Monday 29 July 2013 | By: Vina Arisandra

Unpredictable Love Part 10

Iya iya gua tau ini lama banget ngepostnya. Tapi kan seenggaknya gak nyampe setaon :D #pembelaan, hohoho :D

Attention: Ini cuma sepuluh lembar, setengah dari yang biasanya, seperti yang gue bilang di part 9, hehehe.. *kabur*


Selamat membaca :D



PART X

#
“Alvin, nanti kalo udah besar mau jadi apa?” tanya Excel pada anak yang hampir tertidur di pelukannya.

Anak itu—yang dipanggil Alvin—, menggeliat pelan lalu menjawab, “Jadi anak kesayangan papa.” Ia menguap dan menggeliat sekali lagi, menyamankan posisinya, kemudian memejamkan mata.

Excel tertawa kecil mendengarnya. Tangannya mengusap pelan rambut Alvin, sengaja mengusik tidur putra kecilnya itu. “Gak mau jadi artis?”

“Mau,” Jawab Alvin setengah sadar. Ia sangat mengantuk, mau tidur. Tapi kenapa papa memintanya terus bangun?

“Yang?”

“Terkenal.”

“Supaya?”

“Disayang semuanya,” jawab Alvin lagi. Kini matanya sudah terpejam, dan karena sang papa tidak bertanya lagi, ia membiarkan dirinya terlelap, jatuh ke alam bawah sadarnya.

“Bagus,” puji Excel dalam tidur anaknya. Ia menepuk-nepuk pelan kepala Alvin, memaklumi dengkuran halus yang terdengar olehnya. Alvin—yang berumur tiga tahun—baru saja menuntaskan pelajaran bahasa Jermannya, dan Excel yakin anak ini butuh istirahat yang cukup.

“Kamu akan sangat dicintai. Percayalah.”
#
***
Gabriel mengacak-acak rambutnya. Invalid. Invalid. Invalid. Ia menggeram kesal. “Lo kenapa sih, Yel?” tanya Olivia, membawa setoples snack untuk mereka berdua.

“Ini!” Gabriel menunjuk layar laptopnya. “Dari tadi gue nyari nama Nathan tapi gak ketemu! Padahal gue mau ngasih bukti kuat kalo dia beneran Alvin Jonathan!” serunya frustasi.

“Wah, lo ngecrack sistem sekolah ya?” kata Oliv, melihat daftar nama satu angkatan Gabriel terpampang di sana.

Gabriel mengangguk. “Gue bingung. Yang tersisa cuma nama Alexander Marvin. Itu pun gak ada tanggal kapan terdaftarnya,” ia melihat empat lembar kertas di tangannya. Ashilla Zahrantiara, Sivia Azizah, Cakka Nuraga, Nathan. Hanya nama terakhir yang tidak ia temukan.

“Gue udah nanya seluruh kelas. Gak ada yang namanya Alexander Marvin. Dan anehnya, nama Nathan ada di absensi kelas, tapi gak ada di arsip sekolah. Gak frustasi cuman gue!”

Oliv mendengarkan dengan seksama. Alexander Marvin. Alexander. Marvin. Al. Vin. Alvin?! “Yel, kayaknya Alexander Marvin itu Nathan deh. Dengan asumsi Al dari Alexander, dan Vin dari Marvin. Mungkin banget kan?”

Pikiran Gabriel menjadi terbuka. “Tapi aneh. Dulu gue pernah nyari di sekolah lamanya. Namanya tetep Alvin Jonathan kok, gak ada nama lain.”

“Iya sih. Dulu waktu student exchange di Singapur, gue sering ngabsenin murid, dan namanya tetep Alvin Jonathan. Terus menurut lo sekolah kita nyembunyiin identitasnya?”

Gabriel mengangguk, menatap Oliv. “Kayaknya gue harus ngecrack data MPM. Gue butuh bantuan lo.”

“Lo kenapa penasaran banget sih sama Alvin?” tanya Oliv heran.

Gabriel menghela napas. Menguak rahasia yang disembunyikannya. “Dulu gue fans berat Alvin. Dia motivasi gue bisa kayak sekarang ini. Gue gak percaya sama berita kematian dia dulu. Gue sampe nyari-nyari informasi tapi semua situs tentang dia udah ditutup. Gak rela aja liat idola gue harus nutupin keberadaannya.”

“Terus lo pikir dengan nguak identitasnya dia bakal bahagia?”

Gabriel mengangkat bahu. “Gue cuma mau dia ngaku kalo dia itu Alvin, Liv.”
***
Alvin menyapukan jemarinya pada gitar dengan asal. Pandangannya kosong, menerawang ke depan. Zevana menghubunginya semalam, menangis terisak, menyalahkannya yang kurang cepat mendapatkan Agni. Sekarang gadis itu sudah menjadi milik Cakka.

Rasanya ia ingin muntah. Sejak mendengar berita itu ia selalu mual. Pusing. Kepala dan hatinya sakit. Ia benar-benar tidak percaya. Secepat inikah kebahagiaannya direnggut kembali? Tangan Alvin bergerak ke sampingnya, mengambil sebuah kaplet dan botol minum di sisi satunya.

“Ini udah yang kesepuluh dalam dua jam ini. minum satu lagi dan gue bakal telpon ambulans,” gerutu seseorang kesal. Ia memang tidak tahu dan bahkan tidak mau tahu masalah Alvin, tapi sebagai seorang partner kerja, ia tidak bisa membiarkan Alvin mati begitu saja.

Alvin menoleh sebentar, kemudian kembali lagi dalam lamunannya. “Udahlah Pris, mending gue mati aja sekalian,” ucapnya putus asa.

Prissy meletakkan kedua tangannya di pundak Alvin, memaksa Alvin menatapnya. “Matinya dipending dulu yah, sampe project kita sukses. Ayolah,” mohon Prissy, mengatupkan kedua tangannya di dada.

Alvin menatap Prissy tidak percaya. Ia kira gadis ini akan mendukungnya untuk hidup, seperti yang dilakukan Shilla dan Sivia. Tapi ternyata bukan. Menyebalkan juga. Alvin melengos. “Katanya jenius, ngeliat partnernya depresi malah mikirin kerjaan. Great banget yah,” sindirnya.

 Prissy memajukan bibirnya kesal. “Justru karna gue jenius, makanya gue minta daripada lo stress ngadepin masalah lo yang entah apa gue juga gak peduli, mendingan lo fokus ama kerjaan kita. Kan pasti lupa lama-lama. Hebat kan gue?” cengirnya.

Alvin mengacak-acak rambut Prissy. “Dasar,” ucapnya sambil tersenyum.
***
“Love me, love me, say that you love me~”

“Fool me, fool me, go on and fool me~”

“Love me, love me, pretend that you love me~”

“Leave me, leave me, just say that you need me~”

Agni mengernyitkan keningnya. Dari sekolah sampe lokasi syuting Cakka, semua menyenandungkan lagu yang sama. Ada apa sih? kayaknya dia ketinggalan berita deh.

“Eh, maaf Mas mau nanya. Itu lagu ngehits lagi ya? Kok semuanya pada nyanyiin sih?” tanya Agni pada seorang kru yang lewat.

“Yah Mbak gimana sih. Booming banget tau. Coba deh cek youtube.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Agni segera mengambil laptop Cakka—selalu dibawa pemuda itu setiap hari—, mengecek situs yang sepertinya sedang ramai hari ini. Ah! Di bagian Recommended, Youtube Trends, dan Most Popular, berjejer video yang sama:

Lovefool – The Cardigans (Alvin & Prissy cover)
876,395 likes, 134 dislikes
By XEntertainmentOfficial
1,063,725 views
Uploaded 15 hours ago

Agni memicingkan matanya. Itu Alvin?! Alvin yang beberapa hari lalu datang ke rumahnya?! Ternyata dia benar-benar Alvin Jonathan?! Wah! Keren! Agni menurunkan pandangannya, shock dengan jumlah likers dan viewersnya. Diupload tepat tengah malam dan sudah sebanyak ini?! Agni berdecak kagum. Jadi penasaran.

Cakka yang baru selesai take beberapa adegan jadi buyar konsentrasinya melihat Agni menganga memandangi layar laptopnya. Liat apaan sih? seingatnya dia gak pernah nyimpen yang macem-macem di laptop.

Cakka menghampiri Agni yang mulai mengetikkan sesuatu dengan senyum lebar. Ia menatap layar laptopnya. Seketika langsung pucat melihat nama–mantan–sepupunya. Cakka segera mematikannya.

“Apaan sih Cak?!” protes Agni kesal. Ia sedang mengetikkan komentar heboh tapi laptop langsung dimatikan Cakka. Mengganggu!

Cakka menatapnya dingin. “Lo boleh deket sama cowok mana aja, bahkan mantan-mantan lo sekalipun, asal jangan dia. Gue gak suka,” ucap Cakka.

Agni menelan ludah. Cakka marah. Ia tahu itu, ekspresi ini sering dilihatnya di sinetron Cakka. “Maksud lo Alvin?” tanyanya pelan, sangat pelan malah.

“Jangan sebut namanya!” bentak Cakka gusar. Lumayan kencang hingga menarik perhatian beberapa kru.

Agni tersentak. Ini pertama kalinya ia dibentak oleh cowok. Bahkan Rio pun tidak berani melakukannya. Cakka jahat, pikirnya sedih. “Gue pulang,” ucap Agni kecewa.

“Zy, anter Agni pulang,” suruhnya datar. Dia masih kesal. Bahkan setelah Agni resmi dipacarinya, gadis itu masih tertarik pada Alvin. Tak punya tempatkah ia di hati Agni?
***
“Yang sabar aja deh Ag. Cakka emang gitu. Dia sensitif banget sama Alvin. Hubungan mereka dari dulu gak pernah baik,” terang Ozy.

Agni masih setia menatap ke luar jendela. “Gue gak suka cara dia. Kenapa harus ngebentak? Emang gak bisa baik-baik apa?”

Ozy menatap Agni. Gadis ini tidak boleh mengecewakan Cakka. Artisnya itu bisa drop kalau Agni menaruh perhatian lebih pada Alvin. “Ag,” panggilnya. Agni menoleh, melempar pandang bertanya.

“Lo jangan ngecewain Cakka ya. Dia udah terlalu banyak dikecewain, bahkan dari keluarganya sendiri. Perhatian mereka makin berkurang, seiring kesuksesan Cakka. Mereka pikir, Cakka udah dewasa, udah mandiri. Apalagi setelah Cakka mampu beli apartemen sendiri, mereka jadi makin cuek sama Cakka, makin sulit dihubungi,” Agni menunduk, tidak tega mendengar keadaan kekasihnya. Ia tidak menyangka Cakka yang seatraktif dan sehebat itu ternyata menyimpan kisah sedih juga. Lain kali ia harus lebih pengertian, tekad Agni dalam hati.

Ozy tersenyum tipis, kemudian berubah tidak suka. “Beda sama Alvin. dari lahir dia udah jadi pusat perhatian. Sampai umur segini pun, perhatian buat dia melimpah ruah. Mentang-mentang dia lahir tanpa ibu—”

“Lo gak boleh ngomong gitu!” potong Agni tersinggung. Nada benci yang dilontarkan Ozy membuat hatinya bergemuruh dan—entah kenapa—sakit. Kenapa harus menggunakan hal sesensitif itu sebagai alasan?! Siapapun tidak ingin lahir tanpa ibu, apalagi Alvin! Jangan menyudutkan Alvin seperti itu lagi! benar-benar pemikiran rendahan!

Ozy berdecak. “Tuh kan, bahkan lo aja marah,” remeh Ozy.

Agni menatap Ozy tajam. “Gue yakin Cakka gak berpikiran seperti lo! Cakka gak akan ngegunain alasan Alvin-lahir-tanpa-ibu atas semua perhatian yang melimpah ke Alvin! Biarpun gue baru deket sama Cakka, gue tau dia gak punya pemikiran setega dan sepicik itu!”

Ozy terdiam. Ya, itu memang bukan pandangan Cakka, tapi pandangan dirinya semenjak resmi menjadi manajer Cakka. Tapi, ahh.. sudahlah! Ia selalu terbawa emosi kalau membicarakan Alvin.
***
“Yel, kayaknya lo gak perlu lagi ngungkap identitas Alvin deh, dia udah muncul sendiri,” ujar Oliv, menyalakan TVnya. Sore ini, semua berita dan infotainment menyiarkan hal yang sama: video Alvin dan Prissy.

Gabriel menganggukkan kepalanya. “Gue gak nyangka dia bakal muncul dengan cara gini. Bener-bener kejutan.”

Oliv mengambil duduk di sebelah Gabriel. “Coverannya top banget. Jadi mewah gitu lagunya. Dan yang keren, mereka cuma duduk, gitaran, dan nyanyi. Sederhana, tapi semua yang ngeliat juga bakal iri. Suara mereka jernih banget. Suara Alvin mendadak seksi gitu terus Prissynya whisper. Udah deh, kombinasi klop banget,” kagumnya.

“Sayang aja gue gak bisa nyanyi. Kalo bisa, Alvin doang mah lewat,” canda Gabriel.

Oliv menoyor kepala Gabriel. “Cih! Napas aja fals, gegayaan pake nyanyi segala!”

Gabriel mengerucutkan bibirnya tidak terima. “Kan kita bisa cover lagu berdua juga gitu,” gumamnya pelan.

“Halah udah fokus aja ama kegiatan lo. Trus sekarang lo bakal ngapain? Toh Nathan udah ngakuin ke dunia kalo dia Alvin?”

Gabriel mengangkat bahu. “Kembali ngepoin hubungan Ray-Ify mungkin?”

Ray? Ify? “Emang mereka ada hubungan apa?” tanya Oliv penasaran.

“Ada deh, kepo lo mau tau aja,” ledek Gabriel. Sepertinya Oliv menyukai Ray. Ahh, kenapa hatinya jadi panas begini?
***
“Hmm..”

Alvin meremas jemarinya tidak sabar. Gugup, cemas, dan penasaran campur jadi satu. Ia dan Prissy sedang menunggu respon papanya terhadap video yang diunggah kemarin malam. Semua pemberitaan memang memberikan respon positif, tapi entahlah dengan papanya.

“Siapa yang buat aransemennya?” tanya Excel.

“Alvin!” jawab Alvin cepat, tidak sabar. Prissy mengangkat alis, partnernya ini tegang sekali? Padahal yang akan berkomentar papanya sendiri. aneh.

Excel melepaskan headsetnya. “Lumayan. Kalian sudah bisa mengerjakan project selanjutnya. Pricilla, lagu apa?” komentarnya tanpa menatap Alvin. Alvin menghembuskan napas lega. Biarpun dikomentari lumayan, itu jauh lebih baik daripada dibilang buruk.

“Just Give Me A Reason. Berarti udah boleh pake stand mic kan?” jawab Prissy senang. Excel mengangguk. Prissy tersenyum lebar. Projectnya memang top! Dari coveran sederhana, stand mic, proses editing, sampai pembuatan music video! Ini semua hanya demi promo single mereka. Damnly good!
***
Alvin menyalakan alarm mobilnya, kemudian menatap lapangan voli. Ramai. Baguslah ia tidak terlambat. Hari ini ia sengaja menyempatkan waktunya demi menonton permainan Agni. Sekolah mereka sedang melakukan babak penyisihan untuk kejuaraan voli seprovinsi. Dan pertandingan yang bisa disaksikan semua orang ini menguntungkannya, ia tidak perlu menyamar, karna tidak akan ada yang peduli. Semua sibuk menonton. Hehe, baguslah.

Agni mencuri pandang ke sekitarnya. Penuh, semua menyemangati tim mereka, tapi mana Cakka? Kemarin bilang mau dateng, tapi apa? Sampai sekarang belum kelihatan batang hidungnya. Beneran sayang gak sih sama dia?

“Agni!” seru salah satu teman setimnya, mengoper bola ke arah Agni.

Refleks, Agni langsung meloncat, melakukan smash yang lagi-lagi mencetak poin. “Aww,” ringis Agni. Tumitnya terkilir. Sebagian sisi kakinya juga lecet. Sakit sekali. Gara-gara absennya Cakka, ia jadi tidak fokus, dan melompat tanpa persiapan. Akhirnya malah jatuh begini. Sial banget.

Alvin yang tadi melihat ketidaksiapan Agni dalam melompat, langsung menyeruak ke barisan paling depan. Dan benar saja, gadis yang dicintainya itu jatuh. Alvin segera berjongkok di sebelah Agni, membubarkan niat para penolong yang semuanya perempuan. “Ag, lo masih bisa jalan?” tanyanya pelan, namun penuh kekhawatiran.

Agni menggeleng. Masih sibuk membersihkan tangannya yang kotor, belum menyadari kehadiran Alvin. “Gue gendong ya?” tawar Alvin, mengusap puncak kepala Agni, memaksa Agni melihatnya.

“Eh?”

“Naik ya,” ucapan lembut Alvin seakan memerintah anggota tubuh Agni. Buktinya sekarang ia sudah berada di atas punggung yang ditawarkan Alvin, tanpa pertanyaan, tanpa protes. Ia masih terkejut dengan kehadiran Alvin yang tiba-tiba.

Alvin tersenyum, beranjak dengan hati yang berbunga-bunga. Tidak peduli dengan komentar dan bisikan negatif di sekitarnya. Tidak peduli dengan status Agni yang merupakan pacar sepupunya. Ia tidak peduli, sungguh.

“Ag, meski gak ada lo, tim kita pasti bisa menang kok. Jangan khawatir ya,” ucap teman setim Agni, melihat raut bingung Agni.

“Eh, iya,” ucap Agni linglung. Kenapa ia mau-mau saja digendong pemuda yang belum lama dikenalnya ini? dan kenapa ia merasa.. nyaman?
***
“Agni,” panggil Alvin, memecah keheningan di koridor sekolah. Semua murid tumpah ruah di lapangan, tidak ada seorang pun kecuali mereka berdua di sini.

“Agni,” panggil Alvin sekali lagi.

‘Agni.’ Agni terpaku, menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan dengan cepat. Ia mendengar suara anak kecil memanggilnya. Tapi dimana?

“Ag, gue gak bisa napas,” kata Alvin tercekat. Tiba-tiba saja Agni mengeratkan pelukan di lehernya.

“Sori,” Agni segera melonggarkan pelukannya. Ia memegang kepalanya. Sakit.

 “Gak papa. Masih sakit?” tanya Alvin.

‘Masih sakit?’ Agni menggelengkan kepalanya. Suara anak kecil itu lagi. Suara siapa itu? Napas Agni terengah. Sepertinya ingatan pentingnya akan kembali.

Alvin yang menyadari keanehan Agni langsung berhenti dan menurunkannya. Badan Agni lemas. Ia mengerang, memegangi kepalanya. “Agni! Lo kenapa?!” tanya Alvin panik. Apa yang harus ia lakukan?

“Agni!!” teriaknya. Gadis itu pingsan.

#
“Agni,” panggil Alvin pelan.

“Iya,” sahut gadis kecil yang digendongnya.

“Masih sakit?”

Agni mengangguk kecil, menahan ringisannya.

“Makanya jangan sepedaan malem-malem. Kan jalanan gak keliatan. Jatoh kan,” nasehat Alvin.

Agni mengangguk pelan. “Iya. Agni gak akan sepedaan malem-malem lagi. Gelap. Takut,” ia mengeratkan pelukannya di leher Alvin.

“Terus sepedanya gimana?” tanya gadis kecil berusia 7 tahun itu.

“Udah Alvin sembunyiin. Gak akan ada yang ambil.”

Agni tersenyum. Anak laki-laki ini sangat pintar. Tahu saja dia kabur ke taman. Kalau tidak ditemukan oleh Alvin, pasti ia tidak bisa pulang. Lututnya kan terluka.

“Agni,” panggil Alvin lagi.

“Apa?” Alvin menggeleng.

“Agni.”

“Apa?”

“Agni. Agni. Agni. Agni. Agni. Alvin suka aja manggil nama Agni. Rasanya enak. Indah. Agni. Agni. Agni,” Alvin menyenandungkan nama Agni.

Agni tersipu, menundukkan kepalanya dalam. Belum pernah ada yang memuji namanya seperti ini, bahkan Cakka sekalipun. Alvin tersenyum. Ia mengangkat Agni yang mulai merosot.

Dukk!

Aduh, kepalanya berbenturan dengan Agni. Ia segera mengangkat satu tangannya, mengusap kepala Agni lembut. “Gak sengaja,” ucapnya pelan. Dirasakannya Agni mengangguk pelan.

“Alvin sayang Agni,” aku Alvin lugas, tanpa keraguan sedikitpun. Hatinya yang memilih Agni. Kepolosan dan kelembutan gadis inilah yang menyentuhnya, menyentuh titik terdalam di hatinya. Hanya bersama Agni rasa kesepian itu hilang.

“Agni juga sayang Alvin,” balas Agni tak kalah pelan. Ia sudah jatuh hati dari pertama kali melihat Alvin. pemuda ini sudah memikat hatinya dengan segala sikapnya yang tidak terduga. Kadang dingin, kadang lembut, tapi kadang biasa saja. Aneh, tapi menarik.

“Kalo gitu Agni mau jadi pacar Alvin?”

Agni mengernyitkan keningnya. “Pacar itu apa?”

“Dua orang yang saling sayang. Kalo kita pacaran, kita bisa bareng-bareng terus. Kita bisa saling ngejagain. Tapi Agni gak boleh deket-deket cowok lain, Alvin juga gak boleh deket-deket cewek lain,” jelas Alvin.

Agni mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. “Ooh. Hoammh,” nguapnya. Ia selalu begini setiap Alvin menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar. Suara Alvin seperti pengantar tidur untuknya. Damai sekali.

“Agni ngantuk,” mencari posisi ternyamannya untuk membaringkan kepala.

Alvin menolehkan kepalanya, memandang Agni yang hampir memejamkan matanya. “Agni belum jawab pertanyaan Alvin. Agni mau gak jadi pacar Alvin?”

“Mau. Yang penting bisa sama Alvin,” jawab Agni setengah sadar.

“Beneran?”

“Iya Alviinnn. Kok kita gak sampe-sampe sih?”

“Ini udah sampe. Makanya Agni buka matanya dong.”
#
***
Cakka merutuki dirinya kesal. Karna kesiangan, ia jadi ketinggalan pertandingan Agni. Padahal ia sudah berjanji akan menontonnya. Cakka berlari di sela keramaian, mencari kekasihnya. “Agni mana?”

“Di UKS. Jatoh tadi.”

Cakka semakin memaki dirinya. Ini semua salahnya! Habislah ia! Bagaimana kalau Agni minta putus? Baru juga kemarin berbaikan. Ia melangkah cepat ke ruang UKS, mengabaikan dering ponselnya yang terus berbunyi. Pasti dari Ozy. Cakka melirik jam tangannya. Sejam lagi syutingnya dimulai. Ia harus segera menemui Agni.

“Vana, Agni gimana?” tanyanya begitu melihat Agni terbaring lemah dengan kaki yang dibalut perban. Zevana menggeleng, menandakan tidak apa-apa. Cakka menghela napas lega.

Ia menggenggam tangan Agni, memberi sedikit kehangatan, sekaligus menyampaikan ketenangan, bahwa ia sudah datang. “Alvin,” panggil Agni tidak sadar. Cakka dan Zevana bertatapan.

“Agni!” Cakka mengguncang pelan tubuh Agni. Tidak terima dengan apa yang barusan didengarnya. Ia pasti salah dengar. Yang barusan haruslah namanya. Tidak boleh yang lain.

Agni mengerjapkan matanya pelan. “Cakka?” Tatapan kaget Agni berubah sayu. “Kenapa baru dateng sekarang?” Nada kecewa yang dilontarkan Agni mengingatkan Cakka akan kecerobohannya. Lagipula Agni yang memanggil Alvin tadi pasti salah dengar.

“Maaf. Semalem syutingnya sampe jam 3 pagi. Jadi—”

Agni mengangguk pelan. Entah mengerti atau kecewa. Cakka menyesal. Ini peringatan pertama untuknya. Ia harus mengutamakan Agni lain kali. Harus. Ia tidak ingin melihat raut kecewa lagi dari Agni.

Dering ponsel Cakka memecah suasana. Cakka mengabaikannya lagi. ia ingin bersama Agni, menebus ingkar janjinya tadi pagi. Tidak peduli harus dimarahi sutradara dan para kru.

Tangan Cakka terulur mengelus kepala Agni. “Agni,” Agni menoleh kepadanya. “Jangan tinggalin gue ya. Jangan pernah. Jangan liat siapapun, cukup gue. Bisa kan Ag?”

Zevana membuang mukanya. Perih melihat mereka berduaan, apalagi dengan status yang mereka sandang. Ia baru akan pergi, namun Cakka mengucapkan kata-kata yang membuatnya semakin sedih. Ia tidak bisa melihat Cakka rapuh seperti ini. Tidak bisa.

Cakka, kalau Agni hanya bisa melihat Alvin, di sini selalu ada Vana, yang akan melihatmu. Hanya kamu. Tidakkah kau lihat dia juga?
***
“Eh, cowok pirang yang kemarin bawa Agni ke UKS gosipnya pacarnya Agni loh.”

“Bukannya Cakka cowoknya Agni?”

“Kayaknya bukan. Buktinya kemarin Agni mau aja digendong sama dia. Gak mungkin lah bukan pacarnya.”

“Tapi yang kemarin bukannya Alvin? Yang di youtube itu loh.”

“That’s right! Kabarnya dia itu Alvin Jonathan kan? Sepupunya Cakka? Berarti mereka saingan ya? Ckck..”

“Hmm.. kita tunggu aja sampe artikel Gabriel dimuat. Pasti dia ngebahas itu di majalah sekolah. Gabriel gitu loh, gak ada aktivitas artis yang luput dari mata dia.”

 Tangan Cakka terkepal kuat. Begitu marah dengan bisik-bisik yang baru didengarnya. Jadi kemarin Alvin menggendong Agni ke UKS?! Berani-beraninya pemuda itu menyentuh gadisnya! Akan ia beri pelajaran nanti!

Dan tadi apa? Mereka bilang ia dan Alvin bersaing? Eh sori ya! Dia udah resmi jadi pacar Agni! Si sialan itu saja yang mengganggu hubungannya dengan kekasihnya tercinta. Well, Alvin, gue gak akan biarin lo lolos kali ini!
***
oke ditunggu kritik dan sarannya :DD
next partnya entah kapan hohoho

0 comments:

Post a Comment