PART VII
Dua anak kecil berusia
tujuh tahunan duduk di ayunan gantung. Hanya menduduki, belum memainkannya.
Yang satu, seorang gadis kecil sedang memejamkan matanya, menikmati suara
semilir angin yang menemani keheningan mereka, dengan kedua tangan memegang
tali ayunannya. Sementara yang satunya, seorang laki-laki kecil malah diam,
menatap lekat wajah gadis kecil di sebelahnya.
“Agni,” panggil sang
anak laki-laki tadi, memecah keheningan yang sudah berlangsung hampir lima
belas menit itu.
Sang gadis kecil
membuka matanya perlahan, kemudian menjawab, “ya?”
“kok Agni diem aja?”
Agni tersenyum, dan
mulai mengayunkan ayunannya pelan-pelan. “emangnya kenapa? gak boleh?”
sahutnya.
Kening anak laki-laki
di sebelahnya mengerut kecil. Tapi kemudian mengikuti Agni, memainkan ayunannya
perlahan, baru bertanya kembali, “Agni kok jawabnya gitu?”
“gitu gimana?”
“ya gitu, jawabnya
malah balik nanya.”
Agni tak membalas
ucapan anak tadi. Ia malah diam, dan kembali menjadi hening. “Agni mau sama Alvin
terus,” kata Agni pelan.
Alvin menoleh pada Agni
yang pandangannya masih lurus ke depan, “Alvin juga mau sama Agni terus,”
balasnya dengan senyuman.
Agni menghentikan
ayunannya dan menatap Alvin. “kata Cakka, nanti kalo Alvin udah umur 9 tahun, Alvin
sama Cakka bakal dibawa pergi ya?” tanyanya, dengan gurat kecewa yang jelas di
wajahnya.
Alvin mengangguk kecil,
pelan. “kata oma, nanti Alvin sama sepupu Alvin bakal dibawa ke jepang, ke
rumah oma,” jawabnya sangat pelan.
Agni merengut. “kalo gitu
Alvin bakal ninggalin Agni dong? Alvin gak sayang ya sama Agni?”
Alvin menangkap jelas
ketidaksukaan gadis di sampingnya ini terhadap kepergiannya. Ia beranjak dari
ayunannya, dan berlutut di depan Agni. “Alvin sayang sama Agni, tapi Alvin
harus pergi nanti, soalnya papa Alvin dulu juga begitu. Alvin pasti balik
kesini lagi kok,” katanya.
Agni cemberut. “pasti Alvin
bakal lupa sama Agni nanti. Terus Alvin gak akan balik lagi, ninggalin Agni
disini. Nanti kalo Agni kangen banget sama Alvin gimana? Alvin gak ada lagi
buat Agni, Agni gak mau sendirian,” terdengar suara Agni yang berusaha menahan
tangisnya. Namun, sepertinya usaha Agni menahan tangisnya itu sia-sia, karna
begitu membayangkan Alvin akan meninggalkannya, tangisnya langsung pecah.
Kedua tangan Agni sudah
mencoba menghentikan laju air matanya, mengusap aliran air yang mengalir dari
matanya, meski sama sekali tak dapat menghentikannya. Agni takut kehilangan Alvin,
yang sudah dua tahun ini mengisi hari-harinya, dari yang sangat dingin dan susah
didekati, sampai berubah menjadi pribadi yang ramah dan sangat lembut padanya.
Alvin mendekap Agni
dalam pelukannya. Jemarinya yang mungil mengelus kepala Agni, membiarkan gadis
itu menangis dan tenang sendiri dalam pelukannya, seperti yang sudah-sudah.
“Alvin akan selalu ada
buat Agni. apapun yang terjadi. Alvin juga gak akan lupain Agni. kita bisa
telponan, smsan, atau emaillan. Lagian, itu masih lama Agni, masih 2 tahun
lagi. Kenapa nangis sekarang sih?” kata dan tanya Alvin heran.
“biarin. Agni Cuma gak
gak bisa bayangin aja kalo gak ada Alvin sama Cakka. Nanti siapa yang jagain Agni?”
tanya Agni, sudah menghentikan tangisnya, dan malah memeluk Alvin lebih erat.
Benar-benar takut ditinggal oleh Alvin.
“kan ada zeva,” jawab Alvin,
masih mengelus kepala Agni dengan lembut, mencoba menenangkannya kembali.
Agni memanyunkan
bibirnya, “Agni kan maunya Alvin atau Cakka,” jawabnya mulai kesal.
Alvin menguraikan
pelukannya, kemudian menatap Agni menyelidik, “sebenernya Agni takut
ditinggalin Alvin atau Cakka sih? Daritadi kayaknya nyebut nama Cakka terus,”
guraunya.
Agni menggembungkan
pipinya, kemudian memukul kedua bahu Alvin tanpa berkata apapun, pernyataan
bahwa dirinya sedang ngambek. Alvin tertawa kecil melihat aksi ngambek Agni,
lucu sekali.
Agni menghentikan aksi
ngambeknya karna Alvin menertawakannya dan tidak menahan tangannya. “emangnya
gak sakit?” tanyanya heran. Rasanya ia sudah memukul dengan kencang, tapi kok
tidak ada reaksi kesakitan dari Alvin?
Alvin mencubit hidung Agni,
“ya sakitlah Agnii..” jawab Alvin gemas.
“tapi kok gak ditahan?”
tanya Agni kembali, bingung.
Alvin tersenyum manis.
“kan biar Agni puas. Jadinya Agni gak nangis sama marah lagi,” jawabnya.
Agni tersenyum.
Kemudian sebuah ide melintas di pikirannya. “Alvin, Alvin mau janji gak sama Agni?”
“janji apa?”
Agni mengulurkan
kelingkingnya. “janji kalo Alvin akan terus setia sama Agni, Alvin gak akan mau
sama yang lain selain sama Agni. dan kalo Alvin ngingkarin, Alvin gak akan
pernah bisa punya cewek lagi. Jadi Cuma Agni ceweknya Alvin. gimana?” tawar Agni.
Alvin mengerutkan
keningnya. “kok gitu? Gak bisa punya cewek lagi?” tanyanya heran.
“iya! Biar Alvin Cuma
sama Agni! kenapa? gak mau? Ya udah! Berarti Alvin gak sayang sama Agni!”
langsung saja Agni melipat kedua tangannya di dada.
“iya iya, Alvin kan Cuma
nanya, kok kesel lagi sih? Alvin mau kok,” bujuk Alvin, agar Agni tidak kesal
lagi.
Agni kembali
mengulurkan kelingkingnya, menunggu Alvin berjanji padanya. “tapi Alvin mau Agni
janji juga sama Alvin,” kata Alvin sebelum menyetujui janjinya.
“apa?” tanya Agni.
“Agni gak boleh
ngelupain Alvin, apapun yang terjadi. Kalo Agni sampe lupa sama Alvin, atau
coba-coba ngelupain Alvin, Agni bakal terus dihantuin sama kenangan kita.
Gimana?”
Agni berpikir sejenak,
kemudian mengangguk. “Agni mau!” dan setelah itu, Alvin langsung mengaitkan
kelingkingnya dengan Agni.
Janji yang awalnya
hanya setengah bercanda, pada akhirnya malah menjerumuskan mereka ke dalam
masalah yang bertubi-tubi, terikat dengan janji kesetiaan itu. hanya ada satu
cara yang pasti bisa menyelesaikannya. Alvin, Agni, kembali bersama. Karna
sesuai dengan janji setia keduanya, Alvin hanya milik Agni, dan Agni hanya
milik Alvin.
***
Nathan menghentikan
jemarinya yang melompat indah di atas tuts-tuts keyboard di hadapannya,
menghela napas berat begitu sebuah tanda titik mengakhiri sepotong kenangannya.
Kenangan yang ia coba tulis ulang, menjadi sebuah cerita fiksi, yang sudah
mencapai ratusan halaman, namun sama sekali belum mencapai akhir.
Nathan menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya yang ditumpukan ke meja. Agni. nama itu terus
berputar-putar di kepalanya, membangkitkan kembali seluruh kenangannya,
menuntutnya untuk kembali bersama gadis itu.. secepatnya.
Setiap kenangannya berhenti
berputar, Nathan tak henti-hentinya berujar pada diri sendiri kalau ia takkan
bisa mendapatkan Agni kembali dan harus melupakan Agni selamanya.
Tapi itu sangat berat.
Menyuruhnya melupakan Agni sama saja membunuh karakter Alvin dalam dirinya
sendiri-yang walaupun sudah berubah menjadi Nathan, ia tetap lebih menyukai
karakter Alvin-yang sangat sangat sulit ia lakukan.
“lo masih sayang kan
nath sama dia?” Nathan mengangkat kepalanya, dan mendapati dea sedang bersandar
di mejanya.
Nathan melipat kedua
tangannya di dada dan menghempaskan badan ke kursi. “selalu dan selamanya,
de..” ujarnya lirih.
“deketin dia kalo
gitu,” saran dea enteng. Nathan meliriknya dengan tatapan putus asa yang sangat
dimengerti oleh dea. “sebagai Nathan maksud gue,” tambahnya buru-buru.
Nathan mengangkat alis.
“sebagai Nathan?” tanyanya setengah tidak mengerti.
Dea mengangguk. Matanya
nenatap lurus mata sipit Nathan. “kalo lo gak bisa balik sama dia sebagai Alvin,
deketin dia sebagai Nathan,” jelasnya.
Otak Nathan langsung
bekerja dengan sangat cepat, hingga dalam detik berikutnya, sudah ada daftar
kemungkinan akibat dari cara itu, baik dan buruknya di dalam kepalanya.
“terserah lo deh vin
mau gimana. Intinya kalo lo mau pertahanin dia, lo harus deketin dia. Kecuali
kalo lo mau Cakka yang ngebahagiain dia. Dan lo harus siap-siap semakin
menderita dengan sakit hati lo kalo gitu,” kata dea, tahu apa yang sudah ada
dalam benak Alvin.
Nathan tahu itu.
semakin dia mengulur waktu, semakin besar kans Cakka untuk mendapatkan Agni,
dan semakin kecil juga kesempatannya untuk mengembalikan hubungannya dengan Agni.
Nathan menghela napas.
Sanggupkah ia menerima siksaan cinta lagi? Tahukah Agni, bahwa setiap hari dia
sudah bersabar, untuk tidak bertengkar atau berantem dengan Cakka yang setiap
hari selalu bersama Agni? tentu tidak tahu, dan tidak akan tahu.
Banyak pertanyaan
muncul dalam benaknya, apakah benar Agni menunggu dirinya? Apakah Agni
mengingatnya sedikit saja? apakah janjinya dengan Agni juga berlaku pada Agni,
seperti dirinya? Apakah Agni pernah merindukannya? Apakah Agni, apakah Agni,
dan apakah-apakah Agni yang lain bermunculan tanpa henti.
***
Zevana menyodorkan gitar pada Nathan, yang
diterima tanpa dikomentari. “kita duet gitar. Dan lo harus nyanyi,” perintah Zevana,
tanpa mau diganggu gugat. Nathan yang sedang asik melamun langsung menoleh, dan
memberikan sebuah gelengan singkat, sementara matanya masih memandang kosong
apapun.
“tapi gue udah bilang
gitu ke Agni. dan udah dicatet! Jadi lo gak bisa protes,” ujar Zevana dengan
senyum kemenangan.
Nathan memejamkan
matanya, ujung jari-jarinya meraba senar gitar yang dipangkunya itu. tak
berniat memainkannya. Namun tiba-tiba ia berkata, “gak bisa gitar. Cari
pasangan lain. Jangan ganggu gue,” katanya singkat-singkat. Terdengar begitu
datar dan mengusir.
“jangan boong deh vin.
Kalo gitar doang gue yakin lo bisa. Lagian lo kenapa lagi sih?” Zevana ikut
duduk di sebelah Nathan sambil membolak-balik lembaran-lembaran kertas yang
dibawanya.
Nathan meletakkan gitar
hitam itu di bangku kosong sebelahnya. “arah jam 2,” ucapnya, pelan. Ia
pejamkan matanya, mencoba menghapus ingatannya tentang apa yang tertangkap oleh
matanya daritadi, menganggap hal itu hanya halusinasinya saja.
Zevana langsung mengarahkan
kepalanya ke arah jam dua. Mulutnya membulat dan segera mengatup. “cemburu?”
tanyanya enteng.
“gak,” kilah Nathan,
yang berarti ‘iya’ bagi Zevana.
Zevana menopang dagunya
dengan kepalan tangannya, menatap Nathan yang memejamkan mata. “vin, lo pernah
denger dongeng Sleeping Beauty kan?” tanyanya.
Nathan membuka matanya,
mengubah posisinya mengarah pada Zevana, hingga jarak mereka sangat dekat,
hanya beberapa centi. Sleeping Beauty?
Zevana yakin Nathan
tahu apa yang akan ia singgung tentang Sleeping Beauty, dan ini tidak sama
sekali out of topic. Dengan mantap ia menatap tepat di kedua manik mata Nathan,
tegas, namun lembut, seraya berujar, “sampe kapan lo mau buat sang putri
nunggu? Sampe ada pangeran lain yang bangunin dia? Lo mau? Ayolah, gue tau cuma
lo yang dia tunggu. Jangan sampe lo terlambat, karna mungkin dia udah gak mau
kenal atau tau lo lagi.”
Zevana berhenti
sejenak, membiarkan Nathan mencerna ucapannya. “percaya sama gue. Dia Cuma
butuh satu orang, dan itu elo, pangeran Alvin. bangunin sang putri dari tidur
lelapnya ya,” katanya sambil menepuk bahu Nathan, kemudian meninggalkan Nathan
sendirian.
***
“Agni, makan dong,
nanti gak sembuh-sembuh,” bujuk Cakka. Daritadi Agni terus menolak untuk makan
padahal sedang sakit.
“gak mau! Agni gak mau
Cakka yang suapin! Agni maunya Alvin!” ngotot Agni dengan tangan yang sudah
menyilang di dada dan kening berkerut serta memanyunkan bibirnya.
Cakka yang sudah bosan
mendengarnya tak bisa lagi menahan rasa marahnya. “tuh kan! Agni berubah! Agni
jadi sombong sama Cakka! Gak mau sama Cakka lagi! Maunya sama Alvin terus!”
ucap Cakka kesal.
“Agni gak sombong sama
Cakka kok!” bantah Agni tidak terima.
“iya! Buktinya Agni gak
mau main sama Cakka lagi! Sekarang Agni jadi nyebelin!”
Agni mendelik kesal
pada Cakka, kemudian merengek kembali, “pokoknya Agni cuma mau makan kalo
disuapin Alvin!
“terserah!” kata cakka
kesal lalu keluar dari kamar agni. mungkin sudah sangat marah dengan sikap agni
yang jadi menghindarinya dan malah terlalu dekat dengan alvin.
Agni tak membuang waktu
untuk menghubungi alvin dan memintanya datang. Entahlah, dia senang dengan
kehadiran alvin, yang walaupun tak begitu baik bersikap padanya. Tapi dia suka.
Alvin masuk ke kamar
agni kemudian menutup pintunya. “alvin, sini!” panggil agni semangat. Dan bagi
alvin, agni sama sekali tak terlihat sakit. Jangan-jangan dia kembali ditipu
oleh anak ini?
Perlahan alvin mendekat
dan duduk di samping tempat tidur agni yang sebelumnya ditempati cakka. “apa?”
tanyanya heran.
Agni tersenyum dan
menyodorkan mangkuk buburnya pada alvin. “suapin,” pintanya.
Alvin memicingkan
matanya, tidak yakin agni benar-benar sakit. Masih tampak bersemangat seperti
biasanya. Meskipun setelah diamati agni tampak lebih pucat dan lemas. Tanpa
basa-basi atau berucap apapun, alvin langsung menyuapi agni.
Agni terus-terusan
tersenyum selama alvin menyuapinya. Yang jelas ia rasakan sekarang, ada benda
yang meledak-ledak dalam dadanya, begitu senang dengan kehadiran alvin
disisinya.
Awalnya alvin sama
sekali tidak peduli dengan agni yang terus-terusan tersenyum, tapi lama-lama
risih juga melihatnya. “apa yang lucu?”
Agni hanya menggeleng.
“udah ah. agni kenyang. Main aja yuk,” ajak agni.
Gantian alvin yang
menggeleng. “gak ah. agni tidur aja. Alvin harus cepet balik, kalo gak nanti
cakka marah,” tolak alvin.
Agni mengerutkan
keningnya dan memajukan sedikit bibirnya. “udah agni bilang kan, kalo berdua
sama agni, alvin gak usah sebut-sebut nama cakka! Lagian cakka juga gak marah
kalo agni belain alvin! tenang aja,” kata agni sedikit kacau penyusunan
kalimatnya. Sepertinya ia mulai ngantuk.
Agni menguap dan
mengucek matanya. “ngantuk,” katanya manja.
Alvin membantu agni
berbaring dan menaikkan selimutnya. Sebelum ia dapat beranjak dari tempatnya,
agni sudah menahan tangannya, dan berkata, “temenin.”
Alvin duduk kembali di
tempatnya, dan melipat kedua tangannya di atas sisi tempat tidur. Tangannya
terulur begitu saja ke atas kepala agni, dan mengelusnya pelan. Bergerak secara
naluriah, dan nampaknya keduanya cukup menikmatinya.
Waktu bergerak lamban,
seakan mengizinkan alvin dan agni untuk berdua lebih lama, menyadarkan alvin
bahwa gadis kecil di hadapannya ini sudah membuang cukup banyak waktu untuk
merubah sikapnya yang dingin, dan tanpa alvin sadari, ia sudah terbiasa dan
mulai bisa menerima kehadiran agni di sisinya.
Agni tak mampu
berkata-kata. Baru kali ini ia melihat alvin mengukir senyum. Dan jujur saja, alvin
terlihat begitu lembut dan manis. Sama sekali tidak seperti alvin yang
dikenalnya selama ini.
“alvin,” panggil agni,
menyadarkan alvin.
Alvin segera tersadar
dan pipinya merona sedikit. Tak sadar dengan apa yang dilakukannya tadi. Dia
terpesona dengan agni? aneh. “hmm,” jawabnya, sudah kembali ke sifat semula.
Diam-diam agni kecewa
dengan alvin yang sudah berubah kembali. “dongengin. Alvin udah bisa baca kan?”
tanya agni sambil mengulurkan sebuah buku dongeng kesukaannya.
Alvin membaca judulnya.
Dia sudah lancar membaca dari umur 3 tahun, tak heran sekarang dia sudah bisa
membacanya. Tak seperti agni, cakka, dan zevana yang masih belum bisa membaca lancar
di usia mereka yang baru 6 tahun. “sleeping beauty?” bacanya.
Agni mengangguk kecil
dan mencari posisi nyaman untuk tidur. “kenapa sleeping beauty?” tanya alvin
ingin tahu. Ada begitu banyak dongeng, dan biasanya anak gadis kecil lebih suka
didongengi Cinderella atau Snow White, seperti adiknya, keke. Meskipun wajar,
tetap saja alvin kecil yang sangat ingin tahu akan bertanya bila diluar
kebiasaan yang dilihatnya.
“suatu saat agni pengen
jadi kayak sleeping beauty, dibangunin sama pangerannya. Pangeran yang emang
ditakdirkan untuk putri. Pangeran yang bisa milikin putri, walaupun banyak
pangeran lain yang nyoba milikin putri tapi gak bisa,” jelas agni dengan mata
terpejam.
Alvin terdiam. Mencerna
pengertian sebuah dongeng dari gadis kecil seperti agni. tanpa berniat
menanggapi, ia segera membacakan dongeng itu untuk agni, yang diakhiri dengan
tidur lelapnya.
Alvin tersenyum menatap
agni yang sedang tidur. Sangat polos dan manis. “alvin mau jadi pangerannya
agni,” ucapnya sangat pelan. “semoga alvin bisa jadi pangerannya agni. dan kita
hidup bahagia selama-lamanya..” ujarnya kembali, berharap sekaligus berdoa.
***
Nathan tersenyum
mengingat semua itu. agni sangat manis waktu kecil. Ingin sekali ia memutar
kembali waktu, ke masa itu, mengelus kepala agni, menemaninya saat sakit, dan
hanya dialah satu-satunya yang diharapkan agni untuk menemani.
Senyumnya perlahan
memudar dan digantikan oleh rahangnya yang mengeras. Berpikir keras. Ia kembali
teringat kata-kata zevana tadi. Maju-mundur-maju-mundur? Mana yang harus ia
pilih? Maju atau mundur? Maju untuk merebut kembali semua kebahagiaannya, atau
mundur demi tidak mendengar penolakan dari agni, walaupun ia tidak tahu agni
akan menolaknya atau tidak?
“gak akan selesai kalo
lo kelamaan mikir nath,” kata deva yang baru muncul beserta dea, aren, dan acha
dan disertai anggukan oleh ketiga gadis yang tak tampak itu.
Nathan menoleh ke
arahnya dengan kebimbangan yang masih saja mendominasi dirinya. “terus?”
“maju, deketin dia,
buat dia inget kalo selama ini dia Cuma nungguin alvin,” kata acha.
“sadarin dia kalo ada
pangeran alvin yang selalu sayang sama dia melebihi apapun,” lanjut aren dengan
melemparkan senyum menggoda pada Nathan.
Pipi Nathan sedikit
merona disebut-sebut seperti itu terus. Sudah seperti apa aja deh. Konyol,
namun dia suka. Ckck..
Dea menahan tawa
melihat pipi nathan yang merona. Baru kali ini ia melihatnya. Lucu. Sekaligus
menunjukkan bahwa tak lama lagi alvin akan kembali. “so? Siap jadi alvin lagi?”
tanyanya meminta kepastian.
Nathan mulai kembali
diam dan berpikir lagi. Deva memutar bola matanya. “kelamaan! Iyain aja repot
amat!” sambarnya. Lagi-lagi yang lain mengangguk setuju.
Namun Nathan
menggeleng. “jangan sekarang. Gue belum siap. Lagian papa masih gak bisa nerima
gue. Kalo papa udah bisa nerima gue, gue baru mau jadi alvin lagi,” inginnya.
Nathan memain-mainkan
jemarinya di udara, mengamatinya sambil berbaring di tempat tidurnya. “lagian,”
ucapnya kembali setelah hening beberapa saat. “gue gak suka jadi alvin. Cuma
buat gue sial aja. Dimaki, dicela, disudutin, dikucilin, bahkan dianggep udah
mati sama orang-orang, termasuk papa gue sendiri. Apa bagusnya sih jadi alvin?”
“mendingan gue jadi
Nathan, punya lo berempat yang nemenin gue. Seenggaknya Nathan gak ngebuat
ceweknya meninggal,” nathan mengerling pedih ke arah acha dan aren.
Deva tersenyum tipis
dan membalas perkataan Nathan. “bagusnya lo punya agni, status yang jelas pula.
Lo juga bisa jadi musisi, seperti yang lo cita-citain dari dulu. Punya banyak
fans, banyak temen. Hebat kan?”
Nathan tersenyum
miring. “ya, punya banyak fans. Fansnya jadi cewek gue, abis itu meninggal
sia-sia. Apanya yang hebat? Bawa sial iya. Kalo agni, entahlah, gue bingung.
Apa lebih baik gue relain dia buat cakka aja ya? Gue yakin cakka bisa ngejaga dan
ngelindungin agni seumur hidupnya.”
“yayaya, ngejagain
agni, tapi gak bisa milikin hatinya agni. agninya juga gak bisa ngasih hatinya
ke cakka. Sama aja lo nyiksa mereka berdua kalo gitu. Belom lagi dengan
perasaannya zevana. Tega lo kalo begitu. Yang jelas lo ditakdirin buat agni.
dan semua masalah ini, mungkin dikasih buat nguji kesetiaan lo,” ucap deva
kembali, mulai bosan dengan keraguan Nathan.
Hening. Alvin tak
membalasnya, dan tak ada yang berkata lagi. Hingga sebuah bunyi pintu yang
terbuka mengalihkan perhatian mereka semua.
“kak, lagi sibuk gak?”
tanya keke dengan kepala yang terjulur di antara celah pintu. Nathan menggeleng
kecil. “kalo gitu anterin keke sama papa ke gedung pertemuan dong. Papa gak tau
jalan dan gak biasa nyetir di kanan,” ajak keke.
“di mana?” tanya
Nathan. Masalahnya kalau jauh-jauh pun ia belum tentu tahu.
Keke mengangkat
bahunya. “ayo kak, nanti papa marah loh kelamaan nunggu,” kata keke.
Nathan tak membalas
lagi, dan langsung mengikuti keke yang sudah berjalan keluar, meninggalkan
keempat teman bicaranya tadi, yang perlahan memudar dan menghilang, bersamaan
dengan kembalinya kesadarannya ke alam nyata.
Nathan dan keke sampai
di ruang tengah, dimana papa mereka sedang menutup panggilan di hapenya. Pak
excel berbalik, dan mendapati kedua anaknya sedang menatapnya. “kamu siap-siap
ya ke, papa udah panggil supir ke sini,” suruhnya.
Kening keke berkerut.
“gak usah. Keke udah minta kak Nathan anterin kita, kak Nathan mau kok,” kata
keke, berusaha tidak keterlepasan bicara menyebut kakaknya ‘kak alvin’ di depan
papanya, sekaligus menetralisir atmosfir aneh di antara papa dan kakaknya ini.
“papa gak butuh orang
gak berguna macam dia. Lagian papa gak yakin dia tau jalan, dia kan ngurung
diri terus kerjaannya,” tolak pak excel.
Keke melingkarkan kedua
tangannya di lengan Nathan, menahannya beranjak pergi. Pandangan mata keke
masih tetap pada papanya, tak mau kalah berargumen. “tapi keke mau jalan sama
kak Nathan juga. Kasihan kan kak Nathan di rumah terus. Jadinya kan kita jalan
sekeluarga.”
Pak excel menatap keke
tajam. “kita gak sekeluarga,” bantah pak excel, penuh penekanan di setiap kata
yang diucapkannya. “dan kalau kamu mau jalan sama orang di sebelah kamu itu,
jangan pernah panggil papa lagi,” ancamnya, memaksa keke untuk memilihnya.
Cukup. Nathan sudah
sangat kecewa dengan pernyataan papanya barusan. Menyesakkan sekali
mendengarnya. Ia tak mau dengar lagi. Sudah cukup.
Nathan melepas tangan
keke dan beranjak meninggalkannya, tanpa mengetahui, bahwa sekilas sorot mata
pak excel tampak sangat menyesal menatap punggungnya yang kian menjauh.
Nathan menutup pintu
kamarnya, dengan tangan yang mengepal erat, hingga di punggung tangannya itu
muncul garis-garis tebal biru dan merah. Samar-samar ia mendengar keke yang
membelanya. Ia sangat berterimakasih untuk itu. Namun sayang, semuanya tak akan
pernah berubah kembali seperti dulu. Papanya tak akan pernah menganggap
dirinya, dan tak akan pernah peduli, bila ia nantinya benar-benar mati karena
siksaan batin yang dialaminya ini.
Sungguh miris.
Seseorang yang ditunggunya sebelas tahun lamanya malah membuangnya seperti ini.
Nathan merasa benar-benar tak berguna dan tak pantas hidup lebih lama lagi.
“jangan pernah anggep alvin gak ada, kalau alvin masih hidup. Karna papa anggep
alvin udah gak ada, berarti alvin harus mati,” gumamnya pelan.
Nathan terus
mengulangnya, bahkan ketika mulutnya sudah kaku untuk mengucap, ia mengulang
dalam hati. Hanya berharap dengan semakin seringnya ia mengulang, perasaan
sayangnya pada papanya akan berubah, sama seperti perasaan papanya kepadanya.
***
Seorang gadis kecil dengan sabarnya menunggu
seorang anak laki-laki-yang sama sekali tak mengacuhkannya- di bawah sebuah
pohon besar. Berkali-kali ia mengajak bicara, namun tak ada satupun yang
ditanggapi. Benar-benar kacang mahal.
Agni sudah mengoceh
begitu panjang, bercerita tentang persahabatannya dengan zevana dan cakka. Tapi
walaupun tak ditanggapi, ia tahu pasti, alvin pasti mendengarkannya dalam diam.
Alvin masih sibuk
membaca bukunya. Tak berminat menanggapi ocehan gadis di sebelahnya ini. Kalau
ditanggapi, bisa semakin cerewet. Lebih baik dia diam saja. toh nanti lama-lama
anak ini juga akan bosan.
Agni mengulurkan
tangannya, memastikan rintik gerimis yang dilihatnya tadi benar atau tidak. Tetes
air jatuh di telapak tangan mungilnya. Ternyata memang gerimis. “alvin, balik
yuk, ujan,” bujuknya.
“balik aja sendiri,”
tanggap alvin ketus.
“tapi maunya sama
alvin, kan agni udah nemenin alvin, alvin nemenin agni juga dong di dalem,”
rayu agni.
Alvin menatap kesal
agni yang memunggunginya. “emangnya aku minta ditemenin? Enggak kan? Yaudah
sana balik aja! Siapa suruh ngikutin aku terus!” usirnya.
Agni berbalik dengan
kening berkerut dan wajah cemberut, menghampiri alvin dengan langkah terhentak.
“alvin mah gitu! Kan agni bosen sendirian di dalem! Cakka sama zeze kan lagi
pergi! Jahat!” ucapnya hampir menangis.
Alvin berdecak,
kemudian melihat gerimis yang sudah berubah menjadi hujan deras. “udah ujan,
mau gimana lagi?” tanyanya, lalu kembali sibuk dengan bacaannya.
Beruntung, dataran
tempat pohon ini berakar cukup tinggi, hingga rumput yang mereka duduki tak
ikut basah oleh rembesan air.
Agni mendumel kesal,
dan duduk agak jauh dari alvin, memeluk kedua lututnya. Dingin. Ia tak tahan
dingin. Agni semakin mengeratkan pelukannya, menelungkupkan kepalanya, berusaha
agar lebih hangat.
“pakai ini,” ujar
alvin, seraya mengulurkan sebuah jaket abu-abu pada agni.
Agni mengangkat
wajahnya dan melirik jaket itu dan alvin bergantian. “punya siapa?” tanyanya.
“punyaku. Udah pake
aja,” suruh alvin kembali. Agni mengangguk dan segera memakainya. “makasih,”
katanya. Alvin hanya mengangguk dan kembali pada bukunya.
Agni berpindah duduk
tepat di sebelah alvin dan melingkarkan kedua tangannya memeluk lengan alvin
dan menyandarkan kepalanya. Refleks. “dingin,” ucapnya sedikit bergetar.
Alvin menoleh memandang
agni. ia tahu dari zeva, kalau agni anak tunggal dan menyebabkannya menjadi
manja dan sangat suka memeluk orang—entah untuk bermanja-manja, ketakutan, atau
mencari perlindungan. Terutama cakka. dan alvin sudah melihat kemanjaan agni
terhadap cakka. jadi, tak mungkin sekarang ia usir agni kan? Kalau anak ini
sakit hati gimana?
Alvin meletakkan
bukunya di sebelahnya, kemudian menyandarkan badannya ke pohon, dan menarik
lengannya, sehingga agni beralih menjadi menyandarkan kepala di badan alvin.
Alvin meraih kedua tangan agni, kemudian mengusap-usapnya, menciptakan hawa
hangat sekaligus rona merah muda di pipi agni.
Agni tersenyum. Dia
senang dengan alvin yang baik seperti ini, yang tak mengusirnya. Setelah alvin
berhenti mengusap kedua tangannya, agni langsung melingkarkan kedua tangannya
di badan alvin, memeluknya. Alvin hanya diam, dia sendiri tak percaya dengan
apa yang barusan dan sedang dia lakukan saat ini. Ya sudahlah, biar anak ini
tidak sakit, pikirnya.
Alvin mengusap kepala
agni yang bersandar di bahunya dan membaca bukunya kembali. Kedua alis agni
bertaut begitu melihat tulisan di bukunya. Ia langsung menunjuk buku yang
sedang dibaca alvin dan menatap sang empunya, “kok gak ada tulisannya? Kok
malah gambar-gambar kecil sih? Kotak-kotak, garis-garis, sama bulet-bulet?”
tanyanya heran.
Jelas agni heran. Isi
buku itu hanya garis, kotak, dan lingkaran kecil, yang menyambung, menjadi satu
kesatuan. Tentu tampak seperti gambar oleh agni, wajar, dia baru 5 tahun, tidak
mengerti itu apa.
Alvin menjelaskan,
dengan menunjuk satu kesatuan ketiga gambar itu. “ini Hangeul, tulisannya orang
Korea. Isinya emang cuma garis, kotak, sama lingkaran. Kamu kalo mau bisa
bacanya harus belajar dulu.”
Agni hanya membulatkan
mulutnya, meski ia tak begitu mengerti dengan apa yang dijelaskan alvin.
hoammh.. sepertinya dia mengantuk. Hujan selalu membuatnya jadi malas dan
mengantuk. Ia kembali menyandarkan kepalanya di bahu alvin, membiarkan matanya
terpejam dengan sendirinya, seiring dengan usapan lembut alvin di kepalanya.
Waktu berlalu beberapa
menit, namun hujan tak kunjung reda juga. Alvin menguap, ia mulai mengantuk.
Tangannya yang mengusap rambut agni sudah berhenti sejak tadi. Dengan posisi
agni yang masih memeluknya, ia membiarkan dirinya tertidur, mungkin hingga ada
yang membangunkannya kala hujan reda nanti.
***
Agni tersentak bangun.
Siapa itu? yang hadir dalam tidurnya barusan? Aneh. Ia tidak bisa mendengar
percakapan itu, tidak bisa melihat wajah anak lelaki di samping gadis kecil
tadi.
Ya ampun. Bahkan usapan
yang dilihatnya itu dapat dia rasakan dengan sempurna. Seolah benar menyentuh
dirinya. Usapan itu sudah membuatnya tenang.. dan damai. Agni berani bersumpah kalau
dia ingin merasakan usapan itu lagi. Lembut, dan penuh sayang.
Agni masih memikirkan
hal itu sampai suara Zevana terdengar memanggilnya. Ah! ini dia. Ia harus tanya
pada Zevana. Tidak mungkin kalau Zevana tidak tahu.
Agni bergegas keluar
dari kamarnya, menjumpai Zevana yang sedang naik ke atas tangga. “ze! Lo harus
kasihtau gue! Gue gak mau lo nyembunyiin hal ini dari gue lagi! Siapa anak
lelaki kecil yang sering sama gue dulu? Kenapa lo nyembunyiin ini terus? Apa
jangan-jangan dia udah gak ada?” buru agni.
Kedua alis zevana
menaut. Butuh sedetik untuk membuatnya sadar akan apa yang agni ucapkan. Oh,
itu. sepertinya sekarang memang waktu yang tepat untuk membongkarnya. Ia
tersenyum dan duduk di anak tangga. Pandangannya menerawang ke depan, ia jadi
ingat masa kecil mereka berempat. “ag, lo percaya gak, kalo anak itu dulu pacar
lo?”
agni mengangkat sebelah
alisnya. “ya enggaklah! Masih kecil kok udah pacar-pacaran sih?”
“tapi nyatanya lo
pacaran sama dia. Backstreet pula. Hanya karna alasan gak mau bikin persahabatan kita berempat hancur. Dewasa amat
masih kecil aja, haha,” kenang Zevana.
Agni jadi benar-benar
penasaran dengan cerita Zeva. Ia kemudian duduk di samping Zeva. “serius lo?
masa sih? Berempat sama siapa? Terus gue sama dia gimana?”
“berempat. Sama satu
orang lagi. Sepupunya. Dulu, lo, gue, sama sepupunya itu temenan akrab banget.
Setiap hari kita selalu bareng. Sepupunya itu suka sama lo. lo sama sepupunya
itu akrab banget, bahkan gue sampe envy ngeliatnya. Tapi lo inget gak, waktu dia
masuk lingkaran pertemanan kita, sejak itu semuanya berubah total. Lo lebih
peduliin dia, ngutamain dia. Padahal dia jelas nolak kedekatan lo itu, tapi lo
tetep deketin dia. Sampe mungkin akhirnya hatinya mulai luluh dan dia jadi
sayang sama lo..”
Agni berusaha keras
mengingat-ngingatnya. Mendengar cerita zeva, ia semakin penasaran, semakin
ingin ingat. Dari apa yang didengarnya, ia menyimpulkan masa lalunya itu sangat
menyenangkan. Ahh.. siapa gerangan anak kecil itu?
“terus setelah kami
jadian gimana? Lo berdua tau?” tanya agni semakin penasaran.
Zeva tersenyum tipis.
“awalnya gak. Tapi akhirnya gue nyadar. Sementara sepupunya sama sekali gak
nyadarin hal itu. lo inget ag? Lo seneng banget bisa jadi cewek dia. lo selalu
sebisa mungkin bareng sama dia. lo udah gak sering lagi main sama sepupunya. Lo
lebih seneng main sama dia. bahkan sebelum tidur aja lo minta diucapin selamat
tidur dulu sama dia, baru lo mau tidur. So sweet ya ag?”
Bibir agni terkembang.
Ia sendiri terbuai dalam cerita zeva. Ahh.. semoga ingatannya cepat kembali. Ia
tidak sabar untuk mengingat semuanya. “terus dia itu siapa? Gue mau cari. Kalo
emang dulu gue pacaran sama dia, harusnya dia bisa bantu gue nginget semuanya.
Sekarang dia ada di mana?” tanya agni berapi-api.
Zevana tersenyum. Ia
menatap agni. akhirnya! Dia menemukan agninya yang dulu! Agni yang memiliki
pancaran mata penuh semangat, penuh ambisi dan kelembutan. Kenapa tidak dari
dulu saja?! bodoh sekali dia ini!
“dia ada di deket kita
kok,” jawabnya.
“ohya? Siapa? Ayolah!
Cepet kasihtau gue, gue gak sabar nih!”
“cari sendiri dong.
Kalo lo masih punya rasa sama dia, pasti lo bisa nemuin dia lagi.”
Agni cemberut. “kok
gitu sih? Tega lo. gue udah nunggu bertahun-tahun nih,” katanya kesal.
“tenang aja. Gue pasti
bakal bantuin lo kok. gue kan kakak yang baik,” balas zevana.
Tenang saja agni, zeva
akan dengan senang hati membantu. Bukankah ia juga tak ingin perhatian
pangerannya hanya tertuju padamu saja? pasti ia akan membantu. Zeva tak akan
membiarkan empat sahabat kecil itu terpisah selama-lamanya. Sudah waktunya
untuk kembali bersama…
***
Nathan tak jarang
melirik papanya yang sedang sibuk di balik meja kerjanya. Sekadar ingin
memastikan bahwa papanya itu memang nyata, ada di depannya, dan sedang
bersamanya. Meski perlakuan buruk yang terus diterimanya, tetap saja ia sudah
sangat bersyukur papanya ada di sisinya sekarang.
Sudah sejam dia di
sini. Di hadapan papanya. Tidak diacuhkan, tidak ditanya, tidak dilirik sama
sekali. Untuk apa ia di sini? Ia sebenarnya ingin mencoba menjalin komunikasi
yang baik dengan papanya. Tapi sepertinya niatnya sudah semakin pudar. Bahkan
dilirik saja pun tidak.
Ia jadi sering
berpikir, apa ayahnya enggan memiliki anak sepertinya? Apa ia terlalu buruk
untuk menjadi anak dari seorang Excel? Pasti ayahnya sangat menyesal memiliki
anak tak berguna sepertinya.
Memikirkan semua itu
membuat Nathan semakin rendah diri. Sudahlah, mungkin lain kali saja ia
mencoba. Lama-lama ia bisa berpikir untuk bunuh diri lagi kalau sampai
mendengar celaan sang papa padanya.
Nathan beranjak
berdiri. “mmm.. alvin gak jadi deh. Alvin balik aja,” katanya buru-buru dan
segera berbalik.
“tunggu.” Cegah pak
excel. Ia membuka salah satu lacinya dan mengeluarkan tiga buah dokumen dan
melemparnya kasar di meja.
Melihat warna dan judul
di dokumen itu Nathan sudah bisa memastikan isinya. Ia menelan ludah. Tahu
jelas kalau setelah ini ia akan mendapatkan hal yang lebih buruk dari
sebelumnya. Ia menatap papanya.
Satu hal yang ia benci
dan papanya sedang lakukan, bahkan sering papanya lakukan akhir-akhir ini. Ia
tidak suka tidak ditatap saat dimarahi. Ia tidak suka tidak diindahkan saat ia
butuh bantuan mental dari papanya sendiri. Ia tidak suka situasi seperti ini.
Papanya masih menatap lurus laptop di hadapannya, tanpa melirik Nathan yang
sudah sedaritadi menunggu.
“kamu main-main dengan
saya?” tanyanya dingin.
Nathan membuang muka. Andaikan
papanya tahu, hatinya sudah bergetar ketakutan sekarang.
“kamu minta 3 jurusan
sekaligus, saya biarkan. Tapi ternyata kamu gak serius. IP kamu turun jadi 3.
kamu cuti kuliah. Malah masuk SMA lagi. Mau kamu apa? Kalau kamu gak serius,
lebih baik kamu tidak usah kuliah saja. saya tidak mau buang-buang uang untuk
orang gak berguna macam kamu. Kamu sekarang tinggal pilih. Lanjutkan kuliah
kamu bulan depan dan tebus nilai-nilaimu, atau tidak usah kuliah sama sekali?”
pak excel mengatakannya dengan hambar, tanpa perasaan sama sekali.
Nathan memejamkan
matanya. Papanya itu sama sekali tak berperasaan. Yang benar saja! masa papanya
tidak tahu alasan dia cuti kuliah? Alasan nilai-nilainya hancur berantakan? Dia
butuh istirahat. Dia butuh ketenangan. Dia juga butuh perhatian. 5 tahun ini
terlalu berat baginya untuk dihadapi sendirian. Lebih sayangkah papanya pada
uang dibandingkan dengan dirinya?
Apa dia salah meminta
cuti sebentar saja? tolonglah.. biarkan ia dapt menstabilkan jiwanya kembali.
Ia sudah cukup terguncang dengan segala kenyataan pahit yang diterimanya
bertubi-tubi. Kalau papanya mau bersikap baik padanya, setidaknya sedikit saja,
ia akan dengan senang hati menjalani kembali hidup normalnya!
“pa..” panggil Nathan
dengan segenap kekuatan yang masih tersisa dalam dirinya.
“jangan panggil saya
papa! Saya bukan papamu!” sela pak excel tajam.
Nathan menelan ludahnya
kembali. Ia tidak mau memanggil papanya Om, tidak akan. Papanya selamanya
papanya. Ia tak mau panggilan yang lain. “alvin janji akan kuliah lagi bulan
depan. Tapi alvin mohon, izinin alvin manggil pake sebutan papa. Gimanapun juga
papa papanya alvin! kalo alvin gak manggil papa dengan sebutan papa, alvin
harus manggil papa ke siapa lagi? Alvin gak mau berpura-pura gak punya papa
juga. alvin butuh papa. Cuma papa satu-satunya harapan alvin sekarang,” alvin
nyaris meneteskan air matanya. Ia segera membalikkan badannya dan lekas pergi.
Ia tak mau menangis di depan papanya.
Pak excel menelan
ludah. Dia tidak menyangka bahwa Nathan akan berkata seperti itu padanya.
Memilukan sekali. Ia bahkan tak akan sanggup mendengarkan lagi kalau Nathan tak
lekas pergi.
Kali ini, keteguhannya
harus diuji. ia akan bertahan pada keinginannya untuk tetap keras pada Nathan
atau berbaik-baik dengan anaknya itu. sulit sekali. Ia tidak bisa memilih untuk
bersikap baik dalam keadaan seperti ini. Nathan sudah terlanjur banyak sekali
mengecewakannya, dan ia tidak mau memanjakan Nathan. Lebih baik ia bersikap
keras, agar Nathan tidak lagi manja dan cengeng seperti itu.
Sepertinya untuk
permintaan Nathan yang satu itu dapat ia pertimbangkan. Lagipula, jauh di lubuk
hatinya, ia menginginkan panggilan itu keluar dari jagoannya ini.
Cukup. Lama-lama
memikirkan Nathan dapat membuat keyakinannya runtuh. Rasanya ia harus lebih
keras pada Nathan beberapa hari ke depan.
***
Agni mengusap kedua
lengannya, kedinginan. Nampaknya hari ini ia tidak beruntung, atau mungkin
kebetulan yang buruk. Siang ini hujan, sekolah sudah sepi, dan dia ditinggal
Zeva, dengan alasan Zeva ada urusan penting yang tidak bisa ditunda. Apa itu?
pasti bohong. Bilang saja malas menunggunya selesai rapat.
Sekarang ia terjebak di
sekolah. Sudah dingin, lapar pula. Ia jadi super ngantuk dan lemas. Heran juga,
fisiknya selalu lemah saat hujan turun. Langkah agni terhenti tepat di pinggir
lapangan basket. Ia menatap hujan yang masih deras, berharap ada penolong yang
membantunya keluar dari hujan ini.
Tamat. Begitu kata kata
terakhir yang Nathan baca di akhir novel. Ia menutup novel yang sibuk dibacanya
daritadi, dan memasukkannya ke dalam tas. Tunggu. Sepertinya dia tidak membawa
jaket tadi, kok ini ada?
Nathan melirik jam yang
melingkar di tangannya. Jam 4? Wah, ternyata dia terlalu sibuk membaca sampai
tidak menyadari sekarang sudah sore. Pasti hanya dia yang tertinggal di
sekolah.
Nathan belum menyadari
ada orang lain selain dia sebelum mendengar suara bersin. Ia menoleh. Itu..
agnikah? Kalau penglihatannya tidak salah, orang yang sedang memunggunginya itu
memang agni.
Otaknya bekerja cepat.
Agni tidak suka hujan, dan gampang sakit kalau hujan. Ternyata otaknya masih
lekat menyimpan segala informasi tentang agni.
Masalahnya, sekarang
apa yang harus ia lakukan? Sudah. Tidak perlu dipikir lagi. Ia harus mengantar
agni pulang. Jangan sampai agni sakit.
Nathan beranjak dari
bangku panjang yang didudukinya dan berjalan ke sebelah Agni. agni yang
menyadari ada seseorang selain dirinya langsung menoleh. Keningnya berkerut.
“Nathan?”
“kok belum pulang?”
tanya Nathan tanpa menoleh Agni. ia sangsi tidak dapat menahan keinginannya
untuk memeluk Agni kalau melakukannya.
“oh, tadi abis
beres-beres setelah rapat, terus ditinggal zeze. Jadi gue pulang terakhir deh,”
jawab agni sedikit kesal, karna gara-gara dia rapat dia terjebak dalam hujan
begini. “lo sendiri? Kok belom pulang?” tanyanya heran. Bukankah alvin selalu
pulang bareng sivia dan shilla?
“shilla abis syuting,
baru pulang pagi. Sivia ada syuting juga pulsek tadi. Gue ditinggal sendiri di
sini,” jawab Nathan.
Rasanya ini bukan
kebetulan. Aneh sekali kalau kebetulan ia tertinggal di sekolah bersama agni?
pasti sivia dan zeva yang sudah berkoalisi untuk membuat mereka bersama. Nathan
tidak suka caranya, tapi ia sangat berterimakasih dengan kesempatan ini, ia
jadi bisa lebih lama bersama dengan agni.
Agni menatap Nathan
yang tersenyum sendirian. Entah apa yang pemuda ini bayangkan. Ia mengibaskan
tangannya di depan wajah Nathan, membuat Nathan langsung tersadar.
“eh Nath, lo bawa mobil
kan? Anterin gue pulang dong. Sori nih ngerepotin, abisan gue gak suka
ujan-ujanan gini. Lo gak lagi sibuk kan?” melas agni.
Nathan mengangguk.
Sebelumnya ia ambil dulu tasnya dan langsung mengeluarkan jaketnya dari tas.
“nih lo pake aja. Gue ambil mobilnya ke sini, lo tunggu aja ya. Kalo kedinginan
tunggu aja agak kedaleman dulu,” pesan Nathan sambil menyerahkan jaketnya pada
agni.
“terus lo ambil
mobilnya gimana? Basah kuyup dong?” tanya agni tidak tega.
Nathan tersenyum. Ia
sangat senang sekali mendengar agni mengkhawatirkannya. Hampir saja ia memeluk
agni dan memberitahu yang sebenarnya. “gak papa, daripada lo menggigil di sini?
Gak lucu dong?” ucapnya, lalu segera berlari menembus derasnya hujan ke parkiran.
Agni yakin, ia pernah mendengar ucapan seperti itu sebelumnya. Dengan suara
yang sedikit berbeda, namun dengan nada kekhawatiran yang sama.
Tenang aja. Gak papa kok alvin yang kebasahan. Daripada agni
kedinginan di sini? Gak lucu kan? Agni menggelengkan
kepalanya. kepalanya jadi sedikit sakit, pertanda ingatannya mulai tersusun.
Alvin? siapa itu alvin?
rasanya ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Dimana ya? Agni terus mencoba
mengingat, namun nihil. Ia tak mendapatkan lagi kepingan lain dari ingatannya.
Apa alvin itu nama anak lelaki kecil yang selama ini selalu membayangi ingatan
masa lalunya?
Tiinn.. tinn.. klakson
mobil Honda Jazz biru tua mengilap itu membuyarkan lamunan Agni. agni buru-buru
naik ke dalam mobil dan duduk di sisi Nathan.
Agni melihat Nathan.
Beneran basah, tapi tidak semuanya. Kalau tadi ia tidak salah lihat, Nathan
menggunakan tasnya untuk menjadi payung. “sori ya lo jadi basah gini. Gue jadi
gak enak nih. Lo udah makan siang belom? Gue traktir deh yuk,” usul agni.
Nathan tersenyum
kembali. “boleh. Mau ke mana?” tanyanya ramah. Sepertinya dia mulai menikmati
situasi ini.
Agni kembali diherankan
dengan nada bicara Nathan yang berubah. Tadi sikapnya sudah, sekarang
bicaranya? Ia jadi penasaran dengan sosok di sebelahnya ini. Siapa sih
sebenarnya Nathan ini.
“mm.. di restoran yang
deket mall itu. lo tau kan?” arah Agni. alvin mengangguk dan langsung melajukan
mobilnya.
Sepanjang perjalanan,
tak ada suara hening, tak ada yang mendominasi pembicaraan dari awal sampai
akhir, semuanya berlangsung sama rata, keduanya berbicara, kadang saling
menjatuhkan dan kadang saling memuji. Langka. Baru kali ini selama menjadi
Nathan ia dapat lancar berbicara seperti ini. Apa karna sang lawan bicara
adalah Agni? mungkin..
Sampai. Keduanya turun
dari mobil dan langsung memilih tempat duduk di pojok samping jendela.
Beruntung seragam Nathan sudah mulai kering, hingga tak perlu menjadi sorotan
saat melewati pengunjung lain.
Semuanya berlangsung
lancar sampai agni mengawali topic yang lain. “eh nath, lo deket ya sama zeze?”
Nathan mengangguk. “lumayan,” jawabnya.
“lo suka ya sama zeze?”
tanya agni kembali, membuat Nathan nyaris tersedak.
“enggaklah! Gue udah
anggep dia adek gue sendiri,” jawabnya mulai tenang.
“oh, abisan kalian
keliatan akrab banget sih. Zeze pernah cerita gak, kalo gue amnesia?” Nathan
mengangguk ragu, belum bisa menebak ke mana pembicaraan ini akan berujung. “lo
mau dengerin cerita amnesia gue ini gak?” Nathan mengangguk lagi, namun kini
menatap wajah agni dengan serius.
Agni meneguk
minumannya. “kata zeze, gue waktu kecil pernah pacaran, sama anak lelaki kecil.
Gue gak tau gimana tampangnya, gue gak punya fotonya, dan gue gak inget sama
sekali tentang dia. lo percaya gak?” air muka Nathan benar-benar berubah
tegang. Ia takut kalau zeva memberitahu agni bahwa gara-gara anak lelaki kecil
itu agni amnesia, dan keakrabannya yang baru saja terjalin dengan agni kembali
ini langsung putus.
“zeze tuh ceritain
semua tentang perilaku anak itu ke gue. Gue yang dengernya sendiri aja sampe
terperangah. Tapi dia gak mau kasihtau nama anak itu. dan baru aja barusan,
barusan banget, waktu lo bilang lo gak papa kebasahan, gue jadi inget sedikit
tentang anak itu. kalo gue gak salah inget, namanya alvin. ya, alvin. gue
penasaran banget sama anaknya. Lo tau gak kira-kira gimana supaya gue inget
sama anak itu?”
Nathan jadi gelisah.
Jangan sampai agni cepat ingat tentang dirinya. Tentu saja dia ingin agni ingat
tentang dirinya, siapa sih yang gak mau diinget sama pacar sendiri? Tapi
mengingat dia salah satu factor penyebab agni amnesia, dia tidak mau dijauhi
agni. jujur saja dia takut dengan hal ini.
Nathan mencoba tenang,
menyamarkan nada ketakutannya. “entahlah. Gue gak tau. Tapi gue mau tanya,
misalnya nih ya, lo udah tau siapa anak itu, lo mau ngapain?” tanyanya.
Agni tampak berpikir.
“gak tau juga. tapi yang jelas gue mau tanya masa lalu kami berdua. Dari cerita
zeze sih kayaknya indaaahhh banget, gue gak mungkin dong mau lupa selamanya
sama masa lalu yang indah? Bahkan kalo bisa gue mau jadi ceweknya anak itu
lagi, terlepas dari kami udah putus apa belum. Ahh, gue penasaran!!” wajah agni
terlihat sangat senang membayangkannya. Nathan jadi tersenyum sendiri.
Tentu saja. tentu saja
indah. Masa lalu kita memang indah agni, sangat indah asal kau tahu. Kamu yang
udah merubah sifatku, yang udah mau ngisi rasa kehilangan yang aku dapet dari
orangtuaku, kamu memang malaikat kecilku agni, aku sangat mencintaimu, batin
Nathan.
***
Nathan menghentikan
mobilnya tepat di depan rumah agni. ia menatap agni yang tertidur pulas di
sampingnya. Sudah berabad-abad rasanya tidak melihat wajah manis ini tertidur.
Ia jadi ingat kalau dulu agni selalu memintanya mengucapkan selamat tidur, dan
kalau ia belum mengucapkannya, agni tidak akan bisa tidur. Aneh, tapi manis.
Nathan memajukan
kepalanya ke arah agni, tangannya sudah terulur hendak mengelus pipi agni,
namun ia menariknya kembali. Ia ingat kondisinya sekarang, agni mungkin sudah
bukan miliknya lagi, karna kecelakaan itu sudah menghapus bayang masa lalu agni
tentang hubungan mereka.
Meski agni tadi bilang
kalau ia tetap menginginkan menjadi pacar anak lelaki itu, tapi masih akan
yakinkah agni dengan keinginannya bila tahu sang anak lelakilah yang
menyebabkannya amnesia? Rasanya mustahil.
Alhasil Nathan hanya
bisa tersenyum memandangi agni yang tertidur. “alvin kangen agni,” bisiknya
pelan di telinga agni. sudah sekian lama ia tidak pernah mengucapkan itu lagi,
hanya diulangnya saja terus di dalam hati selama bertahun-tahun ini.
Agni terbangun
mendengar bisikan itu. Nathan refleks kembali dalam posisi semula. “lo tadi
bilang apa nath?” tanya agni heran.
Nathan mengangkat alis.
“apa? Gue gak bilang apa-apa. Baru gue mau bangunin lo, lonya udah bangun
duluan. Udah sampe nih,” jawabnya santai, diam-diam mengusir rasa tegangnya.
Agni kurang yakin
dengan jawaban Nathan. Tapi entahlah, dia sendiri juga kurang yakin karna ia
tertidur. Mungkin itu hanya halusinasinya saja. ya, halusinasinya. Jangan
terlalu dipikirkan.
Agni segera membuka
seat-belt dan turun dari mobil. “thanks ya nath tumpangannya. Lain kali kita
lanjutin ya ngobrolnya, ternyata lo anaknya asik juga buat ngobrol, hehe..”
ucap agni kemudian berlalu ke dalam rumahnya.
Nathan mengangguk dan
menatap Agni yang memasuki rumah. Setelah yakin agni sudah masuk ke dalam rumah
dan aman, ia langsung melesat pulang. Akan ia catat hari ini sebagai hari
terbaiknya selama menjadi Nathan. Hari terbaiknya.
***
0 comments:
Post a Comment