“kau jelas tahu maksud Theresia, Fransiskus!” ucap seorang lelaki oriental
kepada salah satu anak didiknya di ruangannya.
Sang anak didik hanya menatap cangkir yang sudah diisi cappucino hangat
itu, yang asapnya mengepul tipis, dan sedang menunggu untuk diminum olehnya.
“memangnya harus?” tanyanya pelan. Tangannya meraih tangan cangkir tersebut
kemudian menyeruput sedikit isinya.
Lelaki oriental tadi tak melepaskan pandangannya dari jendela yang
menggantikan dinding ruangannya, menghadap keluar, menjadikannya tempat
memantau seluruh tingkah anak didiknya. Ia masih berdiri di sana, memunggungi
si anak didik, membiarkan sang anak didik merasa lebih nyaman tanpa harus
melihat salah satu guru konselingnya.
“kau menginginkannya, berarti kau harus menjalaninya. Aku yakin kau bisa
melakukannya,” ucap lelaki itu kembali.
“benarkah aku bisa? Tapi selama ini belum ada yang berhasil melakukannya,
bahkan Goldi saja, yang jago beladiri setelah Mario tidak dapat melawannya.
Bagaimana aku bisa? Aku saja baru sabuk biru senior, hanya bisa karate, dan tak
sebanding dengan Mario yang notabene menguasai hampir seluruh cabang beladiri!”
Lelaki itu berbalik, menatap anak didiknya yang sedang mencoba mencari
bantuan darinya, dalam usahanya untuk mendapatkan si Theresia, atau biasa
dipanggil Agni. Ia tersenyum. “kau berteman dengan Mario bukan? Dia pasti akan
memberikan kemudahan bagimu. Tenang saja,” ucapnya kembali.
Sang anak didik berdiri dan mulai berjalan kesana-kemari, bolak-balik,
dengan tangan yang terus bergerak juga. “baiklah, anggap saja Mario
mendukungku, tapi bagaimana dengan Raynald? Dia tidak akan memberikan
sedikitpun kemudahan bagiku! Dan yang dimintanya sangat impossible untuk diluluskan!
Dia minta teman?! Hei! Bahkan tak ada satupun yang berminat dekat dengannya!
Bagaimana bisa?!” dumelnya kesal.
“Justru di situlah kau diuji. Mau tak mau kau harus coba mendekati
Xaverius, dia memang memberikan hal tersulit, hanya agar kakak perempuan semata
wayangnya itu tidak jatuh pada tangan laki-laki yang mudah putus asa. Biarpun
hubungan mereka tidak cukup baik, Xaverius tetap memegang janji keluarganya
untuk menjaga Theresia,” jelas sang lelaki.
Si anak didik berhenti, menatap gurunya, yang biasa dipanggil olehnya dan
teman-temannya ‘kakak’, mengharap orang ini mengerti maksudnya. Ia meminta
bantuan, setidaknya untuk mencairkan Raynald, agar jalannya untuk mendapatkan Agni
lebih mulus.
Seakan mengerti maksud dari tatapan anak didiknya, lelaki oriental itu
menggeleng. “Fransiskus Cakka! sudah kubilang berapa kali, jangan memintaku
untuk membantumu dalam hal ini! kau harus selesaikannya sendiri. bukankah kau
sangat menyayangi Theresia? Atau kau hanya ingin main-main saja dengannya?”
tegasnya.
Cakka menghela napas panjang. “baiklah. Kau memang sangat tidak pengertian
pada hal ini kak. aku permisi dulu, sebentar lagi kelasku akan mulai,”
pamitnya, berjalan ke arah pintu.
Lelaki itu mengangguk, menunggu hingga langkah Cakka tak terdengar lagi,
kemudian menggumam, “kau tidak sadar, sebenarnya mereka bertiga sudah
memercayakan saudaranya padamu, bahkan sejak melihatmu dekat dengan saudara
mereka itu. kau tinggal menjalaninya, mereka sudah memuluskan jalanmu.”
***
Cakka kurang semangat dalam menjalani kelas-kelasnya pada hari ini.
pikirannya dipenuhi oleh challenges yang diberikan oleh Dominique Brothers.
Padahal tadi pagi ia sudah sangat bersemangat mendengar challenges itu, dengan
impian segera mendapatkan Agni, yang sudah sejak lama ia sukai itu.
Tapi semangatnya langsung hilang begitu menemui Mario, yang pertama
dicarinya, dengan dugaan challenge kali ini beda dari yang sebelumnya. tapi
nyatanya, sama! Ia masih ingat kata-kata temannya itu, “kalau kau sudah siap,
datang padaku. Kita akan bertanding, satu pukulanmu saja bisa masuk, aku akan
meluluskanmu. Tapi kalau sampai satu jam tidak ada satupun dari pukulanmu yang
masuk, jangan pernah berharap mendapatkannya.”
Satu pukulan masuk? Terhadap seorang Mario? Jangan harap! Selama ini belum
ada anak laki-laki seumuran mereka yang bisa memukul Mario! Apalagi Mario salah
satu kebanggaan sekolah, dengan prestasinya yang selalu menjuarai lomba-lomba
beladiri, bahkan sampai tingkat nasional! Ah! Temannya itu tega sekali padanya.
Padahal sebelumnya bilang tidak akan menyulitkannya, bagaimana sih?!
Belum lagi sewaktu ia menemui Raynald, anak itu dengan dinginnya berkata,
“dalam sebulan, kalau kau bisa memberikan seorang teman untukku, aku akan
membiarkanmu bersama dia. tapi kalau kau tak berhasil, berarti kau memang tak
pantas untuknya.”
Cakka mencibir kesal setelah si Raynald itu pergi. Ia tak habis pikir,
bagaimana anak itu dengan tidak sopannya tidak memanggil dia ‘kak’, belum lagi
gaya bicaranya sok dewasa seperti itu. anak itu benar-benar meremehkannya!
Tapi satu yang kemudian terlintas di pikiran Cakka. Impossible! Tak mungkin
ada yang mau berteman dengan si aneh Raynald! Kalau begini, bagaimana ia bisa
lulus?
Terakhir, ia menemui Gabriel, yang untungnya belum meninggalkan asramanya.
Bukannya mendapat challenge seperti Mario dan Raynald, Gabriel malah berkata
dengan angkuhnya, “selesaikan dulu permintaan kedua anak itu. baru temui aku.
Menuntaskan permintaan mereka saja tidak ada yang berhasil. Ah ya, sedikit
saran dariku, sebaiknya selesaikan dahulu permintaan adik kecilku itu, karna
sepertinya akan sia-sia saja kau babak belur bila tak lulus olehnya.”
Cakka melemparkan bola basketnya sekuat tenaga, gondok dengan ucapan ketiga
Dominique Brothers yang super super menyebalkan dan meremehkannya!
“Kka,” panggil seseorang dari arah belakang.
Cakka langsung berbalik, tahu jelas siapa pemilik suara itu, yang selama
ini diam-diam sudah terekam jelas di pikirannya. Ia tersenyum manis dan
menghampiri gadis itu, “ya Ag?”
“gimana?” tanya Agni ingin tahu. sudah banyak laki-laki yang langsung
menyerah begitu mendengar permintaan ketiga saudaranya itu, dan ia ingin tahu
apa Cakka akan ikut mundur bersama mereka.
Cakka mengangkat bahu, “ya gitu deh. bakal jadi perjuangan berat banget nih
buat dapetin kamu. Susah juga ya kalo mau dapetin putri Dominique,” ucap Cakka
lalu mengacak rambut Agni.
Agni merapikan rambutnya kembali, dengan seulas senyum yang terukir di
wajahnya. Entah apa yang dimiliki Cakka, hingga ia sendiri begitu menyukai
kehadiran Cakka, demikian dengan perlakuan lembut laki-laki itu padanya.
“kamu gak akan nyerah kan Kka?” tanya Agni, harap-harap cemas.
Cakka menatap Agni, dan menarik kembali kedua ujung bibirnya. “tentu gak,”
dan langsung membuat Agni menghela napas lega. Ia sudah khawatir kalau Cakka
akan menyerah.
“tapi kamu beneran sayang sama aku kan Ag?” gantian Cakka yang menunggu
jawaban Agni dengan cemas.
Agni menjawabnya dengan anggukan dan seulas senyum. “kalo gitu aku akan
secepatnya nyari cara buat menuntaskan challenge mereka!” ucap cakka penuh
semangat. Agni kembali tersenyum melihat Cakka yang sudah kembali bersemangat.
Baguslah.
***
IFY’S POV
Haihai! Kembali denganku, Ify! sekarang aku sedang berada di ruangan kak Alvin,
mumpung dia sedang tidak ada pasien, eh, maksudku anak-anak yang sering curhat
padanya. Aku lebih suka menyebut mereka pasien kak Alvin. Biar gampang gitu lah
nyebutnya.
Kalian lihat apa yang sedang kulakukan? yap! Aku sedang mengelap
panah-panahku ini agar mengilap. Apa? Aku belum bilang? Aduh! Aku lupa!
Ingatanku memang agak payah. Maklumi saja ya? hehe..
Aku ini atlet memanah. Mengikuti jejak mamaku yang juga atlet memanah.
Hebat kan? pasti dong! Haha.. kak Via juga atlet, tapi atlet berkuda. Kalo kak Alvin..
jangan ditanya deh. Dia sama kayak papa, bukan atlet, dan sama sekali gak
tertarik pada dunia itu. Payah!
1, 2, 3, ...10! ada sepuluh panahku, mengilap bukan setelah dilap? Aku juga
sering mengasahnya agar tajam dan runcing. Rajin ya? hehe.. sebenarnya aku
selalu membawa 15 panah untuk jaga-jaga. Lima yang lainnya hanya panah yang
ujungnya karet, untuk mainan, jadi tidak bahaya untuk kugunakan~
Entah sudah berapa kali aku mendengar decak kesal kak Alvin dan
bunyi-bunyian menganggu. Tentu aku hafal dengan situasi ini. “kenapa lagi sih
kak? berisik banget deh,” tanyaku, pura-pura tidak tahu.
Kak Alvin mengabaikan pertanyaanku, masih menekan-nekan tuts hapenya, dan
menempelkan di telinga, kemudian melepasnya, dan mengulangnya kembali, dengan
tangan yang lainnya mengetuk-ngetuk meja.
“ah! Acha lagi ngapain sih?!” serunya kesal, seraya meletakkan hapenya
dengan kasar.
Aku memandang kak Alvin, yang selalu mengomel tidak jelas seperti ini kalau
kak Acha tidak dapat dihubungi. “lagi sibuk kali kak. kan tempat kerjanya buka
cabang baru, kak Acha jadi chef utamanya lagi. sabar aja kali kak, nanti malem
coba hubungin lagi,” saranku.
Kak Alvin beranjak dari tempat duduknya, berdiri di depan jendelanya,
menatap ke luar dengan kedua tangan terlipat di dada. “kamu gak ngerasain long
distance sih, kamu gak bisa ngerasain khawatirnya kakak sama kak Acha. Dia sama
sekali gak bisa dihubungin sebulan ini. gak bales email atau sms, gak ngangkat
telpon kakak juga. kakak Cuma khawatir terjadi sesuatu sama dia,” ucap kak Alvin,
terdengar sekali nada kekhawatirannya.
Ahh, aku jadi kasihan dengan kak Alvin, pasti dia rindu sekali dengan kak
Acha. Tapi, tumben sekali kak Acha tidak bisa dihubungi selama sebulan? Padahal
paling lama ia tidak bisa dihubungi Cuma 2 minggu. Tapi ini sampai sebulan? Ada
apa ya? apa mereka ada masalah?
“kak, kakak ada masalah sama kak Acha?”
Kak Alvin menggeleng. Aku terdiam, tak tahu harus bicara apa. Kalau kak Alvin
sudah kusut seperti itu wajahnya, aku tidak bisa membantu, ia tak akan
mendengarkannya.
Kak Alvin kemudian menghela napas panjang, “sudahlah. Nanti kak Alvin coba
hubungi lagi. kembalilah ke asramamu. Kau sudah tidak ada kelas kan?”
Aku mengangguk, segera membereskan panah-panahku beserta peralatan lainnya.
Aku paham maksud kak Alvin, dia sedang ingin sendiri.
Baru aku membuka pintu, kak Alvin sudah menahanku. “kalau kak Acha
menghubungimu, beritahu kakak ya, hati-hati,” pesannya. Aku mengangguk kembali
dan segera beranjak pergi.
***
Uhh.. aku tak tega melihat kak Alvin! Aku kira hubungannya dengan kak Acha
baik-baik saja seperti biasanya. Habisan kak Alvin tidak berubah seperti
biasanya sih kalau lose contact dengan kak Acha.
Biasanya ia akan jadi tidak konsen dalam mengerjakan pekerjaannya, emosinya
lebih gampang terlihat. Tapi ini lain. Ia masih tetap diam dan tenang. Apa
karna ia mencoba lebih profesional ya dalam bekerja? Aku jadi bingung.
Ah aku pasti lupa bilang lagi. Sudah setahun kak Alvin dan kak acha
benar-benar tak bertatap muka. Entah bagaimana bisa waktu membuat mereka tak
bisa saling bertemu. Kak acha disibukkan dengan peresmian cabang baru restoran
tempatnya bekerja, apalagi tadi sudah kubilang kan, dia menjadi chef utama di
sana, kepala chef. Sementara kak Alvin harus mengikuti berbagai pelatihan dan
seminar yang disiapkan sekolah untuknya.
Menyebalkan bukan? Aku saja sampai menggerutu seharian gara-gara hal itu. Biarpun
aku sering iseng terhadap mereka, aku kan kangen juga dengan kak acha. Apalagi
melihat mereka berduaan. Rasanya sudah seperti bertahun-tahun aku tidak
melihatnya.
Alhasil, mereka lebih intens berkomunikasi. Kalian tahu apa yang pertama
terlintas di benakku saat kak Alvin bilang kalau mereka lose contact sebulan
ini? Aku takut kak acha memutuskan hubungannya dengan kak Alvin dan memilih
laki-laki lain di luar sana.
Tapi melihat lamanya hubungan mereka ini aku ragu juga dengan pemikiran
itu. tidak mungkin kan kak acha yang sangat baik, manis, dan perhatian itu
begitu mudah berpindah hati?
Drrtt.. drrtt.. hapeku bergetar.
“kak acha?” gumamku pelan. Segera kuangkat telpon darinya.
“gimana kak Alvin? dia baik-baik aja kan?” tanyanya langsung tanpa
berbasa-basi.
“err.. ya.. kak acha kenapa gak bisa dihubungin sebulan ini? kakak gak
berminat mutusin kak Alvin kan?” tanyaku dengan bodohnya, tanpa memikirkan
perasaan kak acha.
“ya gak akan lah. kamu tau sendiri gak lama lagi kami akan menikah.
Bagaimana sih? ohya, jangan katakan apapun pada Alvin ya tentang percakapan ini
ataupun tentang aku yang menghubungimu. Aku akan beritahu nanti. Sudah dulu ya,
aku sedang sibuk. Nanti malam kuhubungi lagi,” katanya terburu-buru lalu segera menutup teleponnya.
Aneh, sepertinya ada yang
disembunyikan kak Acha. Ah, kutunggu saja smsnya nanti malam. Aku jadi
penasaran.
***
Author’s POV
Di tengah keramaian lantai
dasar sekolah, seorang pemuda yang baru menginjak masa SMA jalan begitu saja,
tak peduli dengan apa yang terjadi, akan terjadi, atau bahkan yang mungkin
sudah terjadi di sekitarnya.
Pandangannya lurus ke depan,
tak melirik kanan kiri sama sekali. Begitu tegas dan dingin. Seakan hanya dia
seorang yang sedang ada di sini.
Dan sementara itu, dari arah
sebaliknya, seorang gadis berjalan dengan seperti itu juga, tak menghiraukan
pandangan tidak suka orang lain padanya. Pandang dingin dan angkuhnya menambah
nilai keanggunan yang sudah nampak dari cara berjalannya.
Sang pemuda berhenti.
Perhatiannya teralih pada gadis itu. Bibirnya bergerak sedikit, menggumam
sesuatu.
Si gadis masih terus
berjalan, bahkan saat jalannya akan berpapasan dengan pemuda itu ia masih tak
mengalihkan tatap lurusnya.
“va,” pemuda itu menggumam
dengan lirihnya, tepat saat gadis itu sejajar dengannya, meski pandangannya
sekarang sudah kembali ke depan.
Gadis itu tak berhenti. Ia
mengacuhkannya. Sedang berusaha mempertahankan keinginannya untuk kuat. Jangan
sampai ia lengah seperti waktu itu lagi.
Pemuda itu menarik napas,
kemudian melanjutkan jalannya kembali. Berharap ia bisa lebih sering bertemu
gadis itu lagi.
***
Pemuda yang sama masih terus
berjalan, hingga sampai ke kamar asramanya. Baru saja ia melepas vest hitamnya,
sudah terdengar suara berisik dari luar.
“berhenti sok peduli padaku!
aku bukan anak kecil! Jangan mengaturku!” seruan penuh amarah itu membahana di
sepanjang koridor.
“Mario! Aku tidak
mengaturmu! Aku hanya menuruti permintaan keluarga kita untuk menjagamu! Mereka
menerima laporan kalau kau terancam tidak naik kelas lagi! jangan membuat nama
baik keluarga kita hancur!” seru yang lainnya, tidak kalah emosi dengan yang
tadi.
Pemuda yang mendengarkan
semuanya dari dalam kamar mensyukuri satu hal dalam hatinya. Setidaknya baru
dia saja yang kembali ke asrama, sehingga tak ada yang mendengar adu mulut
sengit ini.
Ia memutar kunci kamarnya
dan membuka pintu. Ia menatap dingin keduanya. Yang bernama Mario berdiri tepat
di sebelah kanan kamarnya, sementara yang satunya berdiri di sebelah kiri
kamarnya. Ia hanya diam, tidak berkata apapun.
Keduanya menyadari kehadiran
orang ketiga, mereka mencoba kembali bersikap tenang dan dingin, menyembunyikan
raut emosi mereka.
Si pemuda masih diam, meski
matanya sedang memberi peringatan kepada keduanya. Mario segera mengeluarkan
kunci dari sakunya, kemudian memutarnya ke dalam lubang kunci, dan masuk ke
dalam kamar tempatnya adu mulut tadi.
“urus urusanmu sendiri. Aku
tidak mau diganggu, begitupun dia. bukankah kau seharusnya lebih menjaga nama
baikmu dari hal seperti ini, kakak tertuaku Gabriel?” ucap pemuda itu dengan
penekanan pada tiga kata terakhir.
Gabriel melempar pandang
mencela pada pemuda di hadapannya ini.
“bersikaplah sopan pada kakakmu, Raynald.” Ucap Gabriel, kemudian melangkah
pergi dari asrama SMA itu.
Mata Raynald masih mengekor
pada langkah kakaknya itu, dan setelah dipastikan sudah pergi, ia kembali ke
dalam kamarnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang untuk tetap menjaga
nama baik kedua kakaknya, termasuk nama keluarganya.
***
“kak Via!” panggil seorang
gadis pada gadis yang lebih tua darinya yang sedang menaiki tangga.
Gadis yang lebih tua
berbalik, “Shilla? Ada
apa?” tanyanya sambil tersenyum.
Shilla menghampirinya. “mau
ketemu kak Alvin
ya kak?” tanyanya.
Sivia mengangguk. “ya.
Kenapa?”
Shilla tersipu. “emm.. boleh
minta tolong gak kak?
“apa?” Tanya Sivia
penasaran.
Shilla menyodorkan sebuah
kotak bekal. “tolong kasihin ke kak Alvin ya
kak, abisan tadi aku gak liat kak Alvin
sih pas makan siang. Nanti kak Alvin
kelaperan, lagi,” katanya perhatian.
Sivia tersenyum dan
mengambil kotak bekal itu. Dia baru ingat kalau Shilla menyukai Alvin . “oke deh. Makasih
ya,” ucapnya.
Shilla mengangguk dan segera
pergi. Sivia menggelengkan kepalanya kemudian mengetuk pintu ruangan Alvin .
“kak, nih dibawain makanan
dari penggemarmu itu,” kata Sivia lalu meletakkan makanannya dia atas meja Alvin .
“gak laper. Buat kamu aja,”
kata Alvin ,
yang sedang sibuk dengan hapenya, seperti kemarin.
Sivia mengangkat alis. Kalau
sudah begini dia hafal jelas. Daripada kakaknya uring-uringan, lebih baik dia
beritahu sajalah. “kemarin aku baru abis emailan sama kak Acha,” lapornya.
Pandangan Alvin langsung
teralih padanya. “terus? Dia bilang kenapa gak bisa kakak hubungin? Dia
baik-baik saja kan ?”
tanyanya tidak sabar.
Sivia mengangguk, kemudian
duduk di kursi yang berhadapan dengan kakaknya. “kak Acha baik-baik aja kok,”
terdengar hembusan napas lega dari kakaknya itu. “minggu depan dia pulang.
Tadiannya sih buat surprise. Tapi berhubung adikmu yang cantik nan manis ini
gak tega ngeliat kakaknya khawatir, ya mendingan kubocorin aja deh.”
Sivia tersenyum kecil
melihat kakaknya. “dimakan deh kak makanannya. Kasian Shilla udah repot-repot
bawain kakak makanan,” suruh Sivia.
“ah, Brigida itu selalu saja
perhatian sama kakak. Kakak jadi gak enak sama dia,” kata Alvin sungkan.
“dia kan suka sama kakak. Katanya sih sejak dia
pertama ngeliat kakak. Ah, andaikan aja dia percaya kalau kakak udah punya
tunangan, pasti dia akan langsung mundur,” kata Sivia menyayangkan.
“kasihan juga dia kak,
perasaannya gak mungkin dibales sama kakak. Atau mungkin kakak mau jadiin dia
selingkuhan?” Tanya Sivia asal.
“lalu menurut kakak dia
cocok dengan siapa?”
Sivia mencibir. “oh ya?
Bukannya dulu kakak malah lebih kecil daripada kami, udah pacaran sama kak
Acha? Enteng banget ngomong begitu. Sok tua!”
Sivia tersenyum malu-malu,
berpindah ke sebelah Alvin ,
kemudian berbisik di telinga kakaknya itu. Alvin melotot. Apa dia tidak salah dengar?
“gak lucu! Kamu cuma
bercanda bukan?” seru Alvin
tidak percaya. Sivia menggeleng. Sebenarnya dia sudah tau reaksi kakaknya ini.
Sivia tak dapat
menyembunyikan kesenangannya membicarakan pemuda yang baru-baru ini menarik
perhatiannya itu. Ia menggamit lengan kakaknya itu. Ia mengangguk. “ah, kakak
gak tau sih, Gabriel tuh pinter, keren, tinggi, dewasa, cool lagi! gak kayak
kakak, udah jelek, sok cool, angkuh lagi!”
“yayaya. Terserah kamu lah. Tapi
apa kamu gak salah? Gabriel itu kan ..
ah! pokoknya dia gak pantas sama kamu. Kenapa gak.. ah, ya sudahlah! Terserah
kamu saja.”
Sivia tersenyum senang,
kakaknya merestuinya. “makasih ya kak! Via sayang kakak!” ucapnya lalu mengecup
pipi kakaknya itu dan melesat pergi.
***
“setiap kumelihatmu, ku terasa di hati, kau punya segalanya, yang aku impikan..” Shilla, atau lengkapnya Brigida Shilla
Shalomita, masih terus menyenandungkan lagu Antara Ada dan Tiada itu sampai ia
berhenti di depan ruang makan sekolah. Tidak bisa dibilang kantin juga, karna
makanan yang disajikan di sini sudah termasuk dalam bayaran sekolah mereka.
Shilla memilih duduk di meja hijau dengan 2 kursi yang berwarna
senada di sudut ruangan. Menunggu kelasnya yang mulai 1,5 jam lagi, ia memilih
untuk menunggu di sini saja.
Awalnya ia berniat untuk menemui kak Alvin , tapi setelah dipikir-pikir, ia tidak
punya alasan yang tepat untuk itu. hufft.. sebaiknya sekarang dia ngapain ya?
Shilla mengedarkan pandangannya. Kali-kali saja ada pemandangan
menarik. Hei, benar saja. pandangannya berhenti di meja berwarna merah gelap
dengan 4 kursi senada. Mario Stefanus Dominique!
Bukannya ia ngefans atau apa pada Mario seperti gadis-gadis lain,
yang menarik perhatiannya adalah si pendekar sekolah itu sedang sibuk
mengerjakan tugas. Tampak Mario sangat konsentrasi mengerjakannya.
Waw! Baru kali ini ia melihatnya! Ternyata kakak kelasnya itu juga
bisa belajar akademik ya? Kirain hanya bisa baku hantam saja.
Shilla menggelengkan kepalanya. benar-benar ajaib. Langka sekali
ini. Padahal setahunya, dan seisi sekolahnya tahu, Mario naik kelas hanya karna
prestasi non-akademiknya saja, sedangkan nilai-nilai akademiknya tidak memadai
untuk naik kelas. Terlalu sering berantem mungkin membuat kepalanya sering
terbentur dan jadi error.
Kalau diingat-ingat, selama dia bersekolah di sekolah ini, ia
belum pernah melihat Mario belajar seperti teman-temannya. Yang dia lihat
selalu wajah yang kadang biru-biru saja hasil berantem.
Sudahlah! Untuk apa sih
memperhatikan kakak kelasnya yang satu itu? lebih baik ia meminta Oik,
temannya, untuk menunggunya.
Eh, tapi tidak jadi deh. Oik
itu kan salah
satu fansnya Mario. Bisa–bisa si pemilik nama lengkap Eleonora Oik itu histeris
melihat Mario belajar. Heran heran, bagaimana bisa gadis-gadis di sekolah ini menyukai
pemuda yang hobi berantem seperti ini?
Jauh lebih baik juga kak Alvin ! sudah tampan,
keren, baik, pintar pula! Shilla jadi senyam-senyum sendiri membayangkan kak Alvin . sudah lama ia
menaruh hati pada guru konselingnya yang satu ini.
Biarpun usia mereka terpaut
cukup jauh, Shilla tidak peduli. Toh kak Alvin
masih kelihatan sangat muda dan seperti anak SMA begitu kok! mau kak Alvin bilang sudah punya
tunangan pun ia tidak akan percaya sebelum melihat dengan mata kepalanya
sendiri. Buktinya, kak Alvin
tak pernah menunjukkan gadis yang beruntung itu kok! berarti kesempatan
untuknya masih terbuka lebar bukan? hehe..
I Love You Full lah kak Alvin ! batin Shilla
sambil tersenyum. Love you forever!
***