berempat hancur. Dewasa amat masih kecil aja, haha,” kenang Zevana.

Agni jadi benar-benar penasaran dengan cerita Zeva. Ia kemudian duduk di samping Zeva. “serius lo? masa sih? Berempat sama siapa? Terus gue sama dia gimana?”

“berempat. Sama satu orang lagi. Sepupunya. Dulu, lo, gue, sama sepupunya itu temenan akrab banget. Setiap hari kita selalu bareng. Sepupunya itu suka sama lo. lo sama sepupunya itu akrab banget, bahkan gue sampe envy ngeliatnya. Tapi lo inget gak, waktu dia masuk lingkaran pertemanan kita, sejak itu semuanya berubah total. Lo lebih peduliin dia, ngutamain dia. Padahal dia jelas nolak kedekatan lo itu, tapi lo tetep deketin dia. Sampe mungkin akhirnya hatinya mulai luluh dan dia jadi sayang sama lo..”

Agni berusaha keras mengingat-ngingatnya. Mendengar cerita zeva, ia semakin penasaran, semakin ingin ingat. Dari apa yang didengarnya, ia menyimpulkan masa lalunya itu sangat menyenangkan. Ahh.. siapa gerangan anak kecil itu?

“terus setelah kami jadian gimana? Lo berdua tau?” tanya agni semakin penasaran.

Zeva tersenyum tipis. “awalnya gak. Tapi akhirnya gue nyadar. Sementara sepupunya sama sekali gak nyadarin hal itu. lo inget ag? Lo seneng banget bisa jadi cewek dia. lo selalu sebisa mungkin bareng sama dia. lo udah gak sering lagi main sama sepupunya. Lo lebih seneng main sama dia. bahkan sebelum tidur aja lo minta diucapin selamat tidur dulu sama dia, baru lo mau tidur. So sweet ya ag?”

Bibir agni terkembang. Ia sendiri terbuai dalam cerita zeva. Ahh.. semoga ingatannya cepat kembali. Ia tidak sabar untuk mengingat semuanya. “terus dia itu siapa? Gue mau cari. Kalo emang dulu gue pacaran sama dia, harusnya dia bisa bantu gue nginget semuanya. Sekarang dia ada di mana?” tanya agni berapi-api.

Zevana tersenyum. Ia menatap agni. akhirnya! Dia menemukan agninya yang dulu! Agni yang memiliki pancaran mata penuh semangat, penuh ambisi dan kelembutan. Kenapa tidak dari dulu saja?! bodoh sekali dia ini!

“dia ada di deket kita kok,” jawabnya.

“ohya? Siapa? Ayolah! Cepet kasihtau gue, gue gak sabar nih!”

“cari sendiri dong. Kalo lo masih punya rasa sama dia, pasti lo bisa nemuin dia lagi.”

Agni cemberut. “kok gitu sih? Tega lo. gue udah nunggu bertahun-tahun nih,” katanya kesal.

“tenang aja. Gue pasti bakal bantuin lo kok. gue kan kakak yang baik,” balas zevana.

Tenang saja agni, zeva akan dengan senang hati membantu. Bukankah ia juga tak ingin perhatian pangerannya hanya tertuju padamu saja? pasti ia akan membantu. Zeva tak akan membiarkan empat sahabat kecil itu terpisah selama-lamanya. Sudah waktunya untuk kembali bersama…
***
Nathan tak jarang melirik papanya yang sedang sibuk di balik meja kerjanya. Sekadar ingin memastikan bahwa papanya itu memang nyata, ada di depannya, dan sedang bersamanya. Meski perlakuan buruk yang terus diterimanya, tetap saja ia sudah sangat bersyukur papanya ada di sisinya sekarang.

Sudah sejam dia di sini. Di hadapan papanya. Tidak diacuhkan, tidak ditanya, tidak dilirik sama sekali. Untuk apa ia di sini? Ia sebenarnya ingin mencoba menjalin komunikasi yang baik dengan papanya. Tapi sepertinya niatnya sudah semakin pudar. Bahkan dilirik saja pun tidak.

Ia jadi sering berpikir, apa ayahnya enggan memiliki anak sepertinya? Apa ia terlalu buruk untuk menjadi anak dari seorang Excel? Pasti ayahnya sangat menyesal memiliki anak tak berguna sepertinya.

Memikirkan semua itu membuat Nathan semakin rendah diri. Sudahlah, mungkin lain kali saja ia mencoba. Lama-lama ia bisa berpikir untuk bunuh diri lagi kalau sampai mendengar celaan sang papa padanya.

Nathan beranjak berdiri. “mmm.. alvin gak jadi deh. Alvin balik aja,” katanya buru-buru dan segera berbalik.

“tunggu.” Cegah pak excel. Ia membuka salah satu lacinya dan mengeluarkan tiga buah dokumen dan melemparnya kasar di meja.

Melihat warna dan judul di dokumen itu Nathan sudah bisa memastikan isinya. Ia menelan ludah. Tahu jelas kalau setelah ini ia akan mendapatkan hal yang lebih buruk dari sebelumnya. Ia menatap papanya.

Satu hal yang ia benci dan papanya sedang lakukan, bahkan sering papanya lakukan akhir-akhir ini. Ia tidak suka tidak ditatap saat dimarahi. Ia tidak suka tidak diindahkan saat ia butuh bantuan mental dari papanya sendiri. Ia tidak suka situasi seperti ini. Papanya masih menatap lurus laptop di hadapannya, tanpa melirik Nathan yang sudah sedaritadi menunggu.

“kamu main-main dengan saya?” tanyanya dingin.

Nathan membuang muka. Andaikan papanya tahu, hatinya sudah bergetar ketakutan sekarang.

“kamu minta 3 jurusan sekaligus, saya biarkan. Tapi ternyata kamu gak serius. IP kamu turun jadi 3. kamu cuti kuliah. Malah masuk SMA lagi. Mau kamu apa? Kalau kamu gak serius, lebih baik kamu tidak usah kuliah saja. saya tidak mau buang-buang uang untuk orang gak berguna macam kamu. Kamu sekarang tinggal pilih. Lanjutkan kuliah kamu bulan depan dan tebus nilai-nilaimu, atau tidak usah kuliah sama sekali?” pak excel mengatakannya dengan hambar, tanpa perasaan sama sekali.

Nathan memejamkan matanya. Papanya itu sama sekali tak berperasaan. Yang benar saja! masa papanya tidak tahu alasan dia cuti kuliah? Alasan nilai-nilainya hancur berantakan? Dia butuh istirahat. Dia butuh ketenangan. Dia juga butuh perhatian. 5 tahun ini terlalu berat baginya untuk dihadapi sendirian. Lebih sayangkah papanya pada uang dibandingkan dengan dirinya?

Apa dia salah meminta cuti sebentar saja? tolonglah.. biarkan ia dapt menstabilkan jiwanya kembali. Ia sudah cukup terguncang dengan segala kenyataan pahit yang diterimanya bertubi-tubi. Kalau papanya mau bersikap baik padanya, setidaknya sedikit saja, ia akan dengan senang hati menjalani kembali hidup normalnya!

“pa..” panggil Nathan dengan segenap kekuatan yang masih tersisa dalam dirinya.

“jangan panggil saya papa! Saya bukan papamu!” sela pak excel tajam.

Nathan menelan ludahnya kembali. Ia tidak mau memanggil papanya Om, tidak akan. Papanya selamanya papanya. Ia tak mau panggilan yang lain. “alvin janji akan kuliah lagi bulan depan. Tapi alvin mohon, izinin alvin manggil pake sebutan papa. Gimanapun juga papa papanya alvin! kalo alvin gak manggil papa dengan sebutan papa, alvin harus manggil papa ke siapa lagi? Alvin gak mau berpura-pura gak punya papa juga. alvin butuh papa. Cuma papa satu-satunya harapan alvin sekarang,” alvin nyaris meneteskan air matanya. Ia segera membalikkan badannya dan lekas pergi. Ia tak mau menangis di depan papanya.

Pak excel menelan ludah. Dia tidak menyangka bahwa Nathan akan berkata seperti itu padanya. Memilukan sekali. Ia bahkan tak akan sanggup mendengarkan lagi kalau Nathan tak lekas pergi.

Kali ini, keteguhannya harus diuji. ia akan bertahan pada keinginannya untuk tetap keras pada Nathan atau berbaik-baik dengan anaknya itu. sulit sekali. Ia tidak bisa memilih untuk bersikap baik dalam keadaan seperti ini. Nathan sudah terlanjur banyak sekali mengecewakannya, dan ia tidak mau memanjakan Nathan. Lebih baik ia bersikap keras, agar Nathan tidak lagi manja dan cengeng seperti itu.

Sepertinya untuk permintaan Nathan yang satu itu dapat ia pertimbangkan. Lagipula, jauh di lubuk hatinya, ia menginginkan panggilan itu keluar dari jagoannya ini.

Cukup. Lama-lama memikirkan Nathan dapat membuat keyakinannya runtuh. Rasanya ia harus lebih keras pada Nathan beberapa hari ke depan.
***
Agni mengusap kedua lengannya, kedinginan. Nampaknya hari ini ia tidak beruntung, atau mungkin kebetulan yang buruk. Siang ini hujan, sekolah sudah sepi, dan dia ditinggal Zeva, dengan alasan Zeva ada urusan penting yang tidak bisa ditunda. Apa itu? pasti bohong. Bilang saja malas menunggunya selesai rapat.

Sekarang ia terjebak di sekolah. Sudah dingin, lapar pula. Ia jadi super ngantuk dan lemas. Heran juga, fisiknya selalu lemah saat hujan turun. Langkah agni terhenti tepat di pinggir lapangan basket. Ia menatap hujan yang masih deras, berharap ada penolong yang membantunya keluar dari hujan ini.

Tamat. Begitu kata kata terakhir yang Nathan baca di akhir novel. Ia menutup novel yang sibuk dibacanya daritadi, dan memasukkannya ke dalam tas. Tunggu. Sepertinya dia tidak membawa jaket tadi, kok ini ada?

Nathan melirik jam yang melingkar di tangannya. Jam 4? Wah, ternyata dia terlalu sibuk membaca sampai tidak menyadari sekarang sudah sore. Pasti hanya dia yang tertinggal di sekolah.

Nathan belum menyadari ada orang lain selain dia sebelum mendengar suara bersin. Ia menoleh. Itu.. agnikah? Kalau penglihatannya tidak salah, orang yang sedang memunggunginya itu memang agni.

Otaknya bekerja cepat. Agni tidak suka hujan, dan gampang sakit kalau hujan. Ternyata otaknya masih lekat menyimpan segala informasi tentang agni.
 
Masalahnya, sekarang apa yang harus ia lakukan? Sudah. Tidak perlu dipikir lagi. Ia harus mengantar agni pulang. Jangan sampai agni sakit.

Nathan beranjak dari bangku panjang yang didudukinya dan berjalan ke sebelah Agni. agni yang menyadari ada seseorang selain dirinya langsung menoleh. Keningnya berkerut. “Nathan?”

“kok belum pulang?” tanya Nathan tanpa menoleh Agni. ia sangsi tidak dapat menahan keinginannya untuk memeluk Agni kalau melakukannya.

“oh, tadi abis beres-beres setelah rapat, terus ditinggal zeze. Jadi gue pulang terakhir deh,” jawab agni sedikit kesal, karna gara-gara dia rapat dia terjebak dalam hujan begini. “lo sendiri? Kok belom pulang?” tanyanya heran. Bukankah alvin selalu pulang bareng sivia dan shilla?

“shilla abis syuting, baru pulang pagi. Sivia ada syuting juga pulsek tadi. Gue ditinggal sendiri di sini,” jawab Nathan.

Rasanya ini bukan kebetulan. Aneh sekali kalau kebetulan ia tertinggal di sekolah bersama agni? pasti sivia dan zeva yang sudah berkoalisi untuk membuat mereka bersama. Nathan tidak suka caranya, tapi ia sangat berterimakasih dengan kesempatan ini, ia jadi bisa lebih lama bersama dengan agni.

Agni menatap Nathan yang tersenyum sendirian. Entah apa yang pemuda ini bayangkan. Ia mengibaskan tangannya di depan wajah Nathan, membuat Nathan langsung tersadar.

“eh Nath, lo bawa mobil kan? Anterin gue pulang dong. Sori nih ngerepotin, abisan gue gak suka ujan-ujanan gini. Lo gak lagi sibuk kan?” melas agni.

Nathan mengangguk. Sebelumnya ia ambil dulu tasnya dan langsung mengeluarkan jaketnya dari tas. “nih lo pake aja. Gue ambil mobilnya ke sini, lo tunggu aja ya. Kalo kedinginan tunggu aja agak kedaleman dulu,” pesan Nathan sambil menyerahkan jaketnya pada agni.

“terus lo ambil mobilnya gimana? Basah kuyup dong?” tanya agni tidak tega.

Nathan tersenyum. Ia sangat senang sekali mendengar agni mengkhawatirkannya. Hampir saja ia memeluk agni dan memberitahu yang sebenarnya. “gak papa, daripada lo menggigil di sini? Gak lucu dong?” ucapnya, lalu segera berlari menembus derasnya hujan ke parkiran. Agni yakin, ia pernah mendengar ucapan seperti itu sebelumnya. Dengan suara yang sedikit berbeda, namun dengan nada kekhawatiran yang sama.

Tenang aja. Gak papa kok alvin yang kebasahan. Daripada agni kedinginan di sini? Gak lucu kan? Agni menggelengkan kepalanya. kepalanya jadi sedikit sakit, pertanda ingatannya mulai tersusun.

Alvin? siapa itu alvin? rasanya ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Dimana ya? Agni terus mencoba mengingat, namun nihil. Ia tak mendapatkan lagi kepingan lain dari ingatannya. Apa alvin itu nama anak lelaki kecil yang selama ini selalu membayangi ingatan masa lalunya?

Tiinn.. tinn.. klakson mobil Honda Jazz biru tua mengilap itu membuyarkan lamunan Agni. agni buru-buru naik ke dalam mobil dan duduk di sisi Nathan.

Agni melihat Nathan. Beneran basah, tapi tidak semuanya. Kalau tadi ia tidak salah lihat, Nathan menggunakan tasnya untuk menjadi payung. “sori ya lo jadi basah gini. Gue jadi gak enak nih. Lo udah makan siang belom? Gue traktir deh yuk,” usul agni.

Nathan tersenyum kembali. “boleh. Mau ke mana?” tanyanya ramah. Sepertinya dia mulai menikmati situasi ini.

Agni kembali diherankan dengan nada bicara Nathan yang berubah. Tadi sikapnya sudah, sekarang bicaranya? Ia jadi penasaran dengan sosok di sebelahnya ini. Siapa sih sebenarnya Nathan ini.

“mm.. di restoran yang deket mall itu. lo tau kan?” arah Agni. alvin mengangguk dan langsung melajukan mobilnya.

Sepanjang perjalanan, tak ada suara hening, tak ada yang mendominasi pembicaraan dari awal sampai akhir, semuanya berlangsung sama rata, keduanya berbicara, kadang saling menjatuhkan dan kadang saling memuji. Langka. Baru kali ini selama menjadi Nathan ia dapat lancar berbicara seperti ini. Apa karna sang lawan bicara adalah Agni? mungkin..

Sampai. Keduanya turun dari mobil dan langsung memilih tempat duduk di pojok samping jendela. Beruntung seragam Nathan sudah mulai kering, hingga tak perlu menjadi sorotan saat melewati pengunjung lain.

Semuanya berlangsung lancar sampai agni mengawali topic yang lain. “eh nath, lo deket ya sama zeze?” Nathan mengangguk. “lumayan,” jawabnya.

“lo suka ya sama zeze?” tanya agni kembali, membuat Nathan nyaris tersedak.

“enggaklah! Gue udah anggep dia adek gue sendiri,” jawabnya mulai tenang.

“oh, abisan kalian keliatan akrab banget sih. Zeze pernah cerita gak, kalo gue amnesia?” Nathan mengangguk ragu, belum bisa menebak ke mana pembicaraan ini akan berujung. “lo mau dengerin cerita amnesia gue ini gak?” Nathan mengangguk lagi, namun kini menatap wajah agni dengan serius.

Agni meneguk minumannya. “kata zeze, gue waktu kecil pernah pacaran, sama anak lelaki kecil. Gue gak tau gimana tampangnya, gue gak punya fotonya, dan gue gak inget sama sekali tentang dia. lo percaya gak?” air muka Nathan benar-benar berubah tegang. Ia takut kalau zeva memberitahu agni bahwa gara-gara anak lelaki kecil itu agni amnesia, dan keakrabannya yang baru saja terjalin dengan agni kembali ini langsung putus.

“zeze tuh ceritain semua tentang perilaku anak itu ke gue. Gue yang dengernya sendiri aja sampe terperangah. Tapi dia gak mau kasihtau nama anak itu. dan baru aja barusan, barusan banget, waktu lo bilang lo gak papa kebasahan, gue jadi inget sedikit tentang anak itu. kalo gue gak salah inget, namanya alvin. ya, alvin. gue penasaran banget sama anaknya. Lo tau gak kira-kira gimana supaya gue inget sama anak itu?”

Nathan jadi gelisah. Jangan sampai agni cepat ingat tentang dirinya. Tentu saja dia ingin agni ingat tentang dirinya, siapa sih yang gak mau diinget sama pacar sendiri? Tapi mengingat dia salah satu factor penyebab agni amnesia, dia tidak mau dijauhi agni. jujur saja dia takut dengan hal ini.

Nathan mencoba tenang, menyamarkan nada ketakutannya. “entahlah. Gue gak tau. Tapi gue mau tanya, misalnya nih ya, lo udah tau siapa anak itu, lo mau ngapain?” tanyanya.

Agni tampak berpikir. “gak tau juga. tapi yang jelas gue mau tanya masa lalu kami berdua. Dari cerita zeze sih kayaknya indaaahhh banget, gue gak mungkin dong mau lupa selamanya sama masa lalu yang indah? Bahkan kalo bisa gue mau jadi ceweknya anak itu lagi, terlepas dari kami udah putus apa belum. Ahh, gue penasaran!!” wajah agni terlihat sangat senang membayangkannya. Nathan jadi tersenyum sendiri.

Tentu saja. tentu saja indah. Masa lalu kita memang indah agni, sangat indah asal kau tahu. Kamu yang udah merubah sifatku, yang udah mau ngisi rasa kehilangan yang aku dapet dari orangtuaku, kamu memang malaikat kecilku agni, aku sangat mencintaimu, batin Nathan.
***
Nathan menghentikan mobilnya tepat di depan rumah agni. ia menatap agni yang tertidur pulas di sampingnya. Sudah berabad-abad rasanya tidak melihat wajah manis ini tertidur. Ia jadi ingat kalau dulu agni selalu memintanya mengucapkan selamat tidur, dan kalau ia belum mengucapkannya, agni tidak akan bisa tidur. Aneh, tapi manis.

Nathan memajukan kepalanya ke arah agni, tangannya sudah terulur hendak mengelus pipi agni, namun ia menariknya kembali. Ia ingat kondisinya sekarang, agni mungkin sudah bukan miliknya lagi, karna kecelakaan itu sudah menghapus bayang masa lalu agni tentang hubungan mereka.

Meski agni tadi bilang kalau ia tetap menginginkan menjadi pacar anak lelaki itu, tapi masih akan yakinkah agni dengan keinginannya bila tahu sang anak lelakilah yang menyebabkannya amnesia? Rasanya mustahil.

Alhasil Nathan hanya bisa tersenyum memandangi agni yang tertidur. “alvin kangen agni,” bisiknya pelan di telinga agni. sudah sekian lama ia tidak pernah mengucapkan itu lagi, hanya diulangnya saja terus di dalam hati selama bertahun-tahun ini.

Agni terbangun mendengar bisikan itu. Nathan refleks kembali dalam posisi semula. “lo tadi bilang apa nath?” tanya agni heran.

Nathan mengangkat alis. “apa? Gue gak bilang apa-apa. Baru gue mau bangunin lo, lonya udah bangun duluan. Udah sampe nih,” jawabnya santai, diam-diam mengusir rasa tegangnya.

Agni kurang yakin dengan jawaban Nathan. Tapi entahlah, dia sendiri juga kurang yakin karna ia tertidur. Mungkin itu hanya halusinasinya saja. ya, halusinasinya. Jangan terlalu dipikirkan.

Agni segera membuka seat-belt dan turun dari mobil. “thanks ya nath tumpangannya. Lain kali kita lanjutin ya ngobrolnya, ternyata lo anaknya asik juga buat ngobrol, hehe..” ucap agni kemudian berlalu ke dalam rumahnya.

Nathan mengangguk dan menatap Agni yang memasuki rumah. Setelah yakin agni sudah masuk ke dalam rumah dan aman, ia langsung melesat pulang. Akan ia catat hari ini sebagai hari terbaiknya selama menjadi Nathan. Hari terbaiknya.
***

0 comments:

Post a Comment