Sunday 20 March 2011 | By: Vina Arisandra

My First Romance Part 1

PART 1

“kau jelas tahu maksud Theresia, Fransiskus!” ucap seorang lelaki oriental kepada salah satu anak didiknya di ruangannya.

Sang anak didik hanya menatap cangkir yang sudah diisi cappucino hangat itu, yang asapnya mengepul tipis, dan sedang menunggu untuk diminum olehnya. “memangnya harus?” tanyanya pelan. Tangannya meraih tangan cangkir tersebut kemudian menyeruput sedikit isinya.

Lelaki oriental tadi tak melepaskan pandangannya dari jendela yang menggantikan dinding ruangannya, menghadap keluar, menjadikannya tempat memantau seluruh tingkah anak didiknya. Ia masih berdiri di sana, memunggungi si anak didik, membiarkan sang anak didik merasa lebih nyaman tanpa harus melihat salah satu guru konselingnya.

“kau menginginkannya, berarti kau harus menjalaninya. Aku yakin kau bisa melakukannya,” ucap lelaki itu kembali.

“benarkah aku bisa? Tapi selama ini belum ada yang berhasil melakukannya, bahkan Goldi saja, yang jago beladiri setelah Mario tidak dapat melawannya. Bagaimana aku bisa? Aku saja baru sabuk biru senior, hanya bisa karate, dan tak sebanding dengan Mario yang notabene menguasai hampir seluruh cabang beladiri!”

Lelaki itu berbalik, menatap anak didiknya yang sedang mencoba mencari bantuan darinya, dalam usahanya untuk mendapatkan si Theresia, atau biasa dipanggil Agni. Ia tersenyum. “kau berteman dengan Mario bukan? Dia pasti akan memberikan kemudahan bagimu. Tenang saja,” ucapnya kembali.

Sang anak didik berdiri dan mulai berjalan kesana-kemari, bolak-balik, dengan tangan yang terus bergerak juga. “baiklah, anggap saja Mario mendukungku, tapi bagaimana dengan Raynald? Dia tidak akan memberikan sedikitpun kemudahan bagiku! Dan yang dimintanya sangat impossible untuk diluluskan! Dia minta teman?! Hei! Bahkan tak ada satupun yang berminat dekat dengannya! Bagaimana bisa?!” dumelnya kesal.

“Justru di situlah kau diuji. Mau tak mau kau harus coba mendekati Xaverius, dia memang memberikan hal tersulit, hanya agar kakak perempuan semata wayangnya itu tidak jatuh pada tangan laki-laki yang mudah putus asa. Biarpun hubungan mereka tidak cukup baik, Xaverius tetap memegang janji keluarganya untuk menjaga Theresia,” jelas sang lelaki.

Si anak didik berhenti, menatap gurunya, yang biasa dipanggil olehnya dan teman-temannya ‘kakak’, mengharap orang ini mengerti maksudnya. Ia meminta bantuan, setidaknya untuk mencairkan Raynald, agar jalannya untuk mendapatkan Agni lebih mulus.

Seakan mengerti maksud dari tatapan anak didiknya, lelaki oriental itu menggeleng. “Fransiskus Cakka! sudah kubilang berapa kali, jangan memintaku untuk membantumu dalam hal ini! kau harus selesaikannya sendiri. bukankah kau sangat menyayangi Theresia? Atau kau hanya ingin main-main saja dengannya?” tegasnya.

Cakka menghela napas panjang. “baiklah. Kau memang sangat tidak pengertian pada hal ini kak. aku permisi dulu, sebentar lagi kelasku akan mulai,” pamitnya, berjalan ke arah pintu.

Lelaki itu mengangguk, menunggu hingga langkah Cakka tak terdengar lagi, kemudian menggumam, “kau tidak sadar, sebenarnya mereka bertiga sudah memercayakan saudaranya padamu, bahkan sejak melihatmu dekat dengan saudara mereka itu. kau tinggal menjalaninya, mereka sudah memuluskan jalanmu.”
***
Cakka kurang semangat dalam menjalani kelas-kelasnya pada hari ini. pikirannya dipenuhi oleh challenges yang diberikan oleh Dominique Brothers. Padahal tadi pagi ia sudah sangat bersemangat mendengar challenges itu, dengan impian segera mendapatkan Agni, yang sudah sejak lama ia sukai itu.

Tapi semangatnya langsung hilang begitu menemui Mario, yang pertama dicarinya, dengan dugaan challenge kali ini beda dari yang sebelumnya. tapi nyatanya, sama! Ia masih ingat kata-kata temannya itu, “kalau kau sudah siap, datang padaku. Kita akan bertanding, satu pukulanmu saja bisa masuk, aku akan meluluskanmu. Tapi kalau sampai satu jam tidak ada satupun dari pukulanmu yang masuk, jangan pernah berharap mendapatkannya.”

Satu pukulan masuk? Terhadap seorang Mario? Jangan harap! Selama ini belum ada anak laki-laki seumuran mereka yang bisa memukul Mario! Apalagi Mario salah satu kebanggaan sekolah, dengan prestasinya yang selalu menjuarai lomba-lomba beladiri, bahkan sampai tingkat nasional! Ah! Temannya itu tega sekali padanya. Padahal sebelumnya bilang tidak akan menyulitkannya, bagaimana sih?!

Belum lagi sewaktu ia menemui Raynald, anak itu dengan dinginnya berkata, “dalam sebulan, kalau kau bisa memberikan seorang teman untukku, aku akan membiarkanmu bersama dia. tapi kalau kau tak berhasil, berarti kau memang tak pantas untuknya.”

Cakka mencibir kesal setelah si Raynald itu pergi. Ia tak habis pikir, bagaimana anak itu dengan tidak sopannya tidak memanggil dia ‘kak’, belum lagi gaya bicaranya sok dewasa seperti itu. anak itu benar-benar meremehkannya!

Tapi satu yang kemudian terlintas di pikiran Cakka. Impossible! Tak mungkin ada yang mau berteman dengan si aneh Raynald! Kalau begini, bagaimana ia bisa lulus?

Terakhir, ia menemui Gabriel, yang untungnya belum meninggalkan asramanya. Bukannya mendapat challenge seperti Mario dan Raynald, Gabriel malah berkata dengan angkuhnya, “selesaikan dulu permintaan kedua anak itu. baru temui aku. Menuntaskan permintaan mereka saja tidak ada yang berhasil. Ah ya, sedikit saran dariku, sebaiknya selesaikan dahulu permintaan adik kecilku itu, karna sepertinya akan sia-sia saja kau babak belur bila tak lulus olehnya.”

Cakka melemparkan bola basketnya sekuat tenaga, gondok dengan ucapan ketiga Dominique Brothers yang super super menyebalkan dan meremehkannya!

“Kka,” panggil seseorang dari arah belakang.

Cakka langsung berbalik, tahu jelas siapa pemilik suara itu, yang selama ini diam-diam sudah terekam jelas di pikirannya. Ia tersenyum manis dan menghampiri gadis itu, “ya Ag?”

“gimana?” tanya Agni ingin tahu. sudah banyak laki-laki yang langsung menyerah begitu mendengar permintaan ketiga saudaranya itu, dan ia ingin tahu apa Cakka akan ikut mundur bersama mereka.

Cakka mengangkat bahu, “ya gitu deh. bakal jadi perjuangan berat banget nih buat dapetin kamu. Susah juga ya kalo mau dapetin putri Dominique,” ucap Cakka lalu mengacak rambut Agni.

Agni merapikan rambutnya kembali, dengan seulas senyum yang terukir di wajahnya. Entah apa yang dimiliki Cakka, hingga ia sendiri begitu menyukai kehadiran Cakka, demikian dengan perlakuan lembut laki-laki itu padanya.

“kamu gak akan nyerah kan Kka?” tanya Agni, harap-harap cemas.

Cakka menatap Agni, dan menarik kembali kedua ujung bibirnya. “tentu gak,” dan langsung membuat Agni menghela napas lega. Ia sudah khawatir kalau Cakka akan menyerah.

“tapi kamu beneran sayang sama aku kan Ag?” gantian Cakka yang menunggu jawaban Agni dengan cemas.

Agni menjawabnya dengan anggukan dan seulas senyum. “kalo gitu aku akan secepatnya nyari cara buat menuntaskan challenge mereka!” ucap cakka penuh semangat. Agni kembali tersenyum melihat Cakka yang sudah kembali bersemangat. Baguslah.
***
IFY’S POV

Haihai! Kembali denganku, Ify! sekarang aku sedang berada di ruangan kak Alvin, mumpung dia sedang tidak ada pasien, eh, maksudku anak-anak yang sering curhat padanya. Aku lebih suka menyebut mereka pasien kak Alvin. Biar gampang gitu lah nyebutnya.

Kalian lihat apa yang sedang kulakukan? yap! Aku sedang mengelap panah-panahku ini agar mengilap. Apa? Aku belum bilang? Aduh! Aku lupa! Ingatanku memang agak payah. Maklumi saja ya? hehe..

Aku ini atlet memanah. Mengikuti jejak mamaku yang juga atlet memanah. Hebat kan? pasti dong! Haha.. kak Via juga atlet, tapi atlet berkuda. Kalo kak Alvin.. jangan ditanya deh. Dia sama kayak papa, bukan atlet, dan sama sekali gak tertarik pada dunia itu. Payah!

1, 2, 3, ...10! ada sepuluh panahku, mengilap bukan setelah dilap? Aku juga sering mengasahnya agar tajam dan runcing. Rajin ya? hehe.. sebenarnya aku selalu membawa 15 panah untuk jaga-jaga. Lima yang lainnya hanya panah yang ujungnya karet, untuk mainan, jadi tidak bahaya untuk kugunakan~

Entah sudah berapa kali aku mendengar decak kesal kak Alvin dan bunyi-bunyian menganggu. Tentu aku hafal dengan situasi ini. “kenapa lagi sih kak? berisik banget deh,” tanyaku, pura-pura tidak tahu.

Kak Alvin mengabaikan pertanyaanku, masih menekan-nekan tuts hapenya, dan menempelkan di telinga, kemudian melepasnya, dan mengulangnya kembali, dengan tangan yang lainnya mengetuk-ngetuk meja.

“ah! Acha lagi ngapain sih?!” serunya kesal, seraya meletakkan hapenya dengan kasar.

Aku memandang kak Alvin, yang selalu mengomel tidak jelas seperti ini kalau kak Acha tidak dapat dihubungi. “lagi sibuk kali kak. kan tempat kerjanya buka cabang baru, kak Acha jadi chef utamanya lagi. sabar aja kali kak, nanti malem coba hubungin lagi,” saranku.

Kak Alvin beranjak dari tempat duduknya, berdiri di depan jendelanya, menatap ke luar dengan kedua tangan terlipat di dada. “kamu gak ngerasain long distance sih, kamu gak bisa ngerasain khawatirnya kakak sama kak Acha. Dia sama sekali gak bisa dihubungin sebulan ini. gak bales email atau sms, gak ngangkat telpon kakak juga. kakak Cuma khawatir terjadi sesuatu sama dia,” ucap kak Alvin, terdengar sekali nada kekhawatirannya.

Ahh, aku jadi kasihan dengan kak Alvin, pasti dia rindu sekali dengan kak Acha. Tapi, tumben sekali kak Acha tidak bisa dihubungi selama sebulan? Padahal paling lama ia tidak bisa dihubungi Cuma 2 minggu. Tapi ini sampai sebulan? Ada apa ya? apa mereka ada masalah?

“kak, kakak ada masalah sama kak Acha?”

Kak Alvin menggeleng. Aku terdiam, tak tahu harus bicara apa. Kalau kak Alvin sudah kusut seperti itu wajahnya, aku tidak bisa membantu, ia tak akan mendengarkannya.

Kak Alvin kemudian menghela napas panjang, “sudahlah. Nanti kak Alvin coba hubungi lagi. kembalilah ke asramamu. Kau sudah tidak ada kelas kan?”

Aku mengangguk, segera membereskan panah-panahku beserta peralatan lainnya. Aku paham maksud kak Alvin, dia sedang ingin sendiri.

Baru aku membuka pintu, kak Alvin sudah menahanku. “kalau kak Acha menghubungimu, beritahu kakak ya, hati-hati,” pesannya. Aku mengangguk kembali dan segera beranjak pergi.
***
Uhh.. aku tak tega melihat kak Alvin! Aku kira hubungannya dengan kak Acha baik-baik saja seperti biasanya. Habisan kak Alvin tidak berubah seperti biasanya sih kalau lose contact dengan kak Acha.

Biasanya ia akan jadi tidak konsen dalam mengerjakan pekerjaannya, emosinya lebih gampang terlihat. Tapi ini lain. Ia masih tetap diam dan tenang. Apa karna ia mencoba lebih profesional ya dalam bekerja? Aku jadi bingung.

Ah aku pasti lupa bilang lagi. Sudah setahun kak Alvin dan kak acha benar-benar tak bertatap muka. Entah bagaimana bisa waktu membuat mereka tak bisa saling bertemu. Kak acha disibukkan dengan peresmian cabang baru restoran tempatnya bekerja, apalagi tadi sudah kubilang kan, dia menjadi chef utama di sana, kepala chef. Sementara kak Alvin harus mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang disiapkan sekolah untuknya.

Menyebalkan bukan? Aku saja sampai menggerutu seharian gara-gara hal itu. Biarpun aku sering iseng terhadap mereka, aku kan kangen juga dengan kak acha. Apalagi melihat mereka berduaan. Rasanya sudah seperti bertahun-tahun aku tidak melihatnya.

Alhasil, mereka lebih intens berkomunikasi. Kalian tahu apa yang pertama terlintas di benakku saat kak Alvin bilang kalau mereka lose contact sebulan ini? Aku takut kak acha memutuskan hubungannya dengan kak Alvin dan memilih laki-laki lain di luar sana.

Tapi melihat lamanya hubungan mereka ini aku ragu juga dengan pemikiran itu. tidak mungkin kan kak acha yang sangat baik, manis, dan perhatian itu begitu mudah berpindah hati?

Drrtt.. drrtt.. hapeku bergetar.

“kak acha?” gumamku pelan. Segera kuangkat telpon darinya.

“gimana kak Alvin? dia baik-baik aja kan?” tanyanya langsung tanpa berbasa-basi.

“err.. ya.. kak acha kenapa gak bisa dihubungin sebulan ini? kakak gak berminat mutusin kak Alvin kan?” tanyaku dengan bodohnya, tanpa memikirkan perasaan kak acha.

“ya gak akan lah. kamu tau sendiri gak lama lagi kami akan menikah. Bagaimana sih? ohya, jangan katakan apapun pada Alvin ya tentang percakapan ini ataupun tentang aku yang menghubungimu. Aku akan beritahu nanti. Sudah dulu ya, aku sedang sibuk. Nanti malam kuhubungi lagi,” katanya terburu-buru lalu segera menutup teleponnya.

Aneh, sepertinya ada yang disembunyikan kak Acha. Ah, kutunggu saja smsnya nanti malam. Aku jadi penasaran.
***
Author’s POV

Di tengah keramaian lantai dasar sekolah, seorang pemuda yang baru menginjak masa SMA jalan begitu saja, tak peduli dengan apa yang terjadi, akan terjadi, atau bahkan yang mungkin sudah terjadi di sekitarnya.

Pandangannya lurus ke depan, tak melirik kanan kiri sama sekali. Begitu tegas dan dingin. Seakan hanya dia seorang yang sedang ada di sini.

Dan sementara itu, dari arah sebaliknya, seorang gadis berjalan dengan seperti itu juga, tak menghiraukan pandangan tidak suka orang lain padanya. Pandang dingin dan angkuhnya menambah nilai keanggunan yang sudah nampak dari cara berjalannya.

Sang pemuda berhenti. Perhatiannya teralih pada gadis itu. Bibirnya bergerak sedikit, menggumam sesuatu.

Si gadis masih terus berjalan, bahkan saat jalannya akan berpapasan dengan pemuda itu ia masih tak mengalihkan tatap lurusnya.

“va,” pemuda itu menggumam dengan lirihnya, tepat saat gadis itu sejajar dengannya, meski pandangannya sekarang sudah kembali ke depan.

Gadis itu tak berhenti. Ia mengacuhkannya. Sedang berusaha mempertahankan keinginannya untuk kuat. Jangan sampai ia lengah seperti waktu itu lagi.

Pemuda itu menarik napas, kemudian melanjutkan jalannya kembali. Berharap ia bisa lebih sering bertemu gadis itu lagi.
***
Pemuda yang sama masih terus berjalan, hingga sampai ke kamar asramanya. Baru saja ia melepas vest hitamnya, sudah terdengar suara berisik dari luar.

“berhenti sok peduli padaku! aku bukan anak kecil! Jangan mengaturku!” seruan penuh amarah itu membahana di sepanjang koridor.

“Mario! Aku tidak mengaturmu! Aku hanya menuruti permintaan keluarga kita untuk menjagamu! Mereka menerima laporan kalau kau terancam tidak naik kelas lagi! jangan membuat nama baik keluarga kita hancur!” seru yang lainnya, tidak kalah emosi dengan yang tadi.

Pemuda yang mendengarkan semuanya dari dalam kamar mensyukuri satu hal dalam hatinya. Setidaknya baru dia saja yang kembali ke asrama, sehingga tak ada yang mendengar adu mulut sengit ini.

Ia memutar kunci kamarnya dan membuka pintu. Ia menatap dingin keduanya. Yang bernama Mario berdiri tepat di sebelah kanan kamarnya, sementara yang satunya berdiri di sebelah kiri kamarnya. Ia hanya diam, tidak berkata apapun.

Keduanya menyadari kehadiran orang ketiga, mereka mencoba kembali bersikap tenang dan dingin, menyembunyikan raut emosi mereka.

Si pemuda masih diam, meski matanya sedang memberi peringatan kepada keduanya. Mario segera mengeluarkan kunci dari sakunya, kemudian memutarnya ke dalam lubang kunci, dan masuk ke dalam kamar tempatnya adu mulut tadi.

“urus urusanmu sendiri. Aku tidak mau diganggu, begitupun dia. bukankah kau seharusnya lebih menjaga nama baikmu dari hal seperti ini, kakak tertuaku Gabriel?” ucap pemuda itu dengan penekanan pada tiga kata terakhir.

Gabriel melempar pandang mencela pada pemuda di  hadapannya ini. “bersikaplah sopan pada kakakmu, Raynald.” Ucap Gabriel, kemudian melangkah pergi dari asrama SMA itu.

Mata Raynald masih mengekor pada langkah kakaknya itu, dan setelah dipastikan sudah pergi, ia kembali ke dalam kamarnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang untuk tetap menjaga nama baik kedua kakaknya, termasuk nama keluarganya.
***
“kak Via!” panggil seorang gadis pada gadis yang lebih tua darinya yang sedang menaiki tangga.

Gadis yang lebih tua berbalik, “Shilla? Ada apa?” tanyanya sambil tersenyum.

Shilla menghampirinya. “mau ketemu kak Alvin ya kak?” tanyanya.

Sivia mengangguk. “ya. Kenapa?”

Shilla tersipu. “emm.. boleh minta tolong gak kak?

“apa?” Tanya Sivia penasaran.

Shilla menyodorkan sebuah kotak bekal. “tolong kasihin ke kak Alvin ya kak, abisan tadi aku gak liat kak Alvin sih pas makan siang. Nanti kak Alvin kelaperan, lagi,” katanya perhatian.

Sivia tersenyum dan mengambil kotak bekal itu. Dia baru ingat kalau Shilla menyukai Alvin. “oke deh. Makasih ya,” ucapnya.

Shilla mengangguk dan segera pergi. Sivia menggelengkan kepalanya kemudian mengetuk pintu ruangan Alvin.

“kak, nih dibawain makanan dari penggemarmu itu,” kata Sivia lalu meletakkan makanannya dia atas meja Alvin.

“gak laper. Buat kamu aja,” kata Alvin, yang sedang sibuk dengan hapenya, seperti kemarin.

Sivia mengangkat alis. Kalau sudah begini dia hafal jelas. Daripada kakaknya uring-uringan, lebih baik dia beritahu sajalah. “kemarin aku baru abis emailan sama kak Acha,” lapornya.

Pandangan Alvin langsung teralih padanya. “terus? Dia bilang kenapa gak bisa kakak hubungin? Dia baik-baik saja kan?” tanyanya tidak sabar.

Sivia mengangguk, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan kakaknya. “kak Acha baik-baik aja kok,” terdengar hembusan napas lega dari kakaknya itu. “minggu depan dia pulang. Tadiannya sih buat surprise. Tapi berhubung adikmu yang cantik nan manis ini gak tega ngeliat kakaknya khawatir, ya mendingan kubocorin aja deh.”

Alvin langsung tersenyum lebar, benar-benar senang dengan kabar yang diberitakan adiknya ini. “baguslah. kakak udah gak sabar ketemu kak acha,” katanya tanpa melepaskan senyumnya.

Sivia tersenyum kecil melihat kakaknya. “dimakan deh kak makanannya. Kasian Shilla udah repot-repot bawain kakak makanan,” suruh Sivia.

“ah, Brigida itu selalu saja perhatian sama kakak. Kakak jadi gak enak sama dia,” kata Alvin sungkan.

“dia kan suka sama kakak. Katanya sih sejak dia pertama ngeliat kakak. Ah, andaikan aja dia percaya kalau kakak udah punya tunangan, pasti dia akan langsung mundur,” kata Sivia menyayangkan.

Alvin menyuap makanan dari Shilla tadi. “tentu aja. Apalagi kalo dia tau tunangan kakak itu sangat cantik dan manis, kakak yakin dia gak akan berani mencoba menarik perhatian kakak lagi. tapi sayang saja, dia menganggap itu hanya berita bohong, supaya langkahnya berhenti. Benar-benar anak yang tak pantang menyerah.”

“kasihan juga dia kak, perasaannya gak mungkin dibales sama kakak. Atau mungkin kakak mau jadiin dia selingkuhan?” Tanya Sivia asal.

Alvin menghentikan makannya. “ya gak mungkinlah! Kakakmu ini setia dengan Acha! Kakak gak akan melirik gadis lain! Dia yang terbaik yang pernah kakak temui! Lagipula si Brigida itu sudah kakak beritahu berkali-kali, tapi dia tetap bersikukuh. Ya sudahlah, nanti juga dia akan tahu kalau itu fakta, bukan isu saja.”

“lalu menurut kakak dia cocok dengan siapa?”

Alvin mengangkat bahu. “entahlah. Kalian masih kecil, jangan pikirkan pacar-pacaran mulu,” jawabnya santai.

Sivia mencibir. “oh ya? Bukannya dulu kakak malah lebih kecil daripada kami, udah pacaran sama kak Acha? Enteng banget ngomong begitu. Sok tua!”

Alvin terkekeh, kemudian mengacak rambut adiknya ini. “kan Cuma bercanda. udahlah, ngapain sih ngomongin Brigida? Bagaimana denganmu sendiri? udah ada yang menarik perhatianmu belum?”

Sivia tersenyum malu-malu, berpindah ke sebelah Alvin, kemudian berbisik di telinga kakaknya itu. Alvin melotot. Apa dia tidak salah dengar?

“gak lucu! Kamu cuma bercanda bukan?” seru Alvin tidak percaya. Sivia menggeleng. Sebenarnya dia sudah tau reaksi kakaknya ini.

Alvin menatap Sivia lekat-lekat. “jadi kamu tertarik dengan si sulung Dominique itu?” tanyanya pelan, masih mencerna bisikan adiknya tadi.

Sivia tak dapat menyembunyikan kesenangannya membicarakan pemuda yang baru-baru ini menarik perhatiannya itu. Ia menggamit lengan kakaknya itu. Ia mengangguk. “ah, kakak gak tau sih, Gabriel tuh pinter, keren, tinggi, dewasa, cool lagi! gak kayak kakak, udah jelek, sok cool, angkuh lagi!”

Alvin memutar bola matanya. Menyebalkan juga adiknya ini. Gak salah nih, masa dia dibilang jelek, sok cool, sama angkuh sih? Jelas cakep keren begini!

“yayaya. Terserah kamu lah. Tapi apa kamu gak salah? Gabriel itu kan.. ah! pokoknya dia gak pantas sama kamu. Kenapa gak.. ah, ya sudahlah! Terserah kamu saja.”

Sivia tersenyum senang, kakaknya merestuinya. “makasih ya kak! Via sayang kakak!” ucapnya lalu mengecup pipi kakaknya itu dan melesat pergi.

Alvin menggelengkan kepalanya. Adiknya yang satu ini.. ckck.. sulit sekali untuk marah dan tegas, dia terlalu manis dan nampak polos.
***
setiap kumelihatmu, ku terasa di hati, kau punya segalanya, yang aku impikan..” Shilla, atau lengkapnya Brigida Shilla Shalomita, masih terus menyenandungkan lagu Antara Ada dan Tiada itu sampai ia berhenti di depan ruang makan sekolah. Tidak bisa dibilang kantin juga, karna makanan yang disajikan di sini sudah termasuk dalam bayaran sekolah mereka.

Shilla memilih duduk di meja hijau dengan 2 kursi yang berwarna senada di sudut ruangan. Menunggu kelasnya yang mulai 1,5 jam lagi, ia memilih untuk menunggu di sini saja.

Awalnya ia berniat untuk menemui kak Alvin, tapi setelah dipikir-pikir, ia tidak punya alasan yang tepat untuk itu. hufft.. sebaiknya sekarang dia ngapain ya?

Shilla mengedarkan pandangannya. Kali-kali saja ada pemandangan menarik. Hei, benar saja. pandangannya berhenti di meja berwarna merah gelap dengan 4 kursi senada. Mario Stefanus Dominique!

Bukannya ia ngefans atau apa pada Mario seperti gadis-gadis lain, yang menarik perhatiannya adalah si pendekar sekolah itu sedang sibuk mengerjakan tugas. Tampak Mario sangat konsentrasi mengerjakannya.

Waw! Baru kali ini ia melihatnya! Ternyata kakak kelasnya itu juga bisa belajar akademik ya? Kirain hanya bisa baku hantam saja.

Shilla menggelengkan kepalanya. benar-benar ajaib. Langka sekali ini. Padahal setahunya, dan seisi sekolahnya tahu, Mario naik kelas hanya karna prestasi non-akademiknya saja, sedangkan nilai-nilai akademiknya tidak memadai untuk naik kelas. Terlalu sering berantem mungkin membuat kepalanya sering terbentur dan jadi error.

Kalau diingat-ingat, selama dia bersekolah di sekolah ini, ia belum pernah melihat Mario belajar seperti teman-temannya. Yang dia lihat selalu wajah yang kadang biru-biru saja hasil berantem.

Sudahlah! Untuk apa sih memperhatikan kakak kelasnya yang satu itu? lebih baik ia meminta Oik, temannya, untuk menunggunya.

Eh, tapi tidak jadi deh. Oik itu kan salah satu fansnya Mario. Bisa–bisa si pemilik nama lengkap Eleonora Oik itu histeris melihat Mario belajar. Heran heran, bagaimana bisa gadis-gadis di sekolah ini menyukai pemuda yang hobi berantem seperti ini?

Jauh lebih baik juga kak Alvin! sudah tampan, keren, baik, pintar pula! Shilla jadi senyam-senyum sendiri membayangkan kak Alvin. sudah lama ia menaruh hati pada guru konselingnya yang satu ini.

Biarpun usia mereka terpaut cukup jauh, Shilla tidak peduli. Toh kak Alvin masih kelihatan sangat muda dan seperti anak SMA begitu kok! mau kak Alvin bilang sudah punya tunangan pun ia tidak akan percaya sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri. Buktinya, kak Alvin tak pernah menunjukkan gadis yang beruntung itu kok! berarti kesempatan untuknya masih terbuka lebar bukan? hehe..

I Love You Full lah kak Alvin! batin Shilla sambil tersenyum. Love you forever!
***